KEBERAGAMAN SASTRA INDONESIA DALAM MEMBANGUN KEINDONESIAAN Puji Santosa Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa 1. PENDAHULUAN Multikulturalisme meliputi sebuah pemahaman, penghargaan, dan penilaian atas budaya seseorang, serta sebuah penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnis lain (Blum dalam Nugroho, 2003:13). Dalam kaitannya dengan bahasa dan sastra Indonesia, multikultarlisme dipahami sebagai suatu doktrin atau suatu perpektif atau suatu cara pandang tentang kehidupan manusia yang memiliki keberagaman budaya memahami bahasa dan sastra Indonesia. Melalui bahasa dan sastra Indonesia itu multikulturalisme menyatukan cara pandang dan memahami lintas etnis dalam berbagai- bagai kebudayaan yang berbeda-beda di suatu masyarakat. Inti dari multikulturalisme adalah keberagaman, belajar hidup bersama dalam perbedaan (Utjan, 2009). Seperti halnya pengertian pluralisme agama, yaitu berbagai-bagai agama yang berbeda-beda di dalam suatu masyarakat, demikian halnya dengan multikulturalisme dalam bahasa dan sastra Indonesia modern adalah "berbagai-bagai kebudayaan yang terdapat dalam bahasa dan sastra Indonesia modern”. Pluralisme agama di Indonesia dapat dipersatukan dengan adanya toleransi umat beragama atau menghormati semua agama, yang berarti menghormati perbedaan agama dengan mengedepankan pertimbangan rasio. Keberadaan bangsa Indonesia pun bersifat multikul- tural itu dapat dipersatukan dengan sikap menjunjung tinggi “bhineka tunggal ika”. Tentu demikian halnya dengan multikulturalisme dalam sastra Indonesia dapat dipersatukan dengan tetap menjunjung bahasa persatuan, bahasa nasional, bahasa kebangsaan, yaitu pemakaian laras budaya bahasa Indonesia dari berbagai pengarang di seluruh antero pelosok negeri ini, sebagai wahana pengucapan sastra Indonesia modern. Semangat untuk tetap menjunjung bahasa Indonesia seperti ikrar Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, menjadi dasar keutamaan yang dipegang teguh oleh para pengarang sastra Indonesia dari kelahirannya hingga kini. Dengan tetap menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia, sastra Indonesia modern tetap eksis dan menjadi perekat antarsuku, agama, ras, dan golongan dalam memahami budaya dan intelektual bangsa.
Sementara itu, pengertian sastra Indonesia modern diartikan sebagai “karya sastra yang aslinya ditulis dalam bahasa Indonesia setelah mendapat pengaruh kebudayaan asing" (KBBI, 2012:1230). Pendapat tentang sastra Indonesia modern itu diperkuat oleh Ajip Rosidi (1991: 755) yang menyatakan bahwa sastra Indonesia adalah "karya sastra mo- dern sebagai hasil pengaruh kebudayaan dan kesusastraan Barat yang ditulis dalam bahasa Indonesia, yang mulai muncul pada dasawarsa kedua pada abad kedua puluh". Kedua batasan tentang sastra Indonesia modern itu tampaknya diperkuat pula oleh hasil Putusan Kongres Bahasa Indonesia VII, Jakarta, 26—30 Oktober 1998, yang menyebutkan bahwa: "Selama ini, dengan bersumber pada budaya sendiri dan pengaruh-pengaruh asing yang sudah diramu ke dalam budaya Indonesia, masyarakat Indonesia telah mampu menghasilkan banyak karya sastra Indonesia dan daerah. Kemampuan untuk menggali nilai-nilai budaya sendiri dan meramu pengaruh asing ke dalam banyak karya sastra Indonesia itu merupakan modal dasar apresiasi dan kreativitas untuk menciptakan kehidupan sastra yang lebih baik." Mengacu pada ketiga pernyataan tentang sastra Indonesia modern tersebut bahwa kondisi sastra Indonesia sejak kelahirannya, seputar awal abad dua puluh, hingga kini berada dalam situasi multikulturalisme. Secara substansial pernyataan tentang sastra Indonesia modern di atas mengandung unsur-unsur budaya yang bermacam-macam, yang beragam, antara lain (1) pemakaian laras budaya bahasa Indonesia, (2) penggalian nilai- nilai budaya sendiri, (3) peramuan pengaruh budaya asing atau budaya global, dan (4) penerimaan atau penyaringan budaya global dalam kehidupan sastra Indonesia sehingga keempat unsur budaya tersebut menjadi modal dasar memperkukuh persatuan bangsa Indonesia di tengah ancaman disintegrasi bangsa. Terlebih, dengan bergulirnya era demokrasi kebablasan dan informasi hoak dalam media sosial ini jelas menjadikan multikulturalisme sebagai ajang dialog budaya atau wahana pertemuan berbagai kebudayaan di bawah semangat keindonesian baru. Membangun Indonesia baru dengan nilai-nilai luhur budaya bangsa. Sastra Indonesia tumbuh dan berkembang dari budaya Indonesia yang beraneka ragam. Oleh karena itu, keberadaan sastra Indonesia pun menunjukkan beraneka ragam genre, gaya ungkap, tokoh, mitologi, hingga ke masalah sosial, politik, dan budaya etnik. Genre sastra di Indonesia tidak hanya yang tampak general, seperti prosa, puisi, dan drama, tetapi juga yang spesifik, seperti dongeng, legenda, mitos, epos, tambo, hikayat, syair, pantun, gurindam, macapat, karungut, mamanda, dan geguritan. Keberagaman genre sastra tersebut juga menyebabkan keberagaman dalam hal gaya ungkap, tokoh yang
ditampilkan, semangat mitologi yang mendasari, serta masalah sosial, politik, dan budaya etnik dari sastrawan daerah yang menuliskan karya sastra tersebut. Membangun keindonesiaan atau menafsir keindonesiaan (Sutrisno, 2004:131— 137) dan mencari identitas kultur keindonesiaan (Supriyono, 2004:139—153) tidak pernah selesai selama hayat masih dikandung badan. Selama masih ada negara yang bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia dan masih ada rakyat yang mendukungnya, pembangunan di Indonesia terus dan terus akan tetap berkelanjutan. Namun, mau dibawa ke arah mana pembangunan Indonesia dalam era global dan pasar bebas dunia ini? Dalam hal masalah keberagaman sastra Indonesia dalam membangun identitas keindonesiaan, berikut akan dibicarakan (1) keberagaman laras bahasa, (2) keberagaman budaya etnik, termasuk mitologi daerah dan masalah dasar kehidupan, serta (3) keberagaman pengaruh budaya asing dan global. Ketiga hal itulah kiranya yang menjadi masalah krusial kebangsaan dalam menentukan arah pembangunan Indonesia pada masa depan, khususnya pembangunan dan pembinaan sastra di Indonesia. 2. PEMBAHASAN 2.1 Cita-cita Kebangsaan Sebuah puisi berikut ditulis sebagai upaya menggambarkan cita-cita kebangsaan, yakni tentang masa depan bangsa dan negara kesatuan Republik Indonesia yang pada suatu saat tertentu akan mencapai puncak kejayaan kebudayaan dunia. CITA-CITAKU Cita-citaku agar menjadi bangsa mulia hendaklah bangsaku berusaha supaya selalu sadar berbakti, beriman, dan bertakwa akan tuntunan dan pencerahan Tuhan Maha Esa berjalan di Jalan Kebenaran ialah Jalan Utama berdasarkan petunjuk agama yang dipercaya supaya bangsaku hidupnya sejahtera dan mulia mendapat keadilan, ketenteraman, berbahagia, jaya serta masyhur ke seluruh penjuru dunia. Cita-citaku agar menjadi bangsa cendekiawan hendaklah bangsaku maju tetap mengusahakan senantiasa kaya akan pelbagai ilmu pengetahuan oleh karena dengan ilmu menjadi pangkal kemajuan oleh sebab bodoh dan dungu membuat kesengsaraan
hidup menjadi tersesat-sesat berada dalam kegelapan, dengan ilmu lahir dan batin jalan hidup jadi tercerahkan. Cita-citaku agar menjadi bangsa bijak berwibawa hendaklah bangsaku senantiasa harus waspada berhati-hati, cermat, teliti, meski tidak harus curiga kepada siapa saja, terlebih itu kepada lain bangsa tidak boleh begitu saja kita ini mudahnya percaya berkenan menyerahkan apa-apa, segala yang ada kepada mereka, ternyata dia melakukan tipu daya ingatlah, riwayat menunjukkan lengah dan terlena akan menjadi malapetaka, hancur sudah negara. Cita-citaku agar menjadi bangsa teguh sentosa hendaklah bangsaku dapat merapat tampil ke muka senantiasa dalam persatuan dan kesatuan bangsa sehingga menjadi bangsa yang kokoh penuh daya mampu menjalin persaudaraan di antara kita semua membulatkan kekuatan meraih cita-cita nan mulia mencapai Indonesia mulia, jaya selama-lamanya. Cita-citaku agar menjadi bangsa unggul dan jaya hendaklah bangsaku maju meningkat kualitasnya, senantiasa brilian, bernas, andal, dan juga prima mampu dapat menjadi pelindung atas rakyat jelata mampu memberi rasa aman, damai, dan sejahtera mampu dapat memimpin bangsa-bangsa di dunia memayu hayuning bawana menjadi teladan utama. Cita-citaku agar menjadi bangsa yang selalu dihormati hendaklah bangsaku maju tampil sebagai pemberani menegakkan keadilan dan kebenaran di muka bumi melawan segala tindak angkara murka dan korupsi dengan jujur, tegas, bijaksana, adil kepada sesama hingga setiap orang yang ada di penjuru dunia ketika mereka mengucapkan nama Indonesia akan dihinggapi rasa hormat, segan, dan setia merasa bangga menjadi bagian dari hidupnya. Semoga saja berkenan, Tuhan Yang Mahakuasa senantiasa melimpahkan kasih, anugerah, karunia tuntunan, pencerahan, daya kekuatan lahir batin, juga perlindungan pada kita supaya terwujud cita-cita mulia Indonesia mencapai puncak kejayaan dunia selamanya. Bekasi, 7 April 2013 (Sumber: Puji Santosa. Adedmar Wahyu. 2015:45—46)
2.2 Keberagaman Laras Bahasa Bahasa Indonesia merupakan sarana utama pengucapan sastra Indonesia. Namun, bagi sebagaian besar pengarang sastra Indonesia, bahasa Indonesia merupakan bahasa kedua, setelah bahasa ibu. Tidaklah mengherankan apabila dalam karya sastra yang mereka tulis terdapat sejumlah kosakata, frasa, dan kalimat bahasa daerah. Hal itu dimungkinkan karena masyarakat Indonesia berada dalam tataran situasi bilingual atau multilingual. Dalam masyarakat yang demikian itu, pengarang akan lebih mudah dan leluasa menciptakan situasi kedwibahasaan (diglosia) secara alamiah, apa adanya. Hal itu mumungkinkan terjadinya alih kode (code-switching), campur kode (code-mixing), dan interfererensi (interference), seperti yang terdapat dalam sajak-sajak Darmanto Jatman bertajuk Sori Gusti (2002). Perlu kita sadari bahwa motivasi timbulnya kosakata, frasa, dan kalimat bahasa daerah dan bahasa asing dalam karya sastra Indonesia modern merupakan gejala perubahan situasi tindak tutur, dari daerah ke nasional atau sebaliknya dari nasional ke daerah, dan juga dari asing ke nasional atau dari nasional ke asing. Dalam situasi yang demikian itu memungkinkan timbulnya jenis alih kode situasional (situational switching) dan alih kode metaforis (metaphorical switching) sebagai sarana retorika pengarang, daya ungkap estetis, dan sekaligus sebagai daya pikat yang mampu menimbulkan pesona. Kita baru menyadari bahwa pengarang sastra Indonesia modern itu berada dalam jalur transisi antara daerah dan nasional ataupun daerah ke nasional dan berlanjut ke asing. Ada asumsi bahwa pengarang yang berasal dari daerah yang bukan penutur asli bahasa Indonesia pada umumnya masih dalam taraf belajar bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua. Bahasa ibu yang dikuasai secara intuitif adalah bahasa daerah sehingga konsep pemahaman tentang alam semesta, lingkungan tempat tinggal, sistem kekerabatan, tata ekosistem kemasyarakatan, dan falsafah hidup yang diajarkan oleh leluhur atau nenek moyangnya akan terasa kental dengan bahasa daerahnya ketika pengarang menulis dengan bahasa Indonesia. Bahasa daerah tersebut mewarnai bahasa Indonesia. Bahasa daerah itu sengaja digunakan karena bahasa Indonesia dianggap tidak mampu mewadahi konsep, tujuan, dan maksud bahasa daerah yang dikuasainya secara intuitif. Ada semacam hambatan atau kesukaran menerjemahkan beberapa kosakata khas bahasa daerah itu ke dalam bahasa Indonesia. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika pengarang begitu saja mengambil kosakata bahasa daerah sebagai khazanah bahasa Indonesia. Hal itu terjadi pada beberapa pengarang sastra Indonesia, seperti Linus Suryadi A.G., Umar Kayam, Y.B. Mangunwijaya, Dorothea Rosa Herliany, dan Darmanto Jatman.
Keberagaman laras bahasa Indonesia yang digunakan oleh pengarang dari daratan Sumatera—yang konon merupakan asal dari bahasa Indonesia—akan berbeda jauh dengan keberagaman laras bahasa Indonesia yang digunakan oleh para pengarang dari Jawa, Sunda, Bali, Dayak, Banjar, Papua, Minahasa, Maluku, dan Bugis. Hal itu tidak mengherankan, karena dalam awal perkembangan sastra Indonesia modern, para pengarang dari daratan Sumatera lebih mampu menulis sastra dalam bahasa Indonesia daripada pengarang yang berasal dari daerah lain. Situasi itu sangat dimungkinkan karena bahasa Melayu yang diangkat sebagai bahasa nasional (Indonesia) berasal dari daratan Pulau Sumatera. Namun, apakah pengarang dari daratan Sumatera itu tidak mengalami kesulitan mengekspresikan "dunia imajiner" mereka ke dalam karya sastra Indonesia? Tentu saja ada, hanya mereka lebih menguasai secara intuitif kosakata dasar bahasa Indonesia apabila dibandingkan dengan pengarang lain di luar Melayu. Bahasa Indonesia yang berkembang sekarang tampaknya menyesuaikan perkembangan dinamika zaman. Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 25 Ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan: “Bahasa Indonesia yang dinyatakan sebagai bahasa resmi negara dalam Pasal 36 UUD NKRI tahun 1945 bersumber dari bahasa yang diikrarkan dalam Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, sebagai bahasa persatuan yang dikembangkan sesuai dengan dinamika peradaban bangsa” (Santosa, 2016:148). Dengan demikian, khazanah kosakata dan frasa bahasa Indonesia yang ada sekarang ini tidak lagi sesempit "dunia Melayu". Adaptasi dari istilah asing dan pungutan dari bahasa daerah di Indonesia dapat memperluas perkembangan bahasa Indonesia. Hal itu ditunjukkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988 memuat 62.100 lema; 1991 memuat 72.000 lema; 2005 memuat 78.000 lema; 2008 memuat 90.000 lema; dan 2016 memuat 127.036 lema dan makna) yang memuat ribuan entri/lema yang berasal dari bahasa daerah, bahasa asing, dan bahasa Indonesia yang sudah ada sebelumnya. Amir Hamzah dalam dua kumpulan sajaknya, Nyanyi Sunyi (1937) dan Buah Rindu (1941), banyak menggunakan kosakata arkais. Orang Melayu di Malaysia pun perlu membuka kamus untuk memahami makna kosakata dalam sajak Amir Hamzah tersebut. Hal itu terbukti ketika Sutan Takdir Alisyahbana (1970) menerbitkan sajak Amir Hamzah di Malaysia disertai uraian (semacam paraprase) dan catatan kosakata sukar (senarai), misalnya kata juriat, sempana, jemala, terban, ripuk, rampak, lintang pukang, pokok purba, redam terbelam, jung bertudung, jauhri, asaka, swarna, hauri, canggai, pitunang, terkelar, kesturi, tepas, disangkak, tercingah pangah, dan terulik (Alisyahbana, 1996:37—54).
Laras bahasa Indonesia yang digunakan Bokor Hutasuhut dalam novelnya Penakluk Ujung Dunia (1964, 1988) juga diwarnai oleh kosakata khas bahasa Batak. Novel yang selesai ditulis oleh Bokor Hutasuhut pada tahun 1960 itu dalam penerbitan pertamanya (1964 oleh penerbit Pembangunan, Jakarta) tidak menyertakan senarai kosakata Batak- Indonesia. Hal yang demikian tentu sangat menyulitkan pemahaman isi novel tersebut bagi etnik lain di luar Batak. Namun, pada penerbitan kedua (1988 oleh penerbit Pustaka Karya Grafika Utama, Jakarta) dalam halaman 199—200 disertakan daftar istilah, seperti kata ama ni Bolpung, ampang ngardang, ampataga, berandak, bolatan, bona ni pasolgit, buhul, bungkas, curup, dolok, gelagah, luhak, manortar, mardege, margondang, martandang, menjilam, mora, parhitean, pargonci, purada, sopo bolon, sanduduk, temterasan, tuhil, dan ura. Dengan dihadirkannya daftar istilah dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia, pembaca di luar etnik Batak yang tidak memahami konsep dunia Batak dapat memahami kandungan novel tersebut. Mengacu pada kasus pemakaian laras bahasa Indonesia di atas, sebenarnya kita tidak perlu meributkan diri ketika Linus Suryadi A.G. pertama menerbitkan Pengakuan Pariyem (1981) dengan mengobral kosakata bahasa Jawa di dalamnya. Prosa liris yang diberi lampiran kosakata Jawa-Indonesia merupakan suatu bukti nyata adanya pluralisme dan multikulturalisme dalam budaya berbahasa Indonesia. Pengarang prosa liris Pengakuan Pariyem sepenuhnya menyadari bahwa pemakaian bahasa Jawa di dalamnya akan menyulitkan pemahaman isi novel tersebut bagi mereka yang tidak mengerti konsep pemikiran dunia Jawa. Penerbit novel tersebut menyadari benar akan hal itu sehingga menyertakan senarai kosakata bahasa Jawa-Indonesia. Kehadiran senarai kosakata tersebut mampu membantu pemahaman pembaca sastra di luar etnik Jawa yang tidak memahami bahasa Jawa. Bahasa Indonesia sebagai sarana pengucapan karya sastra Indonesia modern, menurut Koentjaraningrat (1985:527—538), merupakan wujud nyata kebudayaan nasional bangsa Indonesia. Kehadiran sastra Indonesia modern yang menggunakan bahasa Indonesia memenuhi fungsi: (1) memperkuat identitas orang sebagai suatu bangsa, yaitu bangsa Indonesia; (2) memperkuat solidaritas di antara warga negara dari negara yang bersangkutan sehingga memperkokoh persatuan Indonesia. Atas dasar pemikiran itu, sudah sewajarnya apabila karya sastra Indonesia modern mampu menjadi wadah atau ajang temu budaya, baik antaretnik di Indonesia maupun dunia. Novel Jalan Menikung karya Umar Kayam (1999), misalnya, mempertemukan berbagai etnik di dalamnya. Lingkup utama novel itu memang berbicara tentang dunia Jawa, tetapi muncul pula
perkawinan etnik Jawa dengan Minangkabau (Lantip dan Halimah), Jawa dengan Yahudi (Eko dan Claire Levin), Jawa dengan Barat atau Eropa (Marijan dan Marie, Tommi dan Jenette), dan Jawa dengan keturunan Cina (Anna dan Boy Saputra). Pertemuan berbagai bahasa, etnik, warna kulit, dan budaya pun terjadi dalam novel yang berbahasa Indonesia seperti itu. Dengan demikian, sastra Indonesia yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai sarana ekspresinya tetap dapat menyatukan pelbagai laras bahasa yang ada di Indonesia seperti yang terikrar dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan ialah bahasa Indonesia. 2.3 Keberagaman Budaya Etnik (Daerah) Sastrawan yang mengangkat potensi budaya etnik, terutama budaya daerah ke dalam sastra Indonesia modern, oleh banyak kritikus sastra sering disebut dengan warna lokal (local color) atau warna setempat. Karya sastra yang mengangkat warna lokal sebagai martabat budaya derahnya telah menjadi sebuah kecenderungan umum. Hal itu tidak mengherankan bagi kita karena sejak kelahirannya, awal abad XX, sastra Indonesia bersumber pada budaya sendiri, misalnya roman Balai Pustaka, Siti Nurbaya (Marah Rusli, 1922), Cinta yang Membawa Maut (Nursinah Iskandar, 1925), Pertemuan (Abas Sutan Pamuntjak Nan Sati, 1927), Darah Muda (Adinegoro, 1927), Asmara Jaya (Adinegoro, 1928), Salah Asuhan (Abdoel Moeis, 1928), dan Salah Pilih (Nur Sutan Iskandar, 1928) mengangkat unsur adat-istiadat masyarakat Minangkabau dalam sastra Indonesia modern (Ali, 1994). Budaya Minangkabau dengan segala adat-istiadatnya menjadi sumber kreativitas sastrawan yang berasal dari daerah Sumatera Barat, seperti Hamka (Djemput Mamaknya, 1930; Tenggelamnya Kapal van der Wijck, 1938; Merantau ke Deli, 1939), Nur Sutan Iskandar (Karena Mentua, 1932), Aman Datuk Madjainda (Rusmala Dewi, 1932), M. Enri (Karena Anak Kandung, 1940), dan Marah Rusli (Anak dan Kemenakan, 1956). Mereka mengangkat masalah (1) kawin paksa dan hubungannya dengan adat, (2) anggapan tentang kawin dengan orang di luar sukunya, (3) kebiasaan beristri banyak, (4) keturunan, (5) perkawinan sesuku, (6) keinginan mengubah sistem matrilinial dalam masyarakat Minangkabau, (7) adat meminang, dan (8) kebiasaan merantau. Para pengarang Sumatera Barat yang lahir kemudian pun, seperti A.A. Navis (Kemarau, 1967), Wisran Hadi (Cindua Mato, 1977), Chairul Harun (Warisan, 1979), Darman Munir (Bako, 1987), dan Lukman Ali (Pekan Selasa, 1999) tidak luput pula menggali nilai budaya sendiri, yaitu budaya daerah Minangkabau ke dalam karya sastra Indonesia modern. Bahkan pada pengarang Sumatra
Barat lainnya, seperti Rusli Marzuki Saria, Khairul Harun, Harris Effendi Tahar, Darman Moenir, Gus Tf, Syarifuddin Arifin, dan Iyut Fitra, warna lokal Minangkabau begitu sangat kentalnya. Selain daerah Minangkabau, penggalian nilai budaya sendiri ke dalam budaya Indonesia terjadi pula pada budaya Jawa. Pengarang dari Jawa, seperti Linus Suryadi A.G. (Pengakuan Pariyem, 1981; dan Tirta Kamandanu, 1994), Umar Kayam (Sri Sumarah dan Bawuk, 1975; Para Priyayi, 1992; dan Jalan Menikung, 1999), Y.B. Mangunwijaya (Burung- Burung Manyar, 1983; Roro Mendut, 1984, Genduk Duku, 1987; Lusi Lindri, 1987, dan Durga Umayi, 1990), Ahmad Tohari (Ronggeng Dukuh Paruk, 1980), Dorothea Rosa Herliany (Blencong, 1993), Sindhunata (Anak Bajang Menggiring Angin, 1983), Seno Gumira Aji Darma (Kitab Omong Kosong, 2005; Kalathidha, 2007), Goenawan Mohamad (Gandari, 2013), Djoko Saryono (Arung Diri, 2013; Kemelut Cinta Rahwana, 2015), dan Puji Santosa (Sang Paramartha, 2014, dan Adedamar Wahyu, 2015) menghadirkan dunia Jawa dengan berbagai persoalannya. Budaya Jawa yang identik dengan dunia wayang, burung perkutut, keris, katuranggan, narima, pasrah, lego-lilo, dan hal-hal yang supernatural seolah-olah menjadi hidup kembali, semacam "renaisans kebudayaan Jawa", dalam panggung sejarah kesusastraan Indonesia modern. Dunia Jawa yang terkenal dengan sekuler, harmoni, sinkretisme, dan segala tindak-tanduknya dalam kepercayaannya kepada Tuhan Yang Maha Esa menjadi tampak jelas terefleksi dalam karya sastra Indonesia modern. Keanekaragaman budaya bangsa yang demikian hanya dapat kita simak secara saksama melalui sebuah karya sastra, tidak dalam wujud buku pengetahuan tentang sosiologi, antropologi, politik, dan ilmu sosial kemasyarakatan lainnya. Jelaslah dalam masalah pluralisme dan juga multikulturalisme itu sastra Indonesia modern memberi sumbangan yang signifikan bagi keberlangsungan hidup bermasyarakat, berbangsa, berbudaya, dan bernegara. Penggalian nilai budaya sendiri dalam sastra Indonesia juga dilakukan oleh pengarang dari Sunda, Jawa Barat, misalnya Ajip Rosidi, Ramadhan K.H., dan Achdiat Kartamihardja melalui puisi, novel, dan cerita pendek yang ditulisnya. Achdiat Kartamihardja mampu mengumpulkan sebanyak 41 cerita rakyat Sunda “Si Kabayan” dalam bukunya Si Kabayan Manusia Lucu (1997). Selain Sunda, juga Betawi yang awalnya dipelopori oleh Aman Datuk Modjoindo dalam Si Dul Anak Betawi (1932), lalu Firman Muntaco dan S.M. Ardan menulis kehidupan masyarakat Betawi yang terpinggirkan oleh para kaum urban, misalnya, dalam buku kumpulan cerpen Terang Bulan Terang di Kali (1974). Kehidupan masyarakat Betawi tempo dulu dan hubungannya dengan kaum
peranakan Tionghoa pun digali dan diceritakan kembali oleh Remy Sylado dalam bukunya Ca-Bau-Kan (1999) dan Alwi Shahab dalam Ciliwung Venesia dari Timur (2007). Dari daerah lain di luar Sumatera dan Jawa pun kita temukan, misalnya dari Bali kita temukan Oka Rusmini dalam karya sastranya, antara lain, Tarian Bumi (2000), Sagra (2001), Kenanga (2003), Warna Kita (2007), Pandora (2008), Tempurung (2010) dan Akar Pule (2012), menggali nilai budaya Bali ke dalam karya sastra Indonesia modern. Pengarang lain dari Bali, yaitu Rasta Sindhu (Sahabatku Hans Schmitter, 1968), Faisal Baraas (Sanur Tetap Ramai, 1970), Putu Wijaya (Tiba-Tiba Malam, 1972, dan Dasar, 1993), Ngurah Persua (Tugu Kenangan, 1984), dan Aryantha Soethama (Suzan, 1988), juga menggali nilai budaya Bali dalam karya sastra Indonesia modern. Dari daerah Nusa Tenggara kita menemukan Putu Arya Tirtawirya, Gerson Poyk, Otto J. Gaut, Yoseph Arakie Ulanaga Bruno Dasion, dan Yoseph Yapi Taum yang juga mengekspresikan nilai budaya dalam karya sastranya, yaitu nilai budaya Nusa Tenggara. Otto J. Gaut, yang tidak seproduktif pengarang pendahulunya, dalam novelnya Mawar Padang Ara (1997) mampu memenangkan sayembara menulis novel majalah wanita Femina (1995) dan menjadi cerminan budaya Nusa Tenggara. Demikian halnya dengan daerah lainnya, seperti dari Madura muncul Abdul Hadi W.M. dengan kumpulan puisinya Madura, Luang Prabang (2006) dan sebagainya, serta D. Zawawi Imron dengan Celurit Emas, Bulan Tertusuk Lalang, Bantalku Ombak Selimutku Angin, Madura Akulah Darahmu, dan Mata Badik Mata Puisi (2012) yang berbicara banyak tentang dunia Madura. Dari Kalimantan ada Korrie Layun Rampan, Sandy Firly, Jamal T. Suryanata, dan Fridolin Ukur yang berbicara banyak tentang dunia masyarakat Dayak dan Banjar. Dari Sulawesi ada Syaifuddin Gani dengan kumpulan puisi Surat dari Matahari (2011) dan Perjalanan Cinta (2015) banyak berbicara tentang masyarakat Sulawesi Tenggara dengan darah alam dan lautnya. Orang-orang Maluku pun tidak ketinggalan dengan antologi puisi penyair Maluku Biarkan Katong Bakalae (2013) banyak menyuarakan dunia Maluku dengan pelbagai mitologi dan perangainya. Keberagaman budaya etnik atau daerah juga ditunjukkan dengan keberagaman mitologi sebagai sumber acuan penulisan karya sastra Indonesia (Santosa, 2010, 2011, 2012, 2014, 2015, 2016). Adanya otonomi daerah dan era keterbukaan yang digulirkan oleh para reformis membuka jalan bagi daerah untuk menunjukkan jati dirinya. Peran budaya daerah menjadi sangat urgen bagi perkembangan sastra Indonesia selanjutnya. Terlebih, jika dalam karya sastra yang mereka tampilkan tersebut mampu menunjukkan adanya kebhineka- tunggalikaan, karya tersebut dapat menjadi perekat pergaualan antarsuku, antarras,
antaragama, dan antargolongan serta menjadi andil yang nyata dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, berbudaya, dan bernegara. Bersumber pada budaya sendiri dalam menampilkan wajah budaya Indonesia menjadi tonggak sejarah yang tidak ternilai harganya. Oleh karena itu, para penulis putra daerah tidak perlu berkecil hati mengangkat martabat budaya daerah ke dalam karya sastra Indonesia modern. Justru budaya daerah itulah yang menjadi akar dan pilar budaya Indonesia. Dengan demikian, budaya daerah menjadi substansi utama dalam pengembangan budaya Indonesia baru dalam menghadapi era globalisasi dan pasar bebas. Kita tidak mungkin mampu bersaing mencapai Indonesia baru tanpa kehadiran budaya daerah dalam khazanah budaya Indonesia. 2.4 Kebaragaman Pengaruh Budaya Asing dan Global Pengaruh budaya asing, terutama Barat, sudah ada dalam awal perkembangan sastra Indonesia modern. Lahirnya soneta Indonesia, selain menggali dari potensi budaya sendiri, juga pengaruh budaya asing. Tanpa kehadiran budaya asing, terutama Barat, sulit bagi Muhammad Yamin dan kawan-kawannya menciptakan soneta khas Indonesia. Hal itu diakui oleh Budi Darma (1998:3) bahwa budaya asing yang paling kuat berpengaruh terhadap kehidupan sastra Indonesia adalah budaya Barat. Pengaruh budaya Barat terhadap sastra Indonesia bukan hanya terjadi pada karya sastra, melainkan juga pada pemikiran yang ada di balik karya sastra. Pengaruh budaya Barat dalam karya sastra terletak pada konvensi penulisan karya sastra, misalnya genre, tema, penyampaian gagasan, dan gaya bercerita. Novel Ziarah (Iwan Simatupang, 1968), misalnya, dipengaruhi filsafat esistensialisme Barat. Demikian juga, novel Telegram (1972) dan Stasiun (1978) karya Putu Wijaya merupakan novel yang mendapat pengaruh kuat dari novel aliran kesadaran di dunia Barat. Pandangan pengaruh Barat dalam dunia kesusastraan Indonesia menyebabkan segala teori sastra Barat—dari strukturalisme, semiotika, komparatif, pragmatik, mimesis, ekspresif, resepsi sastra, hermeneutik, pisikoanalisis, feminisme, sampai pada dekonstruksi—diimpor ke dalam negeri kita. Semua karya sastra kita didekati, dibedah, dan dianalisis dengan teori sastra Barat. Hal itu tampak jelas pada skripsi, tesis, bahkan disertasi doktor memanfaatkan teori sastra Barat. Ketika hendak menganalisis perkembangan soneta di Indonesia, misalnya, dengan menggunakan pendekatan sejarah sastra, kita pun tidak melepaskan teori sastra Barat. Terlebih, analisis soneta tersebut menggunakan pendekatan komparatif, misalnya ketika kita menelusuri teks secara genetika atau generik, mau tidak mau kita bersentuhan dengan intertekstual Julia Kristeva
atau Michael Riffaterre. Perbandingan bentuk dan tema soneta di Indonesia dan di Barat pun melibatkan teori sastra Barat. Seolah-olah kita sudah terbelenggu dengan teori sastra Barat sehingga sukar untuk menghindari pengaruh Barat. Bahkan ada alternatif mencari teori dan kritik sastra tempatan (Santosa, 2014) atau lokal yang berangkat dan berakar dari khazanah sastra di Indonesia, baik nasional, daerah, maupun serumpun Melayu. Pengaruh budaya asing dalam kesusastraan Indonesia tidak hanya didominasi oleh Barat, tetapi juga India dan Timur Tengah. Dua kebudayaan besar di belahan Asia bagian selatan dan barat ikut mewarnai dunia sastra Indonesia. Agama Hindu dan Budha serta epos besar Ramayana dan Mahabharata dari India mampu menembus pasaran domestik negeri Indonesia. Karya seni dan filsafat India menjadi bagian yang tidak terpisahkan pula dalam kehidupan sastra Indonesia. Muhammad Yamin, Sanusi Pane, Amir Hamzah, Amal Hamzah, Sutan Takdir Alisyahbana, bahkan sampai Hartoyo Andangdjaja, Sindhunata, dan Seno Gumira Ajidarma pun ikut terpengaruh kuat oleh gaya kepenyairan Rabindranath Tagore, pujangga terkenal dari India, dengan gaya lirik romantiknya yang ingin kembali ke alam semurni-murninya. Muhammad Yamin pernah menerjemahkan karya Tagore, yaitu Menantikan Surat dari Raja (1928) dan Di Dalam dan di Luar Lingkungan Rumah Tangga (1933). Sajak karya Muhammad Yamin yang berjudul "Tanah Air" (Jong Sumatera IV, 1922) merupakan saduran dari karya Tagore "Wandee Mataram". Demikian pula, sajak Yamin yang berjudul "Gita Gembala" mengingatkan kita pada Gitanjali karya Tagore, yang juga pernah diterjemahkan oleh Amal Hamzah (1952). Amir Hamzah yang dijuluki sebagai Raja Penyair Pujangga Baru oleh H.B. Jassin pun terpengaruh kuat oleh India, terutama Hindu dan gaya kepenyairan Tagore. Sajak lirik romantik Amir Hamzah yang memilki hasrat kuat bersatu dengan alam merupakan penjelmaan Tagore di Indonesia. Amir Hamzah pernah menerjemahkan Setanggi Timur (1939) dan Bhagawatgita (1933) yang merupakan napas kehidupan sastra dari India. Nama lain sastrawan Indonesia yang ikut terpengaruh kuat oleh gaya kepenyairan Tagore adalah Sanusi Pane. Sanusi Pane merupakan tokoh yang secara fanatik menganut aliran garis keras India. Setelah studinya setahun di India, konsepsi kepengarangan Sanusi Pane berkiblat ke India, sebuah negeri yang amat dikaguminya. Sajak Sanusi Pane yang terkumpul dalam Puspa Mega (1927) dan Pancaran Cinta (1928) secara jelas mencerminkan lirik romantik gaya Tagore. Karya drama yang ditulis oleh Sanusi Pane pun, seperti Sang Garuda (1928), Airlangga (1929), Kertajaya (1932), Sandyakala Ning Majapahit (1933), dan Manusia Baru (1940) merupakan pengejawantahan dunia India dalam sastra Indonesia modern. Hal
itu secara tegas diakui sendiri oleh Sanusi Pane dalam sebuah sajak yang ditulisnya, yaitu "Aku Mencarinya di Kebun India". Apabila Sanusi Pane lebih cenderung mengagumi India dari sisi kehinduannya, tidak demikian halnya yang terjadi pada penulis peranakan Tionghoa, Kwee Tek Hoay. Dalam dramanya yang berjudul Bidjilada (1935) dan Mahabhiniskramana (1936), Hoay memilih dunia India dengan agama Budhanya. Meskipun karya Kwee Tek Hoay itu lebih cenderung sebagai bentuk dakwah penyebaran agama Budha di Indonesia, pengemasannya dalam bentuk karya drama menjadi sebuah alternatif yang perlu kita perhitungkan kehadirannya. Para penulis peranakan Belanda (H. Krafft dan F. Winggers) dan perankan Tionghoa lainnya (Lie Kim Hok, Oen Tjhing Tiauw, Boen Sing Hoo, Tan Teng Kie, Tan Hoe Lo, dan Tjoa Boe Sing) ikut meramikan kehadiran sastra Indonesia periode awal (Salmon, 2010) dengan warna khas dunia peranakan dan asimilasinya dengan masyarakat pribumi. Dunia Timur Tengah cukup berpengaruh kuat terhadap kehidupan sastra Indonesia. Dari belahan Asia bagian barat itu muncul dua agama besar di dunia, yaitu Nasrani dan Islam. Kedua agama besar itu berpengaruh terhadap kehidupan sastra Indonesia. Pujangga Baru sudah menampakkan begitu jelasnya warna sastra yang memiliki pengaruh dua agama tersebut. Penyair J.E. Tatengkeng dalam Rindu Dendam (1934) mengekspresikan dunia Nasrani. Penyair Amir Hamzah, Samadi, Rifai Ali, dan Hamka deangan novelnya Di Bawah Lindungan Kakbah (1938) secara jelas memperlihatkan dunia keislaman, pengarug Timur Tengah, dalam karya sastra yang ditulisnya. Mereka memberikan suatu andil yang nyata dalam menyerap budaya keagamaan dalam karya sastra Indonesia modern. Sastrawan yang lahir setelah Pujangga Baru tampak lebih variatif dalam mengekspresikan dunia keagamaan melalui karya sastra yang ditulisnya. Teeuw (1982:119—135) dalam artikelnya yang bertajuk "Sang Kristus dalam Puisi Indonesia Baru" mencatat beberapa penyair yang pernah menulis tentang dunia Nasrani, antara lain Chairil Anwar ("Isa: Kepada Nasrani Sejati"), Sitor Situmorang ("Cathedrale de Chartes" dan "Kristus di Medan Perang"), W.S. Rendra ("Balada Penyaliban", "Litani bagi Domba Kudus", "Nyanyian Angsa", dan "Khotbah"), dan Subagio Sastrowardojo dalam beberapa sajaknya mengacu Kitab Kejadian (Genesis). Hal itu membuktikan betapa kuat pengaruh Nasrani dalam kehidupan sastra Indonesia modern. Karya terakhir Romo Mangunwijaya dalam Pohon-Pohon Sesawi (1999) pun merepresentasikan secara jelas kehidupan para rohaniawan Nasrani dalam biara yang mengabdi kepada Kristus. Dunia keislaman dengan kesufiannya juga hidup subur dalam khazanah sastra Indonesia modern. Hal itu tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia merupakan negara yang
memiliki umat pemuluk agama Islam terbesar di dunia. Abdul Hadi W.M. (1999) merupakan seorang penyair dan pengamat sastra Islam di Indonesia yang paling kuat saat ini. Disertasi yang ditulis oleh Abdul Hadi W.M. di Pusat Pengajian Ilmu Kemanusiaan, Universitas Sains Malaysia, Estetika Sastra Sufustik: Kajian Hermeneutik terhadap Karya- Karya Shaykh Hamzah Fansuri (1997) merupakan bukti kuat obsesinya terhadap kajian sastra yang bernapaskan keislaman. Dalam beberapa esainya, yang kemudian dibukukan dalam Kembali ke Akar Kembali Ke Sumber: Esai-Esai Sastra Profetik dan Sufistik (Pustaka Firdaus, 1999), Abdul Hadi menyebut nama Danarto, Kuntowidjojo, M. Fudoli Zaini, Taufiq Ismail, Sutardji Calzoum Bachri, Mohamad Diponegoro, Ajip Rosidi, Emha Ainun Nadjib, K.H. Mustofa Bisri, D. Zawawi Imron, Hamid Jabbar, Ikranagara, Ajamudin Tifani, Ahmad Nurullah, Jamal D. Rahman, dan Acep Zamzam Noor (1999:13) yang selalu menyuarakan napas keislaman dalam karya yang ditulisnya. Bahkan Kuntowijoyo (2013) meyodorkan gagasan Maklumat Sastra Profetik: Kaidah, Etika, dan Struktur (dengan editor Abdul Wachid B.S. dan Jabrohim) menunjukkan betapa kuatnya pengaruh genre sastra kenabian dalam khazanah sastra Indonesia. Oleh karena itu, Taufiq Ismail (1994) pun pernah berkerja sama dengan himpunan musik Bimbo membuat kasidah “Balada Nabi-Nabi”, (22 syair balada nabi), dan puisi-puisi kenabian lainnya sebaga nyanyian religius. Sastra keagamaan (Santosa, 2004), puisi kenabian (Santosa, 2007), misalnya sajak-sajak tentang Nabi Nuh (Santosa, 1993, 2003, 2012), Nabi Adam (Santosa, 2011), Nabi Ayub (Santosa, 2011), Nabi Ibrahim (2011), dan Nabi Luth (Santosa, 2013) mampu merepresentasikan sejarah keimanan umat terpilih sebagai pembelajaran dan juga teladan dalam kehidupan masa kini bagi orang yang bertakwa dan beriman. Pada masa kini terjadi peralihan tradisi penulisan sastra Indonesia dari sastra yang bersifat tradisional, terbelakang, dan primitif, menuju ke kehidupan sastra yang lebih baik, moderat, dinamis, dan sesuai dengan perkembangan zaman atau masa transisi. Sejalan dengan perkembangan zaman yang terus mengglobal, kehidupan sastra di Indonesia juga diharapkan semakin baik dan mampu menembus dunia internasional, atau semangat menerobos sipirit tradisional menyelaraskan harmoni budaya Barat dan Timur (Santosa, 2016). Sebagai warga sastra dunia, sastra Indonesia memang menempati posisi marginal dari sastra kelas dunia yang banyak diperhatikan oleh para kritikus negara maju. Sastra yang berasal dari belahan dunia ketiga hanya berperan sebagai pelengkap penderita meskipun sudah banyak karya sastra Indonesia yang diterjemahkan ke berbagai bahasa di dunia, seperti Inggris, Belanda, Jerman, Prancis, Jepang, Arab, dan Benggali.
3. SIMPULAN Keberagaman sastra Indonesia yang mulikultural dan kontribusi mitologi Melayu Nusantara itu tidak menyurutkan semangat membangun keindonesia yang lebih baik, yang lebih beradab, dan yang lebih bermartabat. Perkembangan sastra di Indonesia secara nyata menunjukkan bahwa kehidupan bermasyarakat, berbangsa, berbudaya, dan bernegara itu pun berkaitan erat dengan kehidupan bersastra. Suatu keniscayaan bahwa sastra Indonesia merefleksikan kehidupan masyarakat Indonesia yang multimajemuk sehingga secara nyata dapat menjadi cerminan hidup berbangsa, bernegara, berbudaya, dan bermasyarakat yang beradab, bermartabat, serta berkarakter mulia. Di negara yang sedang dalam keadaan krisis multidimensi seperti saat ini, kehidupan sastra kita pun ikut terimbas dengan keadaan tersebut. Sastra yang bercorak reformasi dan keadaan negeri yang dilanda berbagai kerusuhan, disintegrasi bangsa, teror informasi hoak, dan kekacauan politik, ikut pula mewarnai sastra Indonesia modern sehingga banyak orang mengatakan Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia (Ismail, 2008). Dengan demikian, kalau ditanyakan adakah keindonesiaan dalam sastra Indonesia? Jawabnya tentulah ada. Hanya saja, keindonesiaan atau identitas Indonesia itu bukan bersifat tunggal, melainkan sangat beragam, majemuk, sebagaimana dilambangkan dengan Bhinneka Tunggal Ika. Hakikat Indonesia itu sendiri adalah keberagaman, plural, dan multikultural. Selain hal tersebut, masyarakat Indonesia sudah sejak lama berada dalam transisi dari masyarakat tradisional menuju masyarakat modern yang mulai menunjukkan karakter yang responsif, artikulatif, formulatif, dan argumentatif. Transisi ini ikut berpengaruh dalam perkembangan sastra Indonesia ke arah sastra yang bersifat multikultural. DAFTAR PUSTAKA Ali, Lukman. (1994). Unsur Adat Minangkabau dalam Sastra Indonesia 1922—1956. Jakarta: Balai Pustaka. Alisyahbana, Sutan Takdir. (1996). Amir Hamzah Penyair Besar Dua Zaman. Cetakan Keenam. Jakarta: Dian Rakyat. Damono, Sapardi Djoko. (1998). "Pengaruh Asing dalam Sastra Indonesia." Makalah Kongres Bahasa Indonesia VII. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Damono, Sapardi Djoko. (1999). “Awal Perkembangan Sastra Modern di Indonesia: Kasus Sastra Indonesia dan Jawa” Dalam Politik, Ideologi, dan Sastra Hibrida. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Darma, Budi. (1998). "Sastra Indonesia dan Forum Internasional." Makalah Kongres Bahasa Indonesia VII. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Darma-Putra, I Nyoman. (2001). "Interaksi Bali dan Barat dan Kesadaran Kultural Sastrawan Bali" Dalam Horison, Nomor 5 Tahun XXXV, Edisi Mei 2001, Jakarta. Hadi W.M., Abdul. (1999). Kembali ke Akar Kembali ke Sumber. Jakarta: Pustaka Firdaus. Hadi W.M., Abdul. (2006). Madura, Luang Prabang. Jakarta: Grasindo. Ismail, Taufiq. (1994). Qosidah Bimbo Iin, Balada Nabi-Nabi. Jakarta: Gema Nada Pertiwi. Ismail, Taufiq. (2008). Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit: Buku I Himpunan Puisi 1953—2008. Jakarta: Majalah Sastra Horison. Ismail, Taufiq. (2008). Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit: Buku IV Himpunan Lirik Lagu 1972—2008. Jakarta: Majalah Sastra Horison. KBBI. (2012). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Keempat. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional dan Gramedia Pustaka Utama. Koentjaraningrat, R.M. (1985). "Kebudayaan Nasional dan Peradaban Dunia Masa Kini". Dalam Sulastin Sutrisno et.al. (Ed.). Bahasa-Sastra-Budaya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Kuntowijoyo. (2013). Maklumat Sastra Profetik: Kaidah, Etika, dan Struktur Sastra. Editor Abdul Wachid B.S., dan Jabrohim. Yogyakarta: Multi Presindo. Nugroho, Alois A. 2003. “Benturan Peradaban, Multikulturalisme, dan Fungsi Rasio”. Dalam Bentara, Nomor 4 Tahun IV, Jakarta. Palguna, IBM Dharma. (1997). "Rabindranath Tagore dalam Sastra Indonesia". Dalam Horison, Nomor 3 Tahun XXXI, Jakarta. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. (2008). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.. Rosidi, Ajip. (1991). "Sastra Daerah dan Sastra Indonesia". Dalam Sitanggang et.al. (Ed.). Kongres Bahasa Indonesia V. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Salmon, Claudine. (2010). Sastra Indonesia Awal: Kontribusi Orang Tionghoa. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) dan Pusat Bahasa. Santosa, Puji. (1993). Ancangan Semiotika dan Pengkajian Susastra. Bandung: Angkasa. Santosa, Puji. (1993). “Mitos Nabi Nuh di Mata Tiga Penyair Indonesia”. Dalam Bahasa dan Sastra Nomor 1 Tahun X, 1993, hlm. 55–66.
Santosa, Puji. (1996). Soneta Indonesia: Analisis Struktur dan Tematik. Jakarta: Pusat Bahasa. Santosa, Puji. (1999). "Perkembangan Soneta dan Jati Diri Bangsa". Dalam Pangsura, Bilangan 9 Jilid 5 Julai-Desember 1999. Dewan Bahasa dan Pustaka, Brunei Darussalam. Santosa, Puji. (2000). "Estetika Puisi sebagai Pasemon". Dalam Kakilangit Nomor 39 majalah Horison,Nomor 4 Tahun XXXIV, Jakarta. Santosa, Puji. (2000). "Soneta Masa Pra-Pujangga Baru". Dalam Kakilangit, Nomor 46 majalah Horison, Nomor 11 Tahun XXXIV, Jakarta. Santosa, Puji. (2003). “Sori Gusti: Keberagaman Tujuh Banjaran”. Dalam Kakilangit, Nomor 75 majalah Horison, Nomor 3 Tahun XXXVII, Jakarta. Santosa, Puji. (2003). Bahtera Kandas di Bukit: Kajian Semiotika Sajak-Sajak Nuh. Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri. Santosa, Puji.; dkk. (2004). Sastra Keagamaan dalam Perkembangan Sastra Indonesia Modern: Puisi 1946—1965. Jakarta: Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional. Santosa, Puji.; dkk. (2007). Puisi-Puisi Kenabian dalam Perkembangan Sastra Indonesia Modern. Jakarta: Pusat Bahasa. Santosa, Puji.; dan Imam Budi Utomo. (2010). Struktur dan Nilai Mitologi Melayu dalam Puisi Indonesia Modern. Yogyakarta: Elmatera Publishing. Santosa, Puji., dan Maini Trisna Jayawati. 2010. Sastra dan Mitologi: Telaah Dunia Wayang dalam Sastra Indonesia. Yogyakarta: Elmatera Publishing. Santosa, Puji. (2010). Kekuasaan Zaman Edan: Derajat Negara Tampak Sunya-ruri. Yogyakarta: Pararaton. Santosa, Puji. (2011). “Telaah Intertekstual Terhadap Sajak-sajak Tentang Nabi Ayub”. Dalam Atavisme. Jurnal Ilmiah Kajian Sastra. Nomor 1 Volume 14, Sidoarjo, Juni 2011, halaman 15—27. Santosa, Puji. (2011). “Representasi Kisah Nabi Ibrahim dalam Delapan Sajak Indonesia Modern”. Dalam Metasastra. Jurnal Penelitian Sastra. Volume 4. Nomor 1. Bandung. Juni 2011, halaman 68—81. Santosa, Puji. (2011). “Kajian Estetika Resepsi Produktif Kekafilahan Nabi Adam dalam Puisi Indonesia Modern”. Dalam Sawerigading. Jurnal Bahasa dan Sastra Volume Nomor 2. Makassar. Desember 2011. Santosa, Puji. (2011). “Sastra dan Jati Diri Bangsa: Kontribusi Mitologi dan Multikultural dalam Sastra Indonesia”. Dalam http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/ lamanbahasa/artikel/1131. Diunduh Sabtu, 17 Desember 2016.
Santosa, Puji. (2012). “Mimesis Kisah Nabi Nuh dalam Tiga Sajak Modern Indonesia” Dalam Salingka. Majalah Ilmiah Bahasa dan Sastra. Volume 9. Nomor 1. Padang, Juni 2012, halaman 30—42. Santosa, Puji.; dan Djamari. (2012). Merajut Kearifan Budaya: Analisis Kepenyairan Darmanto Jatman. Yogyakarta: Elmatera Publishing. Santosa, Puji.; dan Djamari. (2013). “Kajian Intertekstual Tiga Puisi tentang Nabi Luth Bersama Kaum Sodom dan Gomora”. Dalam Widyaparwa. Jurnal Ilmiah Kebahasaan dan Kesastraan. Volume 41, Nomor 1, Yogyakarta, Juni 2013, hlm. 13—27. Santosa, Puji.; dan Djamari (2014). Kritik Sastra Tempatan. Yogyakarta: Elmatera Publishing. Santosa, Puji. (2014). Sang Paramarta. Yogyakarta: Azzagrafika. Santosa, Puji. (2015). Adedamar Wahyu: Pustaka Puisi Falsafah Budaya Jawa. Yogyakarta: Azzagrafika Santosa, Puji.; dan Muhammad Jaruki. (2016). Mahir Berbahasa Indonesia dengan Baik, Benar, dan Santun. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Santosa, Puji. (2016). WS. Rendra dalam Semiologi Komunikasi. Yogyakarta: Azzagrafika. Suriyono, J. (2004). “Mencari Identitas Kultur Keindonesiaan”. Dalam Sutrisno, M. & Putranto, H. (editor). Hermeneutika Pascakolonial: Soal Identitas. Yogyakarta: Kanisius. Sutrisno, Muji. (2004). “Menafsir Keindonesiaan”. Dalam Sutrisno, M. & Putranto, H. (editor). Hermeneutika Pascakolonial: Soal Identitas. Yogyakarta: Kanisius. Tim Perumus. (1998). "Putusan Kongres Bahasa Indonesia VII. Jakarta: Pusat Bahasa. Teeuw, A. (1982). "Sang Kristus dalam Puisi Indonesia Baru". Dalam Setyagraha Hoerip (Ed.). Sejumlah Masalah Sastra. Jakarta: Sinar Harapan. Utjan, Andre Ata (koordinator tim). (2009). Multikulturalisme: Belajar Hidup Bersama dalam Perbedaan. Jakarta: Indeks. |