Bagaimana cara menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat?

  • Pencarian sederhana adalah pencarian koleksi dengan menggunakan hanya satu kriteria pencarian saja.
  • Ketikkan kata kunci pencarian, misalnya : " Sosial kemasyarakatan "
  • Pilih ruas yang dicari, misalnya : " Judul " .
  • Pilih jenis koleksi misalnya " Monograf(buku) ", atau biarkan pada pilihan " Semua Jenis Bahan "
  • Klik tombol "Cari" atau tekan tombol Enter pada keyboard

Latuharhary – Komnas HAM telah melakukan penyelidikan kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat di Indonesia. Disinyalir bolak-balik pengembalian berkas antara Komnas HAM (penyelidik) dan Jaksa Agung (penyidik dan penuntut), menjadi penghambat penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat.

Hal ini diungkapkan Koordinator Subkomisi Penegakan HAM Komnas HAM, Amiruddin, dalam konferensi pers Catatan Penegakan HAM 2019 yang dilakukan secara daring, Selasa (09/06/20). “Fungsi Komnas HAM sebagai penyelidik memastikan Jaksa Agung melanjutkan prosesnya ke pengadilan”, jelas Amir.Senada dengan Amir, Komisioner Mediasi Komnas HAM, Munafrizal Manan, mengungkapkan jika pengembalian berkas dari Jaksa Agung dengan alasan-alasan yang tidak sesuai dengan mandat Komnas HAM. Komnas HAM dituntut untuk melebihi batas kewenangannya sebagai penyelidik.“Komnas HAM terbatas sebagai penyelidik saja untuk menemukan ada atau tidak adanya pelanggaran HAM yang berat dalam suatu peristiwa. Jaksa Agung sebagai penyidik dengan lingkup menentukan tersangka, membuat tuntutan dan memprosesnya di pengadilan”, jelas Munafrizal.Terkait pembahasan untuk meningkatkan kewenangan Komnas HAM, tidak serta merta menjadi solusi atas mandeknya proses hukum kasus pelanggaran HAM yang berat. Munafrizal berpendapat jika Komnas HAM ditingkatkan kewenangannya juga sebagai penyidik misalnya, namun penuntutan tetap saja ada di Jaksa Agung maka tidak solutif. “Hal ini justru akan menjadikan problem tersendiri lagi”, lanjutnya.Menurutnya, sulit jika tidak ada kemauan serius dari Jaksa Agung untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat. Bahkan untuk menggambarkan situasi hukum yang terjadi, Munafrizal mengutip pernyataan pakar hukum terkenal, B.M.Taverne yang berbunyi ‘Berikan aku hakim, jaksa, polisi dan advokat yang baik, niscaya aku akan berantas kejahatan meski tanpa Undang-Undang sekalipun’.“Ini menggambarkan jika penegakan hukum tanpa Undang-Undang pun sebenarnya dapat ditegakan asalkan penegak hukumnya serius”, tekan Munafrizal.Hairansyah, Wakil Ketua Komnas HAM yang turut hadir dalam konferensi pers ini pun ikut berpendapat. Menurutnya kewenangan dan political will dari Negara menjadi bagian yang tidak terpisahkan karena tingkat kepentingannya tidak hanya HAM. Lebih lanjut Hairansyah meminta kepada publik untuk selalu mendorong dan menuntut penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat.“Konstitusi UUD  1945 sudah jelas, Komnas HAM membantu memformulasikan berdasarkan Undang-Undang nomor 26 tahun 2000, Undang-Undang nomor 39 tahun 1999, dan Undang-Undang nomor 40 tahun 2008. Kewajiban menyelesaikannya ada di Negara termasuk Pemerintah Daerah, Pemerintah Pusat dan Lembaga terkait di dalamnya”, pungkas Hairansyah.Hingga saat ini hanya tiga kasus yang ditindaklanjuti Jaksa Agung sampai tingkat pengadilan HAM. Ketiga kasus tersebut adalah peristiwa Timor-Timor, Tanjung Priok dan Abepura. Tercatat masih ada 12 kasus pelanggaran HAM yang berat terombang-ambing tanpa kepastian hukum. (Ratih/Ibn/RPS)

 

Kabar Latuharhary – Sesuai mandat Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Komnas HAM telah melakukan penyelidikan atas kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat. Sejumlah kasus telah selesai berkas penyelidikannya dan telah diserahkan kepada Jaksa Agung untuk dilakukan penyidikan. 

“Sampai saat Jaksa Agung belum menindaklanjuti berkas-berkas penyelidikan Komnas HAM,” kata Sandrayati Moniaga, Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM diacara “Diskusi dan Pemutaran Film, 23 Tahun Tragedi Semanggi I: Mencari Keadilan” yang diselenggarakan secara daring oleh Amnesty International Indonesia, Kamis 11 November 2021.

Sandra – sapaan akrab Sandrayati Moniaga – kemudian menjelaskan secara lebih rinci bagaimana upaya – upaya yang telah dilakukan oleh Komnas HAM. Mulai dari 27 Agustus 2001, di mana pada saat itu yang diselidiki ada tiga peristiwa, yaitu peristiwa Trisakti 12 Mei 1998, Semanggi I 13-14 November 1998, dan Semanggi II 23-24 September 1999. 

Penyelidikan Komnas HAM tersebut sebagaimana dijelaskan Sandra, telah selesai pada tahun 2002. “Kita semua tahu, sampai sekarang Kejagung belum menindaklanjuti dengan penyidikan, namun terus mengembalikan ke Komnas HAM dan Komnas HAM mengembalikan lagi,” tutur Sandra.

Menurut Sandra, berkas yang dikembalikan tersebut, bukan hanya berkas Trisakti, Semanggi I, semanggi II, tetapi juga berkas-berkas lain yang sudah diserahkan. Sampai saat ini, ada ada 12 berkas, di antaranya kasus Paniai 2014, sebelumnya ada Rumah Geudong Aceh, Jambo Keupok Simpang, pembunuhan dukun santet, peristiwa 1998, Wasior Wamena 2001 dan 2003, penghilangan paksa 1997-1998, kerusuhan Mei, Trisakti, Semanggi I, Semanggi II, Talangsari 1989, penembakan misterius (Petrus) 1982-1985, dan peristiwa 1965-1966. 

“Jadi, sampai saat ini semua berkas tersebut, terus bolak-balik antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung. Argumennya seperti diketahui bersama, sering dibilang kurang lengkap alat bukti, kemudian penyelidik tidak disumpah, ada juga kadang-kadang penerjemah tidak disumpah, dan lain-lain,” ucap Sandra. 

Komnas HAM kemudian mengembalikan kembali ke Kejaksaan Agung dengan pertimbangan bahwa memang Komnas HAM tidak mungkin mendapatkan bahan lain karena yang berkewajiban mendapatkan cukup alat bukti adalah penyidik, yaitu Jaksa Agung. Hal lain, terkait sumpah, menurut Sandra di dalam UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, hal tersebut juga tidak diatur.

Lebih jauh menurut Sandra, melihat adanya kondisi demikian yang terus menerus, Komnas HAM terus berupaya mendorong pemerintah agar segera menindaklanjuti penyelidikan Komnas HAM tersebut. Selain itu, Komnas HAM juga memandang bahwa perlu adanya metode baru untuk diupayakan.

Pengungkapan kebenaran sebagai salah satu upaya penyelesaian dengan mempertimbangkan kekhasan dan karakteristik tiap kasus, menurut Sandra dapat menjadi salah satu jalan keluar. Dalam hal ini, tentunya pemerintah perlu membangun ruang konsensus yang melibatkan para pihak. Bagi Komnas HAM sendiri, hak korban adalah yang harus diutamakan.

“Selain itu, kami juga terus menyampaikan kepada presiden dan juga kepada Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam). Dalam konteks ini kami juga sempat mengusulkan memang pola penyelesaian lain, tetapi kami melihat bahwa hal itu tidak mesti diperlakukan untuk semua kasus,” ujar Sandra.

Menilik pilihan pertimbangan kebijakan sipil dan politik (sipol) pada level presiden dan rekonsiliasi, menurut Sandra perlu adanya kejelasan struktur dan kewenangan. Komnas HAM juga mendorong pilihan lain, yaitu soal kebijakan ekonomi sosial budaya (ekosob) dalam konsep keadilan transisional (transitional Justice). Keadilan transisional dipahami sebagai masalah pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang secara sistematis terjadi di masa lalu dalam proses demokratisasi yang diselesaikan melalui prosedur yudisial seperti lewat pengadilan di dalam negeri atau pengadilan internasional, maupun prosedur non-yudisial lewat Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Namun, Komnas HAM juga memiliki catatan-catatan tersendiri atas pengadilan yang lalu tersebut.

“Kami melihat bahwa kita perlu melakukan revisi atas UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Hukum acara berbeda dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), kualifikasi pembunuhan, penjelasan unsur sistematis atau meluas dan mekanisme pelindungan saksi yang efektif. Kita juga perlu menyusun opsi-opsi lain, selain pengadilan HAM sebagai jalan untuk memberikan keadilan bagi korban. Komnas HAM juga tetap proaktif atas gagasan pemerintah tentang Komisi Kebenaran agar memberikan keadilan pada korban,” tutur Sandra.

Penulis : Niken Sitoresmi. 

Editor: Rusman Widodo.

Oleh : Priyambudi, SH., MH

Asas Non Retroaktif

Dalam Black’s Law Dictionary dikatakan Retroactivie adalah extending in scope or effect to matters that have occured in the past. Di Indonesia istilah yang dekat dan sering dipergunakan adalah ‘berlaku surut’. Asas non-retroaktif ini biasanya juga dikaitkan dengan asas yang ada dalam hukum pidana yang berbunyi nullum delictum noela poena sinea pravea lege poenali (Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan) atau yang lebih singkat atau lebih dikenal dengan asas Legalitas.

Di Indonesia dahulu pernah terdapat aturan yang telah mengatur mengenai asas non-retroative ini, tepatnya pada masa Hindia Belanda, yaitu pada pasal 3 Algemene Bepalingen van Wetgeving (AB) yang terjemahannya : “Undang-undang hanya mengikat untuk masa mendatang dan tidak mempunyai kekuatan yang berlaku surut.” Atas ketentuan tersebut Prof. Purnadi Purbacaraka dan Prof. Dr. Soerjono Soekanto dalam bukunya Perundang Undangan dan Yurisprudensi menjelaskan bahwa arti daripada asas ini adalah bahwa undang-undang hanya boleh dipergunakan terhadap peristiwa yang disebut dalam undang-undang tersebut dan terjadi setelah undang-undang itu dinyatakan berlaku.

Pada era sekarang ini di Indonesia 2 (dua) aturan yang berkaitan dengan asas non-retroactive atau larangan memberlakukan surut suatu peraturan perundangan, yaitu dalam Pasal 28 (i) UUD 1945, “…..dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun” dan Pasal 1 ayat (1) KUHP, “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada sebelumnya”. Dari ketentuan Pasal 28 i UUD 1945 serta AB terlihat bahwa asas non retroaktif berkaitan dengan 2 hal, yaitu peraturan perundang-undangan dan penerapan norma dari suatu peraturan perundangan. Suatu peraturan dapat dianggap melanggar asas non-retroaktif jika aturan didalamnya menyatakan bahwa norma yang diaturnya berlaku juga untuk peristiwa terjadi sebelum aturan tersebut diundangkan. Pemberlakuan secara surut ini umumnya terdapat dalam pasal yang mengatur ketentuan penutup. Umumnya dalam ketentuan penutup tersebut disebutkan secara tegas bahwa aturan tersebut berlaku surut. Akan tetapi tak jarang pemberlakuan surut tidak disebutkan secara tegas, hanya saja hal tersebut dapat dilihat dari adanya selisih yang mundur antara tanggal pemberlakuan dengan tanggal pengesahan.

Penerapan asas ini sebenarnya tidak mutlak, terdapat pengecualian-pengecualian, seperti yang terdapat dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP dan tindak pidana yang dikategorikan sebagai extra ordinary crimes. Kedua aturan itu pada dasarnya merupakan penerapan dari asas yang ada dalam hukum pidana, oleh karenanya tidak aneh juga jika banyak kalangan yang berpendapat bahwa asas non-retroactive hanya berlaku bagi hukum pidana materil saja. Hal ini diperkuat lagi jika pasal 28 i UUD 1945 di atas ditafsirkan dengan metode penafsiran hukum yang ada maka terlihat bahwa pasal tersebut memang dimaksudkan hanya untuk pidana saja khususnya pidana materil.

Tindak pidana yang dikategorikan sebagai extra ordinary crimes diantaranya adalah tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme dan pelanggaran HAM berat. Pengecualian atas kejahatan yang bersifat extra ordinary terdapat dalam UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Dalam UU tersebut diperbolehkan pemeriksaan dan penghukuman atas kejahatan HAM Berat yang terjadi sebelum disahkannya UU No. 26/2000 dengan menggunakan UU tersebut dengan ketentuan khusus, yaitu dengan menggunakan mekanisme Pengadilan HAM Ad Hoc yang pembentukannya harus disetujui terlebih dahulu oleh DPR. Menurut pasal 43 ayat 1 UU No.26 tahun 2000, Pengadilan HAM Ad Hoc adalah pengadilan yang memeriksa, mengadili , dan memutus pelanggaran HAM yang berat yang terjadi sebelum berlakunya UU No. 26 tahun 2000. Dengan demikian undang undang pengadilan HAM berlaku surut atau retroaktif. Pelanggaran HAM yang berat mempunyai sifat khusus dan digolongkan sebagai kejahatan yang luar biasa (exrtra ordinary crime). Oleh karena itu, pasal 28 ayat 2 Undang Undang Dasar 1945 dan hukum internasional menentukan bahwa asas retroaktif berlaku dalam menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat. Asas retroaktif merupakan dasar yang membolehkan suatu peraturan perundang-undangan dapat berlaku surut ke belakang. Hal ini berbeda dengan kejahatan biasa (ordinary crime) yang perbuatannya baru dapat dihukum setelah ada hukumnya/undang-undangnya terlebih dahulu. Asas yang berlaku dalam penanganan kejahatan biasa adalah asas legalitas.

Perkembangan signifikan dalam penegakan HAM di Indonesia sejak runtuhnya rezim represif “Orde Baru” adalah diundangkannya UU 26/2000 yang mendasari pembentukan pengadilan HAM yang khususnya menangani pelanggaran HAM yang dikategorikan dalam “pelanggaran HAM yang berat” (gross violations of human rights). UU 26/2000 tersebut menciptakan dua keunikan, yakni, pertama, dilakukannya penanganan pelanggran HAM yang berat oleh pengadilan khusus dan, kedua, ditetapkannya Komnas HAM sebagai lembaga penyelidik. Di samping itu, signifikansi lain UU 26/2000 menyangkut lingkup berlakunya di lihat dari segi waktu, yakni, tidak saja bagi pelanggaran HAM yang berat yang terjadi setelah mulai berlakunya undang-undang tersebut melainkan juga pelanggaran HAM yang berat yang terjadi sebelum berlakunya undang-undang itu. Hal ini juga berarti bahwa Indonesia telah mengadopsi prinsip yang dianut oleh hukum kebiasaan internasional yang memungkinkan diadilinya kejahatan jenis tertentu yang bersifat sangat serius dan yang menyangkut kepentingan komunitas internasional secara keseluruhan melalui penerapan asas retroaktif peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, yang pada hakikatnya merupakan pengecualian dari prinsip nullum crimen sine lege dan nulla poena sine praevia lege poenali sebagai prinsip umum hukum pidana.

Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM Berat Sebelum Berlakunya UU No. 26 Tahun 2000

Istilah pelanggaran berat hak asasi manusia (HAM) atau dalam bahasa Inggris disebut gross violation of human rights tidak diterangkan dalam satu difinisi yang secara memadai memuat unsur-unsur tindak pidana tersebut. Istilah pelanggaran berat HAM muncul untuk menggambarkan dahsyatnya akibat yang timbul dari perbuatan pidana tersebut terhadap raga, jiwa, martabat, peradaban, dan sumberdaya kehidupan manusia. Tindak kejahatan tersebut dilakukan oleh pelakunya dengan maksud dan tujuan yang jelas untuk menyerang dan menghancurkan orang-orang tertentu atau sekelompok manusia sehingga membawa akibat atau dampak yang luas.

Sejarah bangsa Indonesia hingga kini mencatat berbagai penderitaan, kesengsaraan dan kesenjangan sosial yang disebabkan oleh perilaku tidak adil dan diskriminatif atas dasar ras, etnik, warna kulit, budaya, bahasa, agama, jenis kelamin, golongan, dan status sosial lainnya. Perilaku tidak adil dan diskriminatif tersebut merupakan pelanggaran HAM, baik yang bersifat vertikal (dilakukan aparat negara terhadap warga negara atau sebaliknya) maupun yang bersifat horisontal (antar warga negara sendiri) dan tak sedikit yang termasuk dalam kategori pelanggaran HAM berat (Groos Violation of Human Rights).

Negara dan pemerintah dalam rangka menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia maka terhadap pelanggaran HAM dikenakan sanksi sesuai hukum yang berlaku sedangkan bagi pelanggaran HAM yang berat dirumuskan dalam UU RI No. 26 Tahun 2000. Yang dimaksud dengan pelanggaran HAM berat ialah, pertama : kejahatan Genosida, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf A adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara :

  1. Membunuh anggota kelompok;
  2. Mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok;
  3. Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan pemusnahan secara fisik seluruh atau sebagiannya;
  4. Memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok;
  5. Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain;

Kedua : Kejahatan kemanusiaan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf B adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil berupa:

  1. Pembunuhan;
  2. Pemusnahan;
  3. Perbudakan;
  4. Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
  5. Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar ketentuan (asas-asas) pokok hukum internasional;
  6. Penyiksaan;
  7. Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara;
  8. Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan ,agama, etnis, budaya, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional;
  9. Penghilangan orang secara paksa;
  10. Kejahatan apartheid.

Dengan semakin terbukanya iklim reformasi dan demokratisasi maka terkuak berbagai kasus dugaan pelanggaran HAM berat yang terjadi di era lalu (orde baru dan bahkan orde lama) sebelum diundangkannya UU No. 26 Tahun 2000, sebut saja dugaan pembunuhan massal yang mengikuti peristiwa G30S tahun 1965, penembak misterius (Petrus) di awal 1980-an, peristiwa Tanjung Priok 1984, peristiwa Talangsari di Lampung, kasus Santa Cruz (Insiden Dilli, 19 November 1991), peristiwa tindak kekerasan di Timor Timur pasca referendum 1999 dan mungkin masih ada lagi yang lainnya.

Menurut ketentuan UU No. 26 Tahun 2000, pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum berlakunya UU tersebut dapat diselesaikan melalui Pengadilan HAM Ad hoc yang dibentuk dengan Keputusan Presiden atas usul DPR (Pasal 43) atau melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (Pasal 47).

Namun begitu, penulis mempunyai pendapat bahwa untuk penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum berlakunya UU No. 26 Tahun 2000 hendaknya diprioritaskan dengan melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, maka DPR harus segera merevisi UU tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sehingga seluruh kasus dugaan pelanggaran HAM berat di masa lampau dapat diselesaikan secara rekonsiliasi. Pendapat penulis ini mempunyai latar belakang pemikiran dan alasan sebagai berikut :

  1.    Tidak perlu diingkari kenyataan bahwa pembentukan Pengadilan HAM, terutama yang bersifat ad hoc untuk mengadili “pelanggaran HAM yang berat” yang terjadi sebelum berlakunya UU 26/2000 adalah untuk meredam tuntutan komunitas internasional bagi pembentukan pengadilan internasional untuk mengadili orang-orang yang dianggap bertanggung jawab atas terjadinya tindak kekerasan di Timor Timur pada 1999 yang dikategorikan sebagai “kejahtan terhadap kemanusiaan”, sebagaimana yang dibentuk sebelumnya oleh Dewan Keamanan (selanjutnya disebut “DK”) PBB pada 1993 untuk bekas Yugoslavia (International Tribunal for the Prosecution of Persons Responsible for Serious Violations of Humanitarian Law Committed in the Territory of the Former Yugoslavia) selajnutnya disebut “ICTY” dan pada tahun 1994 untuk Rwanda (International Tribunal for Rwanda) selanjutnya disebut “ICTR”.
  2.     Bahwa untuk melakukan proses hukum secara Pro Yustisia terhadap kasus dugaan pelanggaran HAM berat di masa lampau memerlukan proses formal yang panjang berliku.

a)         Dalam kasus dugaan pelanggaran HAM berat, Penyidik dan Penuntut Umum adalah Jaksa Agung. Pasal 10 UU No. 26/2000 menyatakan, dalam proses hukum kasus dugaan pelanggaran HAM berat, yang berlaku adalah hukum acara pidana, hal ini berarti adalah KUHAP. Dengan demikian jika Penyidik hendak melakukan tindakan-tindakan Pro Yustisia maka ia mutlak membutuhkan keberadaan pengadilan yang berwenang terlebih dahulu, yaitu dalam hal ini pengadilan dalam kasus dugaan pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum berlakunya UU No. 26/2000 ialah Pengadilan HAM Ad Hoc.

Hal ini tentu akan memerlukan proses berliku oleh karena Pengadilan HAM Ad Hoc hanya bisa terbentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden (Pasal 43 ayat 2), padahal tidak ada ketentuan yang jelas lembaga mana (penyelidik atau penyidik/penuntut), bilamana, dan atas dasar apa lembaga yang bersangkutan dapat meminta kepada DPR untuk mengusulkan dibentuknya Pengadilan HAM Ad Hoc.

b)         Tidak terdapatnya ketentuan yang memberi kewenangan kepada Komnas HAM sebagai lembaga penyelidik untuk melakukan pemanggilan paksa (subpoena) beserta prosedurnya, tidak ditetapkannya batas waktu bagi penyidik untuk dapat meminta penyelidik melengkapi kekurangan hasil penyelidikannya selain masalah yang bersifat lebih dasar dalam hubungan ini yakni kewenangan penyidik untuk melakukan hal tersebut mengingat bahwa Komnas HAM hanyalah lembaga penyelidik (bukan penyidik) sebagaimana Pasal 18 ayat (1).

  1.     Belajar dari pengalaman bangsa lain dalam melakukan rekonsiliasi nasional kita dapat mencermati fenomena bangsa Kamboja yang melupakan dendam politik masa lalu bahwa lebih dari 1 juta rakyat Kamboja terbunuh pada rezim pemerintahan masa lalu. Kini mereka sudah melupakan itu semua dengan keinginan kuat untuk membangun kehidupan bangsa yang lebih baik di masa depan. Demikian juga yang terjadi pada bangsa Afrika Selatan dalam mewujudkan rekonsiliasi nasional dapat berjalan secara baik tanpa memunculkan dendam politik masa lalu dan tanpa menimbulkan konflik-konflik baru namun dapat mewujudkan masyarakat yang sadar akan kemajuan bangsanya.
  2.     Menyikapi perkembangan tuntutan reformasi berupa supremasi hukum dan jaminan kepastian hukum maka telah melahirkan amandemen pertama, kedua, ketiga dan keempat terhadap UUD 1945. Pada pasal 28 (i) menjelaskan secara tegas “....hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”. Dalam hierarki tata urutan perundang-undangan, UUD 1945 mempunyai posisi yang lebih tinggi dibandingkan dengan Undang-Undang (dalam hal ini adalah UU No. 26/2000) sehingga aturan yang lebih tinggi mengesampingkan aturan yang lebih rendah, jadi berlaku asas lex superior derogate legi inferiori. Dengan demikian maka Pasal 43 dan Pasal 46 UU No. 26/2000 telah bertentangan dengan Pasal 28 (i) UUD 1945 dan oleh karenanya sudah sepantasnya jika dilakukan pengajuan uji materiil (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi.
  3.     Prioritas penyelesaian kasus dugaan pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum berlakunya UU No. 26/2000 melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi perlu menitikberatkan pada pencapaian tujuan rekonsiliasi yang berpedoman pada paradigma nasional serta tujuan nasional dan untuk menjaga tetap tegak dan utuhnya NKRI dengan menyikapi secara arif dan bijaksana kasus pelanggaran HAM di masa lalu demi mencapai harapan kemajuan bangsa serta kesejahteraan yang lebih baik di masa depan.

*   Priyambudi, SH., MH adalah mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA