Bagaimana Latar belakang penerapan sistem politik ekonomi liberal bagaimana pelaksanaannya

Bagaimana Latar belakang penerapan sistem politik ekonomi liberal bagaimana pelaksanaannya

Bagaimana Latar belakang penerapan sistem politik ekonomi liberal bagaimana pelaksanaannya
Lihat Foto

Leiden University Libraries (KITLV 12204)

Sejumlah literatur mencatat jumlah perkebunan meningkat di Priangan setelah kereta api hadir sebagai moda transportasi. Pada tahun 1902 di seluruh Hindia Belanda terdapat lebih kurang 100 perkebunan teh; 81 di antaranya terletak di Jawa Barat.

KOMPAS.com - Dalam sejarah Indonesia sekitar 1870-1900 disebut dengan masa liberalisme. Di mana kaum pengusaha Belanda dan modal swasta diberikan peluang oleh pemerintah Hindia Belanda untuk menanamkan modalnya dalam berbagai usaha kegiatan di Indoensia.

Dalam buku Sejarah Indonesia Abad 19 - Awal Abad 20 (2001) oleh Daliman, para pelaku usaha Belanda menanamkan modal terutama di industri-industri perkebunan besar baik di Jawa maupun luar Jawa.

Selama masa liberalisme ini, modal swasta dari Belanda dan negara-negara Eropa lainnya telah mendirikan perkebunan kopi, teh, gula, dan kina yang cukup besar.

Pada masa liberalisme ini juga, sistem tanam paksa di Indonesia sudah dihapuskan. Dengan bebasnya kehidupan ekonomi dari pemerintah, mendorong perkembangan ekonomi Hindia-Belanda.

Baca juga: Kondisi Rakyat Indonesia Masa Pemerintahan Inggris

Zaman liberal menyebabkan penetrasi ekonomi lebih maju, terutama di Jawa. Penduduk pribumi di Jawa mulai menyewakan tanah-tanahnya kepada pihak swasta Belanda untuk dijadikan perkebunan besar.

Adanya perkebunan-perkebunan tersebut, memberikan peluang bagi rakyat Indonesia untuk bekerja sebagai buruh perkebunan.

Perkembangan pesat perkebunan teh, kopi, tembakau, dan tanaman perdagangan lainnya berlangsung antara 1870-1885. Selama itu pemerintah meraup keuntungan besar.

Krisis perdagangan

Salah satu dampak pelaksanaan sistem ekonomi liberal bagi indonesia yaitu adanya krisis perkebunan pada tahun 1885 karena merosotnya harga kopi.

Setelah tahun 1885, perkembangan tanaman perdagangan mulai anjlok. Jatuhnya harga kopi dan gula di pasar dunia, diakibatkan karena Eropa mulai menanam gula sendiri. Sehingga mereka tidak memerlukan impor gula dari Indonesia.

Krisis perdagangan ini mengakibatkan terjadinya reorganisasi dalam kehidupan ekonomi Hindia Belanda. Perkebunan besar bukan lagi milik perseorang tetapi diorganisasi sebagai perseroan terbatas.

Baca juga: Gubernur Jenderal Hindia Belanda dari 1650 hingga 1725

Bagaimana Latar belakang penerapan sistem politik ekonomi liberal bagaimana pelaksanaannya

Loading Preview

Sorry, preview is currently unavailable. You can download the paper by clicking the button above.

Liberalisme adalah sebuah ideologi, pandangan filsafat, dan tradisi politik yang didasarkan pada pemahaman bahwa kebebasan adalah nilai politik yang utama. Secara umum, liberalisme mencita-citakan suatu masyarakat yang bebas, dicirikan oleh kebebasan berpikir bagi para individu. Paham liberalisme menolak adanya pembatasan, khususnya dari pemerintah dan agama. Liberalisme menghendaki adanya pertukaran gagasan yang bebas, ekonomi pasar yang mendukung usaha pribadi (private enterprise) yang relatif bebas, dan suatu sistem pemerintahan yang transparan, dan menolak adanya pembatasan terhadap pemilikan individu.

Paham liberalisme lebih lanjut menjadi dasar bagi tumbuhnya kapitalisme. Proses berlakunya politik liberal diawali dengan penghapusan tanam paksa pada tahun 1865. Pemberlakuan politik liberal ditandai dengan adanya kebebasan usaha berupa penanaman modal swasta yang ditanamkan pada perusahaan perkebunan dan pertambangan. Dengan banyaknya modal swasta yang ditanamkan di perkebunan dan pertambangan berarti berlaku Politik Pintu Terbuka di Hindia Belanda, artinya pemerintah memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi pihak swasta untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Dalam masa ini, kepemilikan kekayaan alam Indonesia bukan 100% oleh pemerintah Belanda, melainkan dimiliki oleh enterpreneur-enterpreneur dari banyak negara. Hal ini merupakan suatu bentuk sistem Neo-Liberal yang kita anut sekarang pada masa kolonial Belanda.

1.      Apa latar belakang penerapan politik ekonomi liberal di Indonesia?

2.      Bagaimana pelaksanaan politik ekonomi liberal di Indonesia?



A.     LATAR BELAKANG PENERAPAN SISTEM PLOTIK EKONOMI LIBERAL

Sistem politik ekonomi liberal kolonial dilatarbelakangi oleh hal-hal sebagai berikut:

1.      Pelaksanaan system tanam paksa telah menimbulkan penderitaan rakyat pribumi, tetapi memberikan keuntungan besar bagi Pemerintah Kerajaan Belanda.

2.      Berkembangnya paham liberalism sebagai akibat dari Revolusi Perancis dan Revolusi Industri sehingga system tanam paksa tidak sesuai lagi untuk diteruskan.

3.      Kemenangan Partai Liberal dalam Parlemen Belanda yang mendesak Pemerintah Belanda menerapkan system ekonomi liberal di negeri jajahannya (Indonesia). Hal itu dimaksudkan agar para pengusaha Belanda sebagai pendukung Partai Liberal dapat menanamkan modalnya.

4.      Adanya Traktat Sumatra pada tahun 1871 yang memberikan kebebasan bagi Belanda untuk meluaskan wilayahnya ke Aceh. Sebagai imbalannya, Inggris meminta Belanda menerapkan sistem ekonomi liberal di Indonesia agar pengusaha Inggris dapat menanamkan modalnya di Indonesia.

Seiring dengan pelaksanaan politik ekonomi liberal, Belanda melaksanakan Pax Netherlandica, yaitu usaha pembuatan negeri jajahannya di Nusantara. Hal itu dimaksudkan agar wilayahnya tidak diduduki bangsa Barat lainnya. Lebih-lebih setelah dibukanya Terusan Suez (1868) yang mempersingkat jalur pelayaran antara Eropa dan Asia. Pelaksanaan politik ekonomi liberal itu dilandasi dengan beberapa peraturan antara lain sebagai berikut:

1.      Reglement op het belied der Regering in Nederlansch-Indie (RR) (1854). Berisi tentang tata cara pemerintahan di Indonesia. Perundangan baru ini menunjukkan kekuatan kaum liberal-borjuis terus berkembang. RR memungkinkan tanah disewa oleh pihak swasta. Pasal 62 dari peraturan ini berbunyi:

a.       Gubernur Jenderal tidak boleh menjual tanah.

b.      Larangan ini tidak termasuk bidang-bidang tanah yang kecil untuk maksud perluasan kota-kota atau desa-desa.

c.       Gubernur Jenderal boleh menyewakan tanah berdasarkan undang-undang yang nanti akan dikeluarkan. Ini tidak meliputi tanah-tanah yang diakui milik orang Indonesia asli atau tanah milik bersama dan tanah lain milik desa.Pada tahun 1926, RR diganti dengan Wer op de Staatsinrichting van Nederlandsch Indie yang biasa.

Pasal 62 Regering Reglement tidak memuaskan para pemilik modal sebab peraturan yang dihasilkan memang mengijinkan tanah untuk disewa tetapi untuk tidak lebih dari dua puluh tahun. Jangka waktu tersebut dipandang tidak cukup untuk tanah sewa agar dapat digunakan sebagai jaminan pinjaman. Lagi pula, tanah yang tersedia terletak di wilayah pedalaman dimana tenaga kerja tidak cukup tersedia. Kaum pemodal meneruskan usaha mereka untuk memperoleh tanah dengan menciptakan hukum agraria yang baru.

2.      Indische Compatibiliteit (1867)

Berisi tentang perbedaharaan negara Hindia-Belanda yang menyebutkan bahwa dalam menentukan anggaran belanja Hindia-Belanda harus ditetapkan dengan undang-undang yang disetujui oleh Parlemen Belanda.

Undang-undang gula yang menetapkan bahwa tanaman tebu adalah monopoli pemerintah yang secara berangsur-angsur akan dialihkan kepada pihak swasta.

4.      Agrarische Wet (Undang-undang Agraria 1870)

Isi pokok dari Agrarische Wet adalah sebagai berikut:

a.       Tanah di Indonesia dibedakan menjadi tanah rakyat dan tanah pemerintah. Tanah pemerintah adalah tanah yang idak bisa dibuktikan oleh pihak lain disebut juga domein-verklaring (pernyataan tentang tanah milik pemerintah).

b.      Tanah rakyat dibedakan atas tanah milik yang bersifat bebas dan tanah desa yang bersifat tidak bebas. Tanah tidak bebas adalah tanah yang dapat disewakan kepada pengusaha swasta.

c.       Tanah rakyat tidak boleh dijual kepada orang lain.

d.      Tanah pemerintah dapat disewakan kepada pengusaha swasta sampai jangka waktu 75 tahun.

Agrarische Wet 1870 kemudian menjadi Pasal 51 the wet op Staatsinrichting van Nedherlands Indie (konstitusi Hindia Belanda), yang berbunyi sebagai berikut:

a.       Gubernur Jenderal tidak boleh menjual tanah.

b.      Larangan ini tidak berlaku terhadap bidang-bidang tanah sempit untuk perluasan kota atau desa atau penggunaan tanah untuk pendirian perusahaan perushaan komersial (bukan pertanian dan kerajinan).

c.       Gubernur Jenderal boleh menyewakan tanah sesuai dengan Undang-Undang. Hak ini tidak berlaku terhadap tanah yang telah dibuka oleh penduduk asli atau terhadap tanah yang biasanya digunakan untuk pengembalaan atau yang meliputi wilayah perbatasan desa untuk maksud-maksud lain.

d.      Sewa menurut hukum dapat sampai masa 75 tahun.

e.       Dalam memberikan hak sewa sedemikian itu, Gubernur Jenderal akan menghormati hak-hak tanah penduduk asli.

f.       Gubernur Jenderal tidak dapat menguasai tanah yang telah dibuka oleh penduduk asli, atau tanah yang biasa digunakan untuk pengembalaan, atau tanah yang termasuk wilayah perbatasan desa yang digunakan untuk tujuan-tujuan lain, kecuali: untuk tujuan-tujuan kepentingan umum yang didasarkan pada Pasal 133; dan untuk pendirian perkebunan atas suatu perintah atasan, ganti rugi yang wajar dapat diberikan.

g.      Tanah-tanah yang dimiliki oleh penduduk asli dapat diberikan pada mereka berdasarkan hak eigendom (hak milik), termasuk hak untuk menjual kepada pihak lain, penduduk asli atau bukan penduduk asli.

h.      Sewa tanah oleh penduduk asli kepada bukan penduduk asli harus dilakukan sesuai dengan Undang-Undang.

Undang-undang Agraria 1870 memuat 3 bagian dari Pasal 62 Regering Reglement (1854) ditambah lima bab baru, yang meletakkan prinsip-prinsip dasar mengenai kebijaksanaan pertanahan. Undang-Undang ini menggambarkan kemenangan untuk Partai Liberal dengan beberapa konsesi yang diberikan kepada Partai Konservatif. Diakui bahwa modal swasta diperlukan untuk perushaan-perusahaan perkebunan, tetapi kepentingan-kepentingan penduduk pribumi akan terancam jika pengalihan tanah tetap tidak dibatasi.

Agrarische Wet tahun 1870 menghilangkan kesulitan-kesulitan berkenaan dengan pemberian tanah berdasarkan peraturan tahun RR 1854, dengan mengijinkan para pemilik modal untuk memperoleh hak sewa turun temurun (erpacht) dari pemerintah untuk periode sampai dengan 75 tahun dan juga menyewa tanah dari penduduk pribumi. Pada saat yang sama undang-undang tersebut menjamin kepemilikan penduduk pribumi atas hak-hak adat mereka yang telah ada atas tanah, dan memungkinkan pula mereka mendapatkan hak milik pribadi. Namun, pada prakteknya hampir tidak ada tanah rakyat yang tidak disewakan, mereka tidak dapat menikmati tanahnya sendiri, karena pihak swasta memaksa bahkan menipu dengan berbagai muslihat agar penduduk pribumi mau menyewakan tanah pada mereka, yang pada hakekatnya tidak ada bedanya dengan memindahkan hak milik pribumi ke pihak swasta.

5.      Agrarische Besluit (1870)

Jika Agrarische Wet ditetapkan dengan persetujuan parlemen, Agrarische Belsuit ditetapkan oleh Raja Belanda. Agrarische Wet hanya mampu mengatur hal-hal yang bersifat umum tentang agraria, sedangkan Agrarische Besluit mengatur hal-hal yang lebih rinci, khususnya tentang hak kepemilikan tanah dan jenis-jenis hak penyewaan tanah oleh pihak swasta.

B.     PELAKSANAAN SISTEM POLITIK EKONOMI LIBERAL

Sesuai dengan tuntutan kaum liberal, maka pemerintah kolonial segera memberikan peluang kepada usaha dan modal swasta untuk sepenuhnya menanamkan modal mereka dalam berbagai usaha dan kegiatan di Indonesia, terutama di daerah perkebunan besar di Jawa maupun di luar Jawa. Dengan dikeluarkannya Undang-undang Agraria tahun 1870, Indonesia memasuki zaman penjajahan baru. Sejak tahun 1870 di Indonesia telah diterapkan opendeur politiek, yaitu politik pintu terbuka terhadap modal-modal swasta asing. Selama periode tahun 1870 dan 1900 Indonesia terbuka bagi modal swasta Barat, karena itulah maka masa ini sering disebut zaman liberalisme. Hal itu berarti Indonesia dijadikan tempat untuk berbagai kepentingan, anatara lain berikut ini:

1.      Tempat mendapatkan bahan mentah atau bahan baku industri di Eropa.

2.      Tempat mendapatkan tenaga kerja yang murah.

3.      Menjadi tempat pemasaran barang-barang produksi Eropa.

4.      Menjadi tempat penanaman modal asing.

Di samping modal swasta Belanda sendiri, modal swasta asing lain juga masuk ke Indonesia, misalnya modal dari Inggris, Amerika, Jepang, dan Belgia. Modal-modal asing tersebut tertanam pada sector-sektor pertanian dan pertambangan, antara lain karet, teh, kopi, tembakau, tebu, timah dan minyak. Akibatnya perkebunan-perkebunan dibangun secara luas dan meningkat pesat. Misalnya, perkebunan tebu sejak tahun 1870 mengalami perluasan dan kenaikan produksi yang pesat, khususnya di Jawa. Demikian pula perkebuunan teh dan tembakau mengalami perkembangan yang pesat. Sejak semula tembakau telah ditanam di daerah Yogyakarta dan Surakarta. Sejak tahun 1870 perkebunan itu diperluas sampai ke daerah Besuki (Jawa Timur) dan daerah Deli (Sumatra Timur). Hasil-hasil bumi penting yang lainnya adalah kina, kakao, kapas, minyak sawit, gambir, minyak serai, karet, dll. lalu dibuka pula pertambangan mas, timah, dan minyak.

Perkebunan-perkebunan milik Belanda yang dibangun:

1.      Perkebunan tebu: Jawa Tengah dan Timur

2.      Perkebunan tembakau: Surakarta, Yogyakarta, Deli, Sumatera Utara.

3.      Perkebunan teh: Jawa Barat, Sumatera Utara.

4.      Perkebunan kina: Jawa Barat.

5.      Perkebunan karet: Sumatera Utara, Jambi, Palembang.

6.      Perkebunan kelapa sawit: Sumatera Utara.

Pembukaan perkebunan-perkebunan swasta di daerah luar Jawa, khususnya di Sumatra Timur menemui masalah kekurangan tenaga kerja. Pemerintah banyak mendatangkan pekerja dari Jawa yang dilakukan secara kontrak sehingga disebut kuli kontrak. Untuk menjamin para kuli tidak melarikan diri sebelum masa kontraknya habis, pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan peraturan yang disebut Koeli Ordomantie. Peraturan tersebut berisi antara alian ancaman hukuman bagi para pekerja perkebunan yang melanggar dengan ketentuan Poenale Sanctie.  Harapan kaum liberal untuk membuka tanah jajahan bagi para perkembangan ekonomi Hindia Belanda ternyata tercapai. Perkebunan-perkebunan gula, kopi, tembakau dan tanaman-tanaman perdagangan lainnya dibangun secara luas dan meningkat secara pesat. Misalnya perkebunan gula semenjak tahun 1870 mengalami perluasan dan kenaikan produksi yang pesat, terutama di daerah Jawa.



Liberalisme adalah sebuah ideologi, pandangan filsafat, dan tradisi politik yang didasarkan pada pemahaman bahwa kebebasan adalah nilai politik yang utama. Secara umum, liberalisme mencita-citakan suatu masyarakat yang bebas, dicirikan oleh kebebasan berpikir bagi para individu.

Sistem ekonomi liberal kolonial dilatarbelakangi oleh hal-hal sebagai berikut:

1.      Pelaksanaan system tanam paksa telah menimbulkan penderitaan rakyat pribumi, tetapi memberikan keuntungan besar bagi Pemerintah Kerajaan Belanda.

2.      Berkembangnya paham liberalism sebagai akibat dari Revolusi Perancis dan Revolusi Industri sehingga system tanam paksa tidak sesuai lagi untuk diteruskan.

3.      Kemenangan Partai Liberal dalam Parlemen Belanda yang mendesak Pemerintah Belanda menerapkan system ekonomi liberal di negeri jajahannya (Indonesia). Hal itu dimaksudkan agar para pengusaha Belanda sebagai pendukung Partai Liberal dapat menanamkan modalnya.

4.      Adanya Traktat Sumatra pada tahun 1871 yang memberikan kebebasan bagi Belanda untuk meluaskan wilayahnya ke Aceh. Sebagai imbalannya, Inggris meminta Belanda menerapkan sistem ekonomi liberal di Indonesia agar pengusaha Inggris dapat menanamkan modalnya di Indonesia.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Maka penulis mohon kritik dan saran guna perbaikan untuk masa yang akan datang.



Ricklefs, H.C. 1981. Sejarah Indonesia Modern, diterjemahkan oleh Dharmono Hardjowidjono. Yogyakata: Gajah Mada Univesity Press.

Notosusanto, Nugroho dan Yusmar Basri. 1980. Sejarah Nasional Indonesia Jilid 2 untuk SMA. Jakarta: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan.

Pane, Sanusi. Sejarah Indonesia Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka.

Rajagukguk, Erman. Indonesia: Hukum Tanah Di Zaman Penjajahan.