Bagaimana dampak di bidang pakaian setelah bangsa Belanda dengan VOC nya datang ke Indonesia

Sebuah film berita Belanda tertanggal tahun 1927 menunjukkan pameran Hindia Belanda di Belanda yang menampilkan orang Indo dan Pribumi dari Hindia Belanda yang menampilkan tarian dan musik tradisional dalam pakaian tradisional (Dok Wikipedia)

OLEH PRIYANTONO OEMAR

Masyarakat Indonesia di masa lalu lebih dulu bersentuhan dengan mode/busana dari kalangan Muslim daripada dari kalangan Kristen. Sarung, misalnya, didapat dari Muslim Yaman di abad ke- 14 jauh sebelum Belanda menginjakkan kaki di bumi Nusantara.

Kain ini dianggap bisa menutup aurat laki-laki sesuai syar'i --yang bersumber dari kata syar'un. Ketika Belanda datang di akhir abad ke-16, kompetisi mode, kata Kees van Dijk, kemudian melibatkan tiga pihak: Pribumi, Timur Tengah/Muslim, Eropa/Kristen.

VOC saat itu hanya memperbolehkan penganut Kristen --di daerah-daerah yang dikendalikan VOC-- yang bisa memakai pakaian gaya Eropa. "Pelengkap khas pakaian bagi Kristiani non-Eropa terdiri atas topi gaya Eropa, kaus kaki, dan sepatu," tulis van Dijk di buku Outward Appearances, mengutip De Haan dari Oud Batavia.

VOC melarang orang-orang Indonesia non-Kristiani mengenakan pakaian seperti orang Eropa. Orang-orang Indonesia hanya boleh mengenakan pakaian etnis masing-masing. Maka, perselisihan pun muncul ketika makin kuat keinginan dari sebagian orang-orang Indonesia untuk bisa mengenakan pakaian Eropa itu. Mengenakan pakaian Eropa bisa menghindari pengawasan dari VOC.

Perselisihan pun muncul ketika makin kuat keinginan dari sebagian orang-orang Indonesia untuk bisa mengenakan pakaian Eropa itu. Mengenakan pakaian Eropa bisa menghindari pengawasan dari VOC.

Saat itu pribumi yang tinggal di Batavia dibuatkan kawasan khusus berdasar daerah asal. Etnis yang satu tak boleh mengenakan pakaian dari etnis lain. Dengan kawasan tertentu dan pakaian tertentu membuat VOC mudah mengawasi mereka. Namun, kemudian banyak yang memilih meninggalkan kawasan tempat tinggal itu dan kemudian berbaur dan mengenakan pakaian etnis dari mana saja.

Orang-orang Cina juga diperlakukan sama. Tak boleh mengenakan pakaian Eropa, melainkan harus memakai pakaian etnis mereka tak boleh mengenakan pakaian etnis orang-orang Indonesia. Hanya budak-budak bebas dari Afrika (kaum mardijker) yang di abad ke-17 tercatat boleh mengenakan pakaian mengikuti mode Eropa: celana selutut dan topi.

Di akhir abad ke-19, orang-orang Cina sudah ada yang mulai memotong kuncir lalu mengenakan pakaian Eropa. Demikian pula para bangsawan pribumi semakin banyak yang mengenakan pakaian Eropa.

Amangkurat II yang menjadi raja atas bantuan VOC, sudah bisa mengenakan pakaian Eropa di abad ke-17. Dengan pakaian Eropa itu, ketika melakukan perjalanan, dilihat dari kejauhan Amangkurat II sering diduga sebagai Sang Gubernur Jenderal dalam perjalanan mengelilingi Jawa.

Ketika diburu VOC karena batal menyerahkan tanah kepada VOC, Raja Ternate kabur ke Batavia pada 1681. Untuk bisa bertemu dengan Gubernur Jenderal, ia mengenakan pakaian hitam, sesuai gaya Belanda. Pasangannya memakai gaun malam dari katun.

Mengutip Nestor Roqueplan, penulis buku Fashioning the Bourgeoisie, Phillipe Perrot, setelan hitam memang menjadi mode di Eropa hingga abad ke-19. Pria Eropa digambarkan selalu tampil dengan setelan hitam yang sederhana, kusam, dan berbau cerutu. Sementara itu, pasangannya mengenakan gaun merah jambu, anggun, cemerlang.

Pada dekade 1920-an, orang-orang Indonesia mulai menanggalkan sarung, menggantinya dengan celana panjang. Nasionalis dari Jawa mula-mula mengganti surjan dengan jas dipasangkan dengan sarung. Pelan-pelan kemudian jas dipasangkan dengan celana panjang.

Namun, di kalangan Islam, celana panjang dijadikan olok-olok ketika dikenakan untuk ibadah di masjid. Mereka yang mengenakan celana panjang ketika ke masjid dianggap mengenakan hal yang haram karena mengenakan pakaian Kristen.

Olok-olok ini masih muncul di era 1980-an, ketika sebutan shalat mulai dipakai untuk menggantikan kata sembayang dan munculnya tuntutan dari NU- Muhammadiyah agar murid Muslimah dibolehkan mengenakan jilbab di sekolah negeri.

Van Dijk mencatat kejadian pada 1936, orang-orang memboikot pernikahan karena mempelai laki-laki mengenakan celana panjang. "Pada masa VOC, pakaian Belanda merupakan penanda yang jelas tentang kebudayaan dan agama para tuan tanah asing," tulis van Dijk.

Pada masa VOC, pakaian Belanda merupakan penanda yang jelas tentang kebudayaan dan agama para tuan tanah asing.

Di kalangan perempuan Indo, banyak yang mengadopsi sarung untuk bawahan dipadukan dengan kebaya yang mereka pakai, sebelum datang mode daster yang kemudian menyingkirkan sarung dari perempuan Indo.

Di Sumatera Barat, kebaya dengan sarung dikenal sebagai baju kurung, yang menjadi pakaian tradisional di sana. Di era 1980-an, siswi SMA Negeri di Sumbar diwajibkan mengenakan baju kurung di hari Jumat.

Siswi Kristen pun mengenakan dengan senang hati. Namun kini, baju kurung dilengkapi dengan jilbab dan diwajibkan di SMA Negeri, sehingga mengundang protes dari siswi pemeluk Kristen.

Kasus jilbab, pernah pula muncul di era 1930-an. Saat itu masih berupa kerudung. Menurut cerita A Hassan, ulama Persis kelahiran 1887, rumah perempuan-perempuan Muslimah berkerudung di Bandung diteror dengan dilempari batu setelah menyebarnya pertanyaan Bupati Bandung kepada penduduk desa.

Kasus jilbab, pernah pula muncul di era 1930-an. Saat itu masih berupa kerudung.

Apakah kerudung yang hanya berharga lima sen dapat menjadi paspor untuk masuk surga? Pertanyaan Bupati ini sebagai reaksi dari anjuran agar para Muslimah mengenakan kerudung: Para perempuan yang tidak menutupi kepala akan masuk neraka.

Di masa itu, A Hassan menyampaikan keprihatinannya karena Muslimah istri birokrat dan elite keagamaan belum memakai kerudung. Salah satu alasan tak mengenakan kerudung yang ditemukan A Hassan adalah karena para suami lebih senang istrinya berkonde dan tidak menunjukkan kefanatikannya terhadap agama yang dipeluk.

Saat Kongres Sarikat Islam pada 1918, ada tiga Muslimah muda yang mengenakan pakaian Eropa, sehingga membuat kegemparan.

a. Pembagian Status (Kedudukan) Sosial Masyarakat

Pada masa kolonial Belanda, pembagian status sosial ditetapkan dalam peraturan Hukum Ketatanegaraan Hindia Belanda (Indische Staatsregeling) tahun 1927. Menurut Hukum Ketatanegaraan Hindia Belanda, penggolongan penduduk Indonesia sebagai berikut :

1). Golongan Eropa dan yang dipersamakan, yaitu sebagai berikut :

  • Bangsa Belanda dan keturunannya.
  • Bangsa-bangsa Eropa yang lain, seperti Portugis, Prancis, dan Inggris.
  • Orang-orang bangsa lain (bukan Eropa) yang telah dipersamakan dengan Eropa karena kekayaan, keturunan bangsawan, dan pendidikan.

2). Golongan timur asing, yaitu golongan yang terdiri dari golongan Cina, Arab, India, Pakistan, dan yang lainnya. Golongan ini berada pada lapisan tengah.

3). Golongan pribumi, penduduk asli (bumiputra) yang berada pada lapisan bawah.

b. Adanya Pelapisan Sosial

Dalam masyarakat pribumi dikenal adanya pelapisan sosial berdasarkan status sosialnya (lapisan bawah, lapisan menengah, dan lapisan atas).

  • Lapisan bawah, terdiri dari rakyat jelata dan merupakan penduduk terbesar dan hidup melarat.
  • Lapisan menengah, terdiri dari para pedagang kecil dan menengah, petani-petani kaya, serta pegawai.
  • Lapisan atas, terdiri dari keturunan-keturunan bangsawan atau kerabat raja yang memerintah suatu daerah. Umumnya mereka terbagi lagi dalam tingkatan dan gelar sesuai dengan tingkat kedekatan hubungan darah mereka dengan raja. Biasanya golongan ini disebut elite tradisional dan elite daerah.

Kehidupan budaya bangsa Indonesia sejak kedatangan bangsa Barat banyak mengalami perubahan. Dalam bidang budaya di Indonesia terjadi westerminasi (cenderung meniru budaya kebarat-baratan). Corak kehidupan bangsa Barat telah memengaruhi lingkungan kehidupan tradisional masyarakat Indonesia. Cara bergaul, gaya hidup, cara berpakaian, serta pendidikan bangsa Barat mulai dikenal di kalangan raja dan bangsawan. Selain itu kehidupan bangsa Barat juga menyebabkan kekhawatiran para penguasa karena bisa berdampak merusak nilai-nilai kehidupan tradisional.

Pakaian masyarakat Indonesia sebelum Belanda datang ke Indonesia masih didominasi oleh pakaian-pakaian daerah setempat dan budaya Islam. Setelah bangsa Belanda dengan VOC-nya datang ke Indonesia, pakaian Belanda merupakan penanda yang jelas tentang kebudayaan dan agama para tuan tanah asing. Topi, celana, dan sepatu berfungsi untuk membedakan orang-orang Eropa dengan orang Indonesia.

Hal tersebut ditentukan oleh ordonansi yang dikeluarkan oleh VOC pada tahun 1658. Ordonansi tersebut melarang orang Jawa di Batavia untuk berbaur dengan ''bangsa-bangsa'' Indonesia lainnya dan memakai kostum mereka. Oleh karena itulah, orang pribumi diwajibkan untuk setia pada pakaian tradisional dan tutup kepala. Orang Indonesia yang diperbolehkan memakai pakaian gaya Eropa haya raja, pangeran, para bupati, dan penganut Kristiani.

Dalam perkembangan selanjutnya pada abad ke-20 pelarangan tersebut secara perlahan mulai hilang. Namun, tidak berarti tanpa proses perjuangan dari bangsa Indonesia. Salah satu anggota Sarekat Islam dari Solo, Mas Marco Kartodikromo melalui surat kabar Dunia Bergerak menyuarakan protesnya terhadap larangan berpakaian Eropa dan bersikap kebarat-baratan. Diskriminasi pakaian hilang setelah maraknya para pelajar Indonesia memakai pakaian jas dengan celana panjang putih serta berdasi.

Bahasa sehari-hari yang umum pada masa penjajahan Belanda adalah perpaduan bahasa Belanda dan Melayu. Penggunaan dua bahasa itulah awal penting masuknya bahasa Belanda dalam kosakata bahasa kita. Pada awal abad ke-20 proses penyerapan bahasa Belanda oleh bahasa Indonesia semakin intensif.

Intensitas penggunaan bahasa Belanda tersebut seiring dengan perkembangan teknologi Barat. Pada masa itu, bahasa Belanda merupakan bahasa modern untuk menentukan kelas sosial. Hanya pribumi terpelajar yang bisa berbahasa Belanda seperti keluarga bupati dan bangsawan lokal Jawa. Menurut Russell Jones, dalam bukunya yang berjudul Loan Words in Indonesian and Malay (2008), bahasa Indonesia dan bahasa Melayu memiliki sekitar 4.000 kata serapan dari bahasa Belanda.

Selain bahasa Belanda, Bahasa yang populer di tengah-tengah masyarakat kota modern terutama di Pulau Jawa dan Kepulauan Maluku adalah bahasa Portugis. Oleh karena itu tidak mengherankan bila banyak kosakata bahasa Portugis yang diserap ke dalam bahasa Indonesia seperti biola (viola), meja (mesa), dan pigura (figura).

Masuknya bangsa Barat ke Indonesia juga membawa pengaruh dalam perkembangan seni arsitektur dan seni musik. Karya seni yang paling mencolok dari hasil penjajahan kolonial Belanda adalah arsitektur bangunan-bangunan . Bangunan tersebut meliputi bangunan rumah tinggal, gedung pemerintahan, perkantoran, benteng, monumen, dan bangunan keagamaan.

Bangunan tersebut dibuat oleh arsitek Belanda yang bekerja pada arsitek yang terkenal yaitu biro arsitek Hulswit en Fermont te Weltevreden Ed. Hasil karya biro tersebut adalah kantor pusat Javasche Bank di Jakarta dan rumah presiden direktur Javasche Bank yang kini menjadi istana wakil presiden.

Dalam seni musik, para pendatang Eropa memperkenalkan berbagai alat musik, seperti biola, selo, gitar, seruling, dan ukulele. Dari alat tersebut mereka memperkenalkan sistem solmisasi dalam berbagai karya lagu. Jenis musik yang dibawa masuk dan berkembang di Indonesia adalah keroncong. Musik keroncong berasal dari Portugis pada abad ke-16 disebut fado (pernah populer di lingkungan perkotaan Portugis).

Tujuan pembentukan sistem pendidikan Belanda bagi orang Indonesia sebelum politik etis adalah sekedar untuk menyediakan tenaga ahli yang murah untuk mengerjakan administrasi kolonial. Kebutuhan tenaga terdidik dimaksudkan untuk mengantisipasi meluasnya wilayah kekuasaan Belanda. Setelah diberlakukan politik etis, perhatikan pada pendidikan semakin tegas.

Adanya politik etis memberikan pengaruh positif bagi perkembangan pendidikan di Indonesia. Belanda mendirikan sekolah-sekolah bagi orang Belanda dan pribumi di berbagai daerah. Penerapan politik etis menyebabkan munculnya kaum intelektual di Indonesia.

Adanya politik etis 9irigasi, edukasi, dan transmigrasi) membawa pengaruh besar terhadap perubahan arah kebijakan politik negeri Belanda atas negeri jajahan. Pada era ini muncul simbol baru yaitu ''kemajuan''.

Berbagai kehidupan mulai mengalami perubahan. Mulai diperhatikan pembangunan infrastruktur yaitu dengan adanya jalur kereta api Jawa-Madura. Dalam bidang pertanian, pemerintah kolonial memberikan perhatian pada bidang pemenuhan kebutuhan pangan dengan membangun irigasi.

Untuk mendukung simbul kemajuan, maka dalam era politik etis dikembangkan program pendidikan. Pendidikan tersebut tidak hanya untuk orang Belanda, tetapi juga untuk kaum pribumi dengan persyaratan-persyaratan tertentu. Dalam bidang pendidikan meskipun dampaknya sangat kecil kepada kaum pribumi, tetapi membawa dampak pada tumbuhnya sekolah-sekolah.

Pada tahun 1900 di seluruh Hindia Belanda tercatat sebanyak 169 Eurepese Lagree School (ELS). Dari ELS dapat melanjutkan ke STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen) ke Batavia atau Hoogeree Burgelijk School (HBS).

Keberadaan sekolah guru sangat diperlukan untuk memperluas program pendidikan. Sekolah guru atau Kweekkschool sudah dibuka di Solo pada tahun 1852. Khusus untuk kaum pribumi disediakan Sekolah Kelas Satu yang muridnya berasal dari anak-anak golongan atas yang nanti akan menjadi pegawai.

Adapun untuk rakyat pada umumnya disediakan Sekolah Kelas Dua 9Sekolah Ongko Loro). Bagi para pemuda aktivitas banyak yang sekolah di School tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA) yang berpusat di Batavia. STOVIA sering disebut dengan sekolah Dokter Jawa. Dari STOVIA lahir beberapa tokoh pergerakan kebangsaan.

Meskipun penduduk pribumi yang bersekolah sedikit, keberadaan sekolah telah menumbuhkan kesadaran di kalangan pribumi akan pentingnya pendidikan. Hal tersebut mempercepat proses modernisasi dan munculnya kaum terpelajar yang akan membawa pada kesadaran nasionalisme.

Dengan munculnya kaum terpelajar mendorong munculnya surat kabar, seperti Pewarta Priyayi yang dikelola oleh R.M. Cokrohadikusumo. Selain  Pewarta Priyayi juga ada surat kabar De Preanger Bode (1885) di Bandung, Deli Courant (1884) di Sumatra Timur, Makassarsche Counrant (1902) di Sulawesi, Bromartani (1855) di Surakarta, dan Bintang Hindia (1902) yang dikelola oleh Abdul Rivai.

Dengan adanya surat kabar tersebut membawa pencerahan di kalangan pribumi. Dari berbagai informasi yang ada di surat kabar tersebut, lambat laun kesadaran akan pentingnya persamaan, kemerdekaan terus menyebar ke kalangan terpelajar di seluruh wilayah Hindia Belanda.

Dengan adanya informasi yang terus berkembang itulah kaum terpelajar terus melakukan dialog dan berdebat mengenai masa depan tanah kelahiran sehingga kesadaran pentingnya kemerdekaan terus berkembang yang puncaknya adalah adanya kesadaran untuk menjadi satu tanah air, satu bangsa dan satu bangsa.

Baca juga selanjutnya di bawah ini :