Bagaimana kita merealisasikan sikap menghormati dan memuliakan para ulama?

Bagaimana kita merealisasikan sikap menghormati dan memuliakan para ulama?
Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan yang hendak mencalonkan pada Pilgub Jabar 2013 mendatang mendapatkan dukungan penuh dari ulama dan ribuan santri se-Kabupaten Ciamis. (inilah.com/Andriansyah)

dakwatuna.com – Hidup tentu banyak masalah, ujian dan tantangan yang dirasakan oleh individu maupun masyarakat. Tak jarang hal-hal tersebut menimbulkan guncangan dalam diri yang dapat berakibat pada kekacauan, dan ketidakseimbangan. Untuk semua kondisi itu, diperlukan adanya pihak yang mampu solusi atas masalah kehidupan yang dialami oleh umat. Salah satu solusinya adalah dengan adanya keberadaan ulama.

Dalam kehidupan beragama, posisi ulama adalah sebagai pembimbing umat agar senantiasa menjalani hidup pada jalan yang lurus (Shirathal Mustaqim), penjaga nuansa religiusitas umat, dan tempat umat menyelesaikan masalah-masalahnya.

Kata ulama adalah bentuk jamak (banyak) dari kata ‘alim yang berarti orang berilmu. Secara bahasa yang dimaksud dengan ulama adalah Ulama uddin yakni orang berilmu dalam agama Islam. Imam Al-Ghazali dalam judul bukunya Ihya Ulumuddin, mengatakan bahwa ulama adalah orang yang menghidupkan ilmu-ilmu agama Islam.

Predikat ulama, tidak bisa hanya karena penampilan seseorang dari luarnya. Seseorang yang ke mana-mana terlihat memutar tasbih, berjenggot lebat, memakai jubah, atau jidatnya hitam, tidak bisa lantas dikatakan ulama. Atau seseorang dengan gelar sarjana agama, atau sebagai petinggi pada instansi atau lembaga keagamaan, juga belum bisa dikatakan ulama.

Lalu, siapakah yang termasuk ulama itu? Allah SWT berfirman dalam Al Qur’an “Sesungguhnya yang merasa takut terhadap Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah para ulama” [Fathir: 28].

Jadi, yang dikatakan ulama adalah hanya orang yang takut kepada Allah, takut dengan larangan-Nya. Dan sebaliknya, jika dia tidak takut dengan larangan Allah, maka dia bukan ulama, meskipun gelar akademiknya adalah sarjana agama, atau memiliki amanah di instansi keagamaan.

Sebaliknya, meski tanpa gelar sarjana agama, amanah di instansi keagamaan, tidak pakai peci, asalkan dia takut kepada Allah dan terbebas dari melanggar rambu-rambu agama, dia bisa dikatakan ulama.

Dengan demikian, seseorang bekerja atau memiliki amanah di instansi keagamaan tidak lantas membuat seseorang itu digelari ulama. Di negeri kita, banyak kasus orang yang bekerja di lembaga keagamaan tapi berbuat korupsi. Misalnya korupsi dana pelaksanaan ibadah haji, korupsi pengadaan Al Qur’an, atau pembangunan tempat ibadah. Jadi, meskipun gelar akademisnya panjang, janggutnya lebat, selalu berkopiah, dan merupakan petinggi di lembaga agama, dia bukanlah ulama kalau melanggar larangan agama. Sekalipun dia adalah menteri agama. Banyak kita lihat di lingkungan kita, seseorang yang berkecimpung dalam ranah agama namun maksiat tetap jalan terus. Misalnya dia adalah khatib tetap di sebuah masjid, atau sering menjadi imam, tetapi dia menjalin hubungan gelap atau berbuat serong dengan wanita lain.

Keberadaan ulama dalam masyarakat sangat penting. Dengan kepahaman ilmu yang mereka miliki, mereka layak disebut sebagai pewaris para nabi. Allah memuliakan dan menghormati mereka dengan penghormatan khusus dari Allah sebagaimana yang tercantum dalam surat al-Mujadilah ayat 11, “Niscaya Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu dengan beberapa tingkatan. Dan Allah Maha Mengetahui terhadap apa yang kalian lakukan.”

Maka, sudah sepantasnya kita menghormati mereka pula. Bagaimanakah cara menghormati ulama? Ada sebuah kisah yang terjadi di masa sahabat. Kisah ini dialami oleh Zaid bin Tsabit. Beliau adalah rujukan utama bila ada yang ingin bertanya tentang Al Qur’an. Di masa khalifah Abu Bakar Siddiq, Zaid menjadi ketua kelompok yang bertugas menghimpun Al Qur’an. Di masa khalifah Utsman Bin Affan, beliau menjadi ketua tim penyusun mushaf Al Qur’an. Suatu hari saat ia sedang mengendarai seekor hewan, beliau kesulitan mengendalikan hewan itu. Ibnu Abbas yang kebetulan melintas di depannya, membantu Zaid mengendalikan hewannya. Lalu Zaid berkata, “Biarkan saja hewan itu wahai anak paman Rasulullah,” katanya. Ibnu Abbas menjawab, “Beginilah kami diperintahkan oleh Rasulullah menghormati ulama kami.” Lalu Zaid menjawab, “kalau begitu berikan tanganmu padaku.” Ibnu Abbas memberikan tangannya, Zaid menciumnya dan berkata, “Begitulah caranya kami diperintahkan Rasulullah SAW untuk menghormati keluarga nabi kami.”

Beberapa sikap dalam menghormati dan memuliakan para ulama adalah pertama menaati mereka dalam hal yang baik. Selama apa yang diucapkan mereka adalah kebaikan, maka kita harus menaatinya, tanpa memandang status dan pekerjaan sang ulama. Ada sebuah kaidah yang mengatakan, jangan lihat siapa yang menyampaikan tetapi lihatlah apa yang disampaikan.

Kedua, mengembalikan urusan umat kepada mereka. Allah berfirman, “Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (An-Nahl: 43). Kadang ada di antara kita yang sok tahu, merasa lebih paham daripada sang ulama. Padahal jelas mereka lebih terjaga ilmunya dari kita. Sudah saatnya kita memercayakan penyelesaian masalah umat kepada mereka. Merekalah tempat bertanya bagi kita dalam masalah keagamaan.

Ketiga, menjaga adab-adab kepada ulama. Beberapa sikap yang menunjukkan bahwa kita menghormati mereka adalah tidak berjalan di depan mereka, tidak duduk di tempat yang diduduki mereka, tidak memulai pembicaraan kecuali sudah diizinkan, dan memandang penuh perhatian kepadanya saat diberi arahan (taushiyah).

Dalam kitab talim mutaallim dicantumkan secara lebih luas bentuk-bentuk penghormatan kita kepada ulama, di antaranya tidak terlalu banyak bicara di hadapan guru, tidak menanyainya dalam keadaan yang lelah atau bosan, memerhatikan waktu bertanya, tidak menyakiti hatinya karena itu dapat menyebabkan ilmu tidak berkah, dan lain sebagainya.

Allah telah memilih para ulama dari sekian banyak hamba-nya, memilih mereka sebagai pewaris para nabi. Sudah kewajiban bagi kita untuk menghormatinya. Agar hidup kita semakin berkah dan penuh kebahagiaan dalam hidup ini. Semoga dengan menghormati mereka, ilmu yang kita dapat bisa membawa berkah dan berguna dalam hidup ini.

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:

Bagaimana kita merealisasikan sikap menghormati dan memuliakan para ulama?
Bagaimana kita merealisasikan sikap menghormati dan memuliakan para ulama?
Bagaimana kita merealisasikan sikap menghormati dan memuliakan para ulama?
Bagaimana kita merealisasikan sikap menghormati dan memuliakan para ulama?
Bagaimana kita merealisasikan sikap menghormati dan memuliakan para ulama?
(6 votes, average: 9,00 out of 5)

Bagaimana kita merealisasikan sikap menghormati dan memuliakan para ulama?
Loading...

Bagaimana kita merealisasikan sikap menghormati dan memuliakan para ulama?

Allah I dengan hikmah dan keadilan-Nya yang sempurna telah memuliakan sebagian hamba-Nya di atas sebagian lainnya. Di antara sebab Allah I memuliakan sebagian hamba-Nya tersebut adalah karena ilmu, amal, kesabaran, keikhlasan, dan keimanan yang dimilikinya. Dengan sebab-sebab itulah, Allah I memuliakan para ulama, yaitu orang-orang yang berilmu tentang Al-Qur’an dan As-Sunnah sehingga menjadi orang-orang yang takut kepada Rabb-Nya.

Di antara bentuk pemuliaan Allah I  atas ahli ilmu (ulama) yaitu Allah I menjadikan mereka sebagai saksi atas perkara yang paling agung dan mulia, yaitu keesaan-Nya, dan menggandengkan persaksian mereka dengan persaksian-Nya dan persaksian para malaikat. Allah I berfirman, “Allah mempersaksikan bahwasanya tidak ada sembahan yang haq selain Dia, Yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada sembahan yang haq selain Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (QS. Ali Imran: 18). Terhadap ayat ini, Imam al-Qurthubi rahimahullah mengatakan, “Pada ayat ini terdapat dalil yang menunjukkan keutamaan ilmu dan kemuliaan ulama. Seandainya ada orang yang lebih mulia daripada ulama, niscaya Allah I akan menggandengkan mereka dengan nama-Nya dan nama para malaikat-Nya.”

Selain itu, betapa Allah I memuliakan para ulama, Allah I juga mengangkat derajat orang-orang beriman yang berilmu di atas derajat orang-orang beriman namun tidak berilmu, meskipun kedua-duanya tetap memiliki keutamaan. Hal ini terlihat dari firman-Nya, “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (QS. Al-Mujaadilah : 11). Maknanya ialah bahwa Allah I mengangkat derajat orang-orang yang beriman di atas orang-orang yang tidak beriman, kemudian Allah I  mengangkat derajat orang-orang beriman yang memiliki ilmu di atas orang-orang yang beriman saja (tanpa ilmu). Artinya, para ulama adalah golongan yang telah mengumpulkan iman dan ilmu, sehingga Allah I mengangkat kedudukannya beberapa derajat dengan sebab keimanannya dan dengan sebab ilmunya beberapa derajat lagi.

Olehnya, dengan berbagai kemuliaan dan keutamaan mereka, maka kita wajib untuk memuliakan dan menghormati mereka sebagaimana Allah I dan Rasul-Nya telah menjadikan mereka terhormat dan mulia. Rasulullah r bersabda, “Bukan termasuk golongan kami orang yang tidak menyayangi yang kecil dari kami dan tidak menghormati yang tua dari kami, tidak menyuruh yang ma’ruf dan tidak mencegah dari perbuatan munkar, serta tidak mengenal hak orang yang alim (ulama) dari kami”. (HR. Ahmad 1/257, at-Tirmidzi 1986, dan Ibnu Hibban 1913).

Thawus bin Kaisan rahimahullah berkata, “Menghormati empat orang ini termasuk sunnah, yaitu ulama, orangtua, penguasa, dan orang yang dituakan (sesepuh)” (Disebutkan oleh al-Baghawi dalam Syarh Sunnah 13/43). Bahkan, memuliakan ulama karena ilmu dan al-Qur’an yang dihapalnya merupakan pengagungan terhadap Allah I. Rasulullah r bersabda, “Termasuk mengagungkan Allah I (yaitu) menghormati muslim yang sudah tua, menghormati penghapal al-Qur’an yang tidak berlebihan padanya dan tidak kurang, dan menghormati pemerintah yang adil.” (HR. Abu Daud 4843). Tentang pengagungan terhadap syiar-syiar Allah I ini, Allah I berfirman, “Barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (QS. Al-Hajj: 32). Artinya, penghormatan kepada ulama sebagai bentuk pengagungan syi’ar Allah I adalah indikasi ketakwaan kita kepada Allah I.

Bentuk Penghormatan dan Pemuliaan Kepada Ulama

Setelah kita memahami tentang wajibnya menghormati dan memuliakan para ulama karena kedudukannya, maka langkah berikutnya adalah merealisasikan keyakinan tersebut dalam bentuk amal. Di antara bentuk amal yang dapat kita lakukan adalah sebagai beikut :

Pertama, bersyukur (berterima kasih) kepada mereka. Mengapa? Karena berkat keikhlasan dan kesabaran mereka dalam berdakwah, ilmu Al-Qur’an dan As-Sunnah pun tersebar hingga sampai kepada kita. Kita bisa mengetahui akidah yang benar dan beribadah dengan tata cara yang benar. Sudah semestinya, kita bersyukur kepada Allah I dengan berterima kasih kepada mereka. Rasulullah r bersabda, “Tidak akan bersyukur kepada Allah I, orang yang tidak berterima kasih kepada orang lain.” (HR. Abu Dawud no. 4177, lihat Ash-Shahihah no. 416). Yahya bin Mu’adz Ar-Razi t berkata, “Para ulama lebih mengasihi dan menyayangi umat Muhammad r daripada ayah dan ibu mereka.” Beliau ditanya, “Bagaimana hal itu bisa terjadi?” Beliau menjawab, “Bapak dan ibu mereka melindungi mereka dari api dunia, sedangkan para ulama melindungi mereka dari api akhirat.” (Lihat Mukhtashar Nashihat Ahlil Hadits hlm. 167).

Kedua, menaati mereka dalam kebaikan. Allah I berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya), dan ulil amri di antara kalian.” (QS. An-Nisa’: 59).

Syaikh Muhammad bin Umar bin Salim Bazmul hafizhahullah mengatakan, “Yang dimaksud ulil amri (dalam ayat ini) adalah umara’ (para penguasa) dan ulama. Karena itu, ketaatan kepada ulama itu mengikuti ketaatan kepada Allah I dan Rasul-Nya, sedangkan ketaatan kepada para penguasa mengikuti ketaatan kepada para ulama. Pintu ketidaktaatan terhadap para penguasa dan pemimpin tergantung kepada para ulama, sehingga apabila hak-hak para ulama ditelantarkan niscaya hak-hak para penguasa akan hilang pula. Bila hak-hak para ulama dan umara’ hilang, umat manusia tidak akan menaati mereka, padahal hidup dan baiknya ulama adalah penentu kehidupan dan kebaikan alam ini. Apabila hak-hak para ulama tidak dipedulikan, akan hilang hak-hak para umara. Dan ketika hak-hak para ulama dan umara’ hilang, hancurlah kehidupan alam semesta!” (Lihat Makanatul ‘Ilmi wal ‘Ulama, hlm. 16—17).

Ketiga, mengikuti bimbingan dan arahan mereka. Ibnu Mas’ud t berkata, “Rasulullah r membuat sebuah garis yang lurus lalu bersabda, “Ini adalah jalan Allah.” Kemudian beliau r membuat beberapa garis di sebelah kanan dan kiri garis lurus itu lalu bersabda, “Ini adalah jalan-jalan yang bercabang (darinya). Pada setiap jalan ini ada setan yang mengajak kepadanya.” Beliau r lalu membaca firman Allah I, “Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya….” (QS. Al-An’am: 153) (HR. Ahmad no. 3928).

Terhadap hadits ini, Syaikh Muhammad Bazmul hafizhahullah mengatakan, “Barang siapa yang mengikuti para ulama berarti dia mengikuti jalan yang lurus. Adapun yang menyelisihi ulama dan tidak memedulikan hak-hak mereka berarti dia telah keluar (dan mengikuti) jalan setan. Dia telah memisahkan diri dari jalan yang lurus, yaitu jalan Rasul-Nya n dan yang ditempuh para sahabat.” (Lihat Makanatul ‘Ilmi wal ‘Ulama, hlm. 18).

Keempat, mengembalikan urusan umat kepada mereka. Allah I berfirman, “Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan (ulama) jika kamu tidak mengetahui.” (QS. An-Nahl: 43). Allah I juga berfirman, “Apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kalian, tentulah kalian mengikuti setan kecuali sebagian kecil saja (di antara kalian).” (QS. An-Nisa: 83).

Terhadap ayat ini, Syaikh As-Sa’di rahimahullah berkata, “Selayaknya apabila ada sebuah urusan penting dan menyangkut orang banyak—terkait keamanan dan kebahagiaan orang-orang beriman, ataupun kekhawatiran akan sebuah musibah yang menimpa mereka— hendaknya mereka menelitinya dan tidak tergesa-gesa menyebarkannya. Bahkan, semestinya mereka mengembalikannya kepada Rasulullah r (semasa hidup beliau) dan kepada ulil amri, yaitu orang-orang yang ahli dalam menentukan pendapat, berilmu, peduli, dan tenang. Apabila terjadi pembahasan suatu urusan yang penting, sepantasnya yang terlibat adalah orang-orang yang ahli dalam urusan tersebut. Urusan tersebut diserahkan kepada mereka, sedangkan orang lain tidak boleh mendahului mereka, karena sikap ini lebih mendekati kebenaran dan lebih selamat”. (Lihat Tafsir As-Sa’di hlm. 190).

Kelima, menjaga kehormatan mereka. Dengan kedudukan ulama yang begitu vital dan mulia di tengah-tengah umat, maka menjaga kehormatannya menjadi sebuah keniscayaan. Mengapa? Karena membela kehormatan ulama adalah membela agama itu sendiri. Syaikh Utsaimin rahimahullah pernah berkata, “Mengghibah ulama adalah memberikan mudharat kepada Islam seluruhnya. Karena umat akan tidak percaya lagi kepada ulama lalu mereka akan meninggalkan fatwa para ulama dan lepaslah mereka dari agama.”

Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Memuliakan para ulama adalah sebuah kewajiban. Karena mereka adalah pewaris para nabi. Sikap meremehkan ulama yang mereka lakukan termasuk perendahan terhadap kedudukan mereka, perendahan terhadap warisan Nabi r dan perendahan terhadap ilmu yang mereka miliki.  Jika kita tidak memiliki kepercayaan pada para ulama, lalu kepada siapakah kita akan menaruh kepercayaan? Jika kepercayaan terhadap para ulama telah hilang, lalu kepada siapakah kaum muslimin meminta solusi dalam menyelesaikan masalah-masalahnya dan meminta penjelasan tentang hukum-hukum syari’at? Tatkala hal itu telah terjadi, maka akan terjadi kekacauan dan kebingungan dalam umat”.

Ibnu ‘Asakir rahimahullah berkata, “Ketahuilah, bahwa daging–daging ulama itu beracun, dan sudah diketahui akan kebiasaan Allah dalam membongkar tirai orang-orang yang meremehkan atau merendahkan mereka, dan sesungguhnya barang siapa yang melepaskan lidahnya untuk mencela ulama maka Allah I akan mengujinya dengan kematian hati sebelum ia mati.” Syaikh Awad Ar-Ruasti menjelaskan tentang makna perkataan ini, “Siapa yang suka berbicara tentang aib para ulama, maka dia layaknya memakan daging para ulama yang mengandung racun, akan sakit hatinya, bahkan dapat mematikan hatinya.”

Kalangan yang memusuhi syariat agama ini menggunakan berbagai cara untuk menghancurkan Islam. Salah satu caranya adalah dengan menggugat otoritas ulama. Mereka mengetahui bahwa pokok dari tegak dan terpeliharanya agama ini adalah keberadaan para ulama yang dihormati dan ditaati. Maka mereka menyebarkan pemikiran bahwa tidak ada yang boleh dan bisa menjadi pihak yang otoritatif dalam memahami agama ini. Semua orang berhak dan bisa memahami dan menafsirkan agama sesuai kehendaknya. Bahwa semua faham dan tafsir adalah benar dan tidak ada yang paling benar atau satu-satunya yang benar. Dan seterusnya.  Begitulah, mereka mencoba menggugat kedudukan para ulama di tengah umat. Sehingga, ketika umat terpengaruh oleh paham dan propaganda mereka, umat pun akan merendahkan ulama dan mencampakkan fatwa dan pandangan para ulama. Wallahul-musta’an.

Ketika Merendahkan dan Mendurhakai Para Ulama

Rasulullah r telah mengingatkan dalam sabdanya, “Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu begitu saja dari diri para ulama, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan matinya para ulama, sehingga jika tidak tersisa seorang ulama-pun, maka masyarakat akan mengambil orang-orang bodoh sebagai pemimpin, jika mereka ditanya mereka menjawab tanpa ilmu, sehingga mereka sesat dan menyesatkan. ” (HR. Bukhari).

Rasulullah r juga bersabda, “Apabila kalian berjual-beli dengan sistem ‘inah (salah satu bentuk transaksi ribawi), telah mengambil ekor-ekor sapi, dan lebih senang dengan pertanian kalian hingga kalian meninggalkan jihad (di jalan Allah), niscaya Allah akan menimpakan kehinaan terhadap kalian. Allah I tidak akan mencabutnya hingga kalian kembali kepada agama kalian”. (HR. Abu Dawud no. 3003).

Syaikh Muhammad Bazmul hafizhahullah mengatakan, “Tidak ada jalan untuk kembali kepada agama yang mulia ini melainkan dengan bimbingan ulama. Apabila umat tidak memedulikan hak-hak ulama dan tidak merujuk kepada mereka, bahkan merasa tidak membutuhkan mereka, mereka akan mengangkat orang-orang yang bodoh sebagai pemimpin. Bagaimana mereka akan kembali kepada agama mereka? Bagaimana pula mereka bisa keluar dari kehinaan dan kerendahan tanpa bimbingan ulama?” (Lihat Makanatul ‘Ilmi wal ‘Ulama, hlm. 26).

Akhirnya, kita memohon kepada Allah I  kiranya Dia dengan kelembutan-Nya senantiasa membimbing kita untuk selalu memuliakan, menghormati, dan memberikan hak-hak para ulama. Semoga Allah I senantiasa menganugerahkan kebaikan dan keberkahan kepada bangsa ini ketika kita mampu menghargai dan menghormati para ulama.

Wallahu a’lam.