Bagaimana pengaturan dan proses pembuatan peraturan perundang-undangan omnibus law

DPR dan Presiden mengusulkan RUU Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan ke dalam prioritas 2021. RUU tersebut akan disusun dengan menggunakan pendekatan omnibus law. Selain itu, terdapat satu RUU dalam prioritas 2021 yang juga disebutkan akan disusun menggunakan pendekatan omnibus law yakni RUU Ibukota Negara.

Terkait dengan penggunaan pendekatan omnibus law dalam menyusun kedua RUU dalam prioritas 2021 tersebut seharusnya DPR dan Presiden melakukan evaluasi dan perbaikan terlebih dahulu melihat proses penyusunan UU Cipta Kerja yang juga menggunakan pendekatan omnibus law dan menimbulkan banyak permasalahan dari sisi teknis.

Beban penyusunan UU dengan pendekatan omnibus law di luar kelaziman praktik penyusunan undang-undang di Indonesia. Hal ini berdampak pada ketidaksiapan pengambil kebijakan dalam hal ini pemerintah dan DPR, dan tim teknis penyusunan undang-undang. Materi UU dengan pendekatan omnibus law bersifat multisektor, jangkauan bidang yang diatur sangat luas dan disusun dalam waktu yang terbatas. Risikonya terjadi pengabaian terhadap prinsip-prinsip pembentukan undang-undang yang baik sehingga proses dan hasilnya tidak mencerminkan adanya partisipasi, transparansi dan akuntabilitas.

Proses penyusunan UU Cipta Kerja membuktikan hal tersebut dimana sampai dengan disahkan oleh Presiden masih ditemukan kesalahan teknis. Selain itu, proses penyusunan sejak tahap awal sampai dengan pengesahan juga minim partisipasi. Dengan proses dan hasil yang tidak baik tersebut memberikan legitimasi publik yang rendah terhadap UU Cipta Kerja.

Permasalahan yang terjadi dalam penyusunan UU Cipta Kerja dengan pendekatan omnibus law baik dari aspek substansi maupun admnistrasi juga menunjukkan bahwa birokrasi perundang-perundangan masih terlihat gagap atau belum siap dalam menyusun undang-undang dengan pendekatan omnbus law. Akibatnya yang tampak adalah mengejar target, yang penting UU jadi sesuai perintah presiden atau DPR.

Ketidaksiapan birokrasi perundang-undangan ini terjadi karena memang belum ada pedoman yang jelas dalam penggunaan metode omnibus law di dalam pengaturan pembentukan undang-undang. UU No. 12/2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan yang direvisi dengan UU 15/2019 tidak memberikan pedoman baik proses penyusunan, pembahasan sampai dengan teknik perancangan undang-undang dengan menggunakan pendekatan omnibus law.

Oleh karena itu, seharusnya DPR dan pemerintah tidak perlu terburu-buru untuk menggunakan pendekatan omnibus law lagi dalam menyusun undang-undang. Kesalahan proses dalam menyusun UU Cipta kerja telah memberikan efek buruk pada tata kelola legislasi.

DPR dan pemerintah sebaiknya menyusun pedoman terlebih dahulu sebagai panduan dalam menyusun dan membahas undang-undang yang dibentuk dengan menggunakan pendekatan omnibus law. Penyusunan pedoman tersebut perlu dilakukan dengan memasukkan revisi UU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan ke dalam prioritas 2021 dan segera memprioritaskan penyelesaiannya terlebih dahulu dibandingkan penyelesaian undang-undang lain yang akan menggunakan pendekatan omnibus law.

M Nur Sholikin 

Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) 

Puri Imperium Office Plaza G-9 

Jl. Kuningan Madya Kav. 5 – 6

Kuningan – Jakarta Selatan 

bayu dwi anggono



Usulan Presiden Joko Widodo untuk menerbitkan Omnibus Law menuai reaksi publik. Hal ini karena Indonesia menganut sistem hukum civil law, sementara omnibus law dari sistem hukum common law, serta setiap undang-undang memiliki landasan filosofis, yuridis, dan sosiologis berbeda sehingga menyulitkan memastikannya tetap ada dalam omnibus law. Rumusan permasalahan penulisan ini adalah bagaimana konsepsi, manfaat dan kelemahan pembentukan Undang-Undang melalui model omnibus law, kemudian bagaimana peluang dan tantangan omnibus law untuk dapat diadopsi dalam sistem perundang-undangan Indonesia. Penulisan ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif, dengan pendekatan perundang-undangan dan konsep, yang juga mengkaji studi dokumen. Manfaat omnibus law bagi pembentuk undang-undang akan mudah mencapai kesepakatan dan menghindarkan dari kebuntuan politik, menghemat waktu dan mempersingkat proses legislasi, pembentukan Undang-Undang menjadi lebih efisien, dan meningkatkan produktivitas dalam pembentukan Undang-Undang. Kelemahan omnibus law adalah pragmatis dan kurang demokratis, membatasi ruang partisipasi maupun disusun tidak sistematis dan kurang hati-hati. Peluang diadopsinya teknik omnibus law secara permanen dalam sistem perundang-undangan di Indonesia akan sangat tergantung dari keberhasilan dan manfaat Undang-Undang omnibus law yang dihasilkan. Sejumlah persyaratan perlu dipenuhi dalam penggunaan omnibus law di Indonesia yakni pemenuhan azas keterbukaan, kehati- hatian, dan partisipasi masyarakat serta sebaiknya tidak dilakukan untuk kebijakan yang mengandung skala besar utamanya berkaitan dengan HAM



Omnibus Law, adopsi, tantangan


DOI: http://dx.doi.org/10.33331/rechtsvinding.v9i1.389

  • There are currently no refbacks.


Page 2

DOI: http://dx.doi.org/10.33331/rechtsvinding.v9i1

Jurnal Rechtsvinding Volume 9 Nomor 1 Tahun 2020 edisi pertama ini bertema ”Omnibus Law Sebagai Sarana Utama Penataan egulasi”. Isu omnibus law menarik untuk dibahas ditengah ramainya pro kontra pendapat masyarakat maupun pakar hukum. Oleh karena itu, pada edisi kali ini berbagai artikel yang disajikan diharapkan mampu memberikan gambaran dinamika dan perkembangan omnibus law dalam
mendukung agenda Pemerintah dalam penataan regulasi.

Persoalannya, dalam UU 12/2011 tidak mengatur secara jelas mekanisme tata cara pencabutan, pemindahan, perubahan pasal-pasal dari sejumlah UU yang masuk dalam RUU omnibus law.

Bacaan 2 Menit

Bagaimana pengaturan dan proses pembuatan peraturan perundang-undangan omnibus law

Ilustrasi Peraturan: BAS

Sejumlah pihak pernah mengkritik kebijakan pemerintah terkait mekanisme sejumlah RUU Omnibus Law demi menggenjot pertumbuhan ekonomi. Salah satunya, LBH Jakarta yang menganggap revisi sejumlah UU omnibus law tidak sesuai sistem hukum dan peraturan yang berlaku di Indonesia. LBH menilai omnibus law ini tidak punya landasan (dasar) hukum.

LBH menilai UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana diperbarui UU No.15 Tahun 2019 tidak mengatur mekanisme omnibus law. Karena itu, penyusunan RUU omnibus law seharusnya taat asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan. Jika tidak, berpotensi menimbulkan masalah baru.

Timbul pertanyaan, bagaimana proses pencabutan atau penarikan pasal-pasal UU lain yang terkena omnibus law? Jika pasal-pasal yang ditarik/dicabut dalam omnibus law berubah isinya, bagaimana status pasal yang dicabut (dihapus) itu di UU asalnya?  

Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Willy Aditya mengakui penyusunan RUU omnibus law mendapat sorotan banyak pihak. Salah satunya, aturan yang digunakan dalam proses penyusunan draf RUU omnibus law yakni RUU Ibukota Negara, RUU Cipta Lapangan Kerja, dan RUU Perpajakan.   

Dia menegaskan metode penyusunan tiga RUU omnibus law tetap mengacu UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana diperbaharui dengan UU No.15 Tahun 2019. Dia menilai teknis pencabutan pasal-pasal dari sejumlah UU yang berstatus masih berlaku atau sebaliknya (tidak berlaku) tetap menggunakan cara yang sederhana.

“Jadi kalau kita berpikir complicated ya jadi complicated. Tapi kalau kita berpikir solutif ya solutif. Jadi mengacu pada UU 12/2011, terus apalagi acuannya?” ujar Willy kepada Hukumonline di Komplek Gedung Parlemen, Selasa (28/1/2020). Baca Juga: RUU Omnibus Law Dinilai Tak Punya Pijakan Hukum

Politisi Partai Nasional Demokrat (Nasdem) itu menjelaskan ketika terdapat penarikan pasal dari UU tertentu ke dalam UU omnibus law, maka yang berlaku adalah pasal dalam omnibus law. Sementara UU di luar omnibus law tetap berlaku. Kata lain, metode omnibus law hanya bersifat memindahkan, merevisi, atau menghapus pasal-pasal dalam UU tertentu di luar omnibus law.


Page 2

Persoalannya, dalam UU 12/2011 tidak mengatur secara jelas mekanisme tata cara pencabutan, pemindahan, perubahan pasal-pasal dari sejumlah UU yang masuk dalam RUU omnibus law.

Bacaan 2 Menit

“Tetapi, omnibus law tidak menggugurkan (mencabut, red) UU sebelumnya. Cuma (menghapus/memindahkan/merevisi, red) kewenangan-kewenangan dan aturan-aturannya saja,” kata dia.

Dia mengimbau kepada masyarakat agar berpikir sederhana terhadap omnibus law sambil memantau proses pembahasannya di DPR. Melalui omnibus law, diyakini dapat menyelesaikan berbagai persoalan agar dapat keluar dari krisis. Mulai soal aturan perizinan yang tumpang tindih, kemudahan investasi, lapangan pekerjaan, hingga perpajakan. “Sebenarnya simple.”

Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Prof Benny Riyanto mengatakan omnibus law sebuah metode dalam proses legislasi atau penyusunan regulasi, bukan jenis peraturan perundang-undangan. Karena itu, proses pembentukan legislasinya sesuai UU 12/2011 sebagaimana diperbaharui dalam UU 15/2019. “Omnibus law itu kalau mau kita bahas segera, (prosedurnya, red) harus masuk dalam daftar Prolegnas Prioritas dulu, dan itu sudah masuk,” ujarnya mencontohkan.

Menurut dia, pijakan hukum dalam menyusun naskah akademik dan draf RUU omnibus law mengacu UU 12/2011. Sebab, UU 15/2019 tidak merevisi tentang tata cara penyusunan pembuatan peraturan perundang-undangan. “Itu sebabnya, pembuatan RUU dengan metode omnibus law tetap menggunakan UU 12/2011. Penyusunan masih menggunakan UU 12/2011 dimana itu ada syarat substantif dan syarat teknis, jadi tidak berubah,” katanya.

Misalnya, Pasal 44 UU 12/2011 mengatur mekanisme penyusunan naskah akademik dan Pasal 45 mengatur tentang RUU yang diusulkan presiden dan DPR disusun berdasarkan daftar prolegnas. Pasal 44 ayat (1) menyebutkan, “Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang dilakukan sesuai dengan teknik penyusunan Naskah Akademik. Ayat (2)-nya menyebutkan, “Ketentuan mengenai teknik penyusunan Naskah Akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.”  

Sementara Pasal 45 ayat (1) menyebutkan, “Rancangan Undang-Undang, baik yang berasal dari DPR maupun Presiden serta Rancangan UndangUndang yang diajukan DPD kepada DPR disusun berdasarkan Prolegnas.” Hanya saja, dalam UU 12/2011 memang tidak mengatur secara jelas mekanisme tata cara pencabutan, pemindahan, perubahan pasal-pasal dari sejumlah UU yang masuk dalam RUU omnibus law.  

Namun, pengaturan tata cara penyusunan RUU diatur melalui Peraturan DPR No.2 Tahun 2012 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang. Seperti Pasal 23 ayat (1) menyebutkan, “Pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsi rancangan undang-undang meliputi: a. aspek teknis; b. aspek substansi; c. aspek pembentukan peraturan perundang-undangan.”


Page 3

Persoalannya, dalam UU 12/2011 tidak mengatur secara jelas mekanisme tata cara pencabutan, pemindahan, perubahan pasal-pasal dari sejumlah UU yang masuk dalam RUU omnibus law.

Bacaan 2 Menit

Ayat (2)-nya menyebutkan, “Aspek teknis sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf a mencakup kajian rancangan undang-undang berdasarkan teknis penyusunan peraturan perundang-undangan.” Sementara ayat (3) menyebutkan, “Aspek substansi sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf b mencakup kajian rancangan undang-undang terkait kesesuaiannya dengan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, dan undang-undang.”

“Jadi (omnibus law, red) itu kan masuk prolegnas prioritas, syaratnya adanya naskah akademik dan draf RUU itu,” katanya.