Bagaimana pandangan ajip rosidi tentang kebudayaan global dan daerah

KEBERAGAMAN SASTRA INDONESIA

DALAM MEMBANGUN KEINDONESIAAN

Puji Santosa

Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa

1. PENDAHULUAN

Multikulturalisme meliputi sebuah pemahaman, penghargaan, dan penilaian atas

budaya seseorang, serta sebuah penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnis

lain (Blum dalam Nugroho, 2003:13). Dalam kaitannya dengan bahasa dan sastra

Indonesia, multikultarlisme dipahami sebagai suatu doktrin atau suatu perpektif atau

suatu cara pandang tentang kehidupan manusia yang memiliki keberagaman budaya

memahami bahasa dan sastra Indonesia. Melalui bahasa dan sastra Indonesia itu

multikulturalisme menyatukan cara pandang dan memahami lintas etnis dalam berbagai-

bagai kebudayaan yang berbeda-beda di suatu masyarakat.

Inti dari multikulturalisme adalah keberagaman, belajar hidup bersama dalam

perbedaan (Utjan, 2009). Seperti halnya pengertian pluralisme agama, yaitu berbagai-bagai

agama yang berbeda-beda di dalam suatu masyarakat, demikian halnya dengan

multikulturalisme dalam bahasa dan sastra Indonesia modern adalah "berbagai-bagai

kebudayaan yang terdapat dalam bahasa dan sastra Indonesia modern”. Pluralisme agama

di Indonesia dapat dipersatukan dengan adanya toleransi umat beragama atau

menghormati semua agama, yang berarti menghormati perbedaan agama dengan

mengedepankan pertimbangan rasio. Keberadaan bangsa Indonesia pun bersifat multikul-

tural itu dapat dipersatukan dengan sikap menjunjung tinggi “bhineka tunggal ika”. Tentu

demikian halnya dengan multikulturalisme dalam sastra Indonesia dapat dipersatukan

dengan tetap menjunjung bahasa persatuan, bahasa nasional, bahasa kebangsaan, yaitu

pemakaian laras budaya bahasa Indonesia dari berbagai pengarang di seluruh antero

pelosok negeri ini, sebagai wahana pengucapan sastra Indonesia modern. Semangat untuk

tetap menjunjung bahasa Indonesia seperti ikrar Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928,

menjadi dasar keutamaan yang dipegang teguh oleh para pengarang sastra Indonesia dari

kelahirannya hingga kini. Dengan tetap menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia,

sastra Indonesia modern tetap eksis dan menjadi perekat antarsuku, agama, ras, dan

golongan dalam memahami budaya dan intelektual bangsa.

Sementara itu, pengertian sastra Indonesia modern diartikan sebagai “karya sastra

yang aslinya ditulis dalam bahasa Indonesia setelah mendapat pengaruh kebudayaan

asing" (KBBI, 2012:1230). Pendapat tentang sastra Indonesia modern itu diperkuat oleh

Ajip Rosidi (1991: 755) yang menyatakan bahwa sastra Indonesia adalah "karya sastra mo-

dern sebagai hasil pengaruh kebudayaan dan kesusastraan Barat yang ditulis dalam bahasa

Indonesia, yang mulai muncul pada dasawarsa kedua pada abad kedua puluh". Kedua

batasan tentang sastra Indonesia modern itu tampaknya diperkuat pula oleh hasil Putusan

Kongres Bahasa Indonesia VII, Jakarta, 26—30 Oktober 1998, yang menyebutkan bahwa:

"Selama ini, dengan bersumber pada budaya sendiri dan pengaruh-pengaruh asing yang

sudah diramu ke dalam budaya Indonesia, masyarakat Indonesia telah mampu

menghasilkan banyak karya sastra Indonesia dan daerah. Kemampuan untuk menggali

nilai-nilai budaya sendiri dan meramu pengaruh asing ke dalam banyak karya sastra

Indonesia itu merupakan modal dasar apresiasi dan kreativitas untuk menciptakan

kehidupan sastra yang lebih baik."

Mengacu pada ketiga pernyataan tentang sastra Indonesia modern tersebut bahwa

kondisi sastra Indonesia sejak kelahirannya, seputar awal abad dua puluh, hingga kini

berada dalam situasi multikulturalisme. Secara substansial pernyataan tentang sastra

Indonesia modern di atas mengandung unsur-unsur budaya yang bermacam-macam, yang

beragam, antara lain (1) pemakaian laras budaya bahasa Indonesia, (2) penggalian nilai-

nilai budaya sendiri, (3) peramuan pengaruh budaya asing atau budaya global, dan (4)

penerimaan atau penyaringan budaya global dalam kehidupan sastra Indonesia sehingga

keempat unsur budaya tersebut menjadi modal dasar memperkukuh persatuan bangsa

Indonesia di tengah ancaman disintegrasi bangsa. Terlebih, dengan bergulirnya era

demokrasi kebablasan dan informasi hoak dalam media sosial ini jelas menjadikan

multikulturalisme sebagai ajang dialog budaya atau wahana pertemuan berbagai

kebudayaan di bawah semangat keindonesian baru. Membangun Indonesia baru dengan

nilai-nilai luhur budaya bangsa.

Sastra Indonesia tumbuh dan berkembang dari budaya Indonesia yang beraneka

ragam. Oleh karena itu, keberadaan sastra Indonesia pun menunjukkan beraneka ragam

genre, gaya ungkap, tokoh, mitologi, hingga ke masalah sosial, politik, dan budaya etnik.

Genre sastra di Indonesia tidak hanya yang tampak general, seperti prosa, puisi, dan

drama, tetapi juga yang spesifik, seperti dongeng, legenda, mitos, epos, tambo, hikayat,

syair, pantun, gurindam, macapat, karungut, mamanda, dan geguritan. Keberagaman genre

sastra tersebut juga menyebabkan keberagaman dalam hal gaya ungkap, tokoh yang

ditampilkan, semangat mitologi yang mendasari, serta masalah sosial, politik, dan budaya

etnik dari sastrawan daerah yang menuliskan karya sastra tersebut.

Membangun keindonesiaan atau menafsir keindonesiaan (Sutrisno, 2004:131—

137) dan mencari identitas kultur keindonesiaan (Supriyono, 2004:139—153) tidak

pernah selesai selama hayat masih dikandung badan. Selama masih ada negara yang

bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia dan masih ada rakyat yang mendukungnya,

pembangunan di Indonesia terus dan terus akan tetap berkelanjutan. Namun, mau dibawa

ke arah mana pembangunan Indonesia dalam era global dan pasar bebas dunia ini? Dalam

hal masalah keberagaman sastra Indonesia dalam membangun identitas keindonesiaan,

berikut akan dibicarakan (1) keberagaman laras bahasa, (2) keberagaman budaya etnik,

termasuk mitologi daerah dan masalah dasar kehidupan, serta (3) keberagaman pengaruh

budaya asing dan global. Ketiga hal itulah kiranya yang menjadi masalah krusial

kebangsaan dalam menentukan arah pembangunan Indonesia pada masa depan,

khususnya pembangunan dan pembinaan sastra di Indonesia.

2. PEMBAHASAN

2.1 Cita-cita Kebangsaan

Sebuah puisi berikut ditulis sebagai upaya menggambarkan cita-cita kebangsaan,

yakni tentang masa depan bangsa dan negara kesatuan Republik Indonesia yang pada

suatu saat tertentu akan mencapai puncak kejayaan kebudayaan dunia.

CITA-CITAKU

Cita-citaku agar menjadi bangsa mulia

hendaklah bangsaku berusaha supaya

selalu sadar berbakti, beriman, dan bertakwa

akan tuntunan dan pencerahan Tuhan Maha Esa

berjalan di Jalan Kebenaran ialah Jalan Utama

berdasarkan petunjuk agama yang dipercaya

supaya bangsaku hidupnya sejahtera dan mulia

mendapat keadilan, ketenteraman, berbahagia,

jaya serta masyhur ke seluruh penjuru dunia.

Cita-citaku agar menjadi bangsa cendekiawan

hendaklah bangsaku maju tetap mengusahakan

senantiasa kaya akan pelbagai ilmu pengetahuan

oleh karena dengan ilmu menjadi pangkal kemajuan

oleh sebab bodoh dan dungu membuat kesengsaraan

hidup menjadi tersesat-sesat berada dalam kegelapan,

dengan ilmu lahir dan batin jalan hidup jadi tercerahkan.

Cita-citaku agar menjadi bangsa bijak berwibawa

hendaklah bangsaku senantiasa harus waspada

berhati-hati, cermat, teliti, meski tidak harus curiga

kepada siapa saja, terlebih itu kepada lain bangsa

tidak boleh begitu saja kita ini mudahnya percaya

berkenan menyerahkan apa-apa, segala yang ada

kepada mereka, ternyata dia melakukan tipu daya

ingatlah, riwayat menunjukkan lengah dan terlena

akan menjadi malapetaka, hancur sudah negara.

Cita-citaku agar menjadi bangsa teguh sentosa

hendaklah bangsaku dapat merapat tampil ke muka

senantiasa dalam persatuan dan kesatuan bangsa

sehingga menjadi bangsa yang kokoh penuh daya

mampu menjalin persaudaraan di antara kita semua

membulatkan kekuatan meraih cita-cita nan mulia

mencapai Indonesia mulia, jaya selama-lamanya.

Cita-citaku agar menjadi bangsa unggul dan jaya

hendaklah bangsaku maju meningkat kualitasnya,

senantiasa brilian, bernas, andal, dan juga prima

mampu dapat menjadi pelindung atas rakyat jelata

mampu memberi rasa aman, damai, dan sejahtera

mampu dapat memimpin bangsa-bangsa di dunia

memayu hayuning bawana menjadi teladan utama.

Cita-citaku agar menjadi bangsa yang selalu dihormati

hendaklah bangsaku maju tampil sebagai pemberani

menegakkan keadilan dan kebenaran di muka bumi

melawan segala tindak angkara murka dan korupsi

dengan jujur, tegas, bijaksana, adil kepada sesama

hingga setiap orang yang ada di penjuru dunia

ketika mereka mengucapkan nama Indonesia

akan dihinggapi rasa hormat, segan, dan setia

merasa bangga menjadi bagian dari hidupnya.

Semoga saja berkenan, Tuhan Yang Mahakuasa

senantiasa melimpahkan kasih, anugerah, karunia

tuntunan, pencerahan, daya kekuatan lahir batin, juga

perlindungan pada kita supaya terwujud cita-cita mulia

Indonesia mencapai puncak kejayaan dunia selamanya.

Bekasi, 7 April 2013

(Sumber: Puji Santosa. Adedmar Wahyu. 2015:45—46)

2.2 Keberagaman Laras Bahasa

Bahasa Indonesia merupakan sarana utama pengucapan sastra Indonesia. Namun,

bagi sebagaian besar pengarang sastra Indonesia, bahasa Indonesia merupakan bahasa

kedua, setelah bahasa ibu. Tidaklah mengherankan apabila dalam karya sastra yang

mereka tulis terdapat sejumlah kosakata, frasa, dan kalimat bahasa daerah. Hal itu

dimungkinkan karena masyarakat Indonesia berada dalam tataran situasi bilingual atau

multilingual. Dalam masyarakat yang demikian itu, pengarang akan lebih mudah dan

leluasa menciptakan situasi kedwibahasaan (diglosia) secara alamiah, apa adanya. Hal itu

mumungkinkan terjadinya alih kode (code-switching), campur kode (code-mixing), dan

interfererensi (interference), seperti yang terdapat dalam sajak-sajak Darmanto Jatman

bertajuk Sori Gusti (2002).

Perlu kita sadari bahwa motivasi timbulnya kosakata, frasa, dan kalimat bahasa

daerah dan bahasa asing dalam karya sastra Indonesia modern merupakan gejala

perubahan situasi tindak tutur, dari daerah ke nasional atau sebaliknya dari nasional ke

daerah, dan juga dari asing ke nasional atau dari nasional ke asing. Dalam situasi yang

demikian itu memungkinkan timbulnya jenis alih kode situasional (situational switching)

dan alih kode metaforis (metaphorical switching) sebagai sarana retorika pengarang, daya

ungkap estetis, dan sekaligus sebagai daya pikat yang mampu menimbulkan pesona. Kita

baru menyadari bahwa pengarang sastra Indonesia modern itu berada dalam jalur transisi

antara daerah dan nasional ataupun daerah ke nasional dan berlanjut ke asing. Ada asumsi

bahwa pengarang yang berasal dari daerah yang bukan penutur asli bahasa Indonesia pada

umumnya masih dalam taraf belajar bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua. Bahasa ibu

yang dikuasai secara intuitif adalah bahasa daerah sehingga konsep pemahaman tentang

alam semesta, lingkungan tempat tinggal, sistem kekerabatan, tata ekosistem

kemasyarakatan, dan falsafah hidup yang diajarkan oleh leluhur atau nenek moyangnya

akan terasa kental dengan bahasa daerahnya ketika pengarang menulis dengan bahasa

Indonesia. Bahasa daerah tersebut mewarnai bahasa Indonesia.

Bahasa daerah itu sengaja digunakan karena bahasa Indonesia dianggap tidak

mampu mewadahi konsep, tujuan, dan maksud bahasa daerah yang dikuasainya secara

intuitif. Ada semacam hambatan atau kesukaran menerjemahkan beberapa kosakata khas

bahasa daerah itu ke dalam bahasa Indonesia. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika

pengarang begitu saja mengambil kosakata bahasa daerah sebagai khazanah bahasa

Indonesia. Hal itu terjadi pada beberapa pengarang sastra Indonesia, seperti Linus Suryadi

A.G., Umar Kayam, Y.B. Mangunwijaya, Dorothea Rosa Herliany, dan Darmanto Jatman.

Keberagaman laras bahasa Indonesia yang digunakan oleh pengarang dari daratan

Sumatera—yang konon merupakan asal dari bahasa Indonesia—akan berbeda jauh dengan

keberagaman laras bahasa Indonesia yang digunakan oleh para pengarang dari Jawa,

Sunda, Bali, Dayak, Banjar, Papua, Minahasa, Maluku, dan Bugis. Hal itu tidak

mengherankan, karena dalam awal perkembangan sastra Indonesia modern, para

pengarang dari daratan Sumatera lebih mampu menulis sastra dalam bahasa Indonesia

daripada pengarang yang berasal dari daerah lain. Situasi itu sangat dimungkinkan karena

bahasa Melayu yang diangkat sebagai bahasa nasional (Indonesia) berasal dari daratan

Pulau Sumatera. Namun, apakah pengarang dari daratan Sumatera itu tidak mengalami

kesulitan mengekspresikan "dunia imajiner" mereka ke dalam karya sastra Indonesia?

Tentu saja ada, hanya mereka lebih menguasai secara intuitif kosakata dasar bahasa

Indonesia apabila dibandingkan dengan pengarang lain di luar Melayu.

Bahasa Indonesia yang berkembang sekarang tampaknya menyesuaikan

perkembangan dinamika zaman. Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 25 Ayat (1)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa, dan

Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan: Bahasa Indonesia yang dinyatakan sebagai

bahasa resmi negara dalam Pasal 36 UUD NKRI tahun 1945 bersumber dari bahasa yang

diikrarkan dalam Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, sebagai bahasa persatuan yang

dikembangkan sesuai dengan dinamika peradaban bangsa” (Santosa, 2016:148). Dengan

demikian, khazanah kosakata dan frasa bahasa Indonesia yang ada sekarang ini tidak lagi

sesempit "dunia Melayu". Adaptasi dari istilah asing dan pungutan dari bahasa daerah di

Indonesia dapat memperluas perkembangan bahasa Indonesia. Hal itu ditunjukkan

dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988 memuat 62.100 lema; 1991 memuat 72.000

lema; 2005 memuat 78.000 lema; 2008 memuat 90.000 lema; dan 2016 memuat 127.036

lema dan makna) yang memuat ribuan entri/lema yang berasal dari bahasa daerah, bahasa

asing, dan bahasa Indonesia yang sudah ada sebelumnya.

Amir Hamzah dalam dua kumpulan sajaknya, Nyanyi Sunyi (1937) dan Buah Rindu

(1941), banyak menggunakan kosakata arkais. Orang Melayu di Malaysia pun perlu

membuka kamus untuk memahami makna kosakata dalam sajak Amir Hamzah tersebut.

Hal itu terbukti ketika Sutan Takdir Alisyahbana (1970) menerbitkan sajak Amir Hamzah

di Malaysia disertai uraian (semacam paraprase) dan catatan kosakata sukar (senarai),

misalnya kata juriat, sempana, jemala, terban, ripuk, rampak, lintang pukang, pokok purba,

redam terbelam, jung bertudung, jauhri, asaka, swarna, hauri, canggai, pitunang, terkelar,

kesturi, tepas, disangkak, tercingah pangah, dan terulik (Alisyahbana, 1996:37—54).

Laras bahasa Indonesia yang digunakan Bokor Hutasuhut dalam novelnya Penakluk

Ujung Dunia (1964, 1988) juga diwarnai oleh kosakata khas bahasa Batak. Novel yang

selesai ditulis oleh Bokor Hutasuhut pada tahun 1960 itu dalam penerbitan pertamanya

(1964 oleh penerbit Pembangunan, Jakarta) tidak menyertakan senarai kosakata Batak-

Indonesia. Hal yang demikian tentu sangat menyulitkan pemahaman isi novel tersebut bagi

etnik lain di luar Batak. Namun, pada penerbitan kedua (1988 oleh penerbit Pustaka Karya

Grafika Utama, Jakarta) dalam halaman 199—200 disertakan daftar istilah, seperti

kata ama ni Bolpung, ampang ngardang, ampataga, berandak, bolatan, bona ni pasolgit,

buhul, bungkas, curup, dolok, gelagah, luhak, manortar, mardege, margondang, martandang,

menjilam, mora, parhitean, pargonci, purada, sopo bolon, sanduduk, temterasan, tuhil, dan

ura. Dengan dihadirkannya daftar istilah dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia,

pembaca di luar etnik Batak yang tidak memahami konsep dunia Batak dapat memahami

kandungan novel tersebut.

Mengacu pada kasus pemakaian laras bahasa Indonesia di atas, sebenarnya kita

tidak perlu meributkan diri ketika Linus Suryadi A.G. pertama menerbitkan Pengakuan

Pariyem (1981) dengan mengobral kosakata bahasa Jawa di dalamnya. Prosa liris yang

diberi lampiran kosakata Jawa-Indonesia merupakan suatu bukti nyata adanya pluralisme

dan multikulturalisme dalam budaya berbahasa Indonesia. Pengarang prosa

liris Pengakuan Pariyem sepenuhnya menyadari bahwa pemakaian bahasa Jawa di

dalamnya akan menyulitkan pemahaman isi novel tersebut bagi mereka yang tidak

mengerti konsep pemikiran dunia Jawa. Penerbit novel tersebut menyadari benar akan hal

itu sehingga menyertakan senarai kosakata bahasa Jawa-Indonesia. Kehadiran senarai

kosakata tersebut mampu membantu pemahaman pembaca sastra di luar etnik Jawa yang

tidak memahami bahasa Jawa.

Bahasa Indonesia sebagai sarana pengucapan karya sastra Indonesia modern,

menurut Koentjaraningrat (1985:527—538), merupakan wujud nyata kebudayaan

nasional bangsa Indonesia. Kehadiran sastra Indonesia modern yang menggunakan bahasa

Indonesia memenuhi fungsi: (1) memperkuat identitas orang sebagai suatu bangsa, yaitu

bangsa Indonesia; (2) memperkuat solidaritas di antara warga negara dari negara yang

bersangkutan sehingga memperkokoh persatuan Indonesia. Atas dasar pemikiran itu,

sudah sewajarnya apabila karya sastra Indonesia modern mampu menjadi wadah atau

ajang temu budaya, baik antaretnik di Indonesia maupun dunia. Novel Jalan Menikung

karya Umar Kayam (1999), misalnya, mempertemukan berbagai etnik di dalamnya.

Lingkup utama novel itu memang berbicara tentang dunia Jawa, tetapi muncul pula

perkawinan etnik Jawa dengan Minangkabau (Lantip dan Halimah), Jawa dengan Yahudi

(Eko dan Claire Levin), Jawa dengan Barat atau Eropa (Marijan dan Marie, Tommi dan

Jenette), dan Jawa dengan keturunan Cina (Anna dan Boy Saputra). Pertemuan berbagai

bahasa, etnik, warna kulit, dan budaya pun terjadi dalam novel yang berbahasa Indonesia

seperti itu. Dengan demikian, sastra Indonesia yang menggunakan bahasa Indonesia

sebagai sarana ekspresinya tetap dapat menyatukan pelbagai laras bahasa yang ada di

Indonesia seperti yang terikrar dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, Kami putra dan

putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan ialah bahasa Indonesia.

2.3 Keberagaman Budaya Etnik (Daerah)

Sastrawan yang mengangkat potensi budaya etnik, terutama budaya daerah ke

dalam sastra Indonesia modern, oleh banyak kritikus sastra sering disebut dengan warna

lokal (local color) atau warna setempat. Karya sastra yang mengangkat warna lokal sebagai

martabat budaya derahnya telah menjadi sebuah kecenderungan umum. Hal itu tidak

mengherankan bagi kita karena sejak kelahirannya, awal abad XX, sastra Indonesia

bersumber pada budaya sendiri, misalnya roman Balai Pustaka, Siti Nurbaya (Marah Rusli,

1922), Cinta yang Membawa Maut (Nursinah Iskandar, 1925), Pertemuan (Abas Sutan

Pamuntjak Nan Sati, 1927), Darah Muda (Adinegoro, 1927), Asmara Jaya (Adinegoro,

1928), Salah Asuhan (Abdoel Moeis, 1928), dan Salah Pilih (Nur Sutan Iskandar, 1928)

mengangkat unsur adat-istiadat masyarakat Minangkabau dalam sastra Indonesia modern

(Ali, 1994).

Budaya Minangkabau dengan segala adat-istiadatnya menjadi sumber kreativitas

sastrawan yang berasal dari daerah Sumatera Barat, seperti Hamka (Djemput Mamaknya,

1930; Tenggelamnya Kapal van der Wijck, 1938; Merantau ke Deli, 1939), Nur Sutan

Iskandar (Karena Mentua, 1932), Aman Datuk Madjainda (Rusmala Dewi, 1932), M. Enri

(Karena Anak Kandung, 1940), dan Marah Rusli (Anak dan Kemenakan, 1956). Mereka

mengangkat masalah (1) kawin paksa dan hubungannya dengan adat, (2) anggapan

tentang kawin dengan orang di luar sukunya, (3) kebiasaan beristri banyak, (4) keturunan,

(5) perkawinan sesuku, (6) keinginan mengubah sistem matrilinial dalam masyarakat

Minangkabau, (7) adat meminang, dan (8) kebiasaan merantau. Para pengarang Sumatera

Barat yang lahir kemudian pun, seperti A.A. Navis (Kemarau, 1967), Wisran Hadi (Cindua

Mato, 1977), Chairul Harun (Warisan, 1979), Darman Munir (Bako, 1987), dan Lukman Ali

(Pekan Selasa, 1999) tidak luput pula menggali nilai budaya sendiri, yaitu budaya daerah

Minangkabau ke dalam karya sastra Indonesia modern. Bahkan pada pengarang Sumatra

Barat lainnya, seperti Rusli Marzuki Saria, Khairul Harun, Harris Effendi Tahar, Darman

Moenir, Gus Tf, Syarifuddin Arifin, dan Iyut Fitra, warna lokal Minangkabau begitu sangat

kentalnya.

Selain daerah Minangkabau, penggalian nilai budaya sendiri ke dalam budaya

Indonesia terjadi pula pada budaya Jawa. Pengarang dari Jawa, seperti Linus Suryadi A.G.

(Pengakuan Pariyem, 1981; dan Tirta Kamandanu, 1994), Umar Kayam (Sri Sumarah dan

Bawuk, 1975; Para Priyayi, 1992; dan Jalan Menikung, 1999), Y.B. Mangunwijaya (Burung-

Burung Manyar, 1983; Roro Mendut, 1984, Genduk Duku, 1987; Lusi Lindri, 1987,

dan Durga Umayi, 1990), Ahmad Tohari (Ronggeng Dukuh Paruk, 1980), Dorothea Rosa

Herliany (Blencong, 1993), Sindhunata (Anak Bajang Menggiring Angin, 1983), Seno

Gumira Aji Darma (Kitab Omong Kosong, 2005; Kalathidha, 2007), Goenawan Mohamad

(Gandari, 2013), Djoko Saryono (Arung Diri, 2013; Kemelut Cinta Rahwana, 2015), dan Puji

Santosa (Sang Paramartha, 2014, dan Adedamar Wahyu, 2015) menghadirkan dunia Jawa

dengan berbagai persoalannya. Budaya Jawa yang identik dengan dunia wayang, burung

perkutut, keris, katuranggan, narima, pasrah, lego-lilo, dan hal-hal yang supernatural

seolah-olah menjadi hidup kembali, semacam "renaisans kebudayaan Jawa", dalam

panggung sejarah kesusastraan Indonesia modern. Dunia Jawa yang terkenal dengan

sekuler, harmoni, sinkretisme, dan segala tindak-tanduknya dalam kepercayaannya kepada

Tuhan Yang Maha Esa menjadi tampak jelas terefleksi dalam karya sastra Indonesia

modern. Keanekaragaman budaya bangsa yang demikian hanya dapat kita simak secara

saksama melalui sebuah karya sastra, tidak dalam wujud buku pengetahuan tentang

sosiologi, antropologi, politik, dan ilmu sosial kemasyarakatan lainnya. Jelaslah dalam

masalah pluralisme dan juga multikulturalisme itu sastra Indonesia modern memberi

sumbangan yang signifikan bagi keberlangsungan hidup bermasyarakat, berbangsa,

berbudaya, dan bernegara.

Penggalian nilai budaya sendiri dalam sastra Indonesia juga dilakukan oleh

pengarang dari Sunda, Jawa Barat, misalnya Ajip Rosidi, Ramadhan K.H., dan Achdiat

Kartamihardja melalui puisi, novel, dan cerita pendek yang ditulisnya. Achdiat

Kartamihardja mampu mengumpulkan sebanyak 41 cerita rakyat Sunda “Si Kabayan”

dalam bukunya Si Kabayan Manusia Lucu (1997). Selain Sunda, juga Betawi yang awalnya

dipelopori oleh Aman Datuk Modjoindo dalam Si Dul Anak Betawi (1932), lalu Firman

Muntaco dan S.M. Ardan menulis kehidupan masyarakat Betawi yang terpinggirkan oleh

para kaum urban, misalnya, dalam buku kumpulan cerpen Terang Bulan Terang di Kali

(1974). Kehidupan masyarakat Betawi tempo dulu dan hubungannya dengan kaum

peranakan Tionghoa pun digali dan diceritakan kembali oleh Remy Sylado dalam

bukunya Ca-Bau-Kan (1999) dan Alwi Shahab dalam Ciliwung Venesia dari Timur (2007).

Dari daerah lain di luar Sumatera dan Jawa pun kita temukan, misalnya dari Bali kita

temukan Oka Rusmini dalam karya sastranya, antara lain, Tarian Bumi (2000), Sagra

(2001), Kenanga (2003), Warna Kita (2007), Pandora (2008), Tempurung (2010) dan Akar

Pule (2012), menggali nilai budaya Bali ke dalam karya sastra Indonesia modern.

Pengarang lain dari Bali, yaitu Rasta Sindhu (Sahabatku Hans Schmitter, 1968), Faisal

Baraas (Sanur Tetap Ramai, 1970), Putu Wijaya (Tiba-Tiba Malam, 1972, dan Dasar, 1993),

Ngurah Persua (Tugu Kenangan, 1984), dan Aryantha Soethama (Suzan, 1988), juga

menggali nilai budaya Bali dalam karya sastra Indonesia modern. Dari daerah Nusa

Tenggara kita menemukan Putu Arya Tirtawirya, Gerson Poyk, Otto J. Gaut, Yoseph Arakie

Ulanaga Bruno Dasion, dan Yoseph Yapi Taum yang juga mengekspresikan nilai budaya

dalam karya sastranya, yaitu nilai budaya Nusa Tenggara. Otto J. Gaut, yang tidak

seproduktif pengarang pendahulunya, dalam novelnya Mawar Padang Ara (1997) mampu

memenangkan sayembara menulis novel majalah wanita Femina (1995) dan menjadi

cerminan budaya Nusa Tenggara.

Demikian halnya dengan daerah lainnya, seperti dari Madura muncul Abdul Hadi

W.M. dengan kumpulan puisinya Madura, Luang Prabang (2006) dan sebagainya, serta D.

Zawawi Imron dengan Celurit Emas, Bulan Tertusuk Lalang, Bantalku Ombak Selimutku

Angin, Madura Akulah Darahmu, dan Mata Badik Mata Puisi (2012) yang berbicara banyak

tentang dunia Madura. Dari Kalimantan ada Korrie Layun Rampan, Sandy Firly, Jamal T.

Suryanata, dan Fridolin Ukur yang berbicara banyak tentang dunia masyarakat Dayak dan

Banjar. Dari Sulawesi ada Syaifuddin Gani dengan kumpulan puisi Surat dari Matahari

(2011) dan Perjalanan Cinta (2015) banyak berbicara tentang masyarakat Sulawesi

Tenggara dengan darah alam dan lautnya. Orang-orang Maluku pun tidak ketinggalan

dengan antologi puisi penyair Maluku Biarkan Katong Bakalae (2013) banyak

menyuarakan dunia Maluku dengan pelbagai mitologi dan perangainya. Keberagaman

budaya etnik atau daerah juga ditunjukkan dengan keberagaman mitologi sebagai sumber

acuan penulisan karya sastra Indonesia (Santosa, 2010, 2011, 2012, 2014, 2015, 2016).

Adanya otonomi daerah dan era keterbukaan yang digulirkan oleh para reformis

membuka jalan bagi daerah untuk menunjukkan jati dirinya. Peran budaya daerah menjadi

sangat urgen bagi perkembangan sastra Indonesia selanjutnya. Terlebih, jika dalam karya

sastra yang mereka tampilkan tersebut mampu menunjukkan adanya kebhineka-

tunggalikaan, karya tersebut dapat menjadi perekat pergaualan antarsuku, antarras,

antaragama, dan antargolongan serta menjadi andil yang nyata dalam kehidupan

bermasyarakat, berbangsa, berbudaya, dan bernegara. Bersumber pada budaya sendiri

dalam menampilkan wajah budaya Indonesia menjadi tonggak sejarah yang tidak ternilai

harganya. Oleh karena itu, para penulis putra daerah tidak perlu berkecil hati mengangkat

martabat budaya daerah ke dalam karya sastra Indonesia modern. Justru budaya daerah

itulah yang menjadi akar dan pilar budaya Indonesia. Dengan demikian, budaya daerah

menjadi substansi utama dalam pengembangan budaya Indonesia baru dalam menghadapi

era globalisasi dan pasar bebas. Kita tidak mungkin mampu bersaing mencapai Indonesia

baru tanpa kehadiran budaya daerah dalam khazanah budaya Indonesia.

2.4 Kebaragaman Pengaruh Budaya Asing dan Global

Pengaruh budaya asing, terutama Barat, sudah ada dalam awal perkembangan

sastra Indonesia modern. Lahirnya soneta Indonesia, selain menggali dari potensi budaya

sendiri, juga pengaruh budaya asing. Tanpa kehadiran budaya asing, terutama Barat, sulit

bagi Muhammad Yamin dan kawan-kawannya menciptakan soneta khas Indonesia. Hal itu

diakui oleh Budi Darma (1998:3) bahwa budaya asing yang paling kuat berpengaruh

terhadap kehidupan sastra Indonesia adalah budaya Barat. Pengaruh budaya Barat

terhadap sastra Indonesia bukan hanya terjadi pada karya sastra, melainkan juga pada

pemikiran yang ada di balik karya sastra. Pengaruh budaya Barat dalam karya sastra

terletak pada konvensi penulisan karya sastra, misalnya genre, tema, penyampaian

gagasan, dan gaya bercerita. Novel Ziarah (Iwan Simatupang, 1968), misalnya, dipengaruhi

filsafat esistensialisme Barat. Demikian juga, novel Telegram (1972) dan Stasiun (1978)

karya Putu Wijaya merupakan novel yang mendapat pengaruh kuat dari novel aliran

kesadaran di dunia Barat.

Pandangan pengaruh Barat dalam dunia kesusastraan Indonesia menyebabkan

segala teori sastra Barat—dari strukturalisme, semiotika, komparatif, pragmatik, mimesis,

ekspresif, resepsi sastra, hermeneutik, pisikoanalisis, feminisme, sampai pada

dekonstruksi—diimpor ke dalam negeri kita. Semua karya sastra kita didekati, dibedah,

dan dianalisis dengan teori sastra Barat. Hal itu tampak jelas pada skripsi, tesis, bahkan

disertasi doktor memanfaatkan teori sastra Barat. Ketika hendak menganalisis

perkembangan soneta di Indonesia, misalnya, dengan menggunakan pendekatan sejarah

sastra, kita pun tidak melepaskan teori sastra Barat. Terlebih, analisis soneta tersebut

menggunakan pendekatan komparatif, misalnya ketika kita menelusuri teks secara

genetika atau generik, mau tidak mau kita bersentuhan dengan intertekstual Julia Kristeva

atau Michael Riffaterre. Perbandingan bentuk dan tema soneta di Indonesia dan di Barat

pun melibatkan teori sastra Barat. Seolah-olah kita sudah terbelenggu dengan teori sastra

Barat sehingga sukar untuk menghindari pengaruh Barat. Bahkan ada alternatif mencari

teori dan kritik sastra tempatan (Santosa, 2014) atau lokal yang berangkat dan berakar

dari khazanah sastra di Indonesia, baik nasional, daerah, maupun serumpun Melayu.

Pengaruh budaya asing dalam kesusastraan Indonesia tidak hanya didominasi oleh

Barat, tetapi juga India dan Timur Tengah. Dua kebudayaan besar di belahan Asia bagian

selatan dan barat ikut mewarnai dunia sastra Indonesia. Agama Hindu dan Budha serta

epos besar Ramayana dan Mahabharata dari India mampu menembus pasaran domestik

negeri Indonesia. Karya seni dan filsafat India menjadi bagian yang tidak terpisahkan pula

dalam kehidupan sastra Indonesia. Muhammad Yamin, Sanusi Pane, Amir Hamzah, Amal

Hamzah, Sutan Takdir Alisyahbana, bahkan sampai Hartoyo Andangdjaja, Sindhunata, dan

Seno Gumira Ajidarma pun ikut terpengaruh kuat oleh gaya kepenyairan Rabindranath

Tagore, pujangga terkenal dari India, dengan gaya lirik romantiknya yang ingin kembali ke

alam semurni-murninya.

Muhammad Yamin pernah menerjemahkan karya Tagore, yaitu Menantikan Surat

dari Raja (1928) dan Di Dalam dan di Luar Lingkungan Rumah Tangga (1933). Sajak karya

Muhammad Yamin yang berjudul "Tanah Air" (Jong Sumatera IV, 1922) merupakan

saduran dari karya Tagore "Wandee Mataram". Demikian pula, sajak Yamin yang berjudul

"Gita Gembala" mengingatkan kita pada Gitanjali karya Tagore, yang juga pernah

diterjemahkan oleh Amal Hamzah (1952). Amir Hamzah yang dijuluki sebagai Raja Penyair

Pujangga Baru oleh H.B. Jassin pun terpengaruh kuat oleh India, terutama Hindu dan gaya

kepenyairan Tagore. Sajak lirik romantik Amir Hamzah yang memilki hasrat kuat bersatu

dengan alam merupakan penjelmaan Tagore di Indonesia. Amir Hamzah pernah

menerjemahkan Setanggi Timur (1939) dan Bhagawatgita (1933) yang merupakan napas

kehidupan sastra dari India. Nama lain sastrawan Indonesia yang ikut terpengaruh kuat

oleh gaya kepenyairan Tagore adalah Sanusi Pane.

Sanusi Pane merupakan tokoh yang secara fanatik menganut aliran garis keras

India. Setelah studinya setahun di India, konsepsi kepengarangan Sanusi Pane berkiblat ke

India, sebuah negeri yang amat dikaguminya. Sajak Sanusi Pane yang terkumpul dalam

Puspa Mega (1927) dan Pancaran Cinta (1928) secara jelas mencerminkan lirik romantik

gaya Tagore. Karya drama yang ditulis oleh Sanusi Pane pun, seperti Sang Garuda (1928),

Airlangga (1929), Kertajaya (1932), Sandyakala Ning Majapahit (1933), dan Manusia

Baru (1940) merupakan pengejawantahan dunia India dalam sastra Indonesia modern. Hal

itu secara tegas diakui sendiri oleh Sanusi Pane dalam sebuah sajak yang ditulisnya, yaitu

"Aku Mencarinya di Kebun India".

Apabila Sanusi Pane lebih cenderung mengagumi India dari sisi kehinduannya, tidak

demikian halnya yang terjadi pada penulis peranakan Tionghoa, Kwee Tek Hoay. Dalam

dramanya yang berjudul Bidjilada (1935) dan Mahabhiniskramana (1936), Hoay memilih

dunia India dengan agama Budhanya. Meskipun karya Kwee Tek Hoay itu lebih cenderung

sebagai bentuk dakwah penyebaran agama Budha di Indonesia, pengemasannya dalam

bentuk karya drama menjadi sebuah alternatif yang perlu kita perhitungkan kehadirannya.

Para penulis peranakan Belanda (H. Krafft dan F. Winggers) dan perankan Tionghoa

lainnya (Lie Kim Hok, Oen Tjhing Tiauw, Boen Sing Hoo, Tan Teng Kie, Tan Hoe Lo, dan

Tjoa Boe Sing) ikut meramikan kehadiran sastra Indonesia periode awal (Salmon, 2010)

dengan warna khas dunia peranakan dan asimilasinya dengan masyarakat pribumi.

Dunia Timur Tengah cukup berpengaruh kuat terhadap kehidupan sastra Indonesia.

Dari belahan Asia bagian barat itu muncul dua agama besar di dunia, yaitu Nasrani dan

Islam. Kedua agama besar itu berpengaruh terhadap kehidupan sastra Indonesia. Pujangga

Baru sudah menampakkan begitu jelasnya warna sastra yang memiliki pengaruh dua

agama tersebut. Penyair J.E. Tatengkeng dalam Rindu Dendam (1934) mengekspresikan

dunia Nasrani. Penyair Amir Hamzah, Samadi, Rifai Ali, dan Hamka deangan novelnya Di

Bawah Lindungan Kakbah (1938) secara jelas memperlihatkan dunia keislaman, pengarug

Timur Tengah, dalam karya sastra yang ditulisnya. Mereka memberikan suatu andil yang

nyata dalam menyerap budaya keagamaan dalam karya sastra Indonesia modern.

Sastrawan yang lahir setelah Pujangga Baru tampak lebih variatif dalam

mengekspresikan dunia keagamaan melalui karya sastra yang ditulisnya. Teeuw

(1982:119—135) dalam artikelnya yang bertajuk "Sang Kristus dalam Puisi Indonesia

Baru" mencatat beberapa penyair yang pernah menulis tentang dunia Nasrani, antara lain

Chairil Anwar ("Isa: Kepada Nasrani Sejati"), Sitor Situmorang ("Cathedrale de Chartes"

dan "Kristus di Medan Perang"), W.S. Rendra ("Balada Penyaliban", "Litani bagi Domba

Kudus", "Nyanyian Angsa", dan "Khotbah"), dan Subagio Sastrowardojo dalam beberapa

sajaknya mengacu Kitab Kejadian (Genesis). Hal itu membuktikan betapa kuat pengaruh

Nasrani dalam kehidupan sastra Indonesia modern. Karya terakhir Romo Mangunwijaya

dalam Pohon-Pohon Sesawi (1999) pun merepresentasikan secara jelas kehidupan para

rohaniawan Nasrani dalam biara yang mengabdi kepada Kristus.

Dunia keislaman dengan kesufiannya juga hidup subur dalam khazanah sastra

Indonesia modern. Hal itu tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia merupakan negara yang

memiliki umat pemuluk agama Islam terbesar di dunia. Abdul Hadi W.M. (1999)

merupakan seorang penyair dan pengamat sastra Islam di Indonesia yang paling kuat saat

ini. Disertasi yang ditulis oleh Abdul Hadi W.M. di Pusat Pengajian Ilmu Kemanusiaan,

Universitas Sains Malaysia, Estetika Sastra Sufustik: Kajian Hermeneutik terhadap Karya-

Karya Shaykh Hamzah Fansuri (1997) merupakan bukti kuat obsesinya terhadap kajian

sastra yang bernapaskan keislaman. Dalam beberapa esainya, yang kemudian dibukukan

dalam Kembali ke Akar Kembali Ke Sumber: Esai-Esai Sastra Profetik dan Sufistik (Pustaka

Firdaus, 1999), Abdul Hadi menyebut nama Danarto, Kuntowidjojo, M. Fudoli Zaini, Taufiq

Ismail, Sutardji Calzoum Bachri, Mohamad Diponegoro, Ajip Rosidi, Emha Ainun Nadjib,

K.H. Mustofa Bisri, D. Zawawi Imron, Hamid Jabbar, Ikranagara, Ajamudin Tifani, Ahmad

Nurullah, Jamal D. Rahman, dan Acep Zamzam Noor (1999:13) yang selalu menyuarakan

napas keislaman dalam karya yang ditulisnya. Bahkan Kuntowijoyo (2013) meyodorkan

gagasan Maklumat Sastra Profetik: Kaidah, Etika, dan Struktur (dengan editor Abdul

Wachid B.S. dan Jabrohim) menunjukkan betapa kuatnya pengaruh genre sastra kenabian

dalam khazanah sastra Indonesia. Oleh karena itu, Taufiq Ismail (1994) pun pernah

berkerja sama dengan himpunan musik Bimbo membuat kasidah “Balada Nabi-Nabi”, (22

syair balada nabi), dan puisi-puisi kenabian lainnya sebaga nyanyian religius. Sastra

keagamaan (Santosa, 2004), puisi kenabian (Santosa, 2007), misalnya sajak-sajak tentang

Nabi Nuh (Santosa, 1993, 2003, 2012), Nabi Adam (Santosa, 2011), Nabi Ayub (Santosa,

2011), Nabi Ibrahim (2011), dan Nabi Luth (Santosa, 2013) mampu merepresentasikan

sejarah keimanan umat terpilih sebagai pembelajaran dan juga teladan dalam kehidupan

masa kini bagi orang yang bertakwa dan beriman.

Pada masa kini terjadi peralihan tradisi penulisan sastra Indonesia dari sastra yang

bersifat tradisional, terbelakang, dan primitif, menuju ke kehidupan sastra yang lebih baik,

moderat, dinamis, dan sesuai dengan perkembangan zaman atau masa transisi. Sejalan

dengan perkembangan zaman yang terus mengglobal, kehidupan sastra di Indonesia juga

diharapkan semakin baik dan mampu menembus dunia internasional, atau semangat

menerobos sipirit tradisional menyelaraskan harmoni budaya Barat dan Timur (Santosa,

2016). Sebagai warga sastra dunia, sastra Indonesia memang menempati posisi marginal

dari sastra kelas dunia yang banyak diperhatikan oleh para kritikus negara maju. Sastra

yang berasal dari belahan dunia ketiga hanya berperan sebagai pelengkap penderita

meskipun sudah banyak karya sastra Indonesia yang diterjemahkan ke berbagai bahasa di

dunia, seperti Inggris, Belanda, Jerman, Prancis, Jepang, Arab, dan Benggali.

3. SIMPULAN

Keberagaman sastra Indonesia yang mulikultural dan kontribusi mitologi Melayu

Nusantara itu tidak menyurutkan semangat membangun keindonesia yang lebih baik, yang

lebih beradab, dan yang lebih bermartabat. Perkembangan sastra di Indonesia secara nyata

menunjukkan bahwa kehidupan bermasyarakat, berbangsa, berbudaya, dan bernegara itu

pun berkaitan erat dengan kehidupan bersastra. Suatu keniscayaan bahwa sastra

Indonesia merefleksikan kehidupan masyarakat Indonesia yang multimajemuk sehingga

secara nyata dapat menjadi cerminan hidup berbangsa, bernegara, berbudaya, dan

bermasyarakat yang beradab, bermartabat, serta berkarakter mulia. Di negara yang sedang

dalam keadaan krisis multidimensi seperti saat ini, kehidupan sastra kita pun ikut terimbas

dengan keadaan tersebut. Sastra yang bercorak reformasi dan keadaan negeri yang dilanda

berbagai kerusuhan, disintegrasi bangsa, teror informasi hoak, dan kekacauan politik, ikut

pula mewarnai sastra Indonesia modern sehingga banyak orang mengatakan Malu (Aku)

Jadi Orang Indonesia (Ismail, 2008). Dengan demikian, kalau ditanyakan adakah

keindonesiaan dalam sastra Indonesia? Jawabnya tentulah ada. Hanya saja, keindonesiaan

atau identitas Indonesia itu bukan bersifat tunggal, melainkan sangat beragam, majemuk,

sebagaimana dilambangkan dengan Bhinneka Tunggal Ika. Hakikat Indonesia itu sendiri

adalah keberagaman, plural, dan multikultural. Selain hal tersebut, masyarakat Indonesia

sudah sejak lama berada dalam transisi dari masyarakat tradisional menuju masyarakat

modern yang mulai menunjukkan karakter yang responsif, artikulatif, formulatif, dan

argumentatif. Transisi ini ikut berpengaruh dalam perkembangan sastra Indonesia ke arah

sastra yang bersifat multikultural.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Lukman. (1994). Unsur Adat Minangkabau dalam Sastra Indonesia 1922—1956. Jakarta:

Balai Pustaka.

Alisyahbana, Sutan Takdir. (1996). Amir Hamzah Penyair Besar Dua Zaman. Cetakan

Keenam. Jakarta: Dian Rakyat.

Damono, Sapardi Djoko. (1998). "Pengaruh Asing dalam Sastra Indonesia." Makalah

Kongres Bahasa Indonesia VII. Jakarta: Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan.

Damono, Sapardi Djoko. (1999). Awal Perkembangan Sastra Modern di Indonesia: Kasus

Sastra Indonesia dan Jawa” Dalam Politik, Ideologi, dan Sastra Hibrida. Jakarta:

Pustaka Firdaus.

Darma, Budi. (1998). "Sastra Indonesia dan Forum Internasional." Makalah Kongres Bahasa

Indonesia VII. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Darma-Putra, I Nyoman. (2001). "Interaksi Bali dan Barat dan Kesadaran Kultural

Sastrawan Bali" Dalam Horison, Nomor 5 Tahun XXXV, Edisi Mei 2001, Jakarta.

Hadi W.M., Abdul. (1999). Kembali ke Akar Kembali ke Sumber. Jakarta: Pustaka Firdaus.

Hadi W.M., Abdul. (2006). Madura, Luang Prabang. Jakarta: Grasindo.

Ismail, Taufiq. (1994). Qosidah Bimbo Iin, Balada Nabi-Nabi. Jakarta: Gema Nada Pertiwi.

Ismail, Taufiq. (2008). Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit: Buku I Himpunan Puisi

1953—2008. Jakarta: Majalah Sastra Horison.

Ismail, Taufiq. (2008). Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit: Buku IV Himpunan Lirik

Lagu 1972—2008. Jakarta: Majalah Sastra Horison.

KBBI. (2012). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Keempat. Jakarta: Departemen

Pendidikan Nasional dan Gramedia Pustaka Utama.

Koentjaraningrat, R.M. (1985). "Kebudayaan Nasional dan Peradaban Dunia Masa Kini".

Dalam Sulastin Sutrisno et.al. (Ed.). Bahasa-Sastra-Budaya. Yogyakarta: Gadjah

Mada University Press.

Kuntowijoyo. (2013). Maklumat Sastra Profetik: Kaidah, Etika, dan Struktur Sastra. Editor

Abdul Wachid B.S., dan Jabrohim. Yogyakarta: Multi Presindo.

Nugroho, Alois A. 2003. “Benturan Peradaban, Multikulturalisme, dan Fungsi Rasio”. Dalam

Bentara, Nomor 4 Tahun IV, Jakarta.

Palguna, IBM Dharma. (1997). "Rabindranath Tagore dalam Sastra Indonesia".

Dalam Horison, Nomor 3 Tahun XXXI, Jakarta.

Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. (2008). Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Jakarta: Gramedia Pustaka Utama..

Rosidi, Ajip. (1991). "Sastra Daerah dan Sastra Indonesia". Dalam Sitanggang et.al. (Ed.).

Kongres Bahasa Indonesia V. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Salmon, Claudine. (2010). Sastra Indonesia Awal: Kontribusi Orang Tionghoa. Jakarta: KPG

(Kepustakaan Populer Gramedia) dan Pusat Bahasa.

Santosa, Puji. (1993). Ancangan Semiotika dan Pengkajian Susastra. Bandung: Angkasa.

Santosa, Puji. (1993). “Mitos Nabi Nuh di Mata Tiga Penyair Indonesia”. Dalam Bahasa dan

Sastra Nomor 1 Tahun X, 1993, hlm. 55–66.

Santosa, Puji. (1996). Soneta Indonesia: Analisis Struktur dan Tematik. Jakarta: Pusat

Bahasa.

Santosa, Puji. (1999). "Perkembangan Soneta dan Jati Diri Bangsa". Dalam Pangsura,

Bilangan 9 Jilid 5 Julai-Desember 1999. Dewan Bahasa dan Pustaka, Brunei

Darussalam.

Santosa, Puji. (2000). "Estetika Puisi sebagai Pasemon". Dalam Kakilangit Nomor 39

majalah Horison,Nomor 4 Tahun XXXIV, Jakarta.

Santosa, Puji. (2000). "Soneta Masa Pra-Pujangga Baru". Dalam Kakilangit, Nomor 46

majalah Horison, Nomor 11 Tahun XXXIV, Jakarta.

Santosa, Puji. (2003). “Sori Gusti: Keberagaman Tujuh Banjaran”. Dalam Kakilangit, Nomor

75 majalah Horison, Nomor 3 Tahun XXXVII, Jakarta.

Santosa, Puji. (2003). Bahtera Kandas di Bukit: Kajian Semiotika Sajak-Sajak Nuh. Solo: Tiga

Serangkai Pustaka Mandiri.

Santosa, Puji.; dkk. (2004). Sastra Keagamaan dalam Perkembangan Sastra Indonesia

Modern: Puisi 1946—1965. Jakarta: Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan

Nasional.

Santosa, Puji.; dkk. (2007). Puisi-Puisi Kenabian dalam Perkembangan Sastra Indonesia

Modern. Jakarta: Pusat Bahasa.

Santosa, Puji.; dan Imam Budi Utomo. (2010). Struktur dan Nilai Mitologi Melayu dalam

Puisi Indonesia Modern. Yogyakarta: Elmatera Publishing.

Santosa, Puji., dan Maini Trisna Jayawati. 2010. Sastra dan Mitologi: Telaah Dunia Wayang

dalam Sastra Indonesia. Yogyakarta: Elmatera Publishing.

Santosa, Puji. (2010). Kekuasaan Zaman Edan: Derajat Negara Tampak Sunya-ruri.

Yogyakarta: Pararaton.

Santosa, Puji. (2011). “Telaah Intertekstual Terhadap Sajak-sajak Tentang Nabi Ayub”.

Dalam Atavisme. Jurnal Ilmiah Kajian Sastra. Nomor 1 Volume 14, Sidoarjo, Juni

2011, halaman 15—27.

Santosa, Puji. (2011). “Representasi Kisah Nabi Ibrahim dalam Delapan Sajak Indonesia

Modern”. Dalam Metasastra. Jurnal Penelitian Sastra. Volume 4. Nomor 1.

Bandung. Juni 2011, halaman 68—81.

Santosa, Puji. (2011). “Kajian Estetika Resepsi Produktif Kekafilahan Nabi Adam dalam

Puisi Indonesia Modern”. Dalam Sawerigading. Jurnal Bahasa dan Sastra Volume

Nomor 2. Makassar. Desember 2011.

Santosa, Puji. (2011). “Sastra dan Jati Diri Bangsa: Kontribusi Mitologi dan Multikultural

dalam Sastra Indonesia”. Dalam http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/

lamanbahasa/artikel/1131. Diunduh Sabtu, 17 Desember 2016.

Santosa, Puji. (2012). “Mimesis Kisah Nabi Nuh dalam Tiga Sajak Modern Indonesia” Dalam

Salingka. Majalah Ilmiah Bahasa dan Sastra. Volume 9. Nomor 1. Padang, Juni

2012, halaman 30—42.

Santosa, Puji.; dan Djamari. (2012). Merajut Kearifan Budaya: Analisis Kepenyairan

Darmanto Jatman. Yogyakarta: Elmatera Publishing.

Santosa, Puji.; dan Djamari. (2013). “Kajian Intertekstual Tiga Puisi tentang Nabi Luth

Bersama Kaum Sodom dan Gomora”. Dalam Widyaparwa. Jurnal Ilmiah

Kebahasaan dan Kesastraan. Volume 41, Nomor 1, Yogyakarta, Juni 2013, hlm.

13—27.

Santosa, Puji.; dan Djamari (2014). Kritik Sastra Tempatan. Yogyakarta: Elmatera

Publishing.

Santosa, Puji. (2014). Sang Paramarta. Yogyakarta: Azzagrafika.

Santosa, Puji. (2015). Adedamar Wahyu: Pustaka Puisi Falsafah Budaya Jawa. Yogyakarta:

Azzagrafika

Santosa, Puji.; dan Muhammad Jaruki. (2016). Mahir Berbahasa Indonesia dengan Baik,

Benar, dan Santun. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Santosa, Puji. (2016). WS. Rendra dalam Semiologi Komunikasi. Yogyakarta: Azzagrafika.

Suriyono, J. (2004). “Mencari Identitas Kultur Keindonesiaan”. Dalam Sutrisno, M. &

Putranto, H. (editor). Hermeneutika Pascakolonial: Soal Identitas. Yogyakarta:

Kanisius.

Sutrisno, Muji. (2004). “Menafsir Keindonesiaan”. Dalam Sutrisno, M. & Putranto, H.

(editor). Hermeneutika Pascakolonial: Soal Identitas. Yogyakarta: Kanisius.

Tim Perumus. (1998). "Putusan Kongres Bahasa Indonesia VII. Jakarta: Pusat Bahasa.

Teeuw, A. (1982). "Sang Kristus dalam Puisi Indonesia Baru". Dalam Setyagraha Hoerip

(Ed.). Sejumlah Masalah Sastra. Jakarta: Sinar Harapan.

Utjan, Andre Ata (koordinator tim). (2009). Multikulturalisme: Belajar Hidup Bersama

dalam Perbedaan. Jakarta: Indeks.