Berikan 3 contoh kemajemukan yang terdapat di dalam masyarakat Indonesia

Oleh:

Berbagai kelompok sosial yang ada di Indonesia, memiliki karakteristik dan perilaku budaya yang berbeda. Ini salah satu yang menyebabkan bangsa Indonesia menjadi masyarakat yang heterogen (majemuk). Dari catatan yang ada, di Indonesia terdapat 656 suku. Keanekaragaman tersebut merupakan kekayaan milik bangsa Indonesia yang harus dijaga dan dilestarikan, sehingga mampu memberikan warna ketenteraman dan kedamaian bagi rakyat Indonesia agar ke depan tidak banyak menimbulkan persoalan yang mengancam disintegrasi bangsa.

Namun, keanekaragaman juga merupakan hal yang sensitif. Untuk membina keaneragaman tentu membutuhkan usaha yang keras dan ekstra hati-hati. Karena sebuah keragaman juga berpeluang untuk terjadinya sebuah konflik di dalam masyarakat. Seperti baru-baru ini adanya konflik yang menyangkut dengan SARA. Sebagaimana diketahui, telah terjadi konflik di Indonesia dan banyak diantaranya didominasi oleh konflik persoalan agama. Kenapa hal ini terjadi dan apakah dalam kehidupan beragama diajarkan kekerasan?

Kemajemukan Horizontal dan Vertikal

Secara sosiologis ada beberapa penyebab terjadinya konflik, diantaranya adalah perbedaan individu yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan, perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi yang berbeda, perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok, dan perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat. Namun, jika dianalisis lebih dalam penyebab sebuah konflik tidaklah hanya disebabkan oleh faktor di atas, tetapi pada hal mendasar yang memicu terjadinya sebuah konflik sosial salah satunya sesuatu yang berkenaan dengan perbedaan secara vertikal.

Kompleksitas masyarakat majemuk tidak hanya ditandai oleh perbedaan-perbedaan "horizontal" (suku, ras, bahasa, adat-istiadat, agama, dan daerah) yang dalam istilah sering disebut dengan diferensiasi sosial. Namun kemajemukan juga disebabkan perbedaan "vertikal" atau stratifikasi sosial. Indikasi perbedaan tersebut tampak dalam tingkat sosial ekonomi, kedudukan politik, tingkat pendidikan, kualitas pekerjaan dan kondisi pemukiman. Realitas konflik di Indonesia hari ini seolah-olah merupakan konflik kebudayaan, yakni adanya konflik kepercayaan atau agama di Indonesia. Dengan kata lain, konflik ini tak lepas dari adanya konflik yang disebabkan perbedaan kepentingan antar individu atau kelompok.

Perbedaan secara horizontal diterima sebagai warisan yang diketahui kemudian "bukan" sebagai faktor utama dalam setiap insiden kerusuhan sosial yang melibatkan antarsuku dan agama. Misalnya suatu suku bangsa, bukan dilahirkan semata-mata untuk memusuhi suku lainnya. Bahkan tidak pernah terungkap dalam doktrin ajaran (agama dan kepercayaan yang ada di Indonesia) yang secara absolut mengajarkan atau menanamkan permusuhan terhadap suku bangsa dan agama.

Sementara itu, dari perbedan-perbedaan vertikal terdapat beberapa hal yang berpotensi sebagai sumber konflik, antara lain perebutan sumber daya, alat-alat produksi, dan akses ekonomi, benturan kepentingan kekuasaan politik, dan perluasan batas-batas identitas sosial budaya dalam kelompok suku bangsa tertentu (Horowitz, 1997). Semakin tinggi kedudukan politik dan peran dominatif suatu kelompok suku bangsa terhadap kelompok suku bangsa lainnya, akan semakin kuat menimbulkan prasangka yang menjadi sumber ketegangan dan konflik antar kelompok etnik. Jadi, sebenarnya tidak ada sebuah konflik yang benar-benar diakibatkan oleh perbedaan. Konflik agama dan etnis yang terjadi ternyata diakibatkan karena adanya pergesekan dengan perekonomian dan perbedaan kepentingan yang juga erat kaitannya dengan kekuasaan atau politik.

Kemajemukan kehidupan keberagamaan di Indonesia adalah kenyataan. Namun demikian umat manusia harus menyadari dan menerima kenyataan ini untuk saling melengkapi dan memperkaya pengalaman kehidupan bagi umat manusia dan bukan sebagai musibah atau malapetaka. Perbedaan hendaknya menjadi rahmat, yaitu merupakan sebuah dinamika yang tercipta saling membutuhkan dan melengkapi sehingga tersusun sebuah bangunan kokoh yang saling menunjang.

Konflik dan krisis yang mencuat juga sering diasumsikan akibat kebekuan tafsir manusia atas agama dan ideologi pada kalangan masyatakat. Hal ini tidak lepas atas tafsir manusia terhadap agama dan ideologi yang mengitarinya. Ada kecemasan bahwa krisis dan konflik yang mencuat akibat kebekuan agama dan ideologi di kalangan masyarakat modern akan semakin menjadi persoalan yang meluas. Menyikapi munculnya berbagai kekerasan atas nama agama dan ideologi ini, perlu kita bersama-sama memaknai secara benar sebuah ajaran agama. Semoga kita sebagai umat beragama dapat memaknai ajaran agama dengan benar dan tidak ada lagi konflik yang berkaitan dengan SARA di Indonesia dan khususnya di Ranah Minang.

Ketua Bidang Partisipasi Pembangunan Daerah HMI Cabang Padang

Bangsa Indonesia merupakan bangsa majemuk yang memiliki keragaman budaya. Dengan latar belakang kesukuan, agama maupun ras yang berbedabeda. Selain memiliki beragam budaya yang khas, juga memiliki 1.128 lebih suku bangsa yang bermukim di ribuan pulau dari Sabang sampai Merauke.

Fenomena kemajemukan Indonesia terlihat dari jumlah, komposisi dan sebaran penduduk berdasarkan aspek-aspek sosial budaya. Dilihat dari komposisi penduduknya, Suku Jawa terbesar mencapai 40,2% dari populasi penduduk Indonesia. Diikuti Suku Sunda (15,5%), Suku Batak (3,6%), suku asal Sulawesi selain Suku Makassar, Bugis, Minahasa dan Gorontalo, serta Suku Madura (3,03%).

Dilihat dari pemeluk agamanya, Islam yang terbesar (87,18%), diikuti Kristen (6,96%), Katolik (2,91%), Hindu (1,69%), Budha (0,72%), Kong Hu Cu (0,05), dan agama lainnya. Keragaman juga terlihat dari bahasa daerahnya. Yang menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa keseharian dan rumah tangga 79,5%, bahasa Indonesia 19,9% dan sisanya 0,3% menggunakan bahasa asing.

Selain kemajemukan budaya, kesatuan bangsa Indonesia juga didasari oleh kesatuan pandangan, ideologi serta falsafah hidup dalam berbangsa dan bernegara. Yang secara holistik_ tercermin dalam sila-sila Pancasila yang menjadi dasar negara Indonesia. Dan secara eksplisit tercantum dalam lambing negara yang bertuliskan “Bhinneka Tunggal Ika”, yang mengandung makna “beraneka ragam (suku bangsa, agama, bahasa) namun tetap satu (Indonesia). Meskipun berbeda, namun tetap sama di bidang hukum, hak dan kewajiban serta kehidupan sosialnya yang berasaskan kekeluargaan.

Indonesia adalah negara multikultural, tapi bukan negara multikulturalis. Karena itu multikulturalisme tidak menjadi solusi dalam pengelolaan keragaman di Indonesia. Beberapa kategori multikulturalisme justru menjadi problem di Indonesia. Multikulturisme akibat keberadaan masyarakat yang beragam, sebenarnya memiliki ekses negatif berupa potensi konflik sosial. Sebagai akibat perbedaan yang terdapat dalam masyarakat karena nilai-nilai budaya yang dilatarbelakangi sosio kultural.

Multikulturalisme juga akan menimbulkan perilaku eksklusif berupa kecenderungan memisahkan diri dari masyarakat. Bahkan tidak tertutup kemungkinan mendominasi masyarakat lainnya. Nilai negative lain yang harus dihindari adalah pandangan deskriminatif berupa sikap membeda-bedakan perlakuan sesama anggota masyarakat yang dapat menimbulkan prasangka bersifat subjektif karena munculnya sifat/watak dari suatu golongan.

Meskipun konflik terkadang sering didominasi oleh isu-isu yang lebih bersifat politik dan ekonomi, namun konflik karena ekses keragaman budaya tetap harus menjadi perhatian utama. Jika tidak, kondisi masyarakat yang beragam sangat mudah terpecah dengan isu-isu menyangkut agama, kebudayaan, ras dan lain sebagainya.

Oleh sebab itu, konflik rasial dan konflik agama yang pernah terjadi selama ini cepat sekali membesar dan membutuhkan penanganan serius dari pemerintah. Konflik yang pernah terjadi mengakibatkan perubahan norma-norma sosial, pola-pola sosial, interaksi sosial, pola perilaku, organisasi sosial, lembaga kemasyarakatan, lapisan-lapisan masyarakat, serta susunan kekuasa an dan wewenang.

Yang dibutuhkan dalam situasi seperti itu adalah sikap toleransi. Sikap yang menghormati perbedaan luasnya pandangan manusia karena faktor yang memengaruhinya dari kebudayaan, filsafat, agama, kepercayaan, tata nilai masyarakat atau lainnya. Juga sikap menghargai perbedaan sesuai norma dan hukum yang berlaku di masyarakat dan negara; tidak membicarakan keburukan orang lain tanpa alasan atau pembuktian; memahami perasaan orang lain.

Selain itu, berbicara santun sesuai norma kesopanan atau adat; toleransi saat umat lain beribadah sesuai norma agama; tidak memaksakan kehendak; menerima perbedaan dengan saling memahami dan menjalin keberagaman Indonesia; serta menghargai hak pribadi orang lain termasuk pilihan menentukan agama dan kepercayaannya.

Selain berpeluang menimbulkan konflik sosial, keberagaman dan kemajemukan budaya juga berpotensi menimbulkan perubahan sosial. Menurut Selo Soemardjan, perubahan sosial adalah perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat yang memengaruhi sistem sosialnya, termasuk nilainilai, sikap, dan perilaku di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat.

John Lewis Gillin dan John Philip Gillin melihat perubahan sosial sebagai variasi dari cara-cara hidup yang telah diterima, baik karena perubahan kondisi geografis, kebudayaan material, komposisi penduduk, ideolog, maupun karena adanya difusi atau penemuan-penemuan baru dalam masyarakat.

Contoh perubahan sosial yang terjadi di Indonesia adalah demonstrasi. Perubahan sosial budaya lainnya adalah modernisasi yang merujuk pada sebuah transformasi dari keadaan yang kurang maju atau kurang berkembang ke arah yang lebih baik dengan harapan akan tercapai kehidupan yang lebih berkembang, maju, dan makmur.

Modernisasi tidak sekadar menyangkut aspek material, melainkan juga aspek imateriel seperti pola pikir, tingkah laku, dan lain sebagainya. Juga fenomena globalisasi memengaruhi seluruh aspek penting kehidupan, termasuk sosial budaya. Selo Soemardjan menyebut globalisasi sebagai terbentuknya sistem organisasi dan komunikasi antarmasyarakat di seluruh dunia untuk mengikuti sebuah sistem dan kaidah yang sama.

Bagaimana agar tidak terjadi gesekan dalam keberagaman budaya? Proses asilimilasi menjadi penting. Asimilasi adalah proses perpaduan dua kebudayaan atau lebih yang terjadi di dalam kehidupan masyakat, hingga membentuk kebudayaan baru yang bisa diterima berbagai pihak. Menurut Koentjaraningrat (1996), asimilasi adalah proses perubahan sosial dalam masyarakat yang terjadi karena adanya perkembangan dan hubungan interaksi sosial yang terus menerus dan serius.

Kondisi ini mendorong masyarakat membaurkan kebudayaan yang ada dalam upaya mengakomodasi semua pihak dalam menata bentuk keteraturan sosial yang sudah ada. Ciri asimilasi adalah berkurangnya perbedaan karena adanya usaha untuk mengurangi dan menghilangkan perbedaan antarindividu atau kelompok, mempererat kesatuan tindakan, sikap, dan perasaan dengan memperhatikan kepentingan serta tujuan bersama.

Namun perlu disadari, dalam asimilasi juga terdapat faktor penghambat berupa: masih adanya kebudayaan dalam masyarakat yang terisolasi dari perkembangan zaman atau memilih untuk menutup diri dan tetap kokoh dengan pendiriannya; minimnya wawasan dan pengetahuan tentang beragam kemajuan yang ada; serta terdapatnya prasangka negatif dalam masyarakat terhadap kelompok pendatang baru.

Selain asimilasi, ada proses akulturasi atau proses sosial yang timbul apabila sekelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan pada unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing sehingga unsur-unsur asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri, tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu (Koentjaraningrat: 2003:155). Akulturasi adalah cara yang sangat efektif dalam proses penyatuan Negara Kesatuan Repubik Indonesia (NKRI). Apalagi Indonesia adalah Negara kepulauan.

Apabila keberagaman budaya tidak disertai faktor pemersatu, dikhawatirkan akan timbul gesekan atau benturan. Apalagi jika budaya hoaks tak terbendung. Maka relevan apa yang disampaikan Khasdyah Dwi Dewi Setyoningtias jika akulturasi budaya adalah hal yang sangat tepat untuk menyatukan bangsa Indonesia. Tanpa adanya akulturasi budaya, masyarakat Indonesia akan runyam dengan sendirinya, karena sifat etnosentrisme masyarakat Indonesia masih tinggi. Kemajemukan budaya Indonesia juga memunculkan pluralisme.

Pendekatan pluralisme dapat dilakukan melalui penyerbukan silang antarbudaya Pendekatan ini telah dicetuskan Eddie Lembong, tokoh keturunan etnis Tionghoa dan pendiri Yayasan Nabil (Nation Building). Dalam mendekati pluralism di Indonesia ide penyerbukan silang antarbudaya, menempatkan keragaman budaya Indonesia dapat dikelola sebagai suatu strategi dalam mengelola pluralisme di Indonesia. Budaya-budaya yang unggul diserbuk-silangkan dengan budaya unggul etnis lain sehingga muncullah satu budaya alternatif. Penyerbukan silang antarbudaya (cross cultural fertilization) berbeda dengan ide multikulturalisme.

Selanjutnya, dibutuhkan restorasi. Karena menurut Masrudi Ahmad Sukaepa, hal paling berharga yang dimiliki bangsa kita adalah keragaman budaya dan kepribadian yang luhur. Jika itu hilang, maka kehidupan bangsa akan rapuh dan mudah goyah karena invasi negara lain.

Kita terjebak dalam hegemoni mental yang menyebabkan gaya hidup individualistis dan hedonisme, sehingga inti kebangsaan hilang. Kehidupan berbangsa tidak tenteram karena dikuasai budaya atau gaya hidup bangsa asing. Itulah sebabnya restorasi budaya menjadi sangat urgen dan relevan. Bahkan, menjadi kebutuhan bangsa dalam situasi kekinian yang sudah mulai bergeser dari kaidah hidup yang luhur. Restorasi akan mengembalikan tata hidup menjadi pilihan yang niscaya.

Setidaknya budaya yang lahir dari kearifan lokal akan mendistorsi transformasi budaya asing yang begitu kuat menggerus kepribadian dasar bangsa kita yang ramah, saling menghargai, persaudaraan yang kuat, bergotong royong, menjunjung keadilan, beradab dan pastinya berketuhanan Yang Maha Esa.

Terkait dengan keberagaman budaya ini, para pendiri bangsa telah menyadari akan menjadi masalah krusial dan sensitif. Untuk membentenginya yakni dengan mengokohkan Pancasila sebagai ideologi serta menjaga tradisi lokal yang menjadi akar budaya sumber nilai-nilai luhur bangsa kita. Tanpa menjaga dan memeliharanya, kita tinggal menunggu waktu tumbangnya karena tidak memiliki lagi akar yang kuat.

Sebelum negara ini berdiri, Mpu Tantular bahkan telah mencoba memaknai keberagaman. Kemajemukan telah menginspirasi lahirnya konsep pluralisme. Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan atas kemajemukan bangsa. Keragaman termasuk dalam berkeyakinan harus dipahami, bukan diper tentangkan. Kalau tidak, akan menimbulkan kebencian yang menyulut perpecahan seperti pengalaman di Perancis kini.

Ironis memang, yang sebelumnya Perancis ter kenal sebagai negara mode, seni dan terbuka untuk pendatang. Sekarang tertimpa prahara karena gesekan antaragama. Kini Perancis tidak lagi kota ramah, tapi penuh amarah. Semoga menjadi pembelajaran bagi kita semua.

*) Pemerhati Masalah Ekonomi dan Kemanusiaan, Kepala Biro Humas dan Kerja Sama, Universitas Muhammadiyah Bandung

Editor : Gora Kunjana ()