Bagaimana sikap umat Islam yang benar dalam menyikapi perbedaan perbedaan yang ada?

Opini

Menyikapi Perbedaan Menurut Islam

Jumat, 3 Juli 2015 13:53
Editor: bakri
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Baca Selanjutnya:

HPN, Ngopi Bareng Merdeka, dan Harapan kepada Insan Pers di Pidie

X

Oleh Faisal Ali

TAKDIR Allah Swt, yang menciptakan manusia sebagai mahluk sosial, dimana kita menyadari bahwa setiap manusia tidak pernah luput dari problematika kehidupan. Karena telah menjadi sunnatullah kita harus berhubungan dengan permasalahan kehidupan yang tentunya sarat dengan perbedaan-perbedaan. Perbedaan merupakan satu kesatuan, sedangkan perpecahan adalah masalah lain. Perpecahan merupakan dampak negatif dari sebuah perbedaan. Adapun perbedaan itu sendiri, kemungkinan menjadi sarana untuk bersikap kritis dan menjadi pelajaran yang produktif.

Dalam proses yang panjang, Islam dan Umat Islam di kawasan Nusantara ini, telah memberikan peran aktifnya berupa amal-amal nyata, membentuk manusia yang beriman, berakhlak karimah, cerdas dan terampil, membangun kehidupan keluarga dan masyarakat secara baik. Lebih dari itu bahkan melawan dan menolak penjajah, kemudian mempersatukan manusia dan komunitas dalam suatu keluarga besar menjadi satu bangsa. Persatuan dan tolong menolong merupakan satu inti ajaran terpenting dari agama Islam yang suci, sedangkan perselisihan, perpisahan dan bercerai berai adalah sikap buruk yang dibenci agama.

Allah Swt berfirman: Tolong menolonglah kamu sekalian semua dalam hal kebaikan dan taqwa dan janganlah kamu tolong menolong atas pekerjaan dosa dan permusuhan. Dalam kaitan ini pula satu hadis menyebutkan: Dari sahabat Anas ra sesungguhnya Nabi Muhammad Saw bersabda: Janganlah kalian semua saling benci-membenci, menghasut, saling bertolak belakang, dan janganlah pula saling memutuskan (tali persaudaraan). Jadilah kalian semua hamba Allah yang bersaudara. Dan tidaklah halal bagi seorang Muslim tidak berbicara dengan mendiamkan saudaranya hingga melebihi tiga hari.

Semangat kepedulian
Pada umumnya, kita pun tidak cukup punya waktu untuk mengurus persoalan-persoalan yang tidak secara langsung ada kaitannya dengan kepentingan diri kita sendiri. Sehingga ketika muncul masalah agama, entah karena terdorong oleh semangat dan kepedulian, kadangkala bahkan seringkali kita segera menanggapi persoalan tersebut dengan tanpa menyempatkan diri untuk mendalami sejauhmana tuntutan agama yang terpinggirkan dan bagaimana seharusnya ia menanggapi persoalan itu. Terlebih lagi dalam menanggapi persoalan yang menyangkut agama dilakukan secara kebetulan dan hanya pada kulitnya saja. Kalaupun ada konsultasi sebelumnya, paling hanya kepada akal pikiran kita sendiri dan emosi atau itiqad kelompok sendiri, sehingga jarang sekali karena lillahi Taala.

Kita harus menyadari bahwa kehidupan bersama dan bersatu di mana sekelompok orang yang oleh karena berada di wilayah geografis tertentu dan memiliki kesamaan, kemudian mengikatkan diri dalam satu sistem dan tatanan kehidupan merupakan realiatas kehidupan yang diyakini merupakan bagian dari kecenderungan dan kebutuhan yang fitri dan manusiawi. Kehidupan dalam sebuah kesatuan adalah perwujudan universalitas Islam yang akan menjadi sarana bagi upaya memakmurkan bumi Allah dan melaksanakan amanat-Nya sejalan dengan tabiat atau budaya yang dimiliki bangsa dan wilayah itu.

Kehidupan bersama-sama seyogyanya merupakan langkah menuju pengembangan tanggung jawab kekhalifahan yang lebih besar, yang menyangkut kehidupan bersama seluruh manusia dan kesejahteraan manusia, lahir dan batin, di dunia dan akhirat. Dalam kaitan itu, kehidupan bersama haruslah dibangun atas dasar prinsip ke-Tuhanan, kedaulatan, keadilan, persamaan dan musyawarah. Dengan demikian maka pemerintah (umara) dan ulama, sebagai pengemban amanat kekhalifahan serta rakyat adalah satu kesatuan yang secara bersama-sama bertanggung jawab dalam mewujudkan tata kehidupan bersama atas dasar prinsip-prinsip tersebut.

Umara dan ulama dalam konteks di atas, merupakan pengemban tugas khilafah dalam arti menjadi pengemban amanat-Nya dan dalam membimbing masyarakat sebagai upaya memperoleh kesejahteraan dan kebahagian hidup yang hakiki. Dalam kedudukan seperti itu, pemerintah dan ulama merupakan ulil amri yang harus ditaati oleh segenap warga masyarakat, sebagaimana firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya) dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Alquran) dan Rasul (Sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih baik akibatnya. (QS. An-Nisa: 59).

Menyikapi perbedaan
Ayat ini memberikan pedoman dasar kepada kita mengenai beberapa prinsip dalam menyikapi perbedaan dan melihara kehidupan bersama-sama sebagai berikut: Pertama, bahwa ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya merupakan ketaatan yang mutlak. Dalam Alquran, Islam, seringkali diartikan kerelaan seseorang untuk menjalankan perintah Tuhan dan mengikutinya. Pesan yang disampaikan pada Muhammad dinamakan Islam, dan orang yang mengaku percaya pada pesan-pesannya adalah juga Muslim. Muslim, berarti seorang yang mengikuti pesan Nabi Muhammad saw dan percaya akan kebenarannya. Oleh sebab itu orang yang berserah diri, patuh, dan taat kepada Allah swt disebut sebagai orang Muslim.

Dari uraian tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa kata Islam dari segi kebahasaan mengandung arti patuh, tunduk, taat, dan berserah diri kepada Allah swt. dalam upaya mencari keselamatan dan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Taat kepada Allah swt merupakan satu kewajiban yang tidak dapat diganggu-gugat. Ketika seseorang telah mengucapkan dua kalimat syahadat atau telah berada di dalam naungan agama Islam, maka wajib baginya untuk taat kepada segala bentuk perintah dan larangan Allah swt.

Kedua, bahwa ketaatan kepada ulil amri merupakan ketaatan yang bersifat tidak mutlak dan tergantung apakah perintah dan kebijaksanaannya sejalan dengan perintah Allah dan Rasul-Nya. Firman Allah Swt: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taati Rasul-Nya dan Ulil Amri di antara kamu, kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikannya ia kepada Allah (Alquran) dan Rasul (sunnahnya) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir, yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. An-Nisa: 59)

Ketiga, bahwa ulil amri haruslah terdiri atas orang-orang yang mengemban amanat Allah. Pelajari siapakah sesungguhnya pewaris amanat yang ALLAH berikan kepadamu sehingga engkau mampu mewariskan amanat tersebut kepada orang yang benar-benar telah ditunjuk ALLAH sebagai pewaris amanatmu supaya engkau dan anakmu mendapatkan kebahagiaan sejati dari Allah.

Keempat, bahwa rakyat memiliki hak untuk melakukan kontrol dan memberikan koreksi terhadap ulil amri dengan menggunakan cara-cara yang baik, sebagaimana pernyataan khalifah Abu Bakar Siddiq ra dalam khutbah pelantikannya: Wahai saudara-saudara, saya telah dipilih menjadi pemimpin, padahal saya bukanlah orang terbaik di antara kalian. Kalau saya berbuat baik (benar), maka dukunglah dan bantulah saya. Kalau saya berbuat salah, maka luruskanlah saya...

Kelima, kekuatan penentu dalam setiap kemungkinan terjadinya perselisihan adalah ketentuan Allah dan Rasul-Nya. Sejatinya, doa adalah satu kunci terpenting untuk membuka pintu-pintu pertolongan Allah. Ketika kita sudah mentok, tidak bisa berbuat apa-apa, pintu solusi seakan tertutup, dunia menjadi tampak gelap, kemungkinan untuk keluar dari masalah hampir mendekati mustahil, maka doalah jalan keluarnya. Rasulullah saw bersabda: Tidak ada yang dapat menolak takdir (ketentuan) Allah Taala selain doa. Dan Tidak ada yang dapat menambah umur seseorang selain (perbuatan) baik. (HR. At-Tirmidzi).

Keenam, bahwa dalam rangka mewujudkan hal itu diperlukan adanya lembaga yang memiliki kebebasan dari (kemungkinan) tekanan dari rakyat dan/atau ulil amri, dapat memberikan keputusan yang adil. Allah Swt menyuruh kita kaum Muslimin untuk menegakkan kebenaran dan menjaga kesucian agama, sebagaimana firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan kebenaran karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berperilaku tidak adil. Berlaku adillah karena pada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Maidah: 8).

Menjauhi prasangka
Allah Swt melalui lisan Rasul-Nya juga menyuruh kita untuk menjauhi prasangka dan mencari-cari kesalahan orang lain, sebagaimana firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakanmu dari berprasangka, sesungguhnya sebagian dari prasangka itu adalah dosa. Dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu mengunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati, maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Hujarat: 12)

Paham-paham serta gagasan yang berseberangan dengan pokok-pokok ajaran agama ini tidak jarang dilontarkan secara provokatif dan terkesan menggugat. Gugatan terhadap pokok-pokok ajaran agama ini, secara menyesatkan, biasanya berlindung di bawah slogan pembaruan Islam atau bahkan slogan ijtihad. Walaupun sebenarnya inti dari slogan-slogan itu tidak lebih dari penisbian terhadap segala bentuk kemapanan. Termasuk terhadap ajaran-ajaran agama yang telah tetap serta sangat jelas landasannya, baik itu dari Alquran atau hadis yang sahih.

Al khilaf al madzmum ini, tidak dihadapi dengan sikap yang toleran. Tapi dengan sikap tegas. Sebab, persoalan-persoalan akidah dan ushuluddin mewakili esensi dan pokok dari ajaran Islam. Ini merupakan bagian yang demikian sensitif, krusial serta khas ajaran Islam. Sehingga penodaan terhadap esensi tersebut sama dengan menggugat eksistensi Islam itu sendiri. Keyakinan atas kebenaran mutlak agama Islam dengan kepercayaan terhadap kesesatan agama-agama lain, adalah ajaran yang sangat fundamental dalam Islam. Sebagaimana juga kesucian Alquran dan kesempurnaannya serta kedudukan ijma (konsensus) ulama sebagai satu sumber otentik ajaran Islam. Wallahu alamu bish-shawab.

* Tgk. H. Faisal Ali, Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh dan Ketua Pengurus Wilayah Nahdhatul Ulama (PWNU) Aceh. Email:

Sumber: Serambi Indonesia
Video Pilihan

Fakta Wanita di Palembang yang Disebut Mati Suri seusai Dikubur: Hidup 5 Jam lalu Meninggal Lagi

Ikuti kami di