Jakarta: Pemerintah dinilai memiliki peran sentral untuk mendorong masyarakat mau menggunakan produk-produk dalam negeri. Dengan potensi pasar domestik yang cukup besar, seharusnya produk-produk dalam negeri bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Wakil Ketua DPR RI Rachmat Gobel mengatakan produk lokal sejatinya tidak kalah kualitas dibandingkan produk impor. Sayangnya produk-produk dalam negeri sering kali dianggap lebih mahal dibandingkan produk yang didatangkan dari luar negeri. "Ini mesti ada komitmen dari pemerintah dulu, enggak bisa kita dorong kepada masyarakat begitu saja, karena kuncinya ada di pemerintah," kata dia dalam diskusi 'Manifesto Cinta Produksi Dalam Negeri dalam Strategi Pemulihan Ekonomi' secara virtual di Jakarta, Rabu, 17 Maret 2021. Ia menambahkan, pemerintah perlu mengambil langkah nyata untuk mendorong penggunaan produk-produk dalam negeri. Komitmen ini diperlukan di samping juga perlu adanya dukungan peraturan dari pemerintah agar mendorong industri dalam negeri. "Banyak proyek-proyek pemerintah yang masih menggunakan produk impor dari luar negeri. Misalnya pengadaan lampu itu hampir 100 persen, 80 persen dari Tiongkok masuk. Padahal dulu kita punya tiga pabrik lampu di Indonesia, sekarang tinggal hanya satu, impor semuanya. Belum lagi produk-produk lainnya," jelas dia. Untuk itu, Rachmat menyarankan, agar pemerintah memanfaatkan pasar domestik untuk membangun industri dalam negeri. Pasalnya untuk bisa bersaing dengan negara lain, diperlukan keterlibatan dari pemerintah secara langsung. Selain itu, persaingan global yang tidak bisa dihindari juga memerlukan keberpihakan dari pemerintah bagi industri lokal. Bukan hanya industri besar saja, tetapi pemerintah juga harus melindungi Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dari serbuan produk asing. "Harus didorong, bagaimana kita mendorong UMKM dalam negeri, sementara perbankan bunga kita lebih tinggi dari bunga perbankannya luar negeri, belum negara memberi insentif untuk mendorong produk mereka untuk bisa ekspor. Kita belum ke sana secara konsisten program-program ini," pungkasnya.Editor : Nia Deviyana
Masalah mutu produk menjadi salah satu faktor yang melemahkan produk anak negeri kalah bersaing dengan produk impor. Bila faktor itu terabaikan, produk impor akan membanjiri pasar dalam negeri. Pasar bebas bagai dua sisi mata uang atas eksistensi produk dalam negeri. Di satu sisi, produk dalam negeri dapat memperluas akses pasar tanpa ada barrier tariff yang kerap menjadi proteksi suatu barang masuk ke suatu negara. Tapi di sisi lain, bila produk dalam negeri tak mampu bersaing, bukan tidak mungkin pasar dalam negeri akan kebanjiran produk impor. Meskipun sejak tahun 2015 neraca perdagangan Indonesia, menurut data Biro Pusat Statistik (BPS) masih surplus. Tahun 2015, dengan nilai surplus 7,67 miliar dolar AS dan tahun 2016 surplus 9,53 miliar dolar AS. Secara kumulatif, nilai ekspor tahunan Indonesia pada 2017 mencapai 168,73 miliar dolar AS atau meningkat 16,22 persen dibanding tahun 2016, sedangkan nilai impor tahun 2017 mencapai 156,893 miliar dolar AS atau meningkat 15,66 persen dibanding tahun 2016. Di balik surplus tersebut, ada beberapa negara yang neraca perdagangan nonmigas yang defisit terjadi pada negara China (14,20 miliar dolar AS), Thailand (3,76 miliar dolar AS), dan Australia (3,10 miliar dolar AS). Ini artinya komoditas impor dari negara-negara tersebut lebih besar ketimbang ekspor dari Indonesia ke sana. Perdagangan Indonesia dan China masih mencatatkan defisit sejak 5 tahun terakhir, berdasarkan sumber BPS minggu kedua April 2016. Negara ini membuka luas pasar dengan serbuan barang impor dari China, sementara Indonesia mengalami kesulitan menembus pasar China yang sedemikian besar, terutama untuk ekspor produk hortikultura dan produk kreatif. Produk ponsel dan komputer, itu adalah dua produk terbesar impor kita dari China. Impor barang tersebut sudah tidak bisa dihindari lagi karena orang kita juga suka dengan produk yang mereka tawarkan. Menurut Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa Badan Pusat Statistik (BPS), Sasmito Hadi Wibowo, produk China memiliki kelebihan dari sisi harga. Negara ini mampu menawarkan harga super murah atas produk-produknya sehingga dapat bersaing di pasar global. Kondisi tersebut berbeda dengan produk Indonesia yang lebih mahal karena sistem distribusi yang panjang. Tak ingin terus menerus tekor, pemerintah melalui BPS akan membentuk tim dengan pihak pemerintah China dalam membenahi maupun memperbaiki neraca perdagangan Indonesia dengan China. Tujuannya untuk menyeimbangkan kembali neraca perdagangan kedua negara, yang salah satunya akibat perbedaan pencatatan ekspor impor. “Kita minta China jangan terlalu ketat lah, buka pasar lebih luas buat kita ekspor komoditas atau produk yang mereka tidak punya, seperti sayuran, buah-buahan salak, manggis, serta produk kreatif batik, batu akik, dan lainnya. Ini yang ingin kita perjuangkan supaya neraca perdagangan kita lebih seimbang, dan untuk masuk ke pasar China yang besar dengan penduduk 1,5 miliar jiwa,” jelas Sasmito Hadi Wibowo, sebagaimana dikutip dari liputan6.com. Pemerintah Indonesia telah membentuk tim dengan pihak Pemerintah China untuk mengimbangan neraca perdagangan kedua belah pihak. Hasilnya neraca perdagangan Indonesia dengan China sampai tahun lalu masih negatif. Boleh jadi sejak diberlakukannya ACFTA (Asean China Free Trade Agreement) yang berlaku mulai, Januari 2010 lalu, membuat produk-produk China seakan tak terbendung menggrogoti pangsa pasar produk-produk dalam negeri. Pasca diberlakukannya ACFTA, mulai terlihat imbasnya. Produk elektronik lokal, misalnya, kalah bersaing dengan produk elektronik China. Produk elektronik China – berlahan mulai menguasai pasar domestik. Bila fenomena ini dibiarkan terus menerus, produk domestik akan tergerus. Keberhasilan China melakukan penetrasi pasar, bahkan mampu menguasai pangsa pasar karena industri China memproduksi produk dalam skala besar. Dari segi harga jual dapat ditekan. Ini yang menjadi salah satu faktor produk China dapat lebih kompetitif dibandingkan produk domestik. Tapi ingat, masih banyak produk China yang masuk ke Indonesia tidak memiliki standar atau tidak memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI). Kementerian Perdagangan (Kemendag) menemukan 171 jenis produk beredar tak sesuai ketentuan. Barang-barang tersebut berasal dari dalam negeri dan hasil impor. Direktur Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga (PKTN) Kemendag, Syahrul Mamma, mengatakan Barang-barang tidak seusai ketentuan mayoritas impor dari China. “Komposisi yang melakukan pelanggaran dari dalam dan luar negeri. Lebih banyak dari impor, mayoritas buatan China,” katanya di Kemendag, Jakarta, Desember tahun lalu.. Mengapa produk-produk China yang tidak berkualitas dan disangsikan dari aspek keamanan masih bisa diterima di pasar dalam negeri? Ada beberapa faktor hal itu terjadi. Pertama, daya beli masyarakat yang masih rendah menjadi salah satu pemicu. Masyarakat ingin membeli produk berstandar SNI, tapi harga jualnya lebih mahal. Akibatnya masyarakat memilih harga yang lebih murah. Kedua, kesadaran masyarakat atas produk kualitas bermutu juga masih rendah. Hal ini mungkin disebabkan karena tingkat pendidikan yang rendah, sehingga akses memperoleh informasi tentang kualitas produk bermutu pun rendah. Tichenor dan kawan-kawan (1970) mengatakan, jika arus informasi dalam suatu sistem sosial meningkat, maka orang-orang lebih lebih berpendidikan, yang lebih tinggi status ekonominya, akan lebih dapat menyerap informasi daripada orang-orang yang kurang berpendidikan dan berstatus rendah. Meningkatnya informasi dengan demikian memperluas jurang pengetahuan, bukannya menghilangkan jurang itu, (Model-Model Komunikasi, Oleh Denis McQuail dan Sven Windahl). Dari hipotesa tersebut, tidak menutup kemungkinan ada kesenjangan pengetahuan tentang kualitas suatu produk dan indikator keamanan suatu produk. Mengingat tingkat pendidikan dan status ekonomi masyarakat kita masih rendah. Kualitas pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya dinikmati segelintir masyarakat Indonesia. Pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak berbanding lurus dengan pemerataan ekonomi. Namun demikian, harus diakui bahwa sertifikat SNI menjadi salah satu instrumen untuk membendung serbuan produk asing, terutama produk China yang masuk ke Indonesia. SNI diyakini mampu mendorong daya saing produk Indonesia, baik domestik maupun mancanegara. Dalam sistem perdagangan bebas, tidak dikenal tarif masuk bagi produk-produk yang negaranya menandatangani agreement tersebut. Arus barang dengan sangat mudah mengalir ke suatu negara tanpa perlindungan. Mekanisme pasar yang mengendalikan perdagangan. Apakah Indonesia mampu? Tak heran bila Pemerintah China sungguh-sungguh dalam menghadapi ACFTA. Sebagai bukti, Badan Standarisasi China membeli banyak buku dan pedomanan SNI agar produk-produknya tak mendapatan hambatan masuk ke Indonesia. Sebab, SNI merupakan salah satu barrier non-tariff yang dapat dilakukan suatu negara dalam membendung masuknya produk luar negeri. Upaya pemerintah meredam serbuan impor produk China melalui penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI) dinilai tidak efektif. Pasalnya, negara tirai bambu ini — setahun setelah diberlakukankannya ACFTA – langsung menguasai 653 SNI. Apalagi mekanisme jual beli standar itu diperbolehkan dalam aturan internasional, sehingga BSN tidak bisa menolak ketika China membeli SNI tersebut. Sebab, di tengah derasnya aliran barang dan jasa antar negara saat ini, mutu produk nasional mesti digebrak agar dapat bersaing dengan produk impor yang masuk ke pasar domestik maupun untuk dapat memanfaatkan peluang ekspor ke manca negara. Dengan alasan itu, Badan Standardisasi Nasional (BSN) berupaya mendorong masyarakat agar peduli terhadap mutu dan menyadari pentingnya standar dalam meningkatkan kualitas kehidupan. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) meminta pemerintah untuk serius melindungi kepentingan konsumen di dalam negeri dari serbuan barang impor yang tidak jelas mutu dan kualitasnya.Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan, semua barang impor, harus memenuhi semua ketentuan yang diwajibkan pemerintah dan mengikuti aturan. Misal, jika produk kosmetik impor, merujuk pada ketentuan Badan POM. Menurut Tulus, penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk semua produk termasuk produk impor, sudah harus diterapkan. Pasalnya, sekarang ini, juga sifatnya masih sukarela. “Tentu idealnya semua wajib SNI, cuma sekarang belum dengan alasan mempertimbangkan kepentingan nasional sudah siap atau belum,” ujarnya, sebagaimana dikutip dari http://moneter.co.id. Ia juga mengingatkan, agar setiap aturan yang tidak memiliki perlindungan terhadap konsumen, maka harus dibatalkan atau dicabut. Misal, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 87/2015 tentang Ketentuan Impor Produk Tertentu dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 70/2015 tentang Angka Pengenal Importir. Beleid ini, seperti diakui oleh asosiasi kosmetik, telah memicu banjir aneka barang impor, termasuk produk kosmetika. Kementerian Perdagangan melakukan pengawasan atas 3.224 jenis merek dari 582 kategori produk yang beredar di pasaran sepanjang 2017. Angka tersebut naik 23 persen dari jumlah produk yang diawasi pada tahun lalu. Adapun beberapa ketentuan yang diperhatikan Kemendag atas produk-produk tersebut meliputi kepemilikan Standar Nasional Indonesia (SNI), pencantuman Bahasa Indonesia pada label produk, serta kelengkapan manual dan kartu garansi (MKG) berbahasa Indonesia bagi produk elektronik dan telematika. Terkait dengan penerapan sertifikat SNI bagi produk-produk nasional, apakah pemerintah sudah mempersiapkan infrastruktur pendukung untuk memperoleh sertifikat tersebut? Realisasi penerapan SNI bukanlah hal yang sederhana, karena memprasyaratkan komitmen dan kesanggupan pelaku industri. Jika hal tersebut gagal dipenuhi, produk yang dihasilkan tidak dapat dipasarkan baik di dalam negeri maupun internasional. Selain itu, juga harus tersedia infrastruktur penunjang untuk penerapan SNI seperti lembaga sertifikasi, lembaga inspeksi, dan laboratorium uji yang terakreditasi. SNI adalah singkatan dari Standar Nasional Indonesia yang ditetapkan oleh Badan Standardisasi Nasional (BSN). Segala kebijakan dan ketetapan yang diatur oleh BSN berlaku secara nasional.Sebenarnya penerapan SNI ini pada dasarnya bersifat sukarela. Namun untuk yang berkaitan dengan kepentingan kesehatan, keselamatan, keamanan serta pelestarian fungsi lingkungan hidup (K3L), atau atas dasar pertimbangan tertentu dapat diberlakukan secara wajib. Berdasarkan alasan tersebut maka pemerintah Indonesia melalui Badan Standardisasi Nasional dan Kementerian Perindustrian telah melakukan penerapan beberapa SNI secara wajib. Menurut Bacharuddin Jusuf Habibie sebagai The Founding Father of BSN, pada peringatan ulang tahun BSN ke-20, 30 Maret 2017 lalu, pemenuhan standar yang diberlakukan kepada produk-produk para pelaku usaha dalam negeri adalah suatu keharusan agar tercapainya tujuan SNI meningkatkan daya saing produk-produk bangsa. Perlu diketahui, SNI ini diterapkan sebagai salah satu upaya perlindungan untuk industri dalam negeri sekaligus perlindungan terhadap konsumen pengguna produk. Produk berlabel SNI tentunya sudah melalui pengujian standar produk dan standar pengukurannya sampai dengan penilaian kesesuaian seperti sertifikasi sistem mutu, laboratorium uji dan kalibrasi hingga peraturan perundang-undangannya sendiri. Penyediaan fasilitas infrastruktur untuk memperoleh SNI perlu diperbanyak untuk memudahkan kalangan industri memproses mendapat sertifikat SNI. Pemerintah perlu memberi insentif bagi lembaga-lembaga (laboraterium, lembaga infeksi dan sebagainya) dalam menyediakan peralatan yang dibutuhkan. Oleh karena itu, perlu kesadaran di kalangan industri untuk mendapat sertifikat SNI bagi produk-produk yang diciptakan. Pasalnya, perdagangan bebas, khusunya ACFTA yang sudah berlangsung, merupakan ajang penetrasi produk di kawasan China dan ASEAN. Ini merupakan pasar potensial yang harus dilirik kalangan industri dalam negeri. Jangan justru produk domestik kalah bersaing dengan produk asal China.[] Yuniman T Nurdin |