Beberapa Potensi dan Peluang Bisnis pertanian Lahan kering di NTT

Hingga saat ini sebagian besar masyarakat NTT masih menggantungkan hidupnya pada tanaman lahan kering seperti padi ladang dan jagung. Padahal terdapat sangat banyak potensi untuk mengembangkan komoditas pertanian lahan kering lain di daerah ini.

Pada tahun 2014 silam, sebagian petani lahan kering yang bermukim di wilayah perbatasan antara Indonesia dan Timor Leste resah karena sekitar 1.474,63 ha lahan yang telah ditanami jagung dan padi gagal panen. Seandainya, masyarakat dapat melakukan difersivikasi penggunaan lahan kering, gagal panen jagung tidak akan membuat mereka resah apalagi mengalami krisis pangan.

Belakangan ini ubi kayu, kedelai, kacang tanah dan buah-buahan seperti buah naga dan semangka juga dapat menjadi pilihan komoditas pertanian lahan kering seperti di Sumba. Tidak sedikit petani yang sukses dalam mengembangkan pertanian lahan kering di Indonesia, termasuk di Sumba. Para petani yang berani bercocok tanam di lahan kering bahkan dapat tetap melakukan beragam inovasi, termasuk mempraktikkan pertanian organik.

Yayasan BaKTI (Bursa Pengetahuan Kawasan Timur Indonesia) Makassar sebagai lembaga yang berfokus pada pertukaran pengetahuan adalah salah satu penerima hibah Proyek Pengetahuan Hijau MCA-Indonesia. Proyek Pengetahuan Hijau MCA-Indonesia ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas sumber daya lokal, provinsi dan nasional guna mendorong strategi pembangunan rendah karbon Indonesia sesuai dengan konteks Proyek Kemakmuran Hijau.

Dalam Proyek Pengetahuan Hijau, BaKTI berperan sebagai pengelola pengetahuan  dari kegiatan-kegiatan Proyek Pengetahuan Hijau dan penerima hibah Proyek Kemakmuran Hijau dengan wilayah kerja 4 provinsi : Sulawesi Barat, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur dan Jambi. Proses pengumpulan, dokumentasi, dan penyebaran pengetahuan hijau yang dilakukan BaKTI akan melibatkan penerima beragam hibah Proyek Kemakmuran Hijau, jejaringnya yang luas, media dan acara yang dapat menjangkau banyak pemangku kepentingan dan penerima manfaat dengan cara agar informasi mudah diadopsi di tingkat nasional dan lokal.

Terkait peran sebagai pengelola pengetahuan dalam proyek ini, BaKTI memfasilitasi Diskusi Praktik Cerdas Hijau sebagai media untuk curah ide dan praktik cerdas serta tular pengalaman dalam menerapkan upaya-upaya pelestarian daerah pesisir dengan mengangkat topik Potensi dan Tantangan Pertanian Organik Lahan Kering di Sumba.Kegiatan Diskusi Praktik Cerdas Hijau tentang Potensid an Tantangan Pertanian Organik Lahan Kering di Sumba, diadakan di Tambolaka pada 7 Desember 2015. Acara ini adalah bagian dari kerjasama Kegiatan Pengetahuan Hijau, bagian dari Proyek Kemakmuran Hijau MCA-Indonesia 

Diskusi Praktik Cerdas Hijau dibuka oleh Asisten 2 Bidang Perekonomian dan Pembangunan Kabupaten Sumba Barat Daya, Bapak Marthinus Bulu, dan menghadirkan narasumber Bapak Rahmat Adinata. Beliau adalah seorang praktisi pertanian organik lahan kering yang aktif membina petani dan kelompok ibu-ibu untuk bercocok tanam sayuran dan tanaman komoditas lahan kering lainnya di Sumba.

Beberapa Potensi dan Peluang Bisnis pertanian Lahan kering di NTT

Acara ini dihadiri oleh tak kurang dari 30 orang yang adalah perwakilan dari Dinas Pertanian, Badan Lingkungan Hidup Daerah, BAPPEDA, LSM dan Komunitas yang bergerak dalam bidan pertanian dan lingkungan dalam lingkup Kabupaten Sumba Barat Daya dan Kabupaten Sumba Tengah.

Dalam presentasinya, Pak Rachmat memaparkan mengenai potensi, tantangan dan solusi pertanian organik lahan kering di Sumba berdasarkan pengalamannya di lapangan.  Sumba tidak hanya memiliki banyak potensi sumber daya alam seperti sungai, danau, mata air, energi angin dan energi matahari. Namun juga potensi lain seperti areal lahan yang belum terkontaminasi bahan kimia, material untuk pengembangan organik tersedia di alam seperti kotoran ternak dan daun-daun, serta sumberdaya manusia petani yang mau bekerja keras.

Semua potensi ini belum dapat dikelola dengan baik karena beberapa tantangan/kendala yang dihadapi:

  • perubahan iklim yang cukup ekstrim
  • petani belum mengenal sistem sotasi tanaman dan budidaya holtikulturan secara baik dan benar
  • petani belum mengenal pertanian konservatif,
  • banyak bahan yang tersedia di alam belum dimanfaatkan secara maksimal.
  • Petani belum paham cara membedakan bibit lokal dan hibrida.

Pak Rachmat yang sudah berkecimpung dengan pertanian lahan kering di Sumba sejak tahun 2012 kemudian memberikan beberapa solusi antara lain: petani di Sumba perlu belajar untuk beradaptasi dengan iklim melalui sekolah lapang iklim, petani perlu dikenalkan dengan pola rotasi/pergiliran tanaman dan praktek pola pertanian konservasi.  Yang terpenting juga adalah petani perlu pendampingan langsung secara intens dan bimbingan cara-cara penyimpanan bibit sebagai lumbung benih.

Dalam sesi diskusi, Pak Muhtar dari Blue Carbon Consosrtium memberikan masukan perlu memberikan 'pencerahan' kepada masyarakat agar tidak membakar lahan untuk menanam dan petani perlu menggunakan pestisida organik yang aman bagi tanah.

Di kalangan petani sendiri, menurut Pater MIke dari Yayasan Donders, sebuah yayasan dampingan petani di Sumba Bara Daya, mereka telah menerapkan pertanian konservasi, contohnya di daerah Kodi Utara, konservasi lahan dilakukan dengan cara menutup lahan dengan mulsa dari batang padi dan jagung, sehingga rumput penganggu bisa mati dan air bisa tertahan untuk tanaman.  Kegiatan diskusi kali ini, lanjut beliau, menjadi ruang konsolidasi ide antar pihak untuk memenuhi kebutuhan petani sehingga model kolaborasi dan integrasi para pihak perlu diperhatikan dan lebih baik.

Diakhir sesi diskusi, moderator merangkum poin-poin dalam diskusi, antara lain bahwa sudah berjalan sebuah upaya yang dikerjakan multistakeholder untuk mengelola tanah Sumba berbasis energi baru terbarukan.  Perlu  penajaman program oleh Pemerintah sehingga anggaran dapat terserap dengan baik dan tepat sasaran. Bibit lokal perlu dilestarikan dan budaya sangat penting terhadap sistem pengelolaan lahan di Sumba.

Feedback

KBRN, Kupang : Pertanian lahan kering merupakan salah satu sektor potensial di Provinsi Nusa Tenggara Timur yang terus didorong oleh Gubernur NTT dan Menteri Pertanian R.I, untuk dikembangkan menjadi suportit perekonomian dan ketahanan pangan bagi masyarakat.

Salah seorang peniliti pertanian di Balai Penilitian Teknologi Pertanian Provinsi Nusa Tenggara Timur, Evert Hosang kepada RRI di Kupang mengemukakan bahwa, kehadiran Menteri Pertanian Republik Indonesia Syahrul Yasin Limpo ditengah pendemi covid-19 di Desa Manusak, Kecamatan Kupang Timur, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) pada, Jumat (29/05/2020) merupakan sebuah dorongan kepada para Petani di NTT bahwa, pertanian adalah salah sektor yang harus terus bergerak, untuk menyediakan pangan kepada masyarakat.

“Menteri pertanian dan Bapak Gubernur NTT berpikir bahwa, pertanian adalah salah satu sektor yang harus tetap bergerak, karena masyarakat membutuhkan makanan. Sehingga diputuskan bahwa, pertanian harus terus maju, bergerak, dan bergeliat, dan harus berproduksi untuk menyediakan pangan bagi masyarakat,” tutur Evert Hosang di Area Lahan Kering Desa Manusak, Kecamatan Kupang Timur, Kabupaten Kupang, Jumat (29/05/2020).

Menurut Evert Hosang, pertanian lahan kering adalah pertanian yang paling dominan untuk dikembangkan di Provinsi NTT.

Walaupun demikian menurut Evert Hosang, kendala terbesar yang dihadapi saat ini adalah, Wilayah NTT memiliki banyak lahan-lahan kering yang keras, berbatu, dan sulit diolah, sehingga membutuhkan peralatan-peralatan yang memadai seperti excavator, traktor, dan peralatan pertanian modern.

“Dengan komunikasih yang intens antara Bapak Gubernur dengan Menteri Pertanian telah dipersiapkan dapat bantuan alat-alat berat dari Kementerian Pertanian, termasuk juga peralatan untuk pompa air. Jadi penyediaan air juga penting untuk pertanian. Karena itu Pa Menteri datang, selain untuk memberikan peralatan, juga berpikir membantu Gubernur NTT untuk memajukan pertanian. Sehingga kebutuhan pangan termasuk pakan ternak akan disiapkan di NTT,” ungkap Peneliti Pertanian BPTP NTT, Evert Hosang.

Peniliti pertanian di Balai Penilitian Teknologi Pertanian Provinsi Nusa Tenggara Timur, Evert Hosang juga menilai, potensi petani di NTT sangat besar.

Akan tetapi keterbatasan sumber daya tenaga kerja dalam keluarga, dan peralatan pertanian pengelolaan lahan kering masih terbatas, serta penyediaan sumber air yang sedikit, membuat masyarakat hanya mampu mengelola lahan pertanian pada luasan lahan yang terbatas dan hanya dilakukan sekali dalam setahun.

“Kalau potensi petani punya, itu sangat besar. Cuma karena keterbatasan tiap tahun petani hanya mengelola seperempat hektar, setengah hektar. Itu karena ketidak mampuan masyarakat petani mengelolanya sendiri, tidak punya tenaga yang cukup, harus didukung dengan peralatan yang memadai, sebagaimana yang hari ini kita saksikan bahwa, Bapak Menteri Pertanian dan Bapak Gubernur NTT telah berupaya membantu para petani kita, mengelola lahan-lahan keriang, yang selama ini pengelolaannya sangat terbatas,” tutur Peneliti Muda bidang Pertanian di NTT Evert, ketika diwawancarai rri, disela-sela kunjungan kerja dan penyerahan bantuan dari Menteri Pertanian RI di Desa Manusak.

Sebagaimana disaksikan RRI Kupang di Desa Manusak, Kecamatan Kupang Timur, Kabupaten Kupang, Provinsi NTT pada Jumat 29 Mei 2020, Menteri Pertanian Republik Indonesia bersama rombongan/ menyerahkan satu unit excavator  dan 43 unit traktor roda empat kepada para petani di NTT, untuk mengelola lahan-lahan kering yang mencapai ribuan hektar.

Menteri Pertanian RI pada kesemapatan itu, sangat ibah melihat banyak lahan tidur potensial, yang hanya dikelola sekali dalam setahun ketika musim hujan.

Pihaknya berharap, bantuan alat pertanian yang ada dapat dimanfaatkan dengan baik oleh para petani di Kabupaten Kupang mengelola lahan-lahan kering. (AT)