Pengantar Ketika Muhammadiyah berdiri tahun l912, seluruh dunia Muslim masih berada di bawah penjajahan. Belum banyak yang merdeka secara politis dari cengkeraman imperalisme dan kolonialisme Barat. Di tengah-tengah kesulitan seperti itu Muhammadiyah berdiri dengan membawa optimisme baru. Kata-kata atau slogan “Islam yang berkemajoean” amat didengung-dengungkan saat itu. Mungkin belum disebut Islam “modern” atau ”reformis” seperti yang dinisbahkan dan disematkan orang dan para pengamat pada paroh kedua abad ke-20. Namun dalam perjalanan waktu selanjutnya, identitas gerakan Muhammadiyah tidak dapat dilepaskan dari arti penting dari Dakwah dan Tajdid. Kata kunci Dakwah terkait dengan mengemban dan mengamalkan Risalah Islam, mengajak ke kebaikan (al-Khair) dan melaksanakan amar ma’ruf dan nahi mungkar. Sedangkan sistem tata kelolanya, usaha dakwah dalam artian luas tersebut memerlukan Tajdid, baik yang bersifat pemurnian maupun pembaharuan (Haidar Nashir, 2006: 54).
Pertama, globalisasi mendorong munculnya genre baru keummatan dari golongan Minoritas Muslim di berbagai negara mayoritas Kristen baik di Amerika, Eropa maupun Australia. Kedua, Peradaban Barat yang masih terus leading dalam memimpin dunia dalam berbagai sektor kehidupan. Ketiga, Gerakan Dakwah dan Tajdid bertemu muka dan berhadap-hadapan dengan gerakan Dakwah dan Jihad. Ketiga isu besar ini saling berkait kelindang.Menurut hemat penulis, sepuluh, dua puluh, lima puluh dan seratus tahun ke depan sejarah peradaban dan umat beragama, termasuk di dalamnya Muhammadiyah, akan ditentukan oleh corak paradigma, model, dan strategi merespon ketiga isu kontemporer ini. Tidak bisa tidak. Maka pertanyaannya adalah seperti pertanyaan yang dilontarkan oleh Tariq bin Ziyad mengawali era ”globalisasi” sejarah Islam abad pertengahan, ”Aina al-mafarr? Al-Bahru waraakum wa al-aduwwu amamakum”. (Ke mana kita akan lari menghindar dari persoalan yang nyata-nyata kita hadapi? Hamparan laut luas ada di belakang kita, sedang musuh dengan berbagai keahliannya ada di hadapan kita?) Begitu pertanyaan dan sekaligus motivasi dan semangat yang ditanamkan oleh Tariq bin Ziyad puluhan abad yang silam ketika hendak meninggalkan selat Gibraltar, selat yang ada di antara ujung utara benua Afrika dan ujung selatan benua Eropa, dan masuk ke daratan Spanyol sekarang. Daratan yang sama sekali asing dan baru bagi Tariq bin Ziyad dan teman-temannya saat itu.
Peradaban Muslim abad ke-21 masih berhadapan dengan peradaban Barat dalam seluruh aspeknya. Politik, ilmu pengetahuan dan teknologi, perekonomian, perdagangan, perbankan, pendidikan, media, tourism, perhotelan, pengobatan, politik ketatanegaraan, keberagamaan, bahkan sampai ke tata boga dan tata busana seluruhnya selalu berinteraksi langsung maupun tidak langsung, berdialog dengan kebudayaan dan peradaban Barat. Seluruh fakta sejarah ini seolah-olah membenarkan pendapat Bassam Tibbi, seorang sarjana Muslim dari Siria yang tinggal di Jerman, ketika ia berkata bahwa ‘It is hard to reconcile … the religious proclamation, “You are the best community (umma) created by God on earth” (al-Qur’an 3: 110) with the reality in which members of this very umma rank with the underdogs in the present global system dominated by the West’ (Tibbi, 2001: 54). Sangatlah sulit sekali saat sekarang ini untuk menyesuaikan pernyataan agama al-Qur’an dalam surat Ali Imran, ayat 110 bahwa “Kamu (umat Islam) adalah sebaik-baik masyarakat (ummah) yang diciptakan oleh Allah diatas bumi” dengan realitas konkrit di lapangan pada abad ke 21 ini, di mana hampir seluruh umat Islam rata-rata kalah dalam berbagai seginya dalam bersaing dengan peradaban yang sekarang ini didominasi oleh Barat. Muhammadiyah didirikan 100 tahun yang lalu adalah untuk menjawab tantangan ini. “Islam yang berkemajoean” adalah idam-idaman dan cita-cita besar para pendiri organisasi ini sampai harus mentransfer dan meng-adopt cara dan sistem pengelolaan pembelajaran dan persekolahan di era penjajahan Belanda dulu. Sekarang di era kemerdekaan yang ke 64, Muhammadiyah telah memeiliki ribuan sekolah dari SD sampai SMU dan ratusan Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM) di berbagai daerah di tanah air. Belum lagi menyebut taman kanak-kanak. Mari kita lakukan introspeksi (muhasabah al-nafs; muhasabah al-harakah) menjelang 100 tahun usia Muhammdiyah. Sebutlah salah satu contoh, bagaimana kita menjawab pertanyaan sederhana tapi cukup sulit dijawab: apakah anak-anak dan mahasiswa keluaran sekolah dan perguruan tinggi Muhammadiyah telah menjadi “khaira ummah” pada setiap jenjang pendidikan yang diikutinya? Mengapa keluaran sekolah atau Perguruan Tinggi yang didirikan oleh non Muhammadiyah seringkali lebih baik dan lebih unggul dari pada yang didirikan oleh Muhammadiyah? Atau memang bukan kesitu arah pendidikan Muhammadiyah? Apa arti “khaira ummah” untuk wilayah pendidikan? Bagaimana untuk wilayah sosial, ekonomi, politik, budaya, belum lagi menyebut IPTEK? Apakah tata kelola, sistem dan metode pendidikan dan pengajaran telah dievaluasi secara mendasar? Bolehkah sistem pendidikan Muhammadiyah mencangkok sistem lain yang ternyata lebih dapat mengantarkan anak didiknya lebih unggul? Bagaimana sistem pendidikan dan pengajaran materi keislaman di lingkungan perguruan Muhammadiyah? Kata kuncinya, menurut hemat penulis, istilah “khaira ummah” dalam al-Qur’an itu bukanlah taken for granted, pasti datang dengan sendirinya, otomatis bagus karena sudah ber(i)slam atau ber(m)uhammadiyah, tanpa upaya pembaharuan-pembaharuan yang terus menerus … untuk mencapai derajat “khaira ummah”, apalagi sampai Masyarakat Utama dan lebih-lebih Peradaban Utama, perlu kritik tajam secara terus menerus, tidak berhenti melakukan eksperimentasi, trial and error, dievaluasi dan dimonitor secara saksama oleh persyarikatan. Sampai di sini, belum disinggung perlunya keringat dan kerja keras peneliti dan pekerja dalam laboratorium. Peninjauan ulang terhadap ini semua (meragukan, doubt) mengandaikan niscayanya perubahan dalam sistem organisasi pengelolaan sekolah dan perguruan tinggi di lingkungan persyarikatan Muhammadiyah dan kesediaan para pengurus untuk belajar dan keberanian mentransfer dan mengadapt keberhasilan organisasi dan metode pembelajaran lain yang lebih unggul dalam bidang yang sama. Masih terngiang-ngiang terus pertanyaan Syeikh Sakip Arsalan, ”Li madza taakhkhara al-Muslimun wa taqaddama ghairuhum?” di awal abad ke-20 dan ternyata masih berlaku hingga sekarang. Muhammadiyah harus berani terus-menerus bertanya, melakukan ”koreksi”, ”meragukan” sebagian atau semua langkah yang pernah ditempuhnya sebagai bahan untuk memperbaiki dan menyempurnakan langkah yang akan ditempuh pada masa-masa yang akan datang, khususnya di era abad kedua usianya. Inti budaya modern adalah ”melembagakan keragu-raguan” (the Institutionalization of Doubt), begitu papar Anthony Giddens dalam karyanya, The Consequences of Modernity (1990, 59).
Semua pihak, tidak hanya Muhammadiyah, perlu terus menerus mencermati dan mewaspadai perkembangan ini, lebih-lebih di lingkungan intern Muhammadiyah, karena dalam Muhammadiyah tegas-tegas disebutkan ada aspek “pemurnian” selain “pembaharuan”, juga ada anjuran ‘nahi mungkar’ selain anjuran ber ‘amar ma’ruf’, seperti disinggung diatas. Gerakan pemurnian, kalau tidak pandai mengemasnya akan sangat mudah beralih menjadi ‘jihad’ ideologis-kultural’ untuk menyerang realitas perkembangan sosio-historis dan realitas perkembangan sosio-kultural keummatan Islam yang sangat kompleks dan beraneka ragam, tidak hanya di tanah air tetapi juga di seluruh dunia Muslim. Sedang penekanan pada sisi ‘nahi mungkar’, dengan sedikit mengesampingkan ‘amar ma’ruf’ juga berpotensi akan mudah terbawa arus jihad dengan menggunakan kekerasan (gerakan radikalisme agama) dalam menegakkan perintah-perintah agama secara paksa (coersive) dan bukannya persuasif (persuasive).Gelombang jihad rasanya akan memikat dan menarik generasi muda yang haus akan pengetahuan agama, yang masih labil secara kejiwaan apalagi ekonomi, penomena ketidakadilan yang mereka saksikan di berbagai tempat di negeri mereka masing-masing. Gelombang jihad akan menghiasi perjalanan peradaban Islam kontemporer abad ke-21, selagi politik luar negeri negara-negara Barat belum berubah dan dialog antar budaya dan agama tidak tulus dan macet. Gelombang jihad akan tetap menarik generasi muda jika Amerika dan sekutunya belum keluar dari Timur Tengah dan negara-negara mayoritas berpenduduk Muslim lainnya. Kalau itu ukurannya, maka masih agak lama waktunya untuk meredam, apalagi menghilangkan semangat dan militanisme jihad melawan Barat dan sekutunya di dalam negeri Muslim sendiri. Ketika peradaban Islam kontemporer berhadapan secara langsung dengan peradaban Barat seperti itu, maka gerakan Islam modern maupun yang tradisional, yang menginginkan kemajuan masyarakat muslim untuk mengejar ketertinggalannya juga terkena imbasnya. Imbas itu sangat pahit, dan menimbulkan perpecahan umat jilid berikutnya. Adalah kenyataan yang tidak dapat dibantah bahwa selain adanya the clash of civilizations seperti yang tercermin dalam perang tak berkesudahan di Timur Tengah (Iraq dan Palestian-Israel) dan wilayah Asia Tengah (Afganistan) dan Selatan (Pakistan), tetapi yang jelas-jelas dihadapi peradaban Islam kontemporer ketika merespon ketiga isu di depan (Minoritas Muslim di Barat, dominasi Barat, dan klaim kebenaran Interpretasi terhadap apa yang disebut “khaira ummah”) adalah the clash within (Islamic) civilizations, baik di Mesir, Aljazair, Sudan, Saudi Arabia, Pakistan, Indonesia, Turki. Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah sosial-keagamaan Islam di Indonesia tidak dapat menghindar dari perkembangan kontemporer diatas dan dapat merespon dengan arif dan tegas. Lebih-lebih, jika sibghah (corak khas atau ikon) Dakwah dan Tajdid masih melekat di tubuhnya. Namun tidak mudah mempertahankan sibghah tersebut, tanpa dibarengi pembaharuan-pembaharuan from within, pembaharuan dalam Muhammadiyah sendiri, khususnya ketika memasuki abad kedua usianya. Juga pembaharuan from without, yaitu pembaharuan politik luar negeri negara barat. Muhammadiyah sebagai gerakan Dakwah dan Tajdid: Tantangan agenda ke depan Tantangan yang dihadapi Muhammadiyah pada abad pertama usianya pasti berbeda dari abad kedua usianya, meskipun kontinuitasnya antara keduanya tetap ada. Untuk itu, Paradigma, Model, dan Strategi Tajdidnya juga harus disesuaikan dengan perkembangan terbaru discourse keislaman baik dalam teori maupun praktek. Muhammadiyah harus melakukan upaya pembaharuan from within, yang meliputi strategi pembaharuan gerakan pendidikan yang selama ini digelutinya, mengenal dengan baik dan mendalam metode dan pendekatan kontemporer terhadap studi Islam dan Keislaman era klasik dan lebih-lebih era kontemporer, mendekatkan dan mendialogkan Islamic Studies dan Religious Studies, bersikap inklusif terhadap perkembangan pengalaman dan keilmuan generasi mudanya, terbuka, mengenalkan dialog antar budaya dan agama di akar rumput, memahami Cross-cultural Values dan multikulturalitas, dalam bingkai fikih NKRI, dan begitu seterusnya. Tanpa menempuh langkah-langkah tersebut, gerakan pembaharuan Islam menuju ke arah terwujudnya Masyarakat dan Peradaban Utama di tanah air ini, tentu akan mengalami kesulitan bernapas dan kekurangan oksigen untuk menghirup dan merespon isu-isu sosial-keagamaan global dan isu-isu peradaban Islam kontemporer.Untuk konteks keindonesiaan, Ikon perjoangan meraih “Islam yang berkemajoean” sepertinya tetap menarik untuk diperbincangkan dan didiskusikan sepanjang masa. Dengan begitu kontinuitas dan kesinambungan perjoangan antara generasi abad pertama dan generasi penerus abad kedua masih terpelihara, sebagaimana dicanangkan dan dipesankan oleh founding fathers Muhammadiyah terdahulu. Wallahu a’lam bi al-sawab. Yogyakarta, 21 November 2009 Sumber : http://www.muhammadiyah.or.id/ |