Berapa lama bisa sholat setelah keguguran

Alhamdulillah, shalawat, salam dan keberkahan semoga terlimpah kepada Rasulullah, keluarga dan para sahabatnya. Amma ba’du. Dengan mengharap taufik dari Allah Ta’ala, jawaban kami atas pertanyaan tersebut adalah, bahwa setiap musibah yang dialami seorang mukmin kemudian ia dapat bersabar atas musibah itu, maka tidak diragukan lagi ia akan mendapatkan pahala dari musibahnya tersebut. Sesungguhnya Allah Maha Mulia lagi Maha Pemberi. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga bersabda dalam sebuah hadits yang shahih, diriwayatkan dari Aisyah Radhiyallahu ‘Anha, “Tidak ada sesuatu apapun yang menimpa seorang muslim berupa kesedihan, kelelahan, dan kesusahan, bahkan hingga duri yang menyakitinya, kecuali Allah Ta’ala akan memberikan pahala baginya.”  (HR. Bukhari no. 5641). Hadits ini menunjukkan bahwa setiap musibah yang diterima seorang muslim, maka Allah Ta’ala akan memberikan pahala baginya, selama ia bersabar dan mengharap pahala atas musibah tersebut. Adapun, perihal shalat bagi wanita yang mengalami keguguran, maka ada beberapa keadaan: Keadaan pertama, keguguran yang terjadi sebelum janin berbentuk manusia, yaitu sebelum janin mencapai usia 80 hari,  maka tidak ada hukumnya bagi keguguran pada waktu ini, darah yang keluar dari keguguran ini dianggap sebagai darah fasad (darah rusak yang serupa hukumnya dengan darah istihadhah -pent), darah ini tidak menghalangi seorang wanita untuk melakukan shalat atau puasa. Apabila keguguran terjadi setelah janin berusia 90 hari, dimana pada usia tersebut janin sudah berbentuk manusia, maka darah yang keluar dari keguguran ini merupakan darah nifas, tidak boleh bagi seorang wanita untuk shalat maupun berpuasa. Sedangkan apabila keguguran terjadi pada hari ke-81 sampai ke-89, dimana pada usia tersebut, janin terkadang sudah berbentuk manusia, terkadang juga belum. Maka dalam keadaan ini, kita lihat janin yang keluar karena keguguran ini. Apabila janin yang keluar sudah jelas terlihat berbentuk manusia, maka darah pada keguguran ini merupakan darah nifas. Apabila janin yang keluar hanya berupa gumpalan daging, tidak terlihat bentuk manusia, maka keguguran pada waktu ini dihukumi sama seperti keguguran sebelum janin berusia 80 hari, darah yang keluar dari keguguran ini tidak menghalangi wanita tersebut untuk shalat maupun puasa. Dasar dari pembagian di atas berdasarkan hadits yang diriwayatkan Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhu, ketika Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyebutkan tahapan penciptaan makhluk, “Sesungguhnya setiap kalian dikumpulkan penciptaannya di dalam perut ibunya sebagai mani selama 40 hari, kemudian berubah menjadi segumpal darah selama 40 hari, kemudian menjadi segumpal daging selama 40 hari.” (HR. Bukhari no. 3208, dan Muslim no. 6893). Segumpal daging inilah yang kemudian Allah Ta’ala bagi dalam tahapan penciptaan manusia, yakni  ada yang sudah berbentuk manusia dan ada yang belum. Maka hukum darah seorang wanita yang keguguran didasarkan dari terbentuk atau tidaknya janin ini menjadi bentuk manusia.

Apabila janin yang keguguran sudah jelas bentuk manusianya, maka darah yang keluar darinya adalah darah nifas. Adapun jika janin belum berbentuk manusia, maka darah dihukumi sebagai darah fasad (rusak), bukan darah nifas, maka tidak menghalanginya untuk melakukan shalat maupun puasa.


Page 2


Page 3

AsSAJIDIN.COM -– Tidak semua perempuan pernah mengalami keguguran, namun edukasi untuk mengetahui hukum shalat bagi perempuan yang mengalami keguguran perlu untuk diketahui. Menurut Mayo Clinic, keguguran adalah kematian embrio/janin secara tiba-tiba sebelum minggu ke-20 kehamilan atau sebelum 5 bulan. Sebagian besar kasusnya terjadi sebelum minggu ke-13 kehamilan. Lewat dari usia 20 minggu, risiko komplikasi ini akan semakin kecil. Keguguran menjadi pertanda ada sesuatu yang salah dalam kehamilan atau janin gagal berkembang dengan baik.

Untuk mengetahui hukum shalat bagi perempuan yang mengalami keguguran, kita terlebih dahulu mengetahui darah yang keluar itu termasuk darah nifas atau darah istihadah. Jika janin yang dikandung masih dalam fase nuthfah (setetes mani) pada 40 hari pertama, maka darah yang keluar itu disepakati ulama dengan sebutan darah istihadah dan hukum shalat masih wajib untuknya. Namun jika janin yang dikandung sudah masuk pada fase alaqah (segumpal darah), mudghah (segumpal dan seterusnya, maka hal ini diperdebatkan oleh para ulama .

Dalam kitab Raudhah at Thalibin disebutkan bahwa ulama Syafi’iyah menyebutkan darah yang keluar jika terjadi keguguran di fase alaqah (0-5 minggu) itu tetap dihukumi dengan darah nifas, bukan darah istihadah. Meskipun yang dikandung belum berbentuk manusia ataupun sudah berbentuk manusia. Pendapat ini senada dengan pendapat kalangan ulama Hanifiyah dalam kitabnya Syarh al Kabir. Dengan demikian, menurut madzhab Syafi’i dan Hanafi, perempuan yang keguguran itu tidak lagi wajib shalat. Sebab darah yang keluar pada saat itu sudah dihukumi sebagai darah nifas. Adapun alasannya adalah keumuman dalil di bawah ini:

Lihat Juga :  Apa itu Sumpah Pocong? Bolehkah Dalam Islam?

وَأُوْلَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَن يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ

“dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya”(QS. At-Thalaq: 4)

Baca Juga: Benarkah Mukena Warna Warni Tidak Syar’i?
Adapun menurut Imam Ahmad dan juga ulama Hanabilah, darah yang keluar saat janin dalam fase alaqah (setelah minggu ke-5) dihukumi dengan darah istihadah, dan perempuan yang keguguran pada fase tersebut tetap wajib shalat dan puasa, hanya saja khusus untuk shalat diharapkan agar membersihkan darah terlebih dahulu dan berwudhu pada setiap kali shalat. Jika ada shalat yang tertinggal karena kondisi ini berarti shalatnya harus di-qadha (ganti). Yang demikian termaktub dalam kitab al Mabsuth kfi Syarh al Kafi karya Syekh Syamsuddin Abu Bakar Muahmmad al Sarkhani.

Adapun keterangan fase pembentukan manusia, para ulama memberikan hukum yang berbeda berdasarkan keterangan hadis dari Abu Abdurrahman Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda:

Lihat Juga :  Apa Hukum Istri Pakai Nama Suami di Belakang Namanya?

إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِيْنَ يَوْماً نُطْفَةً، ثُمَّ يَكُوْنُ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يَكُوْنُ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يُرْسَلُ إِلَيْهِ الْمَلَكُ فَيَنْفُخُ فِيْهِ الرُّوْحَ، وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ: بِكَتْبِ رِزْقِهِ وَأَجَلِهِ وَعَمَلِهِ وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيْدٌ

“Sesungguhnya setiap kalian dikumpulkan penciptaannya di perut ibunya sebagai setetes mani (nuthfah) selama empat puluh hari, kemudian berubah menjadi segumpal darah (‘alaqah) selama empat puluh hari, kemudian menjadi segumpal daging (mudhgah) selama empat puluh hari. Kemudian diutus kepadanya seorang malaikat lalu ditiupkan padanya ruh dan diperintahkan untuk ditetapkan empat perkara, yaitu rezekinya, ajalnya, amalnya dan kecelakaan atau kebahagiaannya.” (HR. Bukhari Muslim)

Dengan demikian, hukum shalat adalah tetap wajib jika keguguran terjadi di 0-5 Minggu dari masa kehamilan. Namun jika keguguran terjadi pada kehamilan yang lebih dari 5 minggu maka perempuan tersebut tidak wajib shalat, menurut ulama Syafi’I dan Hanafi. Adapun menurut Imam Ahmad dan ulama Hanabilah, masih tetap wajib shalat. Sebab darah yang keluar itu bukan darah nifas, melainkan darah istihadah.(*/sumber: bincangmuslimah.com)

Telah lewat sekitar empat puluh hari keluarnya janin dari perutku (keguguran). Tidak lebih dari dua bulan setengah bertepatan bulan Ramadan, kemudian saya tinggalkan shalat dan puasa. Dimana saya belum tahu masalah agama, setelah itu saya tahu bahwa saya sudah tidak nifas lagi. Apakah saya harus mengqodo’ yang telah terlewatkan dari shalat dan puasa? Sekarang saya dalam kondisi bingung tidak tahu apa yang harus saya lakukan?

Alhamdulillah.

Pertama

Kalau seorang wanita keguguran, hal itu tidak dianggap nifas darah yang keluar darinya kecuali kalau kegugurannya itu telah jelas (nampak) ciptaan manusia dari kepala, tangan atau kaki atau selain dari itu. pembentukan tidak dapat dimulai sebelum delapan puluh hari berdasarkan sabda Nabi sallallahu’alaihi wa sallam:

( إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا ، ثُمَّ يَكُونُ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ ، ثُمَّ يَكُونُ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ ، ثُمَّ يَبْعَثُ اللَّهُ مَلَكًا فَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ وَيُقَالُ لَهُ : اكْتُبْ عَمَلَهُ وَرِزْقَهُ وَأَجَلَهُ وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيدٌ ، ثُمَّ يُنْفَخُ فِيهِ الرُّوح) رواه البخاري (3208)

‘Sesungguhnya salah satu diantara kamu dikumpulkan penciptaanya di perut ibunya empat puluh hari (berupa mani). Kemudian semasa itu (empat puluh hari) berupa segumpal darah. Kemudian semasa itu berupa sekerat daging. Kemudian Allah utus malaikat dan diperintahkan untuk mencatat empat kalimat, dikatakan: ‘Catatlah amalan, rizki, ajal dan merana atau bahagia. Kemudian ditiupkan ruh di dalamnya.’ HR. Bukhori, 3208.

Hadits ini menunjukkan bahwa manusian melewati beberapa tahapan dalam kandungan. Empat puluh hari berupa mani, kemudian empat puluh hari lagi segumpal darah. Kemudian empat puluh ketiga berupa sekerat daging. Kemudian ditiupkan ruh setelah sempurna seratus duapuluh hari. Pembentukan berarti pada fase sekerat daging dan tidak mungkin sebelum itu. sebagaimana firman Allah Ta’ala:

(يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِنْ الْبَعْثِ فَإِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ مِنْ نُطْفَةٍ ثُمَّ مِنْ عَلَقَةٍ ثُمَّ مِنْ مُضْغَةٍ مُخَلَّقَةٍ وَغَيْرِ مُخَلَّقَةٍ لِنُبَيِّنَ لَكُمْ) الحج/5

‘Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu.’ SQ. Al-Hajj: 5.

Diketahui dari ayat ini, bahwa sekerat daging terkadang sempurna dan terkadang tidak sempurna.

Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, ‘Kalau seorang wanita melihat darah setelah melahirkan sesuatu yang jelas pembentukan orang, maka itu termasuk darah nifas. Telah ditegaskan (yakni Imam Ahmad) bahwa kalau dia melihat mani atau segumpal darah bukan termasuk nifas.’ Selesai dari ‘Al-Mugni, 1/211.

Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata, ‘Kalau seorang wanita keguguran apa yang nampak dari menciptaan manusia baik kepada, tangan atau kaki atau selain itu, maka dia termasuk (mendapatkan) nifas. Mampunyai hukum seputar nifas. Maka tidak boleh shalat, tidak boleh puasa, suaminya tidak boleh menggaulinya sampai suci atau sempurna empat puluh hari. Semantara apa yang keluar dari wanita tidak jelas penciptaan manusia, dimana ada daging yang tidak terbentuk atau segumpal darah. Maka dia mempunyai hukum (darahnya) mustahadhoh bukan hukum nifas. Juga bukan darah nifas. Maka dia harus shalat, puasa di bulan Ramadan dan dihalalkan suaminya (menggaulinya). Karena dia mempunyai hukum istihadhoh menurut ahli ilmu.’ Selesai dari ‘Fatawa Islamiyah, 1/243.

Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, ‘Ahli ilmu mengatakan, kalau keluar (dari rahim wanita0 dan telah nampak penciptaan manusia, maka darah yang keluar termasuk darah nifas. Maka dia meninggalkan shalat, puasa dan suaminya menjauhinya sampai bersih. Kalau keluar (dari rahim wanita) dan tidak berbentuk, maka darahnya tidak termasuk darah nifas bahkan itu darah kotor, tidak menghalangi untuk shalat, puasa dan selain dari keduanya. Ahli ilmu mengatakan, ‘Minimal waktu pembentukan (di rohim) adalah delapan puluh satu hari.’ ‘Fatawa AL-Mar’ah Al-Muslimah, 1/304, 305.

Dari sini, maka darah yang keluar dari anda bukan termasuk darah nifas, karena janin yang keluar sebelum berumur delapan puluh hari. Maka seharusnya anda shalat dan puasa pada masa itu, sampai datang kepada anda darah haid.

Kedua,

Anda diharuskan mengqodo’ puasa, hal ini tidak ada masalah baik anda dalam kondisi suci maupun dalam kondisi nifas. Karena barangsiapa yang meninggalkan puasa tanpa uzur (seperti sakit, haid atau bepergian) maka seharusnya mengqodo’. Sementara anda tinggalkan karena ada uzur yaitu persangkaan anda bahwa anda dalam kondisi nifas. Sementara qodo’ shalat, yang nampak anda tidak perlu mengqodo’ shalat, karena Nabi sallallahu’alaihi wa sallam tidak memerintahkan wanita mustahadhoh yang telah meninggalkan shalat disela-sela turunnya darah untuk mengqodo’nya. Akan tetapi dibimbing apa yang selayaknya dilakukan ke depannya.

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, ‘Wanita mustahadhoh kalau berdiam dalam beberapa waktu tidak shalat, karena berkeyakinan tidak wajibnya shalat atasnya. Maka kewajiban mengqodo’nya ada dua pendapat. Salah satunya tidak perlu mengulanginya –sebagaimana yang dinukil dari Malik dan lainnya- karena mustahadhoh yang dikatakan oleh Nabi sallallahu’alaihi wa sallam, ‘Sesungguhnya saya datang darah haid deras sekali yang menghalangiku ntuk shalat dan puasa.’ Beliau memerintahkan kepadanya apa yang seharusnya dilakukan ke depan. Tanpa diperintahkan untuk mengqodo’ shalat yang lalu.’ Selesai dari ‘Majmu’ Fatawa, 22/102. Silahkan melihat soal jawab no. 45648.

Kesimpulannya, maka anda harus mengqodo’ puasa, sementara shalat kalau mudah bagi anda. Lebih bagus anda lakukan. Kalau tidak, kami memohon semoga Allah memaafkan anda. Dan kami nasehatkan kepada anda agar giat mencari ilmu dan memperdalam agama. Kami memohon kepada Allah untuk kami dan anda mendapatkan taufik dan kebenaran.

Wallahu’alam .