Bangsa Indonesia lahir dan bangkit melalui sejarah perjuangan bangsa yang pernah dijajah oleh

Pada zaman dahulu, para pahlawan bersama rakyat telah berjuang luar biasa untuk mendapatkan yang namanya kemerdekaan. Di balik pengorbanan harta dan nyawa yang dilakukan, ternyata mereka tak hanya melawan satu atau dua negara saja.

Tercacat dalam sejarah bahwa Indonesia pernah di jajah oleh 6 negara. Inilah 6 negara yang berhasil masuk Nusantara dan melakukan penjajahan.

wikipedia.org

Portugis merupakan negara pertama yang menjajah Indonesia. Dengan salah satu tokoh pentingnya yakni, Alfonso de Albuquerque, Portugis berhasil mengenalkan Nusantara ke dunai Eropa. Awal mula kedatangan Portugis adalah ke daerah Maluku, yang dilatarbelakangi pencarian rempah-rempah.

Kedatangannya pun di sambut hangat oleh Raja dan rakyat Maluku pada saat itu, hingga pada akhirnya Portugis melanggar aturan yang disepakati dengan menerapkan praktik monopoli tidak sehat.

Pada akhirnya, penjajahan yang dilakukan oleh Portugis meluas ke berbagai penjuru Nusantara, salah satunya Pulau Jawa. Ketika tahun 1602, datang pasukan Belanda dan mengalahkan pasukan Portugis hingga pada akhirnya kolonialisasi yang dilakukan Portugis tersebut berakhir.

thereaderwiki.com

Pada saat itu, negara-negara bagian Eropa merupakan negara yang aktif melakukan pelayaran ke Asia Tenggara. Salah satunya adalah Spanyol. Impian mereka mendapatkan negara penghasil rempah-rempah tercapai setelah berhasil memasuki wilayah Nusantara.

Portugis yang pada saat itu masih menjajah Indonesia, menganggap bahwa Spanyol melanggar hak monopoli Portugis, meskipun pada dasarnya mereka berada dalam cakupan wilayah perdagangan yang berbeda. Portugis memutuskan bekerja sama dengan kerajaan Ternate sedangkan Spanyol dengan kerajaan Tidore. Namun tetap saja antara kedua negara tersebut terjadi persaingan dagang yang berkepanjangan.

Pada akhirnya tahun 1529, konflik berkepanjangan tersebut menghasilkan perjanjian bahwa Spanyol harus meninggalkan Maluku dan melakukan perdagangan di Filipina, sedangkan Portugis tetap melakukan perdagangan di Maluku.

Baca Juga: 5 Fakta Pendidikan Indonesia Saat di Bawah Penjajahan Kolonial Belanda

dictio.id

Di antara semua negara yang menjajah Indonesia, negara Belanda lah yang menjajah paling lama yakni mencapai 346 tahun. Dalam kurun waktu yang selama itu, Belanda berhasil menguasai wilayah Indonesia mencakup pulau Jawa, Sumatera, Sulawesi dan Papua.

Tak jauh berbeda dengan negara lainnya, tujuan Belanda pun untuk berdagang dan mencari rempah-rempah. Atas kekalahan Portugis tahun 1602, Belanda memulai kolonialisasinya dengan mendirikan kongsi dagang di Batavia yang diberi nama VOC (Verenigde Oostindische Compagnie). Namun pada 31 Desember 1799, VOC pun dibubarkan oleh pemerintah Belanda dengan berbagai alasan.

Berakhirnya VOC, keadaan masyarakat Indonesia bukan membaik. Nusantara yang pada saat itu diberi nama Hindia Belanda diserahkan kepemimpinannya kepada Kerajaan Belanda dan mereka membentuk sistem tanam paksa (cultuur stelsel). 

Mei 1940 awal terjadinya Perang Dunia ll, Belanda mengalami kekalahan karena negaranya dikuasai oleh Nazi, Jerman. Dan pada Maret 1942 Belanda pun kalah di Nusantara oleh Jepang, ini menandakan penjajahan Belanda berakhir dan berlanjut di tangan Jepang.

dictio.id

Di masa-masa krisis VOC, Belanda terkalahkan oleh Prancis dan wilayah kolonialisasinya jatuh ke tangan Prancis. Pada tahun 1808, Raja Louis Napoleon selaku Raja Prancis, mengirimkan Marsekal Willem Daendels ke Batavia (Jakarta) dan dijadikan Gubernur Jenderal di Indonesia.

Di bawah kepemimpinan Daendels, Prancis berhasil mengibarkan benderanya di atas perahu dagang VOC dan hal ini menandakan Prancis memulai penjajahannya di Nusantara. Pemerintahan Daendels yang kejam dan diktator membuatnya mendapat berbagai kecaman, hingga pada akhirnya ia digantikan oleh Jan Willem Janssens.

Namun pada 18 September 1811, Janssens menyatakan kekalahannya atas Inggris dan menandatangani perjanjian bahwa seluruh Pulau Jawa dikuasai dan diserahkan pada Inggris.

indonesia-investments.com

Kalahnya Prancis di tangan Janssens menjadi awal bagi Inggris menguasai wilayah Pulau Jawa. Di bawah kepemimpinan Stamford Raffles, Indonesia mengalami banyak perubahan diantaranya menghapus monopoli dan perbudakan serta membagi pulau Jawa menjadi 16 Keresidenan. 

Namun akibat konflik yang terjadi di Eropa antara Belanda dan Inggris, memengaruhi pula pemerintahan Pulau Jawa yang saat itu berada di tangan Inggris. Dari konflik ini, terbentuklah perjanjian bahwa Belanda secara resmi kembali menjajah dan menguasai seluruh wilayah Nusantara.

berdikarionline.com

Di awal kedatangannya 8 Maret 1942, Jepang bersikap baik dan berencana membantu memerdekakan Indonesia. Namun lama kelamaan, mereka menunjukan sikap diktator dan kejam hingga membentuk sistem kerja paksa yang disebut Romusha.

Tak hanya itu, Jepang pun membuat organisasi kemiliteran, yang tak lain tujuan awalnya adalah untuk melawan pasukan Amerika Serikat dan sekutunya karena Jepang terlibat dalam Perang Dunia ll.

Namun pada akhirnya Jepang pun mengalami kekalahan karena negaranya di jatuhi bom atom oleh Amerika Serikat di kota Hiroshima dan Nagasaki. Setelah kejadian tersebut, Jepang di ambang kekalahan dan akhirnya ia menempati janjinya membantu memerdekakan Indonesia.

Pada tanggal 15 Agustus 1945 Jepang pun menyatakan menyerah dan ini menandakan berakhirnya penjajahan yang dilakukan oleh Jepang.

Nah, itulah 6 negara yang pernah menjajah negara tercinta kita, Indonesia. Tujuan mereka yang hampir sama, yakni menguasai kekayaan alam Indonesia, sepatutnya kita yang diberi amanah menjadi rakyat Indonesia sendiri, harus bisa menjaga dan melestarikannya.

Baca Juga: 8 Negara yang Pindah Ibu Kota dengan Sukses!

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Sejak abad ke-16, bangsa Eropa banyak yang datang dan singgah di nusantara. Pada awalnya, kedatangan bangsa asing tersebut hanya untuk berdagang rempah-rempah, tetapi lambat laun bangsa asing semakin serakah. Mereka menerapkan kolonialisme dan imperialisme untuk mendapatkan kekayaan alam di nusantara.

Kolonialisme berasal dari kata koloni (bahasa latin), “colonia” yang artinya tanah jajahan. Tujuan politik kolonial yaitu menguras sumber-sumber kekayaan daerah koloni untuk kepentingan industri negara-negara kolonial. Sedangkan imperialisme berasal dari kata “imperator” yang artinya memerintah. Dalam perkembangannya, imperialisme memiliki arti suatu sistem penjajahan langsung suatu negara terhadap negara lain. Antara kolonialisme dan imperialisme sulit dipisahkan. Keduanya saling terkait satu sama lain. Bagi negara koloni khususnya Indonesia, tindakan kolonialisasi dan imperialisasi memberikan dampak negatif yang besar dalam berbagai bidang baik politik, ekonomi, ataupun sosial, sehingga memunculkan perlawanan kepada negara kolonial di berbagai daerah.

Sebelum abad ke-20, perlawanan bangsa Indonesia memiliki ciri antara lain perjuangan bersifat lokal atau kedaerahan, secara fisik dengan menggunakan senjata tradisional, dipimpin oleh tokoh-tokoh karismatik seperti bangsawan atau tokoh agama, bersifat sporadis atau musiman. Namun, perlawanan semacam ini selalu gagal dan dapat diberantas oleh penjajah. Namun, setelah abad ke-20 yang dikenal sebagai masa pergerakan nasional, bangsa Indonesia memperjuangkan kemerdekaan dengan menggunakan organisasi yang bersifat modern, lebih terarah atau terorganisasi, bersifat nasional, dan dipelopori oleh kaum terpelajar.

Oleh karena itu, pergerakan nasional dapat didefinisikan sebagai gerakan perjuangan untuk mencapai kemerdekaan Indonesia dengan menggunakan organisasi yang teratur dan bergerak di bidang sosial, politik, budaya, serta pendidikan dengan nusantara sebagai jangkauan wilayah aksinya.

Masa pergerakan nasional di Indonesia ditandai dengan berdirinya organisasi-organisasi pergerakan. Masa pergerakan nasional dibagi dalam tiga tahap sebagai berikut:

  1. Masa pembentukan (1908-1920), berdiri organisasi seperti Budi Utomo, Sarekat Islam, Indische Partij. Organisasi Budi Utomo yang lahir pada tanggal 20 Mei 1908 menjadi tonggak permulaan pergerakan nasional di Indonesia.
  2. Masa radikal atau non kooperasi (1920-1930), berdiri organisasi Partai Komunis Indonesia (PKI), Perhimpunan Indonesia (PI), dan Partai Nasional Indonesia (PNI).
  3. Masa moderat atau kooperasi (1930-1942), pada masa ini berdiri organisasi seperti Parindra, Partindo, dan GAPI, serta organisasi keagamaan, organisasi pemuda, dan organisasi perempuan.

Pada zaman pergerakan nasional, banyak paham-paham baru bermunculan seperti nasionalisme yang mendorong lahirnya organisasi modern. Nasionalisme merupakan suatu sikap politik dan sosial dari kelompok-kelompok suatu bangsa yang mempunyai kesamaan kebudayaan, bahasa, serta kesamaan cita-cita dan tujuan sehingga memunculkan rasa cinta tanah air dan bangsa. Nasionalisme berkaitan erat dengan patriotisme. Patriotisme merupakan suatu paham untuk rela berkorban demi kecintaannya terhadap bangsa dan negara.

Lahirnya nasionalisme di Indonesia didukung oleh dua faktor, yaitu faktor dari dalam dan faktor dari luar. Faktor internal yang menyebabkan lahir dan berkembangnya nasionalisme Indonesia adalah sebagai berikut:

  1. Adanya penjajahan yang mengakibatkan penderitaan rakyat.
  2. Adanya kenangan akan kejayaan masa lalu seperti keajaan Sriwijaya dan Majapahit.
  3. Munculnya kaum intelektual yang menjadi pemimpin pergerakan nasional.
  4. Adanya diskriminasi rasial.

Sedangkan faktor eksternal yang menyebabkan lahir dan berkembangnya nasionalisme Indonesia adalah sebagai berikut:

  1. Kemenangan Jepang atas Rusia pada tahun 1905 yang menyadarkan dan membangkitkan bangsa-bangsa Asia untuk melawan bangsa barat.
  2. Munculnya paham-paham baru di Eropa dan Amerika yang masuk ke Indonesia seperti liberalisme, demokrasi, nasionalisme, dan sosialisme.
  3. Kebangkitan nasional di Asia dan Afrika, contohnya All Indian National Congress 1885 dan Gandhisme di India, serta adanya Gerakan Turki Muda di Turki.

Memperjuangkan kemerdekaan bukanlah suatu hal yang mudah, dibutuhkan keberanian yang besar dan kegigihan yang tinggi untuk dapat melakukannya. Para pejuang kemerdekaan rela mengorbankan nyawanya bagi kemerdekaan bangsa Indonesia. Berbicara tentang perjuangan pahlawan, tidak lepas dari zaman pergerakan nasional dimana pada masa itu rakyat Indonesia mulai mengenal semangat nasionalisme.

Terbatasnya lembaga pendidikan tinggi di Hindia Belanda pada awal abad ke-20 mengakibatkan kaum terpelajar berdatangan ke Belanda untuk melanjutkan pendidikannya. Pada saat yang bersamaan, paham-paham baru bermunculan di Eropa karena adanya Perang Dunia I. Hal ini membuat para pelajar Indonesia diperkenalkan pada suatu paham mengenai kesetaraan, nasionalisme, dan demokrasi yang menyadarkan mereka bahwa negara terjajah dan harus berjuang merebut kemerdekaannya.

Hal lain yang mengakibatkan pelajar Hindia Belanda datang ke Belanda adalah dibukanya terusan Suez pada tahun 1869 memudahkan akses dari Asia ke Eropa dan sebaliknya. Waktu tempuh antara Hindia Belanda dengan Belanda pun menjadi lebih singkat. Hal ini sangat berdampak pada peningkatan orang Indonesia di Belanda. Kaum Bumiputera yang haus akan ilmu berdatangan ke negeri kicir angin ini untuk melanjutkan pendidikan.

Menghadapi situasi yang berbeda dengan tanah air menjadi pergumulan tersendiri bagi mereka yang merantau ke negeri orang. Perasaan senasib inilah yang mendorong para pelajar di Belanda mendirikan sebuah perhimpunan yang akhirnya berkembang menjadi organisasi pergerakan nasional, yaitu Perhimpunan Indonesia.

Perhimpunan Indonesia merupakan organisasi pertama yang menggunakan istilah “Indonesia”. Hal ini memperlihatkan dirinya sebagai organisasi radikal yang menuntut Indonesia untuk merdeka. Berbeda dengan organisasi pergerakan nasional lainnya, Perhimpunan Indonesia memiliki pandangan yang berbeda. Perhimpunan Indonesia memiliki pandangan yang lebih maju. Jika Budi Utomo mengutamakan kesejahteraan kaum Jawa dan Sarekat Islam mengutamakan pedagang Muslim, Perhimpunan Indonesia menyadari bahwa bangsa Indonesia adalah satu.

Kegiatan-kegiatan politik yang dilakukan Perhimpunan Indonesia sangat menarik perhatian dunia internasional. Salah satu aksi Perhimpunan Indonesia yang paling terkenal adalah manifesto politik yang dikeluarkan tahun 1925. Kegiatannya ini berdampak dahsyat bahkan hingga pemerintah Belanda merasa terancam akan keberadaan organisasi ini. Tidak ada yang menyangka sebelumnya kalau perhimpunan yang pada awalnya didirikan dengan sifat sosial ini akan berubah menjadi organisasi pergerakan nasional yang aktif memperjuangkan kemerdekaan tanah airnya di kancah internasional.

Berawal dari perasaan senasib, Sutan Kasayangan dan R. N. Noto Suroto mendirikan suatu perhimpunan pada 25 Oktober 1908. Perhimpunan ini didirikan lewat pertemuan di rumah Sutan Kasayangan di Leiden. Pada awal berdirinya, perhimpunan ini diusulkan untuk menjadi cabang dari Budi Oetomo. Namun, usul ini ditolak karena tidak semua anggotanya merupakan orang Jawa.

Pada 15 November 1908, nama perhimpunan ini disahkan menjadi Indische Vereneeging. Tujuan utama didirikannya Indische Vereneeging diatur oleh pasal 2 Anggaran Dasar yang berbunyi “Tujuan perhimpunan adalah memajukan kepentingan bersama orang Hindian di Negeri Belanda dan menjaga hubungan dengan Hindia Timur Belanda.” Untuk mendukung terlaksananya tujuan, dikeluarkan pasal 3 yang yang mengatur cara perhimpunan mencapai tujuannya, yaitu dengan memajukan pergaulan antara orang Hindia di Nederland dan dengan mendorong orang Hindia untuk datang belajar di Nederland.

Pada Oktober 1911, Noto Suroto diangkat menjadi ketua. Noto merupakan seorang pelajar Indonesia yang sedang menempuh pendidikan di Belanda. Noto adalah seorang penyair yang aktif menulis dalam bahasa Belanda. Kemampuan bahasa Belanda yang dimiliki Noto sangat hebat bagaikan orang Belanda asli. Noto juga aktif memberikan ceramah-ceramah yang membangun.

Kedatangan Douwes Dekker, Cipto Mangunkusumo, dan Suwardi Suryaningrat yang sedang menjalankan hukuman buangan pada Oktober 1913 juga berdampak pada perubahan organisasi ini. Konfrontasi yang sering terjadi antara tiga serangkai dan Noto Soeroto pada waktu itu semakin menyadarkan anggota Indische Vereneeging akan pentingnya memperjuangkan kemerdekaan bangsa.

Berkaitan dengan ulang tahun Indische Vereneeging yang kelima, ketua perhimpunan ini menyampaikan pidatonya yang berjudul “De eendracht van Indie en Nederland” (Kesatupaduan Hindia dan Negeri Belanda). Pidatonya ini menegaskan kembali upaya yang harus dilakukan Indische Vereneeging dalam mencapai tujuan utamanya, seperti apa yang melandasi terbentuknya perhimpunan ini. Karena pidato yang disampaikannya ini, Douwes Dekker menyebutkan bahwa Noto Soeroto lebih Belanda dari orang Belanda.

Cipto Mangunkusumo juga mengambil jarak dengan Noto Soeroto. Cipto berpendapat bahwa Perhimpunan Hindia harus menjalin kontak dengan gerakan-gerakan yang berada di Hindia. Pada saat itu, Indische Vereneeging memang belum menjalin kontak dengan gerakan-gerakan lainnya di Hindia selain Budi Oetomo. Sejak saat inilah, Perhimpunan Hindia baru mulai menjalin kontak dengan Sarekat Islam.

Konfrontasi seringkali memiliki makna yang negatif, tetapi tidak untuk konfrontasi antara Indische Vereneeging dengan tiga serangkai. Konfrontasi ini justru berdampak positif untuk perkembangan Indische Vereneeging. Konfrontasi ini membawa Indische Vereneeging menjadi organisasi yang sadar akan keperluan Indonesia untuk merdeka. Konfrontasi ini terjadi karena adanya perbedaan pikiran antara Noto dan tiga serangkai, tetapi akhrinya pikiran tentang emansipasi dan nasionalisme ini dapat merubah Indische Vereneeging.

Noto Soeroto kembali terpilih menjadi ketua untuk kedua kalinya pada Desember 1913. Dalam kesempatan ini, Noto menyampaikan agar Indische Vereneeging tidak hanya menjadi  perkumpulan bersenang-senang ataupun sekedar ikatan para pelajar di Belanda, tetapi  juga ikatan para pembela tanah air Hindia di masa depan. Noto merumuskan kembali tugas Perhimpunan Hindia, yaitu menempuh studi dengan intensif dan ikut memberi perhatian kepada masalah-masalah kemasyarakatan tanpa melibatkan diri dalam politik praktis.

Jabatan Noto sebagai ketua berakhir pada 1914 dan digantikan oleh Gerungan S.S.J. Ratulangie. Ketua Indische Vereneeging yang baru ini membawa perhimpunan tersebut ke arah yang lebih radikal. Ucapan-ucapan yang dikeluarkan saat menjabat sebagai ketua sangat radikal. Sesudah jabatannya selesai pun, ia masih menunjukkan sikap radikal. Ia banyak menulis artikel tentang tanah kelahirannya, Minahasa. Kegiatan-kegiatannya usai menjabat sebagai ketua berfokus pada menyadarkan orang Hindia akan pentingnya persatuan.

Kondisi politik barat dalam Perang Dunia I juga berpengaruh pada tumbuhnya rasa nasionalisme di kalangan pelajar Indonesia. Menempuh pendidikan di negeri penjajah, para pelajar Indonesia diperkenalkan pada paham-paham baru. Hal ini semakin menyadarkan pelajar Indonesia yang tergabung dalam Indische Vereneeging bahwa Indonesia dijajah oleh Belanda dan harus berjuang sendiri untuk mendapatkan kemerdekaannya. Seruan Presiden Amerika Serikat Woodrow Wilson pada awal tahun 1918 tentang hak untuk menentukan nasib sendiri juga membuat keinginan pelajar Indonesia ini semakin kuat.

Berkembangnya paham-paham baru seperti marxisme, leninisme, dan sosialisme di Eropa pada awal tahun 1920 juga mempengaruhi perubahan dalam diri Indische Vereneeging. Aliran pemikiran ini mempengaruhi sejumlah anggota seperti Mohammad Hatta, Gatot Mangkupraja, dan Subardjo.

Pada tahun 1922, Indische Vereneeging secara resmi berubah nama menjadi Indoneische Vereneeging. Perubahan nama kembali terjadi pada tahun 1925 menjadi Perhimpunan Indonesia. Penggunaan istilah “Indonesia” menunjukan sifat radikal yang menuntut Indonesia merdeka. Bukan hanya nama organisasi, perubahan nama juga terjadi pada majalah terbitan Perhimpunan Indonesia yang semula bernama Hindia Putra menjadi Indonesia Merdeka dengan semboyannya “Indonesia merdeka, sekarang!”. Melalui perubahan nama ini, sikap radikal dalam diri Perhimpunan Indonesia semakin terlihat. Sifat organisasi ini mengalami perubahan drastis dari organisasi sosial menjadi organisasi politik. Organisasi ini mengambil keputusan untuk memegang prinsip non-kooperasi.

Perhimpunan Indonesia merupakan organisasi pertama yang bergerak secara internasional dan menarik perhatian bangsa-bangsa lain dalam menuntut kemerdekaan Indonesia. Pada tahun 1923, Perhimpunan Indonesia mengeluarkan Deklarasi Perhimpunan Indonesia yang dimuat dalam majalah Hindia Putra. Pada Deklarasi ini digunakan kata “Bangsa Indonesia” yang menunjukkan cita-cita Perhimpunan Indonesia akan sebuah negara baru yang merdeka. Setelah itu, deklarasi ini berkembang menjadi manifesto politik Perhimpunan Indonesia pada tahun 1925 karena Perhimpuan Indonesia meyakini hanya kemerdekaan yang dapat mengembalikan harga diri bangsa Indonesia. Isi dari manifesto politik itu adalah sebagai berikut:

  1. Hanya satu kesatuan Indonesia yang mengesampingkan perbedaan-perbedaan sempit dapat menghancurkan kekuasaan  Tujuan bersama untuk membentuk Indonesia merdeka menuntut pembinaan rasa kebangsaan yang didasarkan kepada suatu aksi massa yang sadar dan percaya diri.
  2. Syarat mutlak untuk tercapainya tujuan itu ialah adanya partisipasi seluruh lapisan masyarakat Indonesia dalam suatu  perjuangan yang terpadu untuk mencapai kemerdekaan.
  3. Unsur yang pokok dan dominan dalam setiap masalah politik penjajahan ialah konflik kepentingan antara penguasa dan yang dijajah. Kecenderungan pihak penguasa untuk mengaburkan atau menutupi masalah ini harus dilawan dengan mempertajam dan mempertegas adanya konflik kepentingan tersebut.
  4. Melihat adanya dislokasi dan demoralisasi sebaga akibat pengaruh pemerintahan kolonial terhadap kesehatan fisis dan  psikologis dari kehidupan orang Indonesia, diperlukan sejumlah  besar usaha untuk memulihkan kondisi rohani dan kondisi material menjadi normal kembali.

Perkembangan teknologi cetak dan jurnalisme berperan besar dalam menyebarkan manifesto politik ini. Ide-ide tentang persatuan nasionalisme yang digagas oleh Perhimpunan Indonesia ini tidak hanya beredar di Belanda, tetapi juga beredar di Hindia Belanda. Akibatnya, ide-ide ini mempengaruhi pada organisasi pergerakan nasional di tanah air. Dengan demikian para pejuang kemerdekaan di Hindia Belanda menjadi sadar bahwa mereka adalah satu bangsa walaupun berbeda suku bangsa dan agama. Kesadaran inilah yang memunculkan lahirnya Sumpah Pemuda pada tahun 1928. Oleh karena itu, manifesto politik yang dikemukakan Perhimpunan Indonesia ini sebenarnya memiliki makna lebih dahsyat dari Sumpah Pemuda karena penggagas Sumpah Pemuda mendapatkan idenya dari manifesto politik Perhimpunan Indonesia. Mereka telah membaca ide-ide Perhimpunan Indonesia tersebut yang termuat dalam majalah Indonesia Merdeka sebelum merumuskan Sumpah Pemuda.

Pada tahun 1926, Mohammad Hatta diangkat menjadi ketua Perhimpunan Indonesia. Mohammad Hatta merupakan seorang tokoh yang sudah sangat berpengalaman dalam berorganisasi baik di tanah air maupun di Belanda. Walaupun ia memegang prinsip non kooperasi dan berteman dengan golongan sosialis, ia tetap menolak usul Semaun yang menginginkan perjuangan lewat jalur kekerasan. Menurutnya, kemerdekaan dapat diraih lewat perjuangan pendidikan dan emansipasi, bukan dengan kekerasan.

Kegiatan politik Perhimpunan Indonesia lainnya adalah tuntutan kemerdekaan Indonesia secara tegas yang dinyatakan Mohammad Hatta dalam liga ke-6 Liga Demokrasi Internasional untuk perdamaian pada bulan Agustus 1926 di Paris. Kegiatan-kegiatan Perhimpunan Indonesia yang menarik perhatian internasional ini membuat pemerintah Belanda waspada dan Perhimpunan Indonesia dijadikan organisasi terlarang di Belanda. Polisi rahasia milik Belanda selalu mengawasi gerak-gerik angota Perhimpunan Indonesia.

Semenjak tahun 1920-an, pemerintah Belanda merasa terancam dan kewalahan akan aksi-aksi yang dilakukan Perhimpunan Indonesia. Pemerintah Belanda pun mengeluarkan larangan bagi pelajar Indonesia yang baru tiba di Belanda untuk bergabung ke dalam Perhimpunan Indonesia. Puncaknya, Mohammad Hatta, Nazir Datuk Pamontjak, Abdulmajid Djojodiningrat, dan Ali Sastroamidjojo ditangkap dan ditahan pada 10 Juni 1927 atas tuduhan menghasut di muka umum untuk memberontak terhadap pemerintah. Setelah melewati persidangan, mereka terbukti tidak bersalah dan dibebaskan pada 8 Maret 1928.

Pada tahun 1928, kongres Liga Socialist Internationale mengusulkan Indonesia untuk mempunyai semacam zelfbestuur (mengatur  pemerintahan sendiri di bawah pimpinan Belanda). Namun, usulan ini ditentang oleh Hatta karena menurutnya bangsa Indonesia harus menekankan prinsip self-help secara konsisten. Prinsip self-help memiliki arti bekerja dengan kekuatan sendiri dan kemampuan sendiri tanpa tergantung pada bantuan orang asing. Prinsip ini termuat dalam asas Perhimpunan Indonesia yang dikemukakan dalam Hindia Putra.

Pada tahun 1929, jabatan Hatta sebagai ketua berakhir dan digantikan oleh Abdoellah Soekoer. Pada masa ini Perhimpunan Indonesia melemah karena sebagian besar anggota Perhimpunan Indonesia pulang ke tanah air. Perguruan tinggi juga sudah mulai didirikan di Hindia Belanda sehingga gelombang mahasiswa Hindia Belanda yang datang ke Belanda menurun. Selain itu, pemerintah kolonial mengeluarkan anjuran untuk tidak mengirimkan anak-anaknya belajar ke Belanda.

Para alumni Perhimpunan Indonesia yang pulang ke tanah air umumnya bermukim di Batavia, Bandung, dan Surabaya. Di ketiga kota ini alumni-alumni Perhimpunan Indonesia melanjutkan perjuangannya. Mereka mendirikan kelompok-kelompok studi sebagai wadah bagi aksi politik menuju sebuah partai nasional. Pada awal kepulangan, mereka mendapatkan kesulitan dalam menyesuaikan diri karena cita-cita dan arah politik mereka di Belanda kurang sesuai dengan partai politik di Hindia Belanda. Namun, alumni-alumni Perhimpunan Indonesia ini dapat tetap terus berkarya, terbukti dari berdirinya Kelompok Studi Indonesia pada 11 Juli 1924 di Surabaya dan Kelompok Studi Umum pada 29 November 1925 di Bandung.

Pengaruh yang diberikan Perhimpunan Indonesia cukup besar, baik di dalam negeri maupun luar negeri. Banyak organisasi pergerakan nasional di Indonesia yang mendapatkan inspirasi dari Perhimpunan Indonesia. Contohnya, Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI), Partai Nasional Indonesia (PNI), dan Jong Indonesia (Pemuda Indonesia). Walaupun perjuangan yang dilakukan bersifat internasional, dampaknya juga dirasakan dalam lingkup nasional.

Oleh : DEVINA FEBITANIA

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA