bedanya air mani sama madzi

Ilustrasi madzi, wadi, dan mani. Foto: Freepik

Madzi, wadi, dan mani adalah cairan yang keluar dari kemaluan manusia. Hal seperti ini biasanya dialami laki-laki maupun perempuan saat sedang melihat, membayangkan, atau melakukan hal-hal yang berkaitan dengan syahwat.

Lalu, adakah perbedaan di antara ketiganya? Simak ulasannya berikut ini.

Apa Itu Madzi, Wadi, dan Mani?

Madzi merupakan cairan bening sedikit kental yang keluar dari kemaluan seseorang ketika sedang ataupun memiliki keinginan bersetubuh. Terkadang, seseorang tidak menyadari proses keluarnya madzi ini.

Mengutip buku Panduan Beribadah Khusus Wanita oleh Abu Malik Kamal Salim (2007: 31), meskipun bisa dialami oleh laki-laki maupun perempuan, madzi lebih banyak dialami oleh kaum wanita.

Hal ini juga sejalan dengan pendapat Imam al-Haraiman yang dikemukakan oleh Imam Muhyiddin Syaraf an-Nawawi.

Imamul Haraiman berpendapat: ketika seorang perempuan terangsang maka ia akan mengeluarkan madzi. Beliau (juga) berkata: perempuan lebih umum mengeluarkan madzi dibanding dengan laki-laki.

Sama dengan madzi, keluarnya mani dari kemaluan seseorang juga berkaitan dengan syahwat. Mengutip Tanya Jawab Islam oleh PISS KTB, TIM Dakwah Pesantren (2015), ada sejumlah ciri-ciri utama mani, yaitu keluar disertai syahwat (kenikmatan), keluar dengan tersendat-sendat, dan jika basah baunya mirip adonan kue dan jika kering mirip putih telur.

Jika seseorang mengalami salah satu dari tiga ciri di atas, maka itu disebut dengan mani. Mani juga dialami bagi laki-laki dan perempuan, perbedaannya hanya pada proses keluarnya. Hal tersebut sebagaimana yang dikemukakan dalam kitab Kifayatul Akhyar.

Tidak disyaratkan berkumpulnya (ketiga hal) yang menjadi ciri-ciri khusus mani, tetapi cukup satu saja untuk bisa ditetapkan sebagai mani, hal ini tidak ada perbedaan dikalangan para ulama. Sedang mani perempuan itu seperti mani laki-laki menurut pendapat yang rajih dan pendapat Imam Muhyiddin Syaraf an-Nawawi dalam kitab ar-Raudlah. Sedangkan beliau (Imam Muhyiddin Syaraf an-Nawawi) berpendapat dalam kitab Syarh Shahih Muslim-nya: ‘Bahwa mani perempuan tidak disyaratkan muncrat’. Pendapat ini kemudian diikuti oleh Ibnus Shalah.” (Abu Bakr bin Muhammad al-Husaini al-Hushni asy-Syafi’i, Kifayah al-Akhyar fi Halli Ghayah al-Ikhtishar, Damaskus-Dar al-Khair, cet ke-1, 1994 H, h. 41).

Sementara itu, wadi, mengutip dari NU Online, adalah cairan putih kental keruh yang tidak berbau. Biasanya, wadi keluar setelah kencing atau setelah mengangkat beban berat. Keluarnya bisa satu tetes, dua tetes, atau lebih.

Ilustrasi madzi, wadi, dan mani. Foto: Shutterstock

Perbedaan Membersihkan Madzi, Wadi, dan Mani

Selain ciri fisiknya dan penyebab munculnya, perbedaan utama madzi, wadi, dan mani terletak pada cara membersihkannya. Dari Ibnu Abbas ra, ia berkata:

Tentang mani, wadi, dan madzi. Adapun mengenai mani, maka diwajibkan mandi karenanya. Sedangkan mengenai madzi dan wadi, maka cukup dengan membersihkannya secara sempurna.” (HR. Al-Atsram dan Baihaqi)

Menurut kesepakatan para ulama, madzi hukunya najis. Apabila mengenai badan, harus dibersihkan. Apabila mengenai pakaian, cukup menyiramnya dengan air pada bagian yang terkena.

Dari Ali bin Abi Thali ra, dia menceritakan: “Aku ini laki-laki yang sering mengeluarkan madzi. Lalu aku suruh seseorang untuk menanyakan hal itu kepada Nabi, karena aku malu, sebab putrinya adalah istriku. Maka orang yang disuruh itu pun bertanya dan beliau menjawab: Berwudhulah dan cuci kemaluanmu!” (HR. Imam Al-Bukhari.

Sementara itu, seperti halnya kencing, wadi hukumnya juga najis dan harus disucikan. Namun, bersuci dari wadi tidak wajib mandi, melainkan hanya perlu berwudhu dan mencuci kemaluan saja.

Aisyah ra mengatakan: “Wadi itu keluar setelah proses kencing selesai. Untuk itu hendaklah seorang muslim (Muslimah) mencuci kemaluannya (setelah keluarnya wadi) dan berwudhu serta tidak diharuskan mandi.” (HR. Ibnu Mundzir)

Berbeda dengan madzi dan wadi, jika seseorang mengeluarkan mani, hukumnya adalah wajib mandi, sesuai dengan hadits berikut ini. Dari Ibnu Abbas ra, ia berkata:

Tentang mani, wadi, dan madzi. Adapun mengenai mani, maka diwajibkan mandi karenanya. Sedangkan mengenai madzi dan wadi, maka cukup dengan membersihkannya secara sempurna.” (HR. Al-Atsram dan Baihaqi)

SEKSUALITAS merupakan suatu sunatullah dalam kehidupan manusia—begitu juga dalam Islam. Sebagai seorang Muslim, kita tentu harus mengetahui juga batasan dan pengetahuan seputar hal satu ini. Apalagi ketika sudah beranjak dewasa, akil baligh, menikah dan punya anak.

Satu hal yang pasti selalu mengiringi masalah seksualitas adalah perihal air mani dan air madzi. Apa yang membedakannya? Dan bagaimana Islam menyoroti hal ini?

Mengetahui hal ini adalah hal yang sangat penting, khususnya perbedaan antara mani dan madzi, karena masih banyak di kalangan kaum Muslimin yang belum bisa membedakan antara keduanya. Yang karena ketidaktahuan mereka akan perbedaannya menyebabkan mereka ditimpa oleh fitnah was-was dan dipermainkan oleh setan. Sehingga tidaklah ada cairan yang keluar dari kemaluannya (kecuali kencing dan wadi) yang membuatnya ragu-ragu kecuali dia langsung mandi, padahal boleh jadi dia hanyalah madzi dan bukan mani.

Sudah dimaklumi bahwa yang menyebabkan mandi hanyalah mani, sementara madzi cukup dicuci lalu berwudhu dan tidak perlu mandi untuk menghilangkan hadatsnya.

Karenanya berikut definisi dari keempat cairan yang keluar dari kemaluan kita, yang dari definisi tersebut bisa dipetik sisi perbedaan:

1. Kencing: Masyhur sehingga tidak perlu dijelaskan, dan dia najis berdasarkan Al-Qur`an, Sunnah, dan ijma’.

2. Wadi: Cairan tebal berwarna putih yang keluar setelah kencing atau setelah melakukan pekerjaan yang melelahkan, misalnya berolahraga berat. Wadi adalah najis berdasarkan kesepakatan para ulama sehingga dia wajib untuk dicuci. Dia juga merupakan pembatal wudhu sebagaimana kencing dan madzi.

3. Madzi: Cairan tipis dan lengket, yang keluar ketika munculnya syahwat, baik ketika bermesraan dengan wanita, saat pendahuluan sebelum jima’, atau melihat dan mengkhayal sesuatu yang mengarah kepada jima’. Keluarnya tidak terpancar dan tubuh tidak menjadi lelah setelah mengeluarkannya. Terkadang keluarnya tidak terasa. Dia juga najis berdasarkan kesepakatan para ulama berdasarkan hadits Ali yang akan datang dimana beliau memerintahkan untuk mencucinya.

4. Mani: Cairan tebal yang baunya seperti adonan tepung (asam), keluar dengan terpancar sehingga terasa keluarnya, keluar ketika jima’ atau ihtilam (mimpi jima’) atau onani—wal ‘iyadzu billah—dan tubuh akan terasa lelah setelah mengeluarkannya.

Berhubung kencing dan wadi sudah jelas kapan waktu keluarnya sehingga mudah dikenali, maka berikut kesimpulan perbedaan antara mani dan madzi:

a. Madzi adalah najis berdasarkan ijma’, sementara mani adalah suci menurut pendapat yang paling kuat.

b. Madzi adalah hadats ashghar yang cukup dihilangkan dengan wudhu, sementara mani adalah hadats akbar yang hanya bisa dihilangkan dengan mandi junub.

c. Cairan madzi lebih tipis dibandingkan mani.

d. Mani berbau, sementara madzi tidak (yakni baunya normal).

e. Mani keluarnya terpancar, berbeda halnya dengan madzi. Allah Ta’ala berfirman tentang manusia, “Dia diciptakan dari air yang terpancar.” (QS. Ath-Thariq: 6)

f. Mani terasa keluarnya, sementara keluarnya madzi kadang terasa dan kadang tidak terasa.

g. Waktu keluar antara keduanyapun berbeda sebagaimana di atas.

h. Tubuh akan melemah atau lelah setelah keluarnya mani, dan tidak demikian jika yang keluar adalah madzi.

Karenanya jika seseorang bangun di pagi hari dalam keadaan mendapatkan ada cairan di celananya, maka hendaknya dia perhatikan ciri-ciri cairan tersebut, berdasarkan keterangan di atas. Jika itu air mani, maka diharuskan mandi, tapi jika hanya madzi maka hendaknya dia cukup mencuci kemaluannya dan berwudhu. Berdasarkan hadits Ali -radhiallahu anhu- bahwa Nabi -alaihishshalatu wassalam- bersabda tentang orang yang mengeluarkan madzi: “Cucilah kemaluanmu dan berwudhulah kamu,” (HR. Al-Bukhari no. 269 dan Muslim no. 303).

Anas bin Malik -radhiallahu anhu- berkata: “Bahwa Ummu Sulaim pernah bercerita bahwa dia bertanya kepada Nabi Shallallahu’alaihiwasallam tentang wanita yang bermimpi (bersenggama) sebagaimana yang terjadi pada seorang lelaki. Maka Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam bersabda, “Apabila perempuan tersebut bermimpi keluar mani, maka dia wajib mandi.” Ummu Sulaim berkata, “Maka aku menjadi malu karenanya”. Ummu Sulaim kembali bertanya, “Apakah keluarnya mani memungkinkan pada perempuan?” Nabi Shallallahu’alaihiwasallam bersabda, “Ya (wanita juga keluar mani, kalau dia tidak keluar) maka dari mana terjadi kemiripan (anak dengan ibunya)? Ketahuilah bahwa mani lelaki itu kental dan berwarna putih, sedangkan mani perempuan itu encer dan berwarna kuning. Manapun mani dari salah seorang mereka yang lebih mendominasi atau menang, niscaya kemiripan terjadi karenanya,” (HR. Muslim no. 469).

Imam An-Nawawi berkata dalam Syarh Muslim (3/222), “Hadits ini merupakan kaidah yang sangat agung dalam menjelaskan bentuk dan sifat mani, dan apa yang tersebut di sini itulah sifatnya di dalam keadaan biasa dan normal. Para ulama menyatakan: Dalam keadaan sehat, mani lelaki itu berwarna putih pekat dan memancar sedikit demi sedikit di saat keluar. Biasa keluar bila dikuasai dengan syahwat dan sangat nikmat saat keluarnya. Setelah keluar dia akan merasakan lemas dan akan mencium bau seperti bau mayang kurma, yaitu seperti bau adunan tepung.

Warna mani bisa berubah disebabkan beberapa hal di antaranya: Sedang sakit, maninya akan berubah cair dan kuning, atau kantung testis melemah sehingga mani keluar tanpa dipacu oleh syahwat, atau karena terlalu sering bersenggama sehingga warna mani berubah merah seperti air perahan daging dan kadangkala yang keluar adalah darah.”]

Tambahan:

1. Mandi junub hanya diwajibkan saat ihtilam (mimpi jima’) ketika ada cairan yang keluar. Adapun jika dia mimpi tapi tidak ada cairan yang keluar maka dia tidak wajib mandi. Berdasarkan hadits Abu Said Al-Khudri secara marfu’: “Sesungguhnya air itu hanya ada dari air,” (HR. Muslim no. 343). Maksudnya: Air (untuk mandi) itu hanya diwajibkan ketika keluarnya air (mani).

2. Mayoritas ulama mempersyaratkan wajibnya mandi dengan adanya syahwat ketika keluarnya mani, dalam keadaan terjaga. Artinya jika mani keluar tanpa disertai dengan syahwat—misalnya karena sakit atau cuaca yang terlampau dingin atau yang semacamnya—maka mayoritas ulama tidak mewajibkan mandi junub darinya. Berbeda halnya dengan Imam Asy-Syafi’i dan Ibnu Hazm yang keduanya mewajibkan mandi junub secara mutlak bagi yang keluar mani, baik disertai syahwat maupun tidak. Wallahu a’lam. []