Bagaimanakah dasar Al-Quran yang menjelaskan tentang kewajiban kerja?

Dalam Islam, etos kerja (semangat/motivasi kerja) dilandasi oleh semangat beribadah kepada Allah SWT. Jadi kerja tidak sekedar memenuhi kebutuhan duniawi melainkan juga sebagai pengabdian kepada Allah SWT. Sehingga dalam Islam, semangat kerja tidak hanya untuk meraih harta tetapi juga meraih ridha Allah SWT.

Penjelasan

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, etos adalah pandangan hidup yang khas dari suatu golongan sosial. Jadi, pengertian Etos Kerja adalah semangat kerja yg menjadi ciri khas dan keyakinan seseorang atau suatu kelompok.

Etos Kerja menurut Islam didefenisikan sebagai sikap kepribadian yang melahirkan keyakinan yang sangat mendalam bahwa bekerja itu bukan saja untuk memuliakan dirinya, menampakkan kemanusiaannya, melainkan juga sebagai suatu manifestasi dari amal saleh. Sehingga bekerja yang didasarkan pada prinsip-prinsip iman bukan saja menunjukkan fitrah seorang muslim, melainkan sekaligus meninggikan martabat dirinya sebagai hamba Allah yang didera kerinduan untuk menjadikan dirinya sebagai sosok yang dapat dipercaya, menampilkan dirinya sebagai manusia yang amanah, menunjukkan sikap pengabdian sebagaimana firman Allah,

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُون

“Dan tidak Aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”, (QS. adz-Dzaariyat : 56).

Seorang muslim yang memiliki etos kerja adalah mereka yang selalu obsesif atau ingin berbuat sesuatu yang penuh manfaat yang pekerjaan merupakan bagian amanah dari Allah. Sehingga dalam Islam, semangat kerja tidak hanya untuk meraih harta tetapi juga meraih ridha Allah SWT.

Baca Juga  Puasa dan Shalat Sunnah di Bulan Muharram

Yang membedakan semangat kerja dalam Islam adalah kaitannya dengan nilai serta cara meraih tujuannya. Bagi seorang muslim bekerja merupakan kewajiban yang hakiki dalam rangka menggapai ridha Allah SWT.

Dalam Islam, terdapat sejumlah contoh istri yang bekerja.

Republika/Musiron

Istri Bekerja, Bagaimana Hukumnya dalam Islam? Foto: Ilustrasi Wanita karier

Rep: Imas Damayanti Red: Muhammad Hafil

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Dalam Islam, derajat perempuan sangatlah tinggi. Perempuan dalam berbagai kesempatan memiliki peluang bekerja layaknya kesempatan yang dimiliki laki-laki, lantas sebenarnya bagaimanakah hukum untuk istri yang bekerja mencari nafkah?

Baca Juga

Di masa Rasulullah, terdapat contoh konkret sosok perempuan yang sukses mengembangkan karir yang diiringi dengan ketakwaan kepada Allah SWT. Sosok tersebut yakni Sayyidah Siti Khadijah, istri pertama Rasulullah SAW.

Beliau dikenal sebagai saudagar yang kaya raya, bahkan beliau mampu melakukan perniagaan dan berekspedisi hingga ke bermacam negeri. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan istri Abdullah bin Mas’ud, Rithah, datang menemui Rasulullah dan berkata: “Ya Rasulullah, saya perempuan pekerja, saya menjual hasil pekerjaan saya. Saya melakukan ini karena saya, suami saya, dan anak saya tidak memiliki harta apapun,”. Kemudian Rasulullah pun menjawab: “Kamu memperoleh pahala dari apa yang kamu nafkahkan kepada mereka,”.

Hadis ini juga cukup populer dalam literatur Islam yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi hadis, seperti Imam Ahmad, Imam Ibnu Sa’d, Imam Ibnu Hibban, dan Imam Baihaqi. Artinya, bekerja bagi perempuan dan istri diperbolehkan asalkan dilihat dari unsur kemaslahatan yang ada dan disesuaikan dengan kondisi yang terjadi.

Dalam banyak aspek, saat ini tak sedikit perempuan yang berkiprah di berbagai lini kerja. Mulai sebagai karyawan, buruh, pejabat publik, hingga publik figur. Status pekerjaan perempuan ini sama halnya dengan laki-laki dalam hal kesempatan, asalkan keduanya sama-sama berada dalam jalur kebaikan dan telah menimbang berbagai unsur hak dan kewajiban sebagaimana yang telah disepakati bersama.

Dalam buku Fatwa Imam Besar Masjid Istiqlal karya KH Ali Mustafa Yaqub, terdapat sebuah pertanyaan dari seorang tenaga kerja wanita (TKW) yang mengadu nasib ke negeri sebrang sementara sang suami berada di Tanah Air untuk menjaga anak-anak. Terkait hal ini, KH Mustafa Yaqub mengingatkan kepada para pasangan suami-istri untuk melihat kembali tanggung jawab masing-masing sebagaimana yang tertulis di buku nikah.

Menurutnya, apa-apa yang tertulis dalam buku nikah merupakan kesepakatan bersama yang di dalamnya tertera hak serta kewajiban. Kendati demikian dalam kondisi tertentu, meninggalkan keluarga dalam waktu yang lama dibolehkan asal tidak menanggalkan unsur fundamental dalam pembentukan karakter anak.

Masalah hak dan kewajiban ini salah satunya disebutkan dalam hadis riwayat At-Tirmidzi, Rasulullah bersabda: "Fa qala lahu (Abi Darda) Salman Inna lirabbika ‘alaika haqqan wa linafsika ‘alaika haqqan liahlika ‘alaika haqqan fa’thu kulla dzi haqqin haqqahu fa-ata Nabi SAW fadzakara dzalika lahu faqala Nabi SAW shadaqa Sulaiman,”.

Yang artinya: “Salman Al-Farisi berkata pada Abu Darda, sesungguhnya Tuhanmu itu mempunyai hak atasmu, dirimu juga mempunyai hak atasmu, dan keluargamu juga mempunyai hak atasmu. Kemudian perkataan ini dilaporkan kepada Nabi Muhammad SAW dan beliau berkata, ‘Benar sekali apa yang dikatakan Salman,’.

Sehingga, memenuhi hak dan kewajiban sebaik-baiknya merupakan ajaran Islam yang wajib ditaati. Dan untuk seseorang yang telah menikah, maka perannya akan menjadi multifungsi baik sebagai sitri atau suami, sebagai ayah atau ibu, guru bagi anak-anaknya, sebagai anak bagi ibu dan ibu mertua, dan seterusnya.

Maka dari peran tersebut terdapat unsur hak dan kewajiban yang berbeda yang harus dipenuhi jua. Menurut KH Mustafa Yaqub, apabila ekonomi menjadi masalah sentral yang merujuk pada perpisahan antara suami dengan istrinya, atau ibu dengan anaknya, maka hal itu akan menyebabkan terbengkalainya hak dan kewajiban yang telah diatur agama.

Beliau menyarankan apabila hal itu terjadi, alangkah baiknya bagi istri yang berprofesi sebagai TKW di negeri orang yang juga memiliki anak untuk kembali ke Tanah Air. Menurut beliau, mencari rezeki di dalam negeri masih luas tersedia dan dijamin langsung oleh Allah SWt.

Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah SAW berikut yang diriwayatkan Ibnu Majah: “Ya ayyuhannasu-ttaqullaha wa ajmilu fi thalabi fa inna nafsan lan tamuta hatta tastaufi rizqaha,”. Yang artinya: “Wahai para umat manusia, bertakwalah kepada Allah dan berbuat baiklah dalam mengais rezeki. Sesungguhnya seseorang tidak akan meninggal hingga semua ketentuan rezekinya diberikan,”.

  • istri bekerja
  • hukum istri bekerja
  • istri bekerja dalam islam
  • wanita karier

Bagaimanakah dasar Al-Quran yang menjelaskan tentang kewajiban kerja?

Silakan akses epaper Republika di sini Epaper Republika ...

Islam mengajarkan umatnya bekerja keras mencari nafkah.

Kewajiban Mencari Nafkah

Rep: suaramuhammadiyah.id (suara muhammadiyah) Red: suaramuhammadiyah.id (suara muhammadiyah)

Oleh: Mutohharun Jinan

Islam adalah agama yang mengajarkan kepada umatnya untuk bekerja keras mencari nafkah. Islam sangat mencela umat yang malas, yaitu mereka yang hanya menggantungkan hidupnya dari belas kasihan orang lain dan memenuhi kebutuhan hidupnya dengan cara meminta-minta.

Lebih jauh, dalam Islam, kerja merupakan ibadah. Membanting tulang mencari nafkah yang halal untuk kebutuhan keluarga merupakan ibadah yang bernilai sangat tinggi bahkan termasuk jihad. Allah sangat menghargai kerja keras dan karya nyata seseorang.

Rasulullah saw bersabda

Bagaimanakah dasar Al-Quran yang menjelaskan tentang kewajiban kerja?

“Tidak ada yang lebih baik dari usaha seorang laki-laki kecuali dari hasil tangannya (bekerja) sendiri. Dan apa saja yang dinafkahkan oleh seorang laki-laki kepada diri, istri, anak dan pembantunya adalah sedekah.” (HR. Ibnu Majah)

Hadis tersebut hendaklah menjadi pemantik setiap Muslim untuk bersemangat bekerja. Karena bekerja merupakan bagian dari kehendak dasar (fitrah) setiap orang. Maksudnya, setiap orang yang normal dan sehat akalnya tentu akan merasa senang bekerja guna memenuhi kebutuhannya, dan merasa ada sesuatu yang hilang bila tidak memiliki pekerjaan.

Tidak dibenarkan seorang Muslim bermalas-malasan, hanya berharap belas kasih dari orang lain pada hal sebenarnya masih mampu bekerja dengan kekuatan fisiknya. Tidak dibenarkan menyia-nyiakan waktu luang hanya untuk hal-hal yang tidak bermanfaat. ”Dan jika telah selesai satu pekerjaan maka segeralah mengerjakan pekerjaan lain”. Begitu isyarat Al-Qur’an (Qs Al-Insyirah [94]: 7).

Bekerja mencari nafkah bagian dari kewajiban seorang Muslim. Karena itulah Islam memberi penghargaan yang besar kepada mereka yang bekerja keras mencari nafkah. Dalam Islam tidak dibeda-bedakan jenis-jenis pekerjaan, prinsipnya semua pekerjaan diperbolehkan kecuali yang jelas-jelas dilarang. Berdagang atau menawarkan jasa pada dasarnya boleh, yang dilarang adalah bila caranya curang dan barang dagangannya haram.

Tentu saja, yang perlu diingat adalah bekerja harus dengan cara halal. Seorang pedagang, misalnya, tidak menipu pembeli atau curang dalam menakar. Seorang pegawai tidak mengurangi jam kerjanya, seorang pimpinan tidak korupsi atau melakukan mark-up. Begitupun dengan para pejabat, tidak korupsi atau menyalahgunakan wewenang dan kekuasaannya untuk kepentingan diri dan golongannya.

Mutohharun Jinan, pengasuh Pondok Shabran Universitas Muhammadiyah Surakarta


Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 3 Tahun 2018

Bagaimanakah dasar Al-Quran yang menjelaskan tentang kewajiban kerja?

Lihat Artikel Asli

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan suaramuhammadiyah.id. Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab suaramuhammadiyah.id.