Bagaimana pendapat kalian tentang pemimpin yang melakukan korupsi

Mengapa korupsi tetap tumbuh subur?

Keterangan gambar,

Komisi Pemberantasan Korupsi mendapat dukungan luas di masyarakat.

Kunjungan Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso ke Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, Bandung akhir pekan lalu dan bertemu dengan terpidana kasus korupsi, Fahd A Rafiq dikecam.

Sebagian kalangan menuding kunjungan tersebut terkait kepentingan pribadi setelah dalam sidang Fahd menyebut Priyo Budi Santoso menerima komisi dalam proyek pengadaan laboratorium komputer di Kementerian Agama sebesar 1% dari nilai proyek.

Ia juga disebut menerima komisi dari penggandaan Al Quran pada 2011.

Kasus ini hanya salah satu contoh kasus korupsi yang tumbuh subur di Indonesia. Kementerian Dalam Negeri mengatakan sepanjang Oktober 2004 hingga Juli 2012 terdapat ribuan pejabat daerah yang terlibat kasus korupsi di segala lapisan pejabat daerah, mulai dari gubernur, wali kota, bupati, hingga anggota dewan perwakilan daerah.

Jumlah tersebut belum termasuk para pejabat pusat dan bawahan-bawahan mereka. Hingga kini masih banyak kasus yang ditangani KPK, termasuk proyek Hambalang yang menyeret mantan Menpora Andi Mallarangeng.

Mengapa korupsi tetap tumbuh subur di Indonesia padahal Komisi Pemberantasan Korupsi aktif melakukan pemberantasan?

Faktor-faktor apa saja yang membuat korupsi masih terjadi meskipun para pelaku dihukum penjara?

Apakah sinyalemen adanya kemudahan-kemudahan di penjara kontraproduktif terhadap pemberantasan korupsi?

Kirim pendapat Anda untuk Forum BBC Indonesia yang disiarkan di radio setiap Kamis pukul 1800 WIB dan juga dapat disimak melalui internet BBCIndonesia.com.

Tulis komentar Anda di kolom yang disediakan di bawah ini. Jangan lupa cantumkan nama dan asal kota Anda.

Cantumkan nomor telepon bila Anda bersedia dihubungi BBC apabila komentar Anda terpilih.

Ragam komentar

Lewati Podcast dan lanjutkan membaca

Podcast

Dunia Pagi Ini BBC Indonesia

BBC Indonesia mengudara pada Pukul 05.00 dan 06.00 WIB, Senin sampai Jumat

Episode

Akhir dari Podcast

"Apabila koruptor dikenakan tindak pencucian uang seperti Ahmad Fathanah, bisa sedikit mengurangi korupsi. Masa euforia masih terjadi, banyak partai didukung oleh jaringan preman entah lokal atau nasional, membutuhkan biaya operasional yang besar untuk kampanye, maka hampir setiap pejabat publik mencari cara untuk mengembalikan modal yang telah dikeluarkan untuk biaya preman.Sebagian besar oknum TNI dan polisi turut terlibat didalamnya. Wajib militer akan mengurangi korupsi secara signifikan." Sigit Bani Prabowo, Klaten.

"Korupsi seperti tidak ada habis-habisnya, calon koruptor baru terus tumbuh dengan usia yang lebih muda. Dalam sistem birokrasi, para birokrat muda mencontoh para pendahulunya seolah korupsi menjadi hal yang lumrah. Tidak ada semangat penolakan dari mereka. Kemana nilai-nilai kebaikan yang mereka peroleh dari proses pendidikan yang telah mereka lalui selama ini? Jika ini terus terjadi, proses pemberantasan korupsi seperti "menggarami air laut". Sjafruddin Seuriget, Langsa, Aceh.

"Yang jelas budaya malu sudah tidah ada lagi di negeri ini. Mereka (para pejabat) yang notabene dipilih rakyat sudah tidak menghiraukan nasib rakyat, mereka hanya mementingkan diri sendiri (dan golongannya). Cara paling mudah menghilangkan korupsi di negeri ini adalah memberikan hukuman dengan memiskinkan yang bersangkutan dan menyuruh mengembalikan uang hasil korupsi dan di penjara digabungkan dengan para maling ayam dan para pembunuh. Kusdiyanto, Pemalang.

"Diangkat sebagai seorang pejabat itu bukan untuk melaksanakan tanggungjawab, tapi adalah sebagai kesempatan untuk mengembalikan modal yang sudah dihabiskan untuk mencapai posisi itu, plus keuntungan yang diimpikan. Namanya juga aji-aji mumpung. Makanya banyak pejabat yang kurang becus pada bidangnya, malah sibuk dengan menumpuk kekayaan. Andaikan becus kerja pun juga untuk sekedar membangun citra diri, agar nanti terpilih lagi." Irwan Rosyadi, Washington DC.

Efek jera

"Sederhana, karena hukum tunduk pada politik. Penegakan hukum yang setengah hati menjadikan negeri ini sebagai surga bagi koruptor. Selain itu, mantan narapidana korupsi ketika kembali kemasyarakat masih mendapat posisi terhormat. Tidak ada sanksi sosial dari masyarakat." Irwan Ali, Makassar.

"Karena dalam memilih anggota dewan, rakyat pemilih latar pendidikannya banyak yang rendah jadi tidak mengetahui siapa yang dipilih." Saleh Alhasini, Surabaya.

"Karena hukumannya terlalu ringan sehingga tidak ada efek jera." Doan Masengi, Manado.

"Karena hukumannya ringan banget. Maling sandal atau maling miliaran/triliunan hukumannya podo wae alias sama saja. Sistem wani piro harus segera diberantas tuntas." Gun Smoker, BBC Indonesia di Facebook.

"Korupsi kan sudah menjadi budaya kalau sudah tidak ada yang masuk penjara berarti bukan budaya lagi." Muhammad Yusuf Om Ucoep, BBC Indonesia di Facebook.

Efek Jera Bagi Para Koruptor

Oleh : M. Alif Hakim S.Pd

Korupsi dalam kehidupan manusia bukanlah suatu hal yang baru, melainkan sudah ada bersamaan dengan umur manusia itu sendiri. Korupsi pada saat ini menjadi sangat akrab di telinga serta dianggap sesuatu yang tidak baik dan menyebabkan keterpurukan bangsa. Masalah ini perlu dijadikan suatu hal yang harus ditanggulangi bersama dan diperangi bersama. Makna dari korupsi sendiri ialah penyalahgunaan kekuasaan publik untuk kepentingan pribadi atau privat yang merugikan publik dengan cara-cara bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku.

Korupsi terjadi jika memenuhi tiga hal, yaitu pertama jika seseorang memiliki kekuasaan termasuk untuk menentukan kebijakan publik dan melakukan administrasi kebijakan tersebut. Kedua, adanya economic rent, yaitu manfaat ekonomi yang ada kebijakan publik tersebut. Ketiga, sistem yang ada membuka peluang terjadinya pelanggaran oleh pejabat publik yang bersangkutan.[1]Korupsi tidak hanya sebatas mengambil uang Negara melainkan banyak jenisnya. Tertera pada UU nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengelompokkaan korupsi menjadi tujuh kelompok, yaitu[2] :

  1. Korupsi yang terkait dengan merugikan keuangan Negara.
  2. Korupsi yang terkait dengan suap-menyuap.
  3. Korupsi yang terkait dengan penggelapan dalam jabatan.
  4. Korupsi yang terkait dengan pemerasan.
  5. Korupsi yang terkait dengan perbuatan curang.
  6. Korupsi yang terkait dengan benturan kepentingan dalam pengadaan.
  7. Korupsi yang terkait dengan gratifikasi.

Fenomena korupsi di Indonesia sudah menjadi berita hangat yang sering didengar dan dibicarakan. Korupsi di Indonesia sudah menjadi virus yang sedemikian parah dan akut bahkan telah menyebar dibanyak sektor pemerintahan. Adanya korupsi di Indonesia menunjukkan bahwa korupsi dilakukan oleh orang-orang yang menduduki kekuasaan tertentu. Para koruptor bahkan tidak menunjukkan rasa malu dan takut saat dirinya ketahuan dan ditangkap melakukan hal tersebut[3]. Banyak dampak yang ditimbulkan dari tindakan korupsi seperti merusak kestabilan ekonomi dan keamanan Negara. Dampaknya juga terhadap hak-hak masyarakat dari Negara yang seharusnya tersalurkan menjadi tidak tercapai.

Tindakan korupsi di Indonesia masih ada sampai saat ini, seperti kasus BLBI merupakan kasus korupsi terbesar di Indonesia. Pada tahun 1998 negara mengeluarkan Rp. 320 Triliun untuk 54 bank swasta, akan tetapi yang terjadi dana yang kembali hanya 8,5% atau Rp. 27,2 triliun saja. Kasus korupsi yang terbaru di Indonesia saat ini adalah dari PT. Asuransi Jiwasraya (persero) dengan kerugian ditanggung oleh negara berjumlah Rp. 17 triliun[4]. Melihat fenomena ini, silih berganti dari pemerintah selalu menjadikan pemberantasan korupsi sebagai salah satu dari agenda kegiatannya. Pada 2019, indeks persepsi korupsi untuk Indonesia mencapai skor 40. Indeks persepsi korupsi di Indonesia meningkat dari 22 skor pada 2005 menjadi 40 pada 2019, tumbuh rata-rata tahunan 4,45%.[5]

Negara telah mengupayakan langkah-langkah dalam mempersempit peluang untuk tindakan korupsi seperti langkah preventif dan langkah detektif. Upaya preventif seperti pembentukan lembaga yang dapat mencegah terjadinya tindakan korupsi, membuat undang-undang yang menindak bagi pelaku korupsi. Redaksinya tercantum dalam UU Tentang Pemberantasan Tindakan Korupsi Bab 2 Pasal 2 sebagai berikut :

  1. Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).[6]
  2. Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.

Langkah detektif juga sudah diupayakan seperti perbaikan sistem dan tindak lanjut atas pengaduan masyarakat, partisipasi Indonesia pada gerakan anti korupsi dan anti pencucian uang di masyarakat internasional dan lain sebagainya.[7] Hasilnya masih saja tetap ada oknum yang melakukan tindakan korupsi. Bahkan ada beberapa pelaku korupsi yang ketahuan berada di salah satu cafe padahal ia dalam masa hukuman di balik jeruji besi. Salah satu media informasi juga pernah meliput bagaimana keadaan kamar para koruptor yang sangat berbeda dengan keadaan kamar Narapidana pada umumnya. Negara ini perlu menerapkan hukuman yang sesuai pada keadaan Indonesia saat ini yaitu hukuman mati atau potong tangan sebagai efek jera bagi para koruptor.

Pada dasarnya hukuman mati bagi para koruptor telah tercantum pada UU tetapi hanya menjadi wacana belaka. Hendaknya Negara ini bisa mencontoh negeri Cina dalam penerapan hukuman tersebut.Sudah sangat banyak para koruptor yang mengalami eksekusi ini, mulai dari ditembak, digantung hingga disuntik mati. Eksekusi para pelaku koruptor berada di lapangan dan diperlihatkan kepada masyarakat sehingga akan menimbulkan efek jera bagi siapa saja yang ingin melakukan tindakan korupsi. Stabilitas ekonomi dan politik Cina tidak menentu sebelum diberlakukannya hukuman mati bagi para koruptor karena hukuman sebelumnya tidak membuat jera para koruptor. Setelah hukuman mati diterapkan dengan tegas, maka perekonomian dan politik kian maju bahkan disegani oleh negara-negara lainnya.[8]

Hukuman potong tangan juga sudah diterapkan oleh beberapa negara seperti Arab Saudi dan Brunei Darussalam yang hasilnya di Negara tersebut minim pencuri. Cara eksekusi hukuman ini ialah apabila seorang pencuri telah dipotong tangan kanannya kemudian mengulangi berbuat mencuri untuk kedua kalinya, maka kaki kirinya dipotong pada persendian antara betis dengan telapak kaki. Hukuman ini tidak semena-mena dijatuhkan akan tetapi memiliki syarat tertentu, adapun syarat tertentu adalah:

1.      Pencuri tersebut sudah baligh, berakal dan melakukan pencurian tersebut dengan kehendaknya. Anak-anak, orang gila dan orang yang dipaksa orang lain tidak dipotong tangannya.

2.      Barang yang dicuri itu sedikitnya sampai satu nisab (kira-kira seberat 93,6 gram emas), barang itu diambil dari tempat penyimpanannya dan arang itu pun bukan kepunyaan si pencuri.[9]

Keputusan ini pasti akan menimbulkan perspektif negatif bagi beberapa orang, bahkan menganggap hukuman ini tidak manusiawi dan tidak sesuai dengan hak asasi manusia seperti yang tercantum pada Pernyataan Hak Asasi Manusia Pasal 5: Tidak seorang pun boleh disiksa atau diperlakukan secara kejam, memperoleh perlakuan atau dihukum secara tidak manusiawi atau direndahkan martabatnya.

Mereka tidak melihat bagaimana kondisi orang yang hak tidak tersampaikan bahkan diambil begitu saja padahal orang tersebut telah menantikannya. Maka dari itu hal ini perlu diterapkan karena tidak hanya ditinjau dari satu perspektif saja, melainkan dari semua perspektif. Hukum itu perlu ditegakkan karena bukan hanya untuk kepentingan individu melainkan untuk kepentingan orang banyak. Sehingga jika negara ini menerapkan hukuman tersebut maka para koruptor akan berkurang karena telah mengetahui konsekuensi dari pebuatan korupsi. Pada saat itu juga perekonomian serta kemaslahatan bersama akan terjamin.

Dengan demikian jika negara ini menerapkan hukuman tersebut bagi para koruptor, maka sedikit demi sedikit tingkat korupsi di negeri ini akan berkurang serta akan hilangnnya bentuk deskriminasi antar tahanan. Maka dari itu selain dengan menegakkan hukuman tersebut perlu adanya upaya yang mendukung hal tersebut seperti membangun budaya anti korupsi di masyarakat, memperbaiki mental dan moral bangsa, melibatkan institusi pendidikan anti korupsi, meningkatkan kejujuran dan karakter bangsa serta melibatkan masyarakat dalam penegakan hukum.

[1]Ridwan dan Wijayanto.2009.Korupsi Mengkorupsi Indonesia.Jakarta.Gramedia Pustaka Utama. Hlm 9

[2]Syahroni,dkk.2018.Korupsi, Bukan Budaya Tetapi Penyakit.Yogyakarta.CV Budi Utama. Hlm 13

[6]Undang-Undang Republik Indonesia nomor 31 Tahun 1999

[7]Arum Sutrisni Putri,UU Tipikor dan Upaya Pemberantasan Korupsi, //www.kompas.com/ diakses pada 28 April 2020 pukul 16.00 WIB

[8]Nur.Menggapai Hukum Pidana Ideal.Yogyakarta.DeePublish. hlm 320

[9]Rasyid.Fiqh Islam.Bandung.Sinar Baru Algensindo. Hlm 441

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA