Berikut ini yang bukan merupakan tindakan melanggar hukum adalah

Persidangan kriminalisasi 26 aktivis kembali digelar di PN Jakarta Pusat, (11/10). Persidangan kali ini merupakan persidangan yang ke-26 kalinya sejak Maret 2016. Agenda sidang kali ini adalah mendengarkan keterangan saksi ahli yang diajukan oleh terdakwa yakni Dr. Ahmad Sofian, S.H.,M.A, beliau adalah ahli pidana yang saat ini berprofesi sebagai pengajar di Universitas Bina Nusantara, Jakarta. Setelah disumpah untuk kesaksiannya, Ahmad Sofyan kemudian mulai memberikan keterangannya atas pertanyaan-pertanyaan yang dikemukaakan oleh penasihat hukum.

Dalam keterangannya, Ahmad Sofian menyampaikan bahwa asas-asas yang ada di dalam KUHP diterapkan secara konsisten bukan hanya dalam tindak pidana umum tetapi juga tindak pidana khusus. Lebih lanjut, di dalam undang-undang khusus disebutkan juga tentang asas-asas tersebut, maka yang dipakai sebagai acuan pemidanaan adalah aturan yang terdapat dalam undang-undang khusus. Pernyataan ini disampaikan oleh saksi ahli terkait pertanyaan penasihat hukum terkait asas lex specialis derogate lex generalis yang diatur dalam pasal 63 ayat 2 KUHP.

Terkait dengan kasus kriminalisasi 26 aktivis, Ahmad Sofian menyebutkan bahwa pengaturan tentang penyampaian pendapat di muka umum berupa aksi unjuk rasa jelas diatur secara khusus di Undang-Undang Nomor 9 tahun 1998 tentang Penyampaian Pendapat di Muka Umum.

“Jika tejadi pelanggaran hukum di dalam aksi unjuk rasa tersebut maka acuan peraturannya adalah undang-undang yang mengatur secara khusus dan mengesampingkan pengaturan secara umum di peraturan lain,” jelasnya.

Saksi ahli menambahkan bahwa terdapat kesesuaian unsur-unsur di dalam dua peraturan terkait kasus yang menimpa ke 26 aktivis. Menurutnya, dalam Undang-Undang Nomor 9 tahun 1998 dengan Pasal 218 KUHP yakni tentang masyarakat yang berkerumun terdapat kesamaan. Namun menurutnya pengaturan secara khusus tentang kegiatan penyampaian pendapat secara damai di muka umum telah jelas diatur oleh Undang-Undang Nomor 9 tahun 1998.

Dalam Undang-Undang Nomor 9 tahun 1998 terdapat pengaturan tentang sanksi pidana yakni di dalam pasal 16 yang menyebutkan bahwa dapat dipidana apabila dalam melakukan penyampaian pendapat di muka umum tersebut juga melakukan pengerusakan fasilitas umum dan melanggar kesusilaan. Sedangkan dalam pasal 15 menyebutkan bahwa terdapat tempat-tempat yang oleh undang-undang dilarang untuk melakukan aksi unjuk rasa namun itupun sanksinya hanyalah dalam bentuk pembubaran kegiatan massa jika melanggar aturan tersebut.

Pada intinya saksi ahli menyampaikan bahwa Jika suatu perbuatan hukum sudah diatur secara khusus di dalam bentuk peraturan perundang-undangan maka penegak hukum harus konsisten menggunakan undang-undang khusus itu sebagai acuan pemidanaannya.

“Jangan sampai peraturan umum yang malah mengesampingkan peraturan yang bersifat khusus,” katanya.

Begitu juga dengan Perkap Nomor 7 tahun 2012 tentang tata cara penyampaian pendapat di muka umum yang mengatur bahwa aksi unjuk rasa tidak boleh melewati batas waktu jam 18.00, saksi ahli menyampaikan bahwa peraturan kapolri tersebut adalah peraturan administratif yang bersifat internal di suatu lembaga dan mengatur internal lembaga tersebut.

“Perkap tidak disebut di dalam hierarki perundang-undangan oleh karena itu perkap tidak boleh dijadikan acuan pemidanaan,” tambahnya.

Terkait dengan pasal 216 ayat 1 KUHP yang dijadikan salah satu pasal untuk menjerat para aktivis, saksi ahli menyampaikan bahwa perintah pejabat yang harus dipatuhi adalah jika ada unsur melanggar undang-undangnya. Dijelaskan bahwa penyampaian pendapat di muka umum secara damai bukanlah merupakan suatu peristiwa yang melanggar undang-undang maka tidak ada perintah petugas yang tidak dipatuhi atau dilawan disana.

Menutup keterangannya Ahmad Sofian menyampaikan bahwa hak imunitas yang dimiliki advokat dan pemberi bantuan hukum diatur dalam Undang-Undang Advokat dan Undang-Undang Bantuan Hukum. Dalam UU tersebut perbuatan seseorang yang terkait dengan pembelaan atau pemberian bantuan hukum dengan itikad baik tidak dapat dipidana. Pembelaan dalam hal ini dapat terjadi di persidangan dan diluar persidangan baik itu berupa pendampingan maupun kegiatan lainnya. Dalam kasus ini, ahli menekankan bahwa itikad baik dan itikad buruk dari advokat tersebut harus dapat dibuktikan untuk menjamin hak imunitasnya. (Bonni)

Penulis : Frisca

Berikut ini yang bukan merupakan tindakan melanggar hukum adalah

Dalam hukum perdata, pengajuan gugatan dibagi menjadi 2 (dua) jenis yaitu gugatan wanprestasi atas dasar perjanjian dan gugatan perbuatan melawan hukum atas dasar hukum. Dalam praktiknya, gugatan perbuatan melawan hukum terjadi jika antara para pihak yang berseteru tidak memiliki hubungan perjanjian. Oleh karena itu, hukum menjamin perlindungan kepada pihak yang dirugikan.

Gugatan yang diajukan oleh penggugat dalam ranah hukum perdata biasanya berisikan dalil-dalil yang didukung dengan alat-alat bukti. Hal ini berdasarkan Pasal 1865 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disingkat KUHPerdata) yang berbunyi, pada proses pembuktian terdapat prinsip bahwa setiap orang yang mendalilkan harus membuktikan. Maka dari itu, pembuktian unsur-unsur pada gugatan perdata dibebankan kepada penggugat.

Menurut Pasal 1365 KUHPerdata, setiap orang yang melakukan perbuatan melanggar hukum diwajibkan untuk mengganti kerugian yang timbul dari kesalahannya tersebut. Merujuk dari penjelasan ini, terdapat 4 (empat) unsur yang harus dibuktikan keberadaannya jika ingin menggugat berdasarkan Perbuatan Melawan Hukum, yaitu:

Unsur ini menekankan pada tindakan seseorang yang dinilai melanggar kaidah hukum yang berlaku di masyarakat. Sejak tahun 1919, pengertian dari kata “hukum” diperluas yaitu bukan hanya perbuatan yang melanggar peraturan perundang-undangan, tetapi juga setiap perbuatan yang melanggar kepatutan, kehati-hatian, dan kesusilaan dalam hubungan antara sesama warga masyarakat dan terhadap benda orang lain.[1] Sehingga dapat disimpulkan bahwa perbuatan yang dianggap melawan hukum bukan hanya didasarkan pada kaidah-kaidah hukum tertulis, tetapi juga kaidah hukum tidak tertulis yang hidup di masyarakat, seperti asas kepatutan atau asas kesusilaan.

Menurut ahli hukum perdata Rutten menyatakan bahwa setiap akibat dari perbuatan melawan hukum tidak bisa dimintai pertanggungjawaban jika tidak terdapat unsur kesalahan.[2] Unsur kesalahan itu sendiri dapat diklasifikasikan menjadi 2 (dua) yaitu kesalahan yang dilakukan dengan kesengajaan dan kesalahan karena kekurang hati-hatian atau kealpaan. Dalam hukum perdata, baik kesalahan atas dasar kesengajaan ataupun kekurang hati-hatian memiliki akibat hukum yang sama. Hal ini dikarenakan menurut Pasal 1365 KUHPerdata perbuatan yang dilakukan dengan sengaja ataupun dilakukan karena kurang hati-hati atau kealpaan memiliki akibat hukum yang sama, yaitu pelaku tetap bertanggung jawab mengganti seluruh kerugian yang diakibatkan dari Perbuatan Melawan Hukum yang dilakukannya.[3] Contohnya seorang pengendara mobil menabrak pejalan kaki dan mengakibatkan pejalan kaki tersebut pingsan. Atas hal tersebut baik terhadap pengendara yang memang sengaja menabrak pejalan kaki tersebut ataupun lalai misalnya karena mengantuk, tetap harus bertanggung jawab atas kerugian yang dialami pejalan kaki tersebut.

Kerugian dalam hukum perdata dapat dibagi menjadi 2 (dua) klasifikasi, yakni kerugian materil dan/atau kerugian immateril. Kerugian materil adalah kerugian yang secara nyata diderita. Adapun yang dimaksud dengan kerugian immateril adalah kerugian atas manfaat atau keuntungan yang mungkin diterima di kemudian hari. Pada praktiknya, pemenuhan tuntutan kerugian immateril diserahkan kepada hakim, hal ini yang kemudian membuat kesulitan dalam menentukan besaran kerugian immateril yang akan dikabulkan karena tolak ukurnya diserahkan kepada subjektifitas Hakim yang memutus.[4]

  • Hubungan kausal antara perbuatan melawan hukum oleh pelaku dan kerugian yang dialami korban.

Ajaran kausalitas dalam hukum perdata adalah untuk meneliti hubungan kausal antara perbuatan melawan hukum dan kerugian yang ditimbulkan, sehingga si pelaku dapat dimintakan pertanggungjawaban.[5] Unsur ini ingin menegaskan bahwa sebelum meminta pertanggungjawaban perlu dibuktikan terlebih dahulu hubungan sebab-akibat dari pelaku kepada korban. Hubungan ini menyangkut pada kerugian yang dialami oleh korban merupakan akibat dari perbuatan melawan hukum yang dilakukan pelaku.

Dapat disimpulkan, penggugat yang mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum wajib membuktikan keempat syarat tersebut. Apabila salah satunya tidak terpenuhi, gugatan akan ditolak. Akan tetapi, penyelesaian permasalahan secara musyawarah lebih baik daripada pengajuan perkara ke pengadilan. Hal ini dikarenakan pengajuan ke pengadilan akan menghabiskan waktu dan biaya yang tidak sedikit serta hal yang diajukan juga belum tentu akan dikabulkan.

Dasar Hukum:

  • Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Referensi:

[1] Sedyo Prayogo, Penerapan Batas-Batas Wanprestasi dan Perbuatan Melawan Hukum Dalam Perjanjian, Jurnal Pembaharuan Hukum, Volume 3-Nomor 2, Mei 2016, halaman 284.
[2] M.A.Moegni Djojodordjo, Perbuatan Melawan Hukum (Jakarta: Pradnya Paramita,1997), halaman 68.
[3] Leonora Bakarbessy, Ghansham Anand, Buku Ajar Hukum Perikatan (Surabaya: Zifatama Jawara, 2018), halaman 248.
[4] Bimo Prasetio, Di Mana Pengaturan kerugian Konsekuensial dalam Hukum Indonesia?, https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt4da27259c45b9/di-mana-pengaturan-kerugian-konsekuensial-dalam-hukum-indonesia-/ (diakses pada 7 Januari 2021).
[5] Sri Redjeki Slamet, Tuntutan Ganti Rugi Dalam Perbuatan Melawan Hukum: Suatu Perbandingan Dengan Wanprestasi, Lex Jurnalica, Volume 10-Nomor 2, Agustus 2013, halaman 117.