Bagaimana menjelaskan tentang keselamatan kepada buddha

by: Heru Widoyo

               Agama Buddha disebarkan oleh Siddharta Gautama yang kian meluas dan menyebar dengan sangat cepat. Buddha Gautama dan beserta umat-umatnya menyebarkan Agama Buddha melalui Dhamma, dimana Dhamma merupakan unsur yang menjadi penunjang umat Budha dalam mencapai Penerangan Sempurna (Nibbana). Semua umat Buddha dengan jenjang umur berapapun sangat tahu bahwa Dhamma merupakan ajaran sang Buddha yang bertujuan untuk mempelajari bagaimana caranya mengatasi Samsara atau dapat dikatakan sebagai penderitaan duniawi sehingga dapat menempuh jalan kedamaian dan kebahagiaan.

               Sejauh ini, seluruh umat Buddha baik itu Mahayana maupun Theravada, telah mengikuti jejak Buddha Gautama dalam berjuang meluaskan dan menyebarkan ajaran Buddha (Dhamma). Buddha Gautama sendiri sudah membabarkan Dhamma selama 45 tahun, Walaupun telah mengutus sebanyak 60 siswa untuk menyebarkan ajarannya, ia tetap melanjutkan perjalanannya menyebarkan Dhamma. Darisanalah mulai meluasnya pertumbuhan umat Buddha baik itu bertumbuh-banyaknya Sangha maupun tempat beribadah (Vihara). Sampai pada saat ini juga, ajaran sang Buddha masih berlanjut dan tersebar kepada setiap orang yang ingin mempelajarinya dan terbuka pandangannya terhadap Dhamma.

               Dalam Dhammapada, sang Buddha berkata “kemenangan melahirkan kebencian, Yang kalah hidup dalam penderitaan. Untungnya dengan damai hidup menyerah kemenangan dan kekalahan” dan “kebencian tak akan pernah berakhir apabila dibalas dengan kebencian. Tetapi, kebencian akan berakhir bila dibalas dengan tidak membenci. Inilah satu hukum abadi.” Ini mengajarkan kita untuk melatih diri agar tidak merugikan satu sama lain atau bahkan kepada setiap makhluk hidup. Dengan demikian, Buddha dan umatnya selalu memperjuangkan dan meluaskan kebaikan melalui umat-umatnya agar tercipta keselamatan dan kebahagiaan di dunia ini, terutama umat-umatnya agar mencapai kebahagiaan tertinggi dan abadi (Nibbana).

               Dari sisi Kristen (dan Katolik), sejarah mengukir “masa kegelapan gereja” atau The Dark Ages of Church pada abad ke-5 dan berangsur hingga abad ke-15 di wilayah eropa. Gereja mengatasnamakan agama mengatur rakyat-rakyat lebih kuat dibanding hukum saat itu sehingga terjadi penyelewengan kekuasaan bahkan korupsi dan dosa lainnya terjadi diantara penatua-penatua gereja. Indulgensia atau surat penghapusan dosa bahkan marak dipasarkan dan diperjual-belikan untuk kepentingan ekonomis semata. Perang salib bahkan genjar dijalankan dari abad ke-11 hingga abad ke-17 menjatuhkan begitu banyak korban.  

               Walau begitu, dalam agama kristen, kasih yang tulus (agape) terhadap sesama selalu ditekankan oleh Tuhan untuk dilakukan. Kasih tersebut dapat diterapkan dari komunitas terkecil seseorang yaitu keluarga. Dari komunitas tersebutlah dapat berkembang kasih yang lebih lagi terhadap komunitas yang lebih besar misalnya dalam bermasyarakat maupun bernegara. Seperti halnya yang dilakukan Marthin Luther yang memulai pengajaran agama dari kelompok kecil dan memulai reformasi gereja menentang dosa-dosa yang dilakukan gereja-gereja pada masa kegelapan gereja termasuk surat penghapusan dosa yang sebenarnya hanyalah karangan untuk kepentingan ekonomis semata. Melalui 95 tesis yang dibuat oleh Marthin Luther dan protesnya, kehidupan gerejawi dunia kembali ke jalan yang benar hingga saat ini menyatukan hati banyak orang pada saat itu untuk bereformasi ke arah yang lebih baik. Salah satu perintah Tuhan kepada manusia adalah untuk membawa kedamaian pada dunia. Oleh karena itu, umat Kristiani harus terus menerapkan dan mendukung ajaran-ajaran yang mendukung perdamaian dunia.

               Agama merupakan pejuang kebaikan yang memperjuangkan tumbuh kembang dan meluasnya kebaikan dan keselamatan dalam kehidupan yang terwujud mulai dari di dunia sampai di akhirat.

               Dalam agama Katolik, perjuangan Gereja untuk mewujudkan peran ini salah satunya dilakukan dengan mengajarkan kepada orang-orang untuk meneladani pribadi Yesus yang senatiasa menghidupi dan mengajarkan perdamaian. Yesus merupakan contoh yang sempurna bagi umat Katolik dalam mewujudkan perdamaian dalam dunia. Ia tidak hanya mewartakan Kerajaan Allah, namun juga mengajarkan kita mengenai kasih dan bahkan rela untuk wafat di kayu salib demi kasih-Nya terhadap manusia.

               Hal lain yang dapat dilakukan Gereja untuk mewujudkan hal ini adalah dengan melakukan gerakan-gerakan moral yang melibatkan semakin banyak orang dan menerobos sekat-sekat primordialisme seperti kesukuan, agama, dan ras.

               Kedua hal ini telah dilakukan oleh Agama Katolik mulai dari kelompok-kelompok kecil, seperti lingkungan (komunitas lebih kecil di bawah paroki di Indonesia), kelompok tingkat nasional seperti Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia, Wanita Katolik Republik Indonesia, Ikatan Sarjana Katolik Indonesia, Pemuda Katolik, Forum Masyarakat Katolik Indonesia, serta kelompok-kelompok dalam tingkat internasional seperti, IMCS, dsb.

               Kelompok-kelompok ini mengusahakan perdamaian dengan cara-cara, seperti pewartaan, pelayanan liturgi, pelayanan sosial, dan pelayanan dalam bidang persekutuan. Salah satu contohnya, dalam lingkungan Ketua Lingkungan akan mencoba mencari jalan keluar apabila terjadi perselisihan antar umat. Hal ini akan membantu menjaga perdamaian dan persatan dalam lingkungan. Contoh lainnya adalah dalam Movement of Catholic Students yang diselenggarakan di Filipina pada 2015 lalu. Dalam kongres tersebut PMKRI mengajak mahasiswa Katolik untuk memajukan perdamaian dan solidaritas antar bangsa dengan membahas isu-isu kemanusiaan sehingga perdamaian dunia dapat terwujud melalui persaudaraan sejati. Mereka juga mencoba memberikan teladan untuk mewujudkan perdamaian ini melalui pembangunan Mushalla di Manulondo, NTT. Hal ini akan membantu tercapainya perdamaian dengan meningkatkan toleransi dan keharmonisan masyarakat berbeda agama di Indonesia.

               Paus sendiri sebagai pemimpin Gereja Katolik mengupayakan pemahaman lintas budaya dan persatuan Eropa, serta mengingatkan nilai-nilai tradisi Eropa seperti toleransi, solidaritas, dan perhatian. Pada 2019, Ia juga membela migran dan mendesak penghentian penganiayaan atas nama agama, ketidakadilan sosial, konflik bersenjata, dan ketakutan akan para migran.

               Dalam ajaran agama Islam, nilai kebebasan dan keadilan sangat ditekankan oleh junjungan nabi besar Nabi Muhammad SAW. Islampun dalam bahasa Arab memiiki makna yaitu damai, selamat, penyerah diri, tunduk dan patuh. Sesuai dengan firman Allah SWT “Dan tiadalah mengutus kamu (ya Muhammad) melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam” (QS Al Anbiya:107). Dalam kaitannya, itu Allah SWT menciptakan manusia dengan keberagaman yang unik, namun tidak untuk saling bersaing namun untuk saling bersanding satu sama lain. Dalam ajaran dan pedoman yang telah diajarkan dalam bermasyarakat yaitu tidak membeda-bedakan antara manusia yang lain dan mencintai sesama agar terciptanya kerukunan dan kedamaian. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW yaitu, “Tidak beriman seorang kamu sampai kamu mencintai saudaramu sebagaimana mencintai dirimu sendiri”.

               Dalam ajaran akidah di agama Islam juga diajarkan untuk membangun ukhuwah (menjalin dan mempererat tali persaudaraan), sebagaimana firman-Nya “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah saudara, oleh karena itu pereratlah simpul persaudaraan diantara kamu dan bertakwalah kepada Allah, mudah-mudahan kamu mendapatkan rahmat.” (QS. Al-Hujurat:0) demikian dengan Rasulullah dalam satu sabdanya: “Hubbul wathan minal iman (Cinta sesama saudara setanah air termasuk sebagian dari iman)”. Dan Rasullullah SAW memberikan contoh hidup damai dan penuh pengertian dalam lingkungan bahwa adanya jaminan hidup bersama secara damai dengan umat beragama lain ketika menaklukan kota Mekah dan Madinah yang terdeklarasikan dalam suatu piagam yang sakral pemersatu umat.

Agama Konghucu juga mengajarkan tentang pentingnya perdamaian dunia dengan cara meningkatkan kualitas tindakan moral etis dari agama Konghucu untuk memberikan kontribusi nyata dalam hubungan yang seimbang dan harmonis dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam semesta.

Agama Hindu sangat kuat ajarannya tentang gerakan tanpa kekerasan (Ahimsa). Bahkan ada larangan bagi manusia untuk melukai makhluk hidup yang lain termasuk yang bukan manusia (non human). Keharmonisan dan kedamaian semua makhluk hidup sangat diperhatikan.

KESELAMATAN & KEBEBASAN

DALAM BUDDHA-DHAMMA

“ Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammasambuddhassa “

Salam Damai dan Cinta Kasih … ,

Dalam Buddha-Dhamma, tidak diajarkan adanya sosok juru-selamat yang hanya dengan beriman kepadanya dosa-dosa kita, ummat manusia, akan sepenuhnya terhapuskan, dan kita terjamin dalam kehidupan yang kekal-abadi karenanya.

Sang Buddha, Guru Agung kita semua, hanyalah penunjuk jalan, tetapi kita masing-masinglah yang harus menjalani “Jalan-Pembebasan” tersebut, seperti Sabda Beliau yang tertera dalam Dhamapada 160 =

“ Diri sendiri sesungguhnya adalah pelindung bagi diri sendiri. Karena siapa pula yang dapat menjadi pelindung bagi dirinya ?

Setelah dapat mengendalikan dirinya sendiri dengan baik, ia akan memperoleh perlindungan yang amat sukar dicari. “

Siapakah yang menjadikan seseorang menjadi suci ? Siapakah yang menjadikan seseorang menjadi tidak-suci ? Dengan demikian, siapakah yang menjadikan hidup kita selamat ? Siapakah yang menjerumuskan kehidupan kita dalam jurang kekelaman ? Tidak lain tidak bukan adalah : diri kita sendiri. Keselamatan dan kesucian tidak didapatkan dari suatu kekuatan eksternal, diluar diri kita sendiri. Dhamapada 165 menyatakan :

“ Oleh diri sendiri kejahatan dilakukan,

Oleh diri sendiri pula seseorang menjadi suci.

Suci atau tidak suci tergantung pada diri sendiri.

Tak seorang pun yang dapat mensucikan orang lain. “

Sang Bhagava pernah bersabda, “Jadikanlah dirimu pulau perlindungan bagi dirimu sendiri.” Demikianlah yang diajarkan Sang Buddha. Kita sendiri yang harus bertanggungjawab terhadap hidup kita, terhadap setiap bentuk ucapan, pikiran dan perbuatan kita. Kita tidak pernah bisa menyalahkan siapapun jika hidup kita terjerembab dalam kenistaan, dan kita tidak sepatutnya bermanja-manja meminta kerelaan siapapun untuk “menggendong” kita menuju keselamatan dan kebebasan dari semua bentuk penderitaan.

Dalam Buddha-Dhamma, “Keselamatan” dan “Kebebasan” bukanlah sesuatu yang hanya bisa dinikmati setelah kematian. Pandangan tersebut adalah pandangan spekulatif. Keselamatan dan kebebasan dapat dicapai dalam kehidupan kita sebagai manusia, dan kebebasan inipun diketahui oleh orang yang bersangkutan pula, sebagaimana disabdakan oleh Sang Buddha dalam Parinibbana Sutta, berkenaan dengan Bhikkhu Salba :

“ Mengenai Bhikkhu Salba, O, Ananda, dengan melenyapkan kekotoran-kekotoran batinnya selama hidupnya itu, maka ia telah memperoleh kebebasan batiniah dari noda, telah mendapatkan kebebasan melalui kebijaksanaan, dan hal itu telah dipahami dan disadarinya sendiri. “

REALISASI KEBUDDHAAN SEBAGAI BENTUK KESELAMATAN DAN KEBEBASAN

Sang Buddha tidak mengajarkan manusia untuk “menyembah-Nya”, tetapi justru mengajarkan untuk mencapai apa yang sudah berhasil dicapai-Nya, yakni merealisasi tataran BUDDHA, menjadi BUDDHA, merealisasi Ke-Buddha-an.

Dalam agama Buddha mazhab Mahayana, dikenal istilah “Tathagatagarbha”. Doktrin Tathagatagarbha ini menyatakan, setelah kebodohan / kegelapan batin ( moha ) dilenyapkan, benih ke-Buddha-an yang melekat ( inheren ) dalam setiap makhluk akan tersingkap. Tidak ada suatu makhluk / entitas diluar diri kita sendiri yang bisa menyelamatkan kita selain kita sendiri. Kita masing-masing pada dasarnya adalah Buddha yang belum terealisasikan, seperti yang dinyatakan Sang Buddha dalam Tathagatagarbha-sutra :

“ Aku melihat bahwa semua makhluk

Adalah seperti bayi-bayi dalam kesukaran

Didalam tubuh mereka adalah Tathagatagarbha,

Tetapi mereka tidak menyadarinya.

Maka Aku memberitahukan kepada para Bodhisatva,

“ Hati-hati, jangan sampai menganggap dirimu rendah dan hina, tubuh-tubuhmu adalah Tathagatagarbha ; mereka selalu mengandung Cahaya Keselamatan Dunia. “

Tidak seperti beberapa ajaran diluar Buddhisme, maka Jalan Keselamatan yang ditunjukkan oleh Sang Buddha bukanlah ekslusif untuk suatu suku-bangsa / ras / golongan tertentu saja, tapi untuk semua makhluk, seperti tercantum dalam Avatamsaka-sutra bab 10 =

“ Bagaikan awan hujan yang besar

Menjatuhkan hujan ke seluruh penjuru bumi ;

Curahan hujan tidak membeda-bedakan siapapun

Demikianlah kebenaran semua Buddha. “

Keselamatan dan Kebebasan bukanlah monopoli suatu agama. Tapi keselamatan dan kebebasan adalah monopoli orang-orang yang mensucikan dirinya, membimbing diri ke arah yang baik dan benar, lurus, tanpa noda, apapun agama orang itu.

DUA JENIS KESELAMATAN

Dalam Buddha-Dhamma dikenal dua jenis keselamatan, yaitu :

1). Keselamatan Relatif.

2). Keselamatan Absolut.

1). Keselamatan Relatif

Dalam kebanyakan ajaran-ajaran selain Buddha-Dhamma, dinyatakan bahwa bentuk “Keselamatan” adalah suatu jaminan kelak setelah kita mati kita akan terlahir disisi “Maha-Dewa”, hidup penuh kesenangan didalam sorga.

Jika jenis keselamatan ini yang dimaksudkan, maka bagi agama Buddha keselamatan jenis ini adalah keselamatan “relatif”, karena alam surga sesungguhnya TIDAK-KEKAL, masih dicengkeram kelapukan, karena masih berpijaknya empat unsur alam semesta disana ( air, tanah, api dan udara ), yang senantiasa menuju kehancuran. Alam surga juga bersifat relatif, karena masih terbelenggu oleh dimensi ruang dan waktu.

Sang Buddha tidak pernah mengajarkan untuk berdoa dan menyembah Dewa / Dewi penghuni surga, karena mereka sendiri masih diliputi kekotoran batin, yaitu nafsu-nafsu indria, dan juga masih dicengkeram oleh kelahiran dan kematian. Juga, para Dewa / Dewi masih bisa marah, masih bisa murka, menghukum, tidak senang, cemburu, dan lain-lain sifat-sifat buruk, sehingga bukanlah sosok yang tepat untuk dijadikan perlindungan ( perlindungan yang tepat adalah diri sendiri ).

Seperti yang sudah pernah saya sebutkan pada artikel terdahulu, yang menyebabkan suatu makhluk / seseorang terlahir di alam-alam surga / dewata di keenam alam dewa lingkup-keindriaan / Kamadhatu ( Catummaharajika, Tavatimsa, Yama, Tusita, Nimmanarati, Paranimmitavatti ), adalah hal2 berikut ini :

1. Mempunyai “hiri”, yaitu : Rasa malu untuk berbuat jahat.

2. Mempunyai “ottapa”, yaitu : Takut akan akibat perbuatan jahat.

Saat menjadi manusia, maka seseorang harus berlatih / mempraktekkan dhamma dengan baik, menjaga dan merawat SILA dengan baik, senantiasa berdana / berderma, maka ia akan terlahir di alam-alam Dewa lingkup-keindrian, ditunjang dengan hiri dan ottapa.

Hiri dan ottapa akan mengikis emosi-emosi negatif yang bersifat destruktif, yaitu : kebencian, kemarahan, keirihatian, kemelekatan, dan stress / depressi.

Alam surga bukanlah monopoli agama tertentu. Tetapi, alam surga memang hanya akan dihuni oleh orang-orang tertentu, menjadi monopoli orang-orang semacam itu. Orang-orang seperti apakah ? Orang-orang yang baik hatinya, yang rendah hati, yang penuh cinta kasih, yang mempunyai rasa malu untuk berbuat jahat dan mempunyai rasa takut akan akibat perbuatan jahat, yang selama hidup sebelumnya sangat gemar berderma, suka menolong semua makhluk yang mengalami penderitaan, dan lain-lain sifat dan watak yang positif. Kebajikan dan kebenaranlah yang akan menjamin seseorang masuk s u r g a , bukan agama yang menjamin seseorang masuk s u r g a .

2). Keselamatan Absolut

Buddha-Dhamma mengajarkan, bahwa surga bukanlah tujuan tertinggi bagi semua makhluk. Terbebas dari samsara adalah “Keselamatan-Absolut”, “Kebebasan-Mutlak”. Kebebasan ini diraih dengan merealisasi “Nibbana” ( Sanskerta : Nirvana ), keadaan tanpa-nafsu-keinginan, pemadaman semua kekotoran batin ( dalam ajaran Jawa dikenal dengan “Kahanan-Jati”, “Kang-Tanpa-Tanpa” ).

Musnahnya kekotoran batin, hancurnya nafsu yang abadi serta gemilang, inilah Keselamatan-Mutlak. Saat itulah semua makhluk akan terbebas dan berhasil keluar dari putaran arus kelahiran dan kematian.

Untuk merealisasi Nirvana ini, kita sendirilah yang harus menjalani, yaitu melalui “laku” / praktek : SILA ( moralitas-benar ), SAMADHI ( pemusatan-perhatian-benar ), dan PANNA ( kebijaksanaan-benar ).

Sila yang harus dikembangkan demi realisasi Nirvana ini adalah 227 Sila Pattimokha. Lima moralitas yang dijaga dan dirawat ummat awam ( Pancasila ), hanyalah menyebabkan seseorang terlahir kembali di alam manusia dan alam-alam surga lingkup Kammadhatu. Tapi jika berkehendak untuk merealisasi Nirvana, maka kita harus menjaga dan merawat 227 Sila Pattimokha, yaitu sila ke-Bhikkhu-an.

PENCERAHAN ADALAH PEMBEBASAN

Realisasi Nirvana inilah sesungguhnya pencapaian ke-Buddha-an, Buddhahood. Inilah “Pencerahan”. Banyak orang menyatakan mampu membawa seseorang pada pencapaian “Pencerahan”, tetapi tidak mengerti apa maksud dari “Pencerahan”. Istilah “Pencerahan” dikenal saat Sang Buddha berhasil mencapainya di bulan Vesakkha. Karena pencapaiannya inilah maka ia disebut “Yang-Tercerahkan-Sempurna” ; Samma-Sambuddha, karena mencapai Pencerahan dengan usaha sendiri tanpa bantuan seorang Guru / entitas diluar dirinya sendiri. Sebutan “Buddha” diberikan kepada seseorang yang mampu mencapai “Pencerahan-Buddhi”. Dan Istilah “Pencerahan” inilah yang sekarang ini menjadi banyak diperbincangkan, namun sayang telah terdirtorsi dari “api” sesungguhnya.

Pencerahan dicapai saat seseorang telah mampu menembus “Empat-Kesunyataan-Mulia”, yaitu hakekat hidup, kehidupan dan alam-semesta, ialah : 1). Dukkha ( penderitaan ), 2). Sebab Dukkha ( Tanha : Nafsu keinginan ), 3). Lenyap / Berhentinya dukkha ( Realisasi Nibbana / Nirvana ), dan, 4). Jalan menuju lenyapnya / berhentinya dukkha ( Jalan Mulia Beruas Delapan, yang diringkas : Sila, Samadhi, dan, Panna ).

Untuk menembus Empat Kesunyataan Mulia, maka seseorang perlu terlebih dahulu menembus tiga-corak dunia ( Tilakkhana ) ; 1). Anicca ( Sanskerta : Anitya ), yaitu : Tidak-Kekal, 2). Dukkha, yaitu : Penderitaan, dan, 3). Anatta ( Sanskerta : An-atman ), yaitu : Tidak-Ada AKU.

Pencerahan adalah tersingkapnya ilusi, ilusi keabadian, ilusi kesenangan yang ditawarkan di ke-31 alam kehidupan. Pencerahan dicapai bersamaan dengan padamnya nafsu-nafsu keinginan, terkikisnya keserakahan ( lobha ) akan keindriaan, kebencian ( dosa ), dan kebodohan / kegelapan batin ( moha ).

Kembali kepada realisasi Nibbana, pencapaian ke-Buddha-an. Hal ini sangat dimungkinkan untuk dicapai, karena semua makhluk pada dasarnya memiliki benih-benih ke-Buddha-an didalam dirinya. Disebabkan oleh kekotoran-kekotoran batin, maka ia senantiasa terjebak dalam ilusi-ilusi duniawi. Sebagaimana dinyatakan dalam Anguttara Nikaya I.10 :

“ Batin pada mulanya sesungguhnya adalah suci bersih, tetapi dicemari oleh kekotoran batin yang timbul kemudian, sehingga batin menjadi kotor.

Ummat awam tidak menyadari hal ini, sehingga mereka tidak melatih batinnya.

Akan tetapi batin dapat dibersihkan dari kotoran yang timbul, sehingga batin kembali suci.

Siswa Buddha menyadari hal itu sehingga mereka melatih batinnya. “

Keselamatan dan Kebebasan dalam Buddha-Dhamma menekankan pentingnya transformasi pikiran dibandingkan perbuatan jasmani dan ucapan, karena “ pikiran yang diarahkan dengan keliru, bahkan dapat mengakibatkan kerugian yang jauh lebih besar. “ ( Ud.4.3 ). Juga sebagaimana dinyatakan dalam Anguttara Nikaya II.143 :

“ Bisa ditemukan makhluk yang dapat terbebas dari menderita penyakit jasmaniah selama setahun, dua tahun, atau sepuluh tahun, atau bahkan mungkin seratus tahun.

Tetapi sulit menemukan makhluk yang dapat terbebas dari penyakit batiniah walau untuk sesaat saja, kecuali ia yang telah mengatasi kekotoran batinnya. “

Untuk mencapai “Kebebasan-Mutlak” ini, maka praktek Sila, Samadhi, dan Panna adalah merupakan satu-satunya jalan. Mengenai Sila telah diterangkan tersebut diatas. Mengenai Samadhi, sudah pernah disinggung. Samatha ( Ketenangan ) dan Vipassana ( Pandangan-Terang ), itulah yang diajarkan Sang-Buddha. Dan bagian dari itu ada suatu sutta yang sangat terkenal, yaitu “Mahasatipathana-Sutta”, yang didalamnya dinyatakan :

“Jalan ini, wahai para Bhikkhu, adalah jalan tunggal demi kesucian makhluk-makhluk, demi melampaui kesedihan dan ratap-tangis, demi kepadaman penderitaan dan kepiluan hati, demi mencapai hal yang benar, demi membuat pencerahan Nibbâna; Jalan itu adalah Empat Perkembangan Perhatian (satipathâna). “

Mengenai “Empat-Perkembangan-Perhatian” akan diterangkan lebih lanjut.

Demikianlah, sehingga Keselamatan dan Kebebasan dalam Buddha-Dhamma bukanlah hal sederhana sebagai pencapaian kehidupan di alam surga semata. Keselamatan dalam Buddha-Dhamma merupakan terbebasnya suatu makhluk dari putaran arus kelahiran dan kematian ( samsara ), yang penuh dukkha, kepiluan, dan ratap-tangis. Keselamatan sedemikian ini hanya akan dicapai saat suatu makhluk, dalam hal ini seseorang manusia, merealisasi Nibbana, mencapai Pencerahan, mencapai ke-Buddha-an.

Untuk merealisasi Nirvana ini, maka dalam agama Buddha dikenal tingkatan-tingkatan pencapaian kesucian, yang sudah pernah saya singgung pada artikel “Ketuhanan YME dalam Buddhisme ( I ) “ yang terdahulu. Untuk mengingat kembali, maka tingkatan-tingkatan kesucian tersebut adalah :

1. SOTAPANNA

Adalah manusia suci yang paling banyak akan terlahir tujuh kali lagi. Sotapanna telah melenyapkan tiga belenggu ( samyojana ), yaitu :

1. Sakkaya-ditthi,

2. Vicikiccha, dan,

3. Silabbata-paramasa.

2. SAKADAGAMI

Manusia suci yang paling banyak akan terlahir sekali lagi. Sakadagami telah melenyapkan tiga belenggu ( samyojana ), yaitu :

1. Sakkaya-ditthi,

2. Vicikiccha, dan,

3. Silabbata-paramasa.

Dan telah melemahkan belenggu :

4. Kama-raga, dan

5. Vyapada.

3. ANAGAMI

Manusia suci yang tidak akan terlahir lagi di alam manusia, tetapi langsung terlahir kembali di salah sebuah alam Suddhavasa ( penjelasan mengenai alam Suddhavasa ada dalam buku saya “ Sang Jalan, Ariya-Athangika-Magga… .). Dari salah sebuah alam Suddhavasa ini Anagami itu akan mencapai tingkat kesucian tertinggi sebagai Arahat dan akhirnya ia mencapai parinibbanna.

4. ARAHAT

Manusia suci yang telah menyelesaikan semua usahanya untuk melenyapkan semua belenggu yang mengikatnya. Bila ia meninggal dunia, ia tidak akan terlahir di alam manapun. Ia akan parinibbana.

Belenggu-belenggu yang disebutkan diatas, secara rinci ada sepuluh ( 10 ) belenggu sebagai berikut :

1. Pandangan sesat tentang adanya pribadi, jiwa, atau “AKU” yang kekal ( sakkaya-ditthi ).

2. Keragu-raguan yang skeptis pada Buddha, Dhamma, Sangha, dan tentang kehidupan yang lampau dan kehidupan yang akan datang, juga keraguan kepada hukum sebab-akibat ( vicikiccha ).

3. Kemelekatan pada suatu kepercayaan bahwa hanya dengan melaksanakan aturan-aturan dan upacara keagamaan seseorang dapat mencapai kebebasan ( silabbata-paramasa ).

4. Nafsu indriya ( kama-raga ).

5. Dendam dan dengki ( vyapada ).

6. Kemelekatan atau kehausan untuk terlahir di alam bentuk ( rupa-raga ). Alam bentuk ( rupa-raga ) dicapai oleh seseorang apabila ia meninggal sewaktu dalam keadaan Samadhi dan telah mencapai Jhana I, Jhana II, Jhana III, atau Jhana IV.

7. Kemelekatan atau kehausan untuk terlahir di alam tanpa bentuk ( arupa-raga ). Alam tanpa bentuk ( arupa-raga ) dicapai oleh seseorang apabila ia meninggal sewaktu dalam keadaan samadhi telah mencapai Arupa Jhana I, II, III, dan Arupa Jhana IV.

8. Perasaan untuk membandingkan diri sendiri dengan orang lain.

9. Kegelisahan ( uddhaca ). Suatu kondisi batin yang haus sekali karena yang bersangkutan belum mencapai tingkat kebebasan sempurna ( ARAHAT ).

10. Kebodohan atau ketidaktahuan ( avijja ). Kebodohan atau ketidaktahuan ini menunjukkan seseorang yang tidak mengerti mana “Jalan”, mana yang “Bukan-Jalan”. Seseorang yang masih terbakar oleh “tiga-api” ( Nafsu keinginan, Kebencian, dan, Keserakahan ) termasuk dalam golongan orang yang mengalami ‘ketidaktahuan’. Ketidaktahuan akan adanya penderitaan ( dukkha ) dan jalan melenyapkan penderitaan inilah kebodohan. Ketidaktahuan bahwa semua di segenap semesta ini adalah tidak kekal ( anicca ), penderitaan ( dukkha ), dan tidak-ada AKU ( anatta ), adalah kebodohan.

Demikian wacana “Keselamatan dan Kebebasan dalam Buddhisme” telah saya uraikan. Semoga wacana ringkas ini bermanfaat bagi semua yang membacanya.

Salam Damai dan Cinta Kasih… .

Semoga Semua Makhluk Berbahagia dan Terbebas !

— RATANA KUMARO  —

Semarang Barat, Selasa, 23 September 2008