Bagaimana proses berdirinya Dinasti Turki Usmani dan apa hubungannya dengan dinasti Saljuk

Hidayatullah.com | SEBELAH Utara Khurasan terdapat sebuah suku besar yang telah memeluk agama Islam, bernama Turkistan. Mereka tinggal di sana dengan mendirikan lebih kurang 70.000 tenda, dengan jumlah penduduk setengah juta jiwa dan adapun suku Kayi merupakan suku kecil bagian dari perkumpulan besar tersebut. Karena ingin menyelamatkan diri dan anggota keluarga dari serangan Mongol, di antara suku-suku tersebut ada yang pergi ke Anatolia, ke sebelah Barat Iran, dan Utara Iraq. (Muhammad Harb, al-Utsmāniyyūn fi al-Tārīkh wa al-Haḍārah, (Kairo : al-Markaz al-Maṣry li al-Dirōsat al-Utsmāniyyah wa Buhūts al-Ālam al-Turky, 1994. Hlm. 9).

Ketika Bangsa Mongol menyerang wilayah Islam pada tahun 617 H / 1220 M, pemimpin Suku Kayi yang bernama Sulayman Sah mengajak anggota sukunya untuk menghindari serbuan bangsa Mongol dengan hijrah ke arah Anatolia, sebelum sampai ketujuannya, mereka terlebih dahulu tinggal di wilayah Akhlat. Akhlat adalah suatu kota di sebelah timur Turki sekarang dan sekarang menjadi Armenia. (Ali bin Muhammad al-Shalabi, al-Daulah al-‘Utsmāniyyah ‘Awāmil al-Nuhūḍ Wa Asbāb al-Suqūt,(al-Maktabah al-Syāmilah, Juz I. Hlm.41).

Setelah ancaman Mongol mereda, Sulayman Sah ingin melanjutkan perjalan ke Anatolia, pada tahun 1230 M, namun ia hanyut dalam usaha menyebrangi sebuah sungai yang tiba-tiba pasang karena banjir besar. (Muhammad Farid, Tāreikh al-Daulah al-‘Illiyyah al-‘Utsmāniyyah, Beirut: Dār al-Nafā’its, 1981, Hal. 115). Hal tersebutlah yang menyebabkan pemimpin suku Kayi meninggal dunia pada tahun 628 H / 1230 M.

Adapun akibat meninggalnya Sulayman Sah, Suku Kayi akhirnya terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama ingin pulang ke negri asalnya, sedangkan kelompok kedua meneruskan perantauannya ke wilayah Asia kecil yang tidak sampai jumlahnya 400 keluarga dan mereka dipimpin oleh Ertugul, Putra Sulayman. (Ali bin Muhammad al-Shalabi, al-Daulah al-‘Utsmāniyyah ‘Awāmil al-Nuhūḍ Wa Asbāb al-Suqūt.Juz I. Hlm. 41).

Kemudian, ketika Ertugul sampai ke Anatolia bersama anggota sukunya, ia dan kelompoknya bergabung dan berbai’at kepada Sultan ‘Ala al-Din II dari saljuk Rum yang pemerintahannya berpusat di Konya, Anatolia, Asia Kecil. Pada waktu itu bangsa Saljuk sedang berperang dengan Romawi, melihat bahayanya bangsa Romawi yang mempunyai kekuasaan besar di Romawi Timur (Byzantium). Maka, Ertugul dan kelompoknya yang tergabung di bawah kekuasaan Saljuk ikut serta dalam perperangan, dengan adanya tambahan pasukan baru dari saudara sebangsanya, pasukam Saljuk menang atas Romawi. (Ali bin Muhammad al-Shalabi, al-Daulah al-‘Utsmāniyyah ‘Awāmil al-Nuhūḍ Wa Asbāb al-Suqūt, Juz I. Hlm. 41).

Kemenangan tersebut membuat Sultan bergembira. Adapun kegembiraan tersebut dibuktikan dengan memberi Erthugul hadiah berupa wilayah yang berbatasan dengan Byzantium, setiap kemenangan, Sultan selalu memberikan kepada Turki Utsmani tanah dan juga diberikan harta dengan jumlah yang besar, dan wilayahnya diberi gelar dengan muqoddimat al-Sulṭan, karena selalu berada di barisan terdepan setiap pertempuran. (Muhammad Farid, Tāreikh al-Daulah al-‘Illiyyah al-‘Utsmāniyyah. Hlm.115). Kepercayaan Sultan kepada kelompok Suku Kayi terus berlangsung sampai kepada anaknya Ertugul.

Kemudian Erthugul meninggal dunia pada tahun 699 H / 1299 M. Maka, Sultan ‘Ala al-Din memilih Utsman untuk menggantikan kedudukan ayahnya sebagai pemimpin suku bangsa Turki, yang pada saat itu masih berusia 23 tahun. (Muhammad Farid, Tāreikh al-Daulah al-‘Illiyyah al-‘Utsmāniyyah. Hlm.116).

Kecintaan dan kepercayaan Sultan nampak jelas dengan banyak memberi hak keistimewaan  kepada Utsman dan  mengangkatnya menjadi gubernur dengan gelar Bey di belakang namanya. Utsman juga dibolehkan mencetak uang sendiri dan dibolehkan juga dido’akan khusus oleh khatib dalam khutbah Jumat.  (Muhammad Farid, Tāreikh al-Daulah al-‘Illiyyah al-‘Utsmāniyyah. Hlm.118).

Begitulah kepercayaan Sultan pada Utsman yang nanti akan mendirikan Kesultanan Utsmani.  Namun, pada tahun 656 H / 1258 M, Bangsa Tatar masih menyerang Kesultanan Abbasiyah dan saat itu Khalifah al-Mustasim terbunuh di Baghdad. Akibatnya Kesultanan Abbasiyah yang berdiri dan melayani lebih dari lima abad sebagai pilar peradaban Islam hancur.

Saat Kesultanan Abbasiyah tumbang, pada abad itu Islam tidak memiliki persatuan dan daulah yang besar untuk melindungi wilayah-wilayahnya. (Muhammad Farid, Tāreikh al-Daulah al-‘Illiyyah al-‘Utsmāniyyah. Hlm.114).

Kemudian pada tahun 1300 M / 699 H, dalam sejarah Islam Pada abad ketujuh tersebut, Tatar selalu merongrong wilayah kerajaan Islam dan wilayah Asia Kecil, hingga hingga sampai pada wilayah Kesultanan Saljuk, yang mana dalam serangan tersebut mengakibatkan kematian ‘Ala al-Din sebagai sultan terakhir dari Saljuk, karena keadaan tersebut Utsman memerdekan diri dan bertahan atas serangan bangsa Mongol. (Muhammad Farid, Tāreikh al-Daulah al-‘Illiyyah al-‘Utsmāniyyah. Hlm.118).

Bekas wilayah Saljuk dijadikan basis kekuasaannya dan para penguasa saljuk yang selamat dari pembantain Mongol mengakatnya sebagai pemimpin. kemudian mengusahakan perluasan kerajaannya ke wilayah Azmid dan Aznik. Namun, mereka tidak cukup kuat untuk perluasan tersebut. Akhirnya kembali ke kota dan memulai untuk mengatur strategi. (Muhammad Farid, Tāreikh al-Daulah al-‘Illiyyah al-‘Utsmāniyyah, hlm.118).

Jadi, seperti itulah asal-muasal Utsman berdirinya Kesultanan Utsmani pada tahun 700 H / 1300 M. Kemudian namanya dinisbatkan sebagai nama suatu Kesultanan yang besar dan poros kekuatan umat Islam pada saat itu. (Muhammad Harb, al-Utsmāniyyūn fi al-Tārīkh wa al-Haḍārah, (Kairo : al-Markaz al-Maṣry li al-Dirōsat al-Utsmāniyyah wa Buhūts al-Ālam al-Turky, 1994), 10. lihat juga : Muhammad Farid, Tārīkh al-Daulah al-‘Illiyyah al-‘Utsmāniyyah. Hlm.116).

Ia menjadikan syariat sebagai landasan hukum Kesultanan Utsmani. (Ali bin Muhammad al-Shalabi, al-Daulah al-‘Utsmāniyyah ‘Awāmil al-Nuhūḍ Wa Asbāb al-Suqūt Juz I. Hlm. 57). Artinya hubungan Kesultanan Utsmani dengan Islam sangat erat sekali. Kesultanan Utsmani sangat menjunjung tinggi Syari’ah Islam dan Ulama. (Muhammad Harb, al-Utsmāniyyūn fi al-Tārīkh wa al-Haḍārah. Hlm. 12).

Oleh karena itu Utsman selalu bermusyawarah dengan ulama mengenai masalah syarī’ah dan dan perkara-perkara sulṭah. (Ali bin Muhammad al-Shalabi, al-Daulah al-‘Utsmāniyyah ‘Awāmil al-Nuhūḍ Wa Asbāb al-Suqūt. Juz I. Hlm. 48-49).

Bukan hanya sekedar itu, Utsman juga sangat dekat dengan ulama, bukti kedekatan tersebut, seorang ulama Sufi yang bernama Syeikh Udabali menikahkan putrinya dengan Utsman al-Ghazi. (Ahmad Bin Musthafa Bin Kholil Abu Khoir, al- Syaqō’iq al-Nu’māniyyah Fi ‘Ulamā al-Daulah al-‘Utsmāniyyah, (Beirut : Dār al-Kutub al-‘Arabi, tt). Hlm. 6-7).

Adapun, pandangan Utsman terhadap kepemimpinan tergambar di dalam wasiat-wasiatnya. Adapun beberapa wasiat Utsman yang paling urgen tehadap kemajuan adalah.

Pertama, ketahuilah wahai anak ku, sesungguhnya menyebarkan agama Islam, menunjuki jalan hidayah Islam kepada manusia, dan menjaga keperluan beserta harta-harta kaum Muslim merupakan suatu amanah dipundakmu dan Allah akan memintak pertanggung jawaban atas semua itu. (Ali bin Muhammad al- Shalabi, al-Daulah al-‘Utsmāniyyah ‘Awāmil al-Nuhūḍ Wa Asbāb al-Suqūt. Juz I. Hlm. 48-49).

Kedua, wahai anak ku, jangan sekali jangan engkau disibukkan dengan sesuatu yang tidak diperintah oleh Allah swt dan apabila engkau mendapatkan suatu hukum yang membingungkan, maka hendaklah bermusyawarah dengan para ulama dan janganlah engkau menjauhi mereka. (Muhammad Harb, al-Utsmāniyyūn fi al-Tārīkh wa al-Haḍārah. Hlm. 12).

Ketiga, ketahuilah wahai anak ku, sesungguhnya jalan kita di dunia ini satu yaitu jalan menuju Allah dan tujuan kita menyebarkan agama Allah, kita bukanlah orang yang mencari kekuasaan dan dunia. Lihat: Ali bin Muhammad al- Shalabi, al-Daulah al-‘Utsmāniyyah ‘Awāmil al-Nuhūḍ Wa Asbāb al-Suqūt. Juz I. Hlm. 48-49

Keempat, wasiat ku, kepada anak-anak keturunan ku dan juga sahabat-sahabat ku, tegakkanlah agama Islam dengan selalu berjihad fi sabīlillah. Pegang eratlah bendera Islam dengan setinggi-tingginya dengan kesempurnaan jihad. Selalulah berkhidmah kepada Islam, karena Allah swt memperkerjakan hamba yang lemah seperti saya ini untuk fath. Berangkatlah dengan kalimat tauhid keseluruh penjuru dunia dengan kesungguhan kalian dalam jihad fi sabīlillah. Barangsiapa yang menyeleweng dari keturunan-keturunan ku dari kebenaran dan keadilan, maka haram baginya pertolongan Rasulullah pada yaum al-mahsyar. (Ali bin Muhammad al- Shalabi, al-Daulah al-‘Utsmāniyyah ‘Awāmil al-Nuhūḍ Wa Asbāb al-Suqūt, juz I. hlm. 48-49).

Kelima, wahai anak ku, kita bukanlah orang yang berperang demi menuruti hawa nafsu kekuasaan, akan tetapi kita hidup demi Islam dan karena Islam kita mati. (Muhammad Harb, al-Utsmāniyyūn fi al-Tārīkh wa al-Haḍārah,  hlm. 12).

Kuat dan majunya Kesultanan Utsmani tidak lepas dari wasiat pendirinya yang dijadikan oleh para penerusnya sebagai tonggak dan dasar pemerintahan. (Ali bin Muhammad al- Shalabi, al-Daulah al-‘Utsmāniyyah ‘Awāmil al-Nuhūḍ Wa Asbāb al-Suqūt. Juz  I. Hlm. 50).

Setelah Utsman meninggal pada tahun 727 H, keturunan-keturunannya melanjutkan jihad ke Bizantium dan Kesulthanan Utsmani meraih banyak kemenangan sehingga berhasil membuka (fath) wilayah Eropa pada saat itu. Kemudian puncak kemenangan dan keberhasilan itu, ketika dibukanya (fath) kota Konstantinopel (857H) dibawah komando seorang pemuda yang berumur 22 tahun yaitu Muhammad al-Fatih dan Ia merubah nama kota Konstantinopel menjadi Islam bul (kemunculan Islam).  (Isma’il ya’ngi dan Mahmud Syakir, Tārīkh al-‘Ālam al-Islāmy al-Hadits wa al-Mu’aṣir, Riyaḍ, Dār al-Marikh, 1404 H).

Peristiwa ini menjadi bukti mukjizat Nabi Muhammad ﷺ yang sudah dikabarkan lewat hadits istibāqiyyah. (Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, Kairo : Mu’assasah Cordoba, tt, Juz, 4, lihat juga: Muhammad bin Abdullah al-Hakim, al-Mustadrak ‘ala al-ṣohihain, Sulayman bin Muhammad al-Thabrani, dalam Al-Mu’jam al-Kabīr).

Pembukaan Konstantinofel bukanlah kemenangan besar, karena kemenangan dalam fath itu ada dua. Pertama, kemenangan atas wilayah, yang menjadi simbol bagi kemenangan yang lainnya. Kedua, kemenangan atas akidah, artinya masuk Islamnya masyarakat-masyarakat yang ditaklukkan wilayahnya. (Ali bin Muhammad al- Shalabi, al-Daulah al-‘Utsmāniyyah ‘Awāmil al-Nuhūḍ Wa Asbāb al –Suqūt. Juz  I. Hlm. 48).

Hal ini terbukti dari sikap Muhammad al-Fatih ketika memasuki Konstantinopel, bersikap dengan tawadhu’ dan tidak sombong atas pencapainya. Muhammad al-Fatih langsung melaksanakan sholat, tanda syukurnya atas nikmat yang diberikan oleh Allah Ta’ala. Kemudian bersegera ke tempat syahidnya seorang sahabat Nabi Abu Ayyub al-Anshori, yang syahid ketika pengepungan Konstantinopel pada masa Mu’awiyah bin Abi Sofian (52 H), kemudian al-Fatih mendirikan sebuah Masjid di tempat itu. (Ali bin Muhammad al- Shalabi, al-Daulah al-‘Utsmāniyyah ‘Awāmil al-Nuhūḍ Wa Asbāb al –Suqūt. Juz  I. Hlm. 48).

Sejak runtuhnya Khilafah Utsmani, pemikiran politik Islam nyaris selalu menjadi anak bawang, semoga tulisan singkat ini mampu memberikan motivasi kepada kita semua.* Muhammad Karim, Tim Asatidz Tafaqquh Study Club, Pekanbaru

Rep: Admin Hidcom
Editor: Rofi' Munawwar