Bagaimana sistem pendidikan pada masa pendudukan Jepang di Indonesia?

Didorong semangat untuk mengembangkan pengaruh dan wilayah sebagai bagian dari rencana membentuk Asia Timur Raya yang meliputi Manchuria, Daratan China, Kepulauan Filiphina, Indonesia, Malaysia, Thailand, Indo China dan Rusia di bawah kepemimpinan Jepang, negara ini mulai melakukan ekspansi militer ke berbagai negara sekitarnya tersebut.

Dengan konsep “Hakko Ichiu” (Kemakmuran Bersama Asia Raya) dan semboyan “Asia untuk Bangsa Asia”, bangsa fasis ini pun menargetkan Indonesia sebagai wilayah potensial yang akan menopang ambisi besarnya.

Dengan konteks sejarah dunia yang menuntut dukungan militer kuat, Jepang mengelola pendidikan di Indonesia pun tidak bisa dilepaskan dari kepentingan ini. Sehingga dapat dikatakan bahwa sistem pendidikan di masa pendudukan Jepang sangat dipengaruhi motif untuk mendukung kemenangan militer dalam peperangan Pasifik.

Setelah Februari 1942 menyerang Sumatera Selatan, Jepang selanjutnya menyerang Jawa dan akhirnya memaksa Belanda menyerah pada Maret 1942. Sejak itulah Jepang kemudian menerapkan beberapa kebijakan terkait pendidikan yang memiliki implikasi luas terutama bagi sistem pendidikan di era kemerdekaan nantinya. Hal-hal tersebut antara lain, Dijadikannya Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi pengantar pendidikan menggantikan Bahasa Belanda, Adanya integrasi sistem pendidikan dengan dihapuskannya sistem pendidikan berdasarkan kelas sosial di era penjajahan Belanda.

Baca juga: Mengapa Jepang Menyerang Pearl Harbor?

Sistem pendidikan pada masa pendudukan Jepang itu kemudian dapat diikhtisarkan sebagai berikut.

Pertama, Pendidikan Dasar (Kokumin Gakko/Sekolah Rakyat), Lama studi 6 tahun. Termasuk Sekolah Rakyat adalah Sekolah Pertama yang merupakan konversi nama dari Sekolah dasar 3 atau 5 tahun bagi pribumi di masa Hindia Belanda.

Kedua. Pendidikan Lanjutan. Terdiri dari Shoto Chu Gakko (Sekolah Menengah Pertama) dengan lama studi 3 tahun dan Koto Chu Gakko (Sekolah Menengah Tinggi) juga dengan lama studi 3 tahun.

Ketiga. Pendidikan Kejuruan. Mencakup sekolah lanjutan bersifat vokasional antara lain di bidang pertukangan, pelayaran, pendidikan, teknik, dan pertanian. Terakhir ada Pendidikan Tinggi.

Para siswa sedang melakukan latihan kemiliteran. Foto: bestphotos2019.com

Guna memperoleh dukungan tokoh pribumi, Jepang mengawalinya dengan menawarkan konsep Putera Tenaga Rakyat (PTR) di bawah pimpinan Soekarno, M. Hatta, Ki Hajar Dewantoro, dan K.H. Mas Mansur pada Maret 1943. Konsep ini dirumuskan setelah kegagalan the Triple Movement yang tidak menyertakan wakil tokoh pribumi. Tetapi PTR akhirnya mengalami nasib serupa setahun kemudian. Pasca ini, Jepang tetap merekrut Ki Hajar Dewantoro sebagai penasehat bidang pendidikan mereka.

Upaya Jepang mengambil tenaga pribumi ini dilatarbelakangi pengalaman kegagalan sistem pendidikan mereka di Manchuria dan China yang menerapkan sistem Nipponize (Jepangisasi). Karena itulah, di Indonesia mereka mencobakan format pendidikan yang mengakomodasi kurikulum berorientasi lokal.

Sekalipun patut dicatat bahwa pada menjelang akhir masa pendudukannya, ada indikasi kuat Jepang untuk menerapkan sistem Nipponize kembali, yakni dengan dikerahkannya Sendenbu (propagator Jepang) untuk menanamkan ideologi yang diharapkan dapat menghancurkan ideologi Indonesia Raya.

Baca juga: Masa Penjajahan Jepang di Barru

Jepang memandang perlu melatih guru-guru agar memiliki keseragaman pengertian tentang maksud dan tujuan pemerintahannya. Materi pokok dalam latihan tersebut antara lain, Indoktrinasi ideologi Hakko Ichiu. Nippon Seisyin, yaitu latihan kemiliteran dan semangat Jepang. Bahasa, sejarah dan adat-istiadat Jepang. Ilmu bumi dengan perspektif geopolitis. Serta Olaharaga dan nyanyian Jepang.

Sementara untuk pembinaan kesiswaan, Jepang mewajibkan bagi setiap murid sekolah untuk rutin melakukan beberapa aktivitas di antaranya, Menyanyikan lagu kebangsaan Jepang setiap pagi. Mengibarkan bendera Jepang dan menghormat Kaisar Jepang setiap pagi. Melakukan Dai Toa atau bersumpah setia kepada cita-cita Asia Raya setiap pagi. Melakukan Taiso atau senam Jepang setiap pagi. Melakukan latihan fisik dan militer. Menjadikan bahasa Indonesia sebagai pengantar dalam pendidikan. Bahasa Jepang menjadi bahasa yang juga wajib diajarkan.

Jepang menginstruksikan ditutupnya sekolah-sekolah berbahasa Belanda, pelarangan materi tentang Belanda dan bahasa-bahasa Eropa lainnya. Kondisi ini memaksa para guru untuk mentranslasikan buku-buku berbahasa asing ke dalam Bahasa Indonesia untuk kepentingan proses pembelajaran. Selanjutnya sekolah-sekolah yang bertipe akademis diganti dengan sekolah-sekolah yang bertipe vokasi.

Jepang juga melarang pihak swasta mendirikan sekolah lanjutan dan untuk kepentingan kontrol, maka sekolah swasta harus mengajukan izin ulang untuk dapat beroperasi kembali. Taman Siswa misalnya terpaksa harus mengubah Taman Dewasa menjadi Taman Tani, sementara Taman Guru dan Taman Madya tetap tutup. Kebijakan ini menyebabkan terjadinya kemunduran yang luar biasa bagi dunia pendidikan dilihat dari aspek kelembagaan dan operasonalisasi pendidikan lainnya.

Penulis: Rifdah Khalisha

Dalam buku Di Bawah Pendudukan Jepang (1988), Jepang menyadari bahwa sekolah memiliki arti penting dalam menunjang program indoktrinasinya. Melalui pendidikan, Jepang mengubah dan mengalihkan mentalitas dan pola pikir masyarakat Indonesia, dari mentalitas Eropa ke Nipon.

Menjelang kedatangan Jepang ke Indonesia pada akhir tahun 1941, pemerintah militer Jepang menutup semua jenis dan jenjang sekolah di Hindia Belanda. Mereka ingin merumuskan ulang pendidikan di Indonesia untuk menghilangkan pengaruh Barat.

Sekolah rakjat Tjikampek © Twitter.com/tukangpulas_asli

Para guru berbangsa Belanda kembali ke negerinya. Pendidikan para siswa terlantar karena harus libur tanpa batas waktu. Buku-buku pelajaran sekolah dalam bahasa Belanda disita, diperiksa, dan dinilai ulang.

Siswa tingkat rendah gagal naik kelas sebab tidak ada ujian kenaikan kelas. Sementara siswa-siswa tingkat akhir di sekolah menengah atas terpaksa mengubur mimpinya memperoleh ijazah, mereka hanya menerima ijazah darurat sebab ujian kelulusan ditunda. Akhirnya, mereka tidak dapat mencari kerja.

Selama berbulan-bulan sekolah dibekukan, para siswa merindukan bangku sekolah. Beberapa dari mereka mengisi waktu dengan berdagang atau hanya bermain-main.

Jepang Membuka Kembali Sekolah-sekolah

Bapak Soerjoadipoetro dan siswa keguruan di Taman Siswa © luk.staff.ugm.ac.id

Hingga suatu waktu, terbit pemberitahuan di surat kabar Asia Raya pada 7 September 2602 (1942) bahwa Jepang akan membuka kembali sekolah-sekolah. Dalam surat kabar tertulis, pembukaan Sekolah Menengah hari Selasa tanggal 8 September 2602 dari pukul 9 pagi.

Di zaman Nippon, Jepang mengubah nama sekolah-sekolah peninggalan Belanda, semula bernama HIS, diubah menjadi Sekolah Rakyat (SR). Sekolah MULO dan HBS tiga tahun diubah menjadi Sekolah Menengah Pertama (SMP). Sekolah AMS dan HBS, diubah menjadi Sekolah Menengah Tinggi (SMT).

SMT Jakarta menjadi sekolah tingkat atas pertama yang dibuka di seluruh Indonesia. Semua siswa dari berbagai sekolah di seluruh Indonesia boleh mendaftar. Pembukaan SMT dan SMP di Jakarta diawali dengan mengadakan upacara.

Berbeda dengan sekolah masa kolonial yang terbagi berdasarkan latar belakang sosial dan ras orang tua, sistem persekolahan saat itu berubah menjadi lebih terbuka. Hal terbaiknya, tak ada lagi diskriminasi rasial antara anak Indonesia dengan anak Belanda. Untuk pertama kalinya, pembukaan sekolah memungkinkan siswa Indonesia dari berbagai lapisan dan sekolah bisa berkumpul dan belajar bersama.

Usai membuka SMT di beberapa kota, Jepang membuka kembali sekolah-sekolah khusus seperti kedokteran, teknik, kemiliteran, dan khusus remaja putri (wakaba). Sekolah-sekolah swasta diizinkan kembali beroperasi. Termasuk sekolah swasta umum seperti Taman Siswa dan sekolah swasta religius seperti milik Muhammadiyah.

Penerapan Kebijakan Baru dalam Dunia Pendidikan

Anak-anak zaman dahulu © Langgam.id

Jepang menerapkan kebijakan baru dalam dunia pendidikan, misalnya tak ada lagi Bahasa Belanda dan berganti menjadi bahasa Indonesia sebagai bahasa sehari-hari di sekolah. Saat mempelajari bahasa Indonesia, rasa kebangsaan para siswa mulai muncul.

Sebelumnya, siswa-siswa sekolah swasta sudah terbiasa berbahasa Indonesia, jadi, keputusan ini tak berarti banyak. Namun, siswa-siswa dari sekolah elite milik pemerintah kolonial Belanda merasa asing karena selalu berbahasa Belanda dalam kesehariannya, termasuk di sekolah. Hal ini tentu menjadi pengalaman baru.

Siswa-siswa sekolah elite harus menerima pelajaran dalam Bahasa Indonesia. Mereka pun mulai mempelajari bahasa Indonesia melalui novel-novel terbitan Volkslectuur atau Balai Pustaka.

Jepang tak mengubah mata pelajaran secara drastis di semua tingkatan. Mereka mempertahankan pelajaran umum, seperti ilmu pasti, sejarah, ekonomi, ilmu bumi, fisika, kimia, dan seni. Namun, menghapus mata pelajaran bahasa Eropa seperti Inggris, Jerman, Prancis, Yunani Kuno, dan Romawi.

Penekanan Pelajaran Fisik dan Kemiliteran

Anak-anak zaman dahulu © Instagram.com/albumsejarah

Menurut Arsip Nasional RI, semua jenjang sekolah harus menambahkan pelajaran bahasa Jepang, olahraga, dan kerja bakti dalam kurikulumnya Demi kepentingan Jepang, para siswa wajib mengikuti upacara bendera tiap senin, senam pagi (taiso), baris-berbaris, dan lari. Jepang juga menggunduli rambut siswa lelaki dan menetapkan kewajiban memakai seragam sekolah.

Tentu saja, penekanan pelajaran fisik dan kemiliteran ini demi kepentingan Jepang. Mereka ingin menempa kedisiplinan dan mempersiapkan para siswa untuk menghadapi perang Asia Raya. Para pengawas sekolah yang terdiri dari orang Jepang juga kerap bertindak keras.

Penanaman kemiliteran ini sangat menyita waktu pelajaran siswa-siswa di sekolah. Jika Kawan melihat foto zaman pendudukan Jepang, maka akan terlihat lebih banyak siswa baris-berbaris daripada belajar mata pelajaran lain di dalam kelas. Saat proses belajar mengajar, siswa lebih banyak mencatat omongan guru sebab belum ada buku-buku pelajaran baru.

Para Pendidik di Sekolah Zaman Jepang

Kepala sekolah dan guru-guru Sekolah Rakjat Bringin © Twitter.com/potretlawas

Kebanyakan para pendidik kompeten yang berasal dari Belanda berhenti mengajar karena harus masuk kamp interniran, hanya tersisa pendidik dari Indonesia dan Jepang. Karena kekurangan pendidik bidang eksakta, mahasiswa tingkat terakhir perguruan tinggi masa kolonial turut membantu mengajar eksakta atau ilmu pasti di sekolah-sekolah.

Biasanya, pendidik dari Jepang akan memberikan pelajaran bahasa Jepang dan olahraga. Mereka tidak bisa berbahasa Indonesia, sementara para siswa belum fasih berbahasa Jepang. Masalah ini pun membuat siswa tidak terbiasa dan kerap kesulitan memahami materi pelajaran.

Kualitas pendidik Indonesia memang masih jauh bila dibandingkan dengan pendidik Belanda. Tetapi, secara personal mereka mampu menjalin hubungan dekat dan kuat dengan para siswa. Terciptanya hubungan erat ini belum pernah dirasakan di sekolah zaman Belanda.

Saat Sekutu menjatuhkan bom di Kota Hiroshima dan Nagasaki, pemerintahan Jepang pun lumpuh dan menyerah tanpa syarat kepada Sekutu. Jepang menyatakan kekalahannya pada Agustus 1945. Setelah itu, sistem pendidikan zaman Jepang di Indonesia pun berakhir dan para siswa kembali menghadapi dunia sekolah baru.

Referensi:Historia | Tirto

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA