Bagaimana cara berkomunikasi antar suku di Indonesia yang memiliki bahasa yang berbeda

ISSN 2477-1686

Vol.3. No.7, Juli 2017

Keragaman Komunikasi Budaya 

Nellawaty A. Tewu & Renada Gita Paramitha 

Mahasiswa Fakultas Psikologi, Universitas YARSI

Keanekaragaman Budaya dan Bahasa di Indonesia

Indonesia memiliki suku dan budaya yang sangat kaya. Hingga saat ini, banyak suku yang masih mempertahankan budaya yang telah diturunkan dari generasi ke generasi. Komunikasi merupakan salah satu warisan yang masih banyak dipertahankan oleh banyak suku di Indonesia, di mana suku-suku tersebut masih menggunakan bahasa daerah tempat suku mereka tinggal. Komunikasi juga bisa menjadi sumber konflik karena timbulnya kesalahpahaman. Beberapa suku memiliki kesamaan kata namun dengan makna sedikit berbeda atau sama sekali berbeda. Contonya bahasa Jawa dan Sunda, ada beberapa kata dalam bahasa Jawa yang dianggap merupakan kata untuk orang tua sehingga masuk dalam kategori bahasa halus, namun dalam bahasa Sunda justru sebaliknya, atau setidaknya bukan masuk dalam kategori bahasa halus, namun bahasa biasa atau untuk interaksi antara orang satu usia. Begitu pula beberapa kata yang memiliki arti berbeda seperti “amis” bermakna anyir dalam bahasa Jawa, namun bermakna manis dalam bahasa Sunda.

Potensi kesalahpahaman dalam komunikasi juga terjadi di pulau Flores, sebagai bagian provinsi Nusa Tenggara Timur. Secara etik, masyarakat suku Flores menggunakan Bahasa Melaju (sebutan Bahasa Indonesia bagi suku Flores) dengan menggunakan dialek Sikka. Walaupun memiliki delapan kabupaten dalam satu pulau yang sama, terkadang dalam berkomunikasi masyarakat suku Flores menggunakan Bahasa daerahnya sendiri seperti Bahasa Kedang, Lamaholot, Sikka, Lio, Ende dan Manggarai.

Beberapa perbedaan dalam masyarakat penganut budaya tertentu di Pulau Flores dapat memicu terjadinya kesalahan komunikasi sehingga dapat menimbulkan konflik antar budaya yang berbeda, salah satunya yaitu memiliki perbedaan makna suatu kata dalam penggunaannya. Misalnya, pemakaian kata “mena” memiliki arti yang berbeda antara suku Nagekeo dan Lamaholot. Masyarakat di Nagekeo mengartikan “mena” sebagai penunjuk, yaitu “di sana”, tetapi masyarakat di Lamaholot mengartikan “mena” sebagai kata makian untuk kaum perempuan dan jika kata tersebut dilontarkan pada perempuan maka dapat memicu perang.

Selain verbal, perbedaan bahasa non-verbal pada masyarakat suku Flores juga dapat menimbulkan konflik antar budaya. Misalnya, suku Nagakeo dan Ngada biasanya mereka memberi nama pada keturunanya berdasarkan pada nama tumbuhan atau hewan yang diyakini sebagai inkarnasi para leluhur mereka seperti, meo (kucing), lako (anjing), kaju (kayu), watu (batu). Sementara suku Ende dan suku Sikka tidak memperbolehkan penggunaan nama-nama tersebut pada diri manusia karena dianggap pamali.

Peran Bahasa Nasional Sebagai Bahasa Pemersatu

Perbedaan kemungkinan karena suku bangsa Flores berasal dari percampuran etnis antara Melayu, Portugis, dan Melanesia. Menurut Correa (1971), lokasi pulau Flores yang berdekatan dengan Timor (daerah jajahan Portugis) termasuk daerah melting point atau tempat peleburan berbagai suku bangsa yaitu perpaduan dari Protomelayu, Negroid, Europoid, Indome-lanoid, Australoid, dan Papua. Keragaman tersebut setidaknya semakin meyakinkan peran pentingnya bahasa nasional yakni bahasa Indonesia. Dalam perkembangannya, pengajaran bahasa nasional di pelosok Indonesia juga beragam. Ahwan (2013) dalam penelitiannya tentang komunikasi suku pendatang (Arab) dan suku Bangil asli Pasuruan, Jawa Timur menemukan bahwa suku Bangil mengajarkan keturunan mereka bahasa daerah terlebih dahulu sehingga mereka mengerti cara berkomunikasi dengan orang yang lebih tua, seumuran, dan yang lebih muda. Mereka baru mengajarkan anak-anak mereka Bahasa Indonesia pada anak-anak setelah masuk usia sekolah. Sementara suku Dayak Kenyah terlebih dahulu mengajarkan keturunan mereka bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional pada saat anak-anak mereka masih pada usia balita, baru kemudian setelah usia 6 tahun anak-anak diajarkan bahasa daerah yaitu bahasa Dayak dengan harapan anak-anak mereka dapat mempelajari bahasa Dayak dengan lebih mudah (Suradi,2014).

Referensi:

Febriyanti. F. (2014). Hambatan komunikasi antarbudaya masyarakat suku Flores Dan Lombok di desa Bukit Makmur Kecamatan Kaliorang Kabupaten Kutai Timur. Ejournal Ilmu Komunikasi, 2(3), 453-463.

Gobang. J. K. G. D. (2014). Konflik budaya lokal pada masyarakat  di Pulau Flores  (Sebuah analisis komunikasi lintas budaya). Jurnal komunikasi,9(1).

Ahwan Z. (2014) Studi fenomenologis: perbedaan budaya berkomunikasi antara masyarakat pendatang keturunan Arab [Oyek] dengan penduduk asli Bangil Kabupaten Pasuruan. Diunduh dari //jurnal.yudharta.ac.id/wp-content/uploads/2014/11/1.pdf

Suradi. (2013). Bentuk komunikasi dalam menjalankan proses enkulturasi budaya (Studi pada masyarakat suku Dayak Kenyah di desa Pampang, Kecamatan Samarinda Utara). Diunduh dari //ejournal.ilkom.fisip-unmul.ac.id/site/wp-content/uploads/2016/02/jurnal%20adi%20(02-25-16-03-13-08).pdf

Page 2

ISSN 2477-1686

Vol.3. No.7, Juli 2017

Ngopi Sebagai Kegiatan Mengisi Waktu Luang

Sandra Handayani Sutanto

Fakultas Psikologi, Universitas Pelita Harapan

Di zaman yang serba sibuk ini, kadar stres masyarakat menjadi semakin tinggi.  Mereka terpapar stres yang ditimbulkan mulai dari pekerjaan, macet, relasi, hingga ketidaksesuaian antara ekspektasi dengan realitas. Dengan kondisi yang seperti itu, apa yang harus dilakukan masyarakat? Menyerah dengan stres atau melakukan sesuatu untuk menurunkan tingkat stres mereka?

Waktu Luang

Salah satu cara yang bisa digunakan untuk mengurangi stres adalah dengan leisure time. Dalam bahasa Indonesia, padanan kata yang paling tepat adalah penggunaan waktu luang, yang dilakukan di luar pekerjaan. Penelitian yang dilakukan oleh Campbell, Converse dan Rogers pada tahun 1976 (dalam Compton & Hoffman, 2013) menyatakan bahwa waktu luang dipercaya sebagai salah satu prediktor utama kesejahteraan individu secara menyeluruh baik sosial, psikis, spiritual, kondisi medis (global well being).

Waktu luang bisa dimulai dengan menanamkan persepsi bahwa kita memerlukan hal tersebut. Compton & Hoffman (2013) menggunakan istilah kaya akan waktu (time affluence) sebagai persepsi yang dimiliki seseorang bahwa dirinya memiliki waktu luang dan melakukan kegiatan yang bermakna. Sebaliknya, individu yang tidak memiliki persepsi dan pada akhirnya memilih untuk tidak meluangkan waktu-disebut miskin waktu (time poverty).Definisi miskin waktu yang bisa dilihat secara kasat mata adalah konstan sibuk dan terburu-buru. Secara singkat, dengan mengkontraskan dua istilah di atas, waktu luang adalah aktivitas yang membuat kita lebih menyadari keberadaan serta memiliki emosi yang positif (bisa dengan alam dan sesama) dan bermakna bagi pelakunya.

Manfaat waktu luang

Lalu apa gunanya kita memiliki waktu luang? Kegiatan waktuluang dipercaya bisa mendatangkan hal yang menyenangkan bagi yang melakukan (Argyle dalam Snyder & Lopez, 2007).Penelitian yang dilakukan oleh Kabanoff (dalam Compton and Hoffman, 2013) menjelaskan beberapa alasan kita memerlukan waktu luang. Dengan memiliki waktu luang,kita akan memenuhi kebutuhan otonomi, kebutuhan bebas mengintegrasikan tindakan, bebas dari kontrol orang lain dan menjadi diri sendiri. Alasan kedua, dengan memiliki waktu luang, maka kita bisa menikmati kebersamaan bersama keluarga atau orang terkasih. Alasan ketiga kita perlu waktu luang adalah untuk relaksasi, membebaskan diri dari ketegangan fisik dan emosional. Alasan terakhir kita memerlukan waktu luang ialah untuk melepaskan diri dari hal-hal yang rutin.

Ngopi sebagai aktivitas waktu luang

Ada banyak cara untuk menikmati kegiatan waktu luang mulai dari melakukan relaksasi, beristirahat, makan makanan yang membawa efek menyenangkan dalam waktu singkat hingga berolahraga atau mendengarkan musik.Kegiatan yang dipilih pun tidak harus mahal tetapi lebih pada kegiatan yang dinikmati, bermakna dan menghasilkan emosi positif.

Setiap orang memiliki pilihannya sendiri untuk menikmati kegiatan waktu luang, untuk menyeimbangkan kesibukannya. Salah satu makanan atau kegiatan yang bisa dianggap sebagai contoh untuk memenuhi kegiatan waktu luang adalah dengan pergi menikmati kopi (disebut ngopi). Tren kedai kopi (coffee shop) juga semakin meningkat belakangan ini (Rajab, 2016). Mengapa memilih ngopi? Karena dengan ngopi individu biss menikmati aroma dan rasa kopi yang berbeda. Selain itu dengan ngopi, kita bisa membebaskan diri dari hal-hal rutin. Ngopi juga membantu untuk merasa rileks dan menikmati kebersamaan dengan keluarga atau yang terkasih setelah seminggu melakukan hal yang rutin. 

Tujuan akhir dari ngopi sebagai aktivitas waktu luang adalah membuat individu mengalami flow, kondisi optimal  saat seseorang menikmati suatu kegiatan dan melupakan beban dan waktu (Myers, 2013), dan mencapai kebahagiaan yang akan meningkatkan kesejahteraan mental masing-masing individu.

It’s not a man’s working hours that important, it is how he spends his leisure time.

-Marilynne Robinson

Referensi

Compton, W.C., & Hoffman, E. (2013). Positive psychology : The science of happiness and flourishing (2nd ed.). Belmont, CA : Wadsworth Cengage Learning.

Myers, D,G. (2013). Social psychology. New York : McGraw Hill.

Rajab, M. (2016). Tren pertumbuhan coffee shop terus naik, potensi pasar terbuka lebar. Diunduh dari //bulungan.prokal.co/read/news/4027-tren-pertumbuhan-coffee-shop-terus-naik-potensi-pasar-terbuka-lebar.html

Snyder, C.R., & Lopez, S.J. (2007). Positive psychology : The scientific and practical explorations of human strengths. California : Sage publication.

Page 3

ISSN 2477-1686

Vol.3. No.7, Juli 2017

Rekayasa Moral 

 Subhan El Hafiz 

Fakultas Psikologi, Universitas Prof. Dr. Hamka

Sebagian besar dari kita tentu pernah mengalami kondisi dilematis pada saat akan memutuskan sesuatu. Pada saat kita dihadapkan pada pilihan yang mana pilihan tersebut akan mengarahkan pada sesuatu yang tidak disukai dan disaat yang sama juga diinginkan. Kondisi ini dikenal dengan konflik mendekat-menjauh (approach-avoid conflict) yang juga sering dijadikan model dalam dilema moral.

Contohnya, seorang pelajar mungkin disaat yang sama ingin lulus dengan nilai yang baik untuk menyenangkan orangtuanya namun bagaimana jika hal tersebut harus dilakukan dengan cara curang? Apakah individu akan memilih melakukan kecurangan untuk menyenangkan orangtuanya atau tetap jujur namun dapat membuat orangtuanya sedih karena nilai yang buruk? Ini adalah salah satu model dilema yang mungkin dihadapi oleh pelajar saat ujian.

Contoh dari sisi yang lain, ketika sedang ujian, seorang teman dekat meminta tolong agar dibantu memberikan jawaban ujian, maka orang tersebut akan menghadapi dilema moral apakah harus tetap jujur namun akan kehilangan teman dekat ataukah harus turut membantu berbuat curang agar bisa membantu teman dekat. Bagaimanakah cara seseorang menyelesaikan dilema moral yang sedang dihadapinya tersebut? Kapankan seseorang memilih untuk tetap jujur dan pada saat apakah seseorang memilih untuk membantu kecurangan teman. Pertanyaan lain yang juga muncul adalah apakah seseorang akan menilai bahwa membantu teman saat ujian merupakan hal baik?

Dilema Moral dan Pilihan Rasional

Teori pilihan rasional menjelaskan bahwa pada saat seseorang dihadapkan pada pilihan yang setara maka orang tersebut akan mengambil keputusan secara rasional. Namun ketika pilihan yang ada tidak setara, maka kondisi emosi seseorang akan mengarahkannya pada pilihan yang dirasakan paling dengan dengan kondisi emosinya tersebut. Artinya, pada kondisi kedua, pilihan akan lebih mudah direkayasa daripada kondisi pertama (lihat El Hafiz, 2017).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada kondisi pertama, dimana pilihan yang ada dipaparkan secara setara maka seseorang akan lebih memilih menolak perilaku Jahat walalupun dengan alasan baik begitu juga dengan perilaku baik yang dilakukan dengan alasan jahat. Kedua jenis perilaku tersebut akan dinilai sebagai perilaku jahat. Sedangkan penilaian terhadap perilaku untuk dikategorikan baik haruslah perilaku baik yang dilakukan juga dengan alasan yang baik (El Hafiz, 2010).

Sebagai contoh, ketika seseorang diminta menilai “apakah dibenarkan menipu untuk membantu orang lain?” atau “apakah dibenarkan jika seseorang menolong orang lain dengan maksud menghina?” Dalam dua contoh tersebut, maka penilaian sebagian besar orang akan mengatakan bahwa hal tersebut adalah bentuk perilaku salah dan jahat serta tidak dapat dibenarkan. Perilaku baik tidak boleh dilakukan dengan alasan jahat dan perilaku jahat pun tidak dapat dilakukan walaupun dengan alasan yang baik. Bagaimana menjelaskan penilaian tersebut menggunakan teori pilihan rasional?

Kondisi sebagaimana contoh diatas dapat dijelaskan menggunakan konsep lost aversion dari teori pilihan rasional. Lost aversion adalah persepsi seseorang atas kerugian akan lebih besar dan lebih tidak menyenangkan jika dibandingkan keuntungan yang didapat apabila kemungkinan keuntungan tersebut hanya sedikit lebih besar apalagi jika keuntungan tersebut terlihat setara (lihat El Hafiz, 2017). Dengan demikian, “menipu” dan “menghina” sebagaimana dijelaskan dalam contoh diatas akan dinilai lebih berbahaya dan jahat walaupun disaat yang sama penilaian positif dari “menolong” dan “membantu” seharusnya dapat mengimbangi situasi. Akibatnya penilaian seseorang terhadap dua kasus diatas adalah salah untuk menjalankan perilaku tersebut.

Rekayasa Dilema Moral

Lalu bagaimana melakukan rekayasa terhadap dilema moral tersebut? Jawabannya ada pada emosi.

Jonathan Haidth dalam banyak penelitiannya membuktikan akan hal ini (lihat El Hafiz, 2017). Jika kalimat “menipu untuk membantu orang lain” dilengkapi menjadi “menipu penjahat untuk membantu orang lain” atau “menipu untuk membantu orang yang kelaparan” maka kata “penjahat” dan “orang yang kelaparan” menjadi penggerak emosi yang dapat mengarahkan pilihan bahwa kondisi itu seolah-olah lebih baik. Pilihan kata yang memiliki asosiasi emosi tertentu dapat mendorong dilakukannya rekayasa moralitas, yaitu sesuatu yang dinilai jahat menjadi dinilai lebih baik.

Begitu juga jika ingin diarahkan pada kondisi moral yang lebih dilematis, maka kalimat diatas dapat diubah menjadi “menipu untuk membantu orang malas yang kelaparan”. Kata “malas” memiliki emosi yang cenderung negatif sehingga penilaian sebelumnya yang lebih baik akan kembali turun manakala kata “malas” tersebut tersebut ditambahkan ke dalam kalimat. Pada saat itu individu akan terjebak pada dilema moral akibat kondisi emosional yang dipengaruhi oleh pilihan situasi yang tergambar dari kata-kata yang digunakan.

Bacaan Lebih Lanjut:

Artikel lengkap dari penelitian diatas dapat dilihat di “Akibat Setitik Kejahatan, Rusak Kebaikan Sebelanga”.

Referensi:

El Hafiz, S. 2017. Teori Pilihan Rasional. Dalam Teori Psikologi Sosial Kontemporer (ed. A. Pitaloka). Depok: Rajagrafindo.

El Hafiz, S. 2010. Akibat Setitik Kejahatan Rusak Kebaikan Sebelanga. Jurnal Psikologi Ulayat: Indonesian Journal of Indigenous Psychology, 1(2), 289-301. DOI: 10.24854/jpu22013-27

Page 4

Fakultas Psikologi Universitas Pancasila mempersembahkan “Temu Ilmiah Nasional & Workshop: Kontribusi Psikologi Bagi Human Well-Being Indonesia”  yang akan diselenggarakan pada 24-25 Agustus 2017. Informasi lanjut dapat menghubungi:

Vinaya       : 0816-1331-809

Rama         : 0815-1303-1909

Astri            : 0819-0808-2020

Aisyah       : 0813-1561-4333 (Workshop)

Page 5

ISSN 2477-1686

Vol.3. No.6, Juni 2017

Suicidal Ideation: Titik Kritis Hilangnya Makna Hidup

Pradipta Christy Pratiwi

Fakultas Psikologi, Universitas Pelita Haparan (UPH)

Akhir-akhir ini, masyarakat dikejutkan dengan beberapa kasus bunuh diri. Dari sekian kasus yang terjadi, bahkan terdapat sebuah kasus bunuh diri dimana pelaku bunuh diri secara terang-terangan merekam detik-detik bunuh dirinya di media sosial. Benny Prawira Siauw, seorang aktivis komunitas pemerhati kasus bunuh diri, Into the Light, (Kuwado, Maret 24, 2017) menjelaskan bahwa setidaknya terdapat 227.625 orang di Indonesia yang memiliki kecenderungan bunuh diri. Hal ini diperparah dengan pemberitaan bunuh diri yang mengarah pada paparan media yang salah dan masih sangat terbatasnya akses konseling bagi mereka. Untuk memahami lebih jauh mengenai fenomena perilaku bunuh diri, kita perlu mengenali tahapan proses sebelumnya, yaitu ide bunuh diri. 

Suicide Ideation

Perilaku bunuh diri biasanya didahului dengan pikiran dan percobaan bunuh diri. Ide bunuh diri adalah pikiran-pikiran mengenai kematian diri sendiri, tingkat keparahannya sangat beragam tergantung pada seberapa spesifik perencanaan dan intensinya. Setelah itu muncul ekspektasi dan keinginan untuk melukai diri sendiri (APA, 2010). Menurut teori kognitif, cara pikir individu dan interpretasi tentang suatu kejadian akan menentukan respon emosi dan perilakunya terhadap kejadian tersebut. Sementara itu, model kognitif menekankan bahwa pikiran maladaptif dapat menyebabkan perilaku bunuh diri. Automatic thoughts dan core beliefs yang maladaptif memunculkan kecenderungan individu melakukan percobaan bunuh diri. Pikiran maladaptif yang tampak meliputi perasaan tidak berdaya, tidak dicintai, merasa tidak mampu menghadapi distres, pikiran yang tidak fleksibel, pikiran dikotomus tentang diri sendiri dan orang lain, tidak mampu memecahkan masalah sehingga bunuh diri sebagai solusinya (Berk, Henriques, Warman, Brown, & Beck, 2004). Hal tersebut menunjukkan adanya penurunan signifikansi hidup dan adanya kehampaan pada individu.

Suicidal Ideation dan Makna Hidup

Compton & Hoffman (2013) menyebutkan bahwa makna hidup memberikan suatu signifikansi hidup, artinya individu memahami pentingnya hidup yang sedang dijalani. Salah satu aspek yang dapat memberikan individu makna hidup adalah relasi dengan Tuhan. Upaya manusia dalam mencari pribadi yang kudus dan memiliki kuasa yang melampaui dirinya, hal ini disebut dengan religiusitas. Melalui religiusitas, individu memperoleh makna global yang meliputi dunia pada umumnya, kehidupan manusia serta konsep Ketuhanan. Selain itu juga memberikan pemahaman mengenai alasan mengapa sesuatu yang tidak menyenangkan terjadi pada dirinya, dan mengingatkan individu tentang adanya harapan dalam hidup.

Beberapa penelitian dilakukan sebagai upaya memahami suicidal ideation. Taliaferro, Rienzo, Pigg, Miller, & Dodd (2010) mengeksplorasi dimensi kesejahteraan spiritual terkait dengan penurunan ide bunuh diri pada mahasiswa. Penelitian lain (Garcia-Alandete, Marco & Perez, 2014) menyebutkan bahwa adanya korelasi negatif antara makna hidup terhadap depresi, hopelessness dan resiko bunuh diri. Hal ini menunjukkan pentingnya makna hidup sebagai faktor preventif, agar individu dapat memandang hidupnya menjadi lebih positif. 

Pemerolehan Makna Hidup

Setiap individu hendaknya menciptakan makna hidupnya masing-masing (Compton & Hoffman, 2013). Enam cara yang dapat dilakukan untuk memperoleh makna hidup dan tujuan hidup yaitu: berupaya untuk mengurangi diskrepansi antara situasi yang ada dan standar ideal yang dimiliki. Kedua, melayani dan mendedikasikan diri bagi kepentingan orang lain. Dengan menolong orang lain, individu akan merasa berkontribusi bagi kesejahteraan sesama sehingga memunculkan makna dan signifikansi hidup. Ketiga, melakukan sesuatu yang baru dan kreatif sehingga membuat kita menjalani hidup dengan cara yang berbeda dari biasanya.

Keempat, membuka diri secara aktif terlibat terhadap segala sesuatu yang dijalani sehari-hari. Hal ini bukan berarti individu terobsesi mencari kesenangan dan menghindari kepahitan, namun kesediaan diri untuk openness to the experience. Kelima, mengevaluasi kembali hidup yang telah dijalani dan mengubah diri. Ketika individu mengalami suffering atas pengalaman tidak menyenangkan, maka hal tersebut merupakan kesempatan untuk bertransformasi baik dalam aspek spiritualitas, pertumbuhan pribadi, relasi dengan orang lain dan filosofi hidupnya. Keenam, yang terakhir, tentunya adalah pengalaman religius. Pengalaman religius yang dimaksud adalah perilaku religius, seperti partisipasi aktif dalam komunitas keagamaan dan tradisi keagamaan.

Uraian di atas diharapkan dapat membantu setiap kita untuk menolong individu yang menunjukkan pemikiran bunuh diri, dengan kembali menemukan signifikansi dan meaning hidup mereka. Hal tersebut tentunya juga akan menambah kesejahteraan psikologis mereka. Baik penanganan secara personal dan komunitas, dirasa sangat diperlukan sebagai upaya preventif terhadap fenomena ini.

Referensi:

American Psychiatric Association. (2010). Practice Guideline for the Assessment and Treatment of Patients with Suicidal Behaviors. Retrieved from:

//psychiatryonline.org/pb/assets/raw/sitewide/practice_guidelines/guidelines/suicide.pdf

Berk, M. S., Henriques, G. R., Warman, D. M., Brown, G. K., & Beck, A. T. (2004). A cognitive therapy intervention for suicide attempters: an overview of the treatment and case examples. Cognitive and Behavioral Practice, 11, 265-277.

Compton, W. C. & Hoffman, E. (2013). Positive Psychology: The science of happiness and flourishing (2th Ed.). Wadsworth: Cengage Learning.

Kuwado, F. J. (Maret 24, 2017). Kemasan Pemberitaan Bunuh Diri yang Tak Tepat Mendorong Peniruan. Retrieved from:

//nasional.kompas.com/read/2017/03/24/16430951/kemasan.pemberitaan.bunuh.diri.yang.tak.tepat.mendorong.peniruan. Diakses tanggal 13 April 2017.

García-Alandete, J., Marco, J. H., & Pérez, S. (2014). Predicting role of the meaning in life on depression, hopelessness, and suicide risk among Borderline Personality Disorder patients. Universitas Psychologica, 13(4), 1545-1555.

Taliaferro, L. A., Rienzo, B. A, Pigg, M., Miller, D., & Dodd, V. J. (2010). Spiritual well-being and suicidal ideation among college students. Journal of American College Health, 58 (1). //dx.doi.org/10.3200/JACH.58.1.83-90.

Page 6

ISSN 2477-1686

Vol.3. No.6, Juni 2017

Mengatasi Masa Krisis

Selviana 

Fakultas Psikologi Universitas Persada Indonesia YAI

Siapa yang tidak pernah mengalami suatu peristiwa yang tidak menyenangan dalam hidupnya? Dengan jujur harus mengakui bahwa setiap orang pasti pernah mengalami peristiwa pelik dalam hidup. Mungkin itu adalah kegagalan dalam membina hubungan, kesulitan ekonomi, kehilangan orang yang sangat di cintai, kehilangan pekerjaan, sakit-penyakit yang serius, mejadi korban bencana/kekerasan dan peristiwa kompleks lainnya. Saat sedang berada pada suatu situasi yang sulit dalam kehidupan, tak jarang seseorang di perhadapkan untuk mengambil suatu keputusan yang akan menentukan arah hidup selanjutnya. Hal ini bisa juga di sebut sebagai Krisis.

Jenis - Jenis Krisis

Dalam suatu keadaan Krisis, Haksasi (2010) merumuskan jenis – jenis krisis sebagai berikut:

1.   Krisis yang menyangkut masalah kemiskinan.Terdapat dua jenis krisis yang  masuk dalam kategori ini, yaitu:

a. Krisis karena tidak memiliki pekerjaan. Krisis ini dapat mengakibatkan    seseorang tidak memiliki tempat tinggal atau menjadi gelandangan. Kesulitan keuangan juga dapat mengarahkan seseorang pada kekurangan gizi dan makanan, mengalami depresi, dan mengalami berbagai penyakit.

b. Krisis karena pekerjaan yang dilakukan tidak sesuai dengan kualifikasi seseorang. Misalnya seorang sarjana bekerja sebagai tukang batu atau kuli bangunan. Krisis ini sering kali terjadi akibat kurangnya lapangan pekerjaan. Akibat dari krisis ini seseorang dapat merasa rendah diri, mengalami stres mental, dan tidak banyak melakukan kontak sosia ldengan sesama pekerja karena minder. 

2. Krisis Ekonomi

Krisis ekonomi adalah transisi yang tajam dimana terjadi penurunan siklus bisnis dan secara umum memperlambat kegiatan perekonomian.

3. Krisis Lingkungan. Terdapat tiga jenis krisis yang masuk dalam kategori ini, yaitu:

a. Bencana Lingkungan: Bencana yang diakibatkan oleh aktifitas manusia. Akibat perubahan – perubahan yang dilakukan manusia terhadap ekosistem (misalnya penebangan hutan secara liar, pembukaan lahan baru bagi pertanian dan pemukiman, dan sebagainya) menyebabkan konsekuensi yang menyebar dan tidak berkesudahan. Hal ini termasuk punah atau matinya hewan – hewan, tumbuhan, bahkan manusia, dan terancamnya kehidupan manusia.

b.    Bencana Alam: adalah bencana yang diakibatkan secara alami oleh

alam (misalnya meledaknya gunung berapi, gempa bumi, dan longsor). Bencana alam dapat mengakibatkan hilangnya nyawa manusia, harta benda,ketidakstabilan sistem politik dan ekonomi.

c. Terancam Punahnya Beberapa spesies: adalah populasi dari suatu organisme yang terancam punah antara lain diakibatkan karena semakinberkurang jumlahnya, terancam oleh perubahan lingkungan, dan terbatasnya sumber makanan.

4. Krisis Internasional

Krisis ini didefinisikan secara bebas sebagai suatu keadaan atau situasi dimana muncul persepsi adanya ancaman, meningkatnya kecemasan,kemungkinan munculnya tindak kekerasan, dan keyakinan bahwa tindakan apapun yang muncul dapat memperluas akibat yang ditimbulkan. Contoh krisis internasional adalah krisis ekonomi global, terorisme, tsunamisamudra hindia (tsunami aceh 2004).

5. Krisis Pribadi.

Krisis pribadi dapat muncul akibat peristiwa luar biasa yang terjadi pada kehidupan seseorang, yang menyebabkan ketegangan dan stres yang sangat besar, dimana keadaan ini membutuhkan pengambilankeputusan yang penting dan tindakan yang tepat sebagai jalan keluarnya.Misalnya kehilangan pekerjaan, kesulitan ekonomi, kecanduan alkohol dannapza.

Gejala yang Terjadi Pada Masa Krisis

Dalam hal ini, Haksasi (2010) memaparkan beberapa gejala yang terjadi pada seseorang yang mengalami krisis, antara lain:

1.   Ada gejala stres -- secara psikologis, fisiologis, ataukedua-duanya. Ini dapat termasuk depresi, sakit kepala, kegelisahan,luka lambung.

2.   Ada sikap panik atau gagal. Orang tersebut mungkin merasa telah berusaha sekuat tenaga, namun tidak ada hasilnya. Karena itu ia merasa seperti seorang yang gagal -- kalah dan tidak berdaya. Tidak ada harapan dan menanggapi hal tersebut dengan terdorong untuk berperilaku yang tidak produktif,misalnya: mengikuti arus zaman, mabuk-mabukan, memakai obat bius,kebut-kebutan, atau terlibat dalam suatu perkelahian. Jalan yang kedua adalah menjadi acuh tak acuh atau apatis. Satu contoh adalah tidur terus- menerus.

3.   Fokusnya adalah pada pembebasan. "Keluarkan aku dari keadaan ini!" merupakan keinginan dan jeritannya. Ia ingin lepas dari penderitaankarena krisis tersebut. Kondisinya tidak memungkinkannya untuk bertindak secara rasional dalam menghadapi masalah itu. Terkadang seseorang yang berada dalam keadaan krisis kelihatan bingung atau bahkanmemberikan reaksi yang kurang wajar. Dalam usaha-usahanya,orang tersbut dalam keadaan kalut sehingga mengharapkan orang lain untuk menolong dan bergantung kepada orang lain untuk keluar dari krisis yang dihadapi.

4.   Pada masa itu efisiensi menurun. Orang-orang dalam krisis yang aktif mungkin akan tetap berfungsi secara normal, tetapi daya bereaksi yang seharusnya 100% mungkin menurun sampai sekitar 60%. Semakin besar ancaman seseorang pada situasi yang dihadapi, semakin kurang efektif kemampuannya untuk mengatasi krisisnya.

Kebutuhan - kebutuhan Manusia Dalam Krisis

Ada 14 kategori konseli yang membutuhkan pelayanan untuk menyelesaikanmasalah krisis yaitu:

1.   Konseli yang menginginkan seseorang yang kuat untuk melindungi dan mengontrol mereka (tolong ambil alih masalah saya).

2.   Konseli yang membutuhkan seseorang yang menolong mereka berhubungan dengan kenyataan (tolong saya mengetahui bahwa saya bersifat nyata).

3.   Konseli yang merasakan kekosongan dan membutuhkan kasih (peliharalahsaya).

4.   Konseli yang membutuhkan konselor untuk rasa amannya (adalahselalu untuk saya).

5.   Konseli yang dipengaruhi rasa bersalah dan ingin mengaku (ambillahrasa bersalah ku).

6.   Konseli yang membutuhkan mencurahkan segala persoalan nya (biarkan aku mencurahkan isi hati ku).

7.   Konseli yang merindukan nasihat-nasihat (katakan apa yang seharusnya ku lakukan).

8.  Konseli yang berusaha memisah-misahkan ide-ide mereka yang kompleks (tolong aku menempatkan ide-ide pada perspektif seharusnya).

9.  Konseli yang rindu mengerti sendiri dan mempunyai wawasan tentangmasalah mereka (saya minta konseling).

10. Konseli yang meilihat kegelisahan mereka sebagai masalah medis yangmemerlukan perawatan dokter (aku perlu dokter).

11.Konseli yang memerlukan bantuan praktis seperti bantuan ekonomi atautempat tinggal (aku membutuhkan bantuan khusus).

12. Konseli yang menganggap kesulitan mereka disebabkan hubungan-hubungan yang sedang

     berlangsung (lakukan itu untuk ku).

13.Konseli yang membutuhkan informasi memuaskan berbagai kebutuhan mereka (katakan pada ku dimana aku dapat mencari pertolongan).

14. Orang-orang yang tidak punya motivasi atau orang-orang gila yang dibawa kepada konselor tanpa  kehendak mereka (aku tak membutuhkan apa-apa).

Page 7

ISSN 2477-1686

Vol.3. No.6, Juni 2017

Ekspresi Emosi dalam Bingkai Budaya 

Annisa Zahra Kawitri & Shavira Alissa

Mahasiswa Fakultas Psikologi, Universitas YARSI

Emosi menurut Barret & Fossum merupakan hasil manifestasi dari keadaan fisiologis dan kognitif manusia, dan juga merupakan cermin dari pengaruh kultur budaya dan sistem sosial (dalam Kurniawan & Hasanat, 2010). Lebih lanjut Ekman mengemukakan enam bentuk emosi dasar (basic emotion) yaitu marah takut, sedih, bahagia, jijik, dan terkejut dan terdapat juga emosi lain seperti bingung, tak setuju, cemburu, menyesal, sedih, malu, dan lain sebagainya (dalam Sarwono, 2015). Darwin mencetuskan bahwa emosi seseorang merupakan bawaan dasar biologis dan evolusi dasar manusia yang berlaku secara universal ( dalam, Prado, Mellor, Byrne, Wilson, Xu & Liu, 2014). Pardo menjelaskan emosi yang berlaku secara universal yaitu terdiri dari senang, sedih, takut, marah, terkejut dan jijik (Prado, dalam Ekman, 1987).

Senyum Tidak Selalu Bahagia

Senyuman menjadi simbol kebahagiaan yang merupakan wujud emosi manusia. Matsumoto menyatakan bahwa adakalanya emosi diatur oleh display rule yang mengatur ekspresi emosi terkait budaya sehingga arti senyuman belum tentu sebagai wujud emosi bahagia (dalam, Prado, 2014). Secara etik, masyarakat Indonesia mengungkapkan emosi sesuai dengan konteksnya. Masyarakat Jawa memiliki ekspresi emosi yang implisit sehingga membuat persepsi orang lain dapat berbeda-beda (Kurniawan & Hasanat, 2010). Keyakinan yang dianut masyarakat Jawa jika mengekspresikan emosi secara spontan dianggap kurang sopan (Baqi, 2015). Masyarakat Jawa berbicara halus dan penuh senyuman meskipun sebenarnya senyuman tersebut disebabkan oleh emosi negatif. Masyarakat suku Jawa di Yogyakarta cenderung menyembunyikan emosi positif maupun negatif, hal ini secara emik terkait dengan prinsip rukun dan harmonis yang dianut oleh Keraton dan Sri Sultan. Oleh karena itu dianggap penting untuk melestarikan budaya Jawa. Kurniawan dan Hasanat menjelaskan tujuan dilestarikannya kebudayaan Jawa terkait ekspresi emosi adalah untuk menjaga tepa selira (tenggang rasa) yang bersifat ramah dan lembut (dalam Suseno, 2001).

Berdasarkan pengalaman penulis, keluarga selalu menanamkan nilai yang dianut secara turun-temurun untuk selalu menjaga ungkapan emosi dimana pun berada, terhadap siapapun terutama pada orang-orang yang dianggap sepuh. Selain itu diyakini bahwa tepa selira (tenggang rasa) harus dijaga dengan menyembunyikan emosi negatif untuk menciptakan suasana yang harmonis antar sesama.

Ekspresi Marah melalui Pantun

Averill; Scherer dan Tannenbaum; Wallbott dan Summerfield menjelaskan bahwa dalam konteks hubungan interpersonal emosi marah adalah emosi yang paling sering muncul (dalam Minauli dkk, 2006). Secara umum, emosi marah seringkali ditunjukkan dengan berbagai macam perilaku yang berujung negatif. Miller menyatakan bahwa hal ini juga berlaku di Indonesia, yang jika dilihat dari sudut pandang etic, emosi marah ini cenderung dikaitkan dengan stereotype laki laki yang memiliki tingkat agresivitas yang lebih tinggi dibandingkan perempuan yang memilih untuk mengurangi atau meredakan konflik (dalam Minauli, 2006). Apabila dilihat dari beberapa kasus di berita, banyak laki-laki yang berperilaku negatif dalam mengatasi kemarahannya. Bahkan dalam beberapa kasus ekstrem ada pula yang membunuh pasangannya sebagai salah satu dari ekspresi emosi marah dan penanganan dalam meredakan emosinya.

Ternyata ekspresi kemarahan tidak selalu sama, karena laki-laki di suku Minangkabau, Sumatera Barat, cenderung memilih cara damai dalam menangani konflik atau mengekspresikan emosi kemarahannya dibandingkan kaum perempuannya (Minauli dkk, 2006). Dalam pengungkapan emosi marah, laki-laki di suku Minangkabau cenderung untuk tidak mengekspresikan bentuk kemarahannya secara langsung dan terbuka. Budaya di suku Minangkabau, ekspresi marah yang diangkapkan laki-laki biasanya dilakukan secara terselubung melalui pantun ataupun ‘pepatah-petitih’nya. Pada pandangan emic, hal ini dikarenakan adanya sistem matrilineal, di mana perempuan merupakan sosok sentral dengan derajat yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki, sehingga status perempuan dipandang lebih terhormat dalam masyarakat suku Minangkabau. Latar belakang ini yang mungkin menjelaskan mengapa laki-laki Minangkabau kemudian mengekspresikan marah tidak secara terbuka, terkait dengan status sosial sebagai gender sub-ordinat, bukan dominan.

Referensi:

Baqi. S. A. (2015). Ekspresi Emosi Marah. Buletin Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, 23(1), 22-30.

Kurniawan, A. P., Hasanat, N. U. (2010). Expression of emotion in three stages of development among the Javanese in Yogyakarta: a study on psychology of emotion and culture in the Javanese. Jurnal Psikologi Indonesia, Vol.7 No.1, 50-64.

Minauli, I., et al. (2006). Perbedaan Penanganan Kemarahan pada Situasi Konflik dalam Keluarga Suku Jawa, Batak dan Minangkabau. PSIKOLOGIA, Vol.2 No.1.

Prado, C., Mellor, D., Byrne, L. K., Wilson, C., Xu, X., & Liu, H. (2014). Facial emotion recognition: a cross-cultural comparison of Chinese, Chinese living in Australia, and Anglo-Australians. Motiv Emot Journal, 38, 420-428.

Sarwono, S. W. (2015). Psikologi Lintas Budaya. Jakarta: Rajawali Pers.

Page 8

ISSN 2477-1686

Vol.3. No.6, Juni 2017

Perubahan Cara Belajar: Intervensi Perilaku Belajar Mahasiswa Baru

Eko A Meinarno, PIC Modul-Buku K-PIN

Desain Intervensi Pengembangan Karakter

Pernahkah terpikir betapa sia-sianya nyawa yang melayang hanya gara-gara plonco di masa awal masuk kampus? Atau perkelahian semesteran antar fakultas? Atau munculnya senioritas dan junioritas yang berlebihan? Tak perlu dipaparkan datanya. Namun yang pasti semua itu berujung pada desain penerimaan mahasiswa yang berorientasi “anak baru, anak lama”. Apakah ada cara lain untuk menyelamatkan nyawa dan bahkan meningkatkan gairah belajar mahasiswa?

Dari sekian banyak jawaban, mungkin artikel ini dapat menggugah. Sebagaimana artikel penulis terdahulu di buletin ini dengan judul Intervensi Sosial untuk Perguruan Tinggi (Meinarno, 2017) jawaban untuk perubahan melalui intervensi pengembangan karakter membutuhkan kekuatan tekad para pimpinan fakultas/universitas. Mengapa? Hal ini terkait dengan pengambilan kebijakan untuk peserta didiknya. Berinvestasi di hari ini untuk mendapat keuntungan di masa depan. Mendesain intervensi pengembangan karakter mahasiswa setidaknya ada dua fase penting. Pertama tentang kesiapan fakultas/universitas. Kedua adalah bagaimana mahasiswa diperlakukan.

Fase Pertama: Kesiapan Fakultas/ Universitas

Untuk fase pertama, di dalamnya adalah kebijakan dan pengadaan alat bantu. Dosen yang akan agen intervensi harus disiapkan lebih dulu. Para dosen dilatih dengan sengaja. Demikian pula dengan para senior. Para dosen diberi pelatihan 3-6 hari untuk kembali ingat hakikat mahasiswa, cara melihat mahasiswa, dan upaya untuk melakukan perubahan diri maupun saat di kelas.

Para agen intervensi ini dibekali pengetahuan khususnya sudut pandang baru dalam melihat mahasiswa. Misalnya dalam mendesain pelatihan untuk dosen atau mahasiswa senior yang diproyeksikan menjadi mentor atau fasilitator pelatihan, mereka dilatih paham tentang apa yang dimaknai belajar berorientasi mahasiswa (Takwin, Meinarno, Salim, Kurniawati, Diponegoro, Prasetyawati, 2011). Mengganti sudut pandang orientasi belajar dari dosen ke mahasiswa bukan perkara mudah. Lebih mudah mengajar saat mahasiswa yang mengikuti dosen daripada memantau bagaimana mahasiswa mencari ilmu. Bukan lagi mengisi ember air, tapi mencari mata air yang tak kunjung habis. Dibutuhkan kelapangan dada dan keterbukaan pikiran bagi dosen (khususnya) agar menerima bahwa mahasiswa mampu menggali pengetahuan yang dosen minta.

Bahan perkuliahan dan kelengkapannya jangan dilupakan. Hal sederhana misalnya kesiapan mesin foto kopi, komputer yang bersih dari virus, material ajar (buku, jurnal dan lain-lain) yang memang HARUS disediakan.

Fase kedua: Perlakuan Terhadap Mahasiswa

Memasuki fase kedua, perlakuan kepada mahasiswa. Kapan bagian mahasiswa didesain? Saat masa perkenalan (maper) adalah hal yang paling tepat. Masa perkenalan dapat diarahkan dengan hal-hal lain yang jelas mengenalkan mahasiswa dengan dunia barunya. Bukan memperpanjang “masa kanak-kanaknya”, dengan plonco atau bimbingan ala purba lainnya (senioritas-junioritas). Mengapa tidak sejalan? Alasannya secara teoretik, para mahasiswa (remaja akhir) tengah menjalani tahapan perkembangan formal operasional (Piaget, dalam Turner dan Helms, 1995). Dalam tahap ini digambarkan tengah terjadi kematangan otak yang membuat remaja mampu berpikir ilmiah, logis, dan termasuk berpikir abstrak. Mereka dapat melihat masalah sekaligus menyelesaikannya dengan cara yang logis lengkap dengan alasan-alasannya. Hal lain yang berkembang adalah kemampuan membangun hipotesis/asumsi yang relevan dengan masalah. Tidak mengherankan jika kemudian para dosen ketika perkuliahan berlangsung mengajak mahasiswa untuk mampu menganalisis masalah, sejalan dengan taksonomi Bloom yakni C4. Inilah ciri dari perguruan tinggi yang akan membedakan dirinya dengan pendidikan dasar dan menengah.

Para agen intervensi melatih para mahasiswa baru dengan materi dasar-dasar perilaku ilmuwan dan layaknya mahasiswa (tahu pembimbing akademik, tahu cara penilaian dll.). Kegiatan dapat berisi kecakapan belajar, pengenalan fasilitas belajar utama seperti perpustakaan dan akses internet akademik, dan mencicipi metode belajar aktif yang akan digunakan dalam perkuliahan, serta pengenalan sistem akademik. Materi-materi yang diberikan sangatlah umum dan dapat diganti sesuai dengan kebutuhan pihak universitas. Namun tanpa disadari mahasiswa, justru di sinilah letak perombakan pola pikir dari remaja SMA menjadi dewasa muda yang matang.

Variasi Metode  Pengajaran

Untuk cara penyampaian materi agar tidak bersifat menggurui dapat mengadopsi metode pelatihan. Sebagai contoh, para maba dari dibagi (merata dan campur) dalam kelas-kelas yang berisikan 30-36 mahasiswa. Di dalam kelas mereka dibagi lagi menjadi kelompok-kelompok kecil. Beragam aktivitas dapat dilakukan sebagaimana pelatihan. Tentu yang harus diingat adalah ada nilai dan norma yang hendak diperkenalkan kepada maba. Dengan kepiawaian dosen dan (sivitas akademika lain) sangat dimungkinkan pelatihan ini berdampak pada cara pandang maba terhadap fakultas/universitas yang dia pilih. Perubahan inilah yang kita harapkan. Tidak melulu perubahan fisik dari 18 tahun menjadi 22 tahun saat menjadi sarjana, tapi dari berpikir remaja menjadi pembelajar aktif yang tak lekang waktu.

Tulisan ini lagi-lagi bukan obat mujarab untuk semua masalah pendidikan di perguruan tinggi. Namun upaya perubahan harus dilakukan terlebih untuk mencapai pendidikan yang bermakna. 

Referensi:

Meinarno, EA. (2017). Intervensi Sosial untuk Perguruan Tinggi. Buletin KPIN. Vol. 3. No. 5, Mei 2017.

Takwin, B., Meinarno., EA., Salim, ES., Kurniawati, F., Diponegoro, M., Prasetyawati, W. (2011). Buku Orientasi Belajar Mahasiswa. Depok. Direktorat Pendidikan Universitas Indonesia. Digunakan internal.

Turner, JS., Helms, DB. (1995). Lifespan development. 5th ed. Harcourt Brace College Publisher. Fort Worth. 

Page 9

Salam sejahtera,


Saya Clara Moningka, mahasiswa Program Doktor Psikologi Universitas Gunadarma, mengadakan penelitian mengenai perubahan di Indonesia. Untuk itu saya mohon kesediaan Anda untuk mengisi kuesioner ini.

Jawaban Anda akan dijamin kerahasiaannya. Ketentuan dalam pengisian respon adalah Warga Negara Indonesia (WNI) dan merupakan penduduk Jakarta, berusia minimal 20 tahun dan berpendidikan minimal SMA. Yang dimaksud dengan penduduk Jakarta adalah mereka yang mempunyai persyaratan dalam administrasi kependudukan, yaitu KTP Jakarta, KK Jakarta, dan bukan tinggal sebagai tamu, penduduk musiman, penduduk sementara, atau anggota korps diplomatik beserta keluarga.

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui persepsi Anda mengenai perubahan sosial yang anda rasakan saat ini. Hasil penelitian ini sangat diperlukan sebagai sumbangan pengembangan konsep psikologi yang diperlukan dalam pembangunan bangsa.

Atas perhatian dan partisipasinya saya menyampaikan banyak terima

kasih//docs.google.com/forms/d/e/1FAIpQLSedX2PNarfp7owG0C4k4uGOhEx69nFac0L44NGq95-5dcdf9g/viewform?c=0&w=1

Page 10

ISSN 2477-1686

Vol.3. No.5, Mei 2017

Kekerasan dalam Pacaran: Fiksi atau Fakta?

Pradipta Christy Pratiwi

Fakultas Psikologi, Universitas Pelita Haparan (UPH)

Kebutuhan membangun relasi dengan orang lain tidak dapat terlepas dari kehidupan individu. Suatu relasi yang harmonis dan mendatangkan kebahagiaan, pasti menjadi dambaan bagi siapapun. Baik itu relasi keluarga, relasi pertemanan, relasi suami-istri, dan relasi pacaran. Pada usia perkembangan remaja hingga dewasa muda, relasi pacaran merupakan tugas perkembangan yang krusial. Relasi dengan orang lain tidak terlepas dari adanya konflik, begitu juga relasi pacaran. Kegagalan penyelesaian konflik dalam relasi pacaran dapat memicu timbulnya kekerasan dari pasangan.

Kekerasan Pacaran Kerap Kali Terjadi

Dewasa ini, mungkin istilah kekerasan dalam pacaran atau dating violence tidak lebih akrab di telinga masyarakat dibanding kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Namun demikian, suatu data CATAHU (Lembar Fakta Catatan Tahunan) menunjukkan bahwa pengaduan kekerasan dalam pacaran menduduki urutan kedua setelah KDRT di Indonesia (Komnas Perempuan, 2017), kekerasan terhadap istri 56% (5.784 kasus), disusul kekerasan dalam pacaran dengan persentase 21% sebanyak 2.171 kasus dan sisanya kekerasan mantan suami, kekerasan mantan pacar dan kekerasan terhadap pekerja rumah tangga. Tentu saja data ini diharapkan dapat semakin membuka mata bagi para remaja, dewasa muda, orang tua bahkan para praktisi psikologi dan pemerhati perempuan bahwa selain jenis kekerasan lainnya, kekerasan dalam pacaran adalah suatu fakta yang terjadi di sekitar kita.

Bentuk Kekerasan dalam Pacaran

Kekerasan dalam pacaran merupakan suatu fakta tersembunyi. Mengapa demikian? Masalah ini mungkin tidak disadari atau belum diketahui oleh individu yang mengalaminya. Individu yang mengalami kekerasan dalam pacaran biasa disebut survivor/penyitas. Kekerasan dalam pacaran juga termasuk kekerasan ranah personal sehingga terkadang sulit untuk dilakukan penanganan (Smedslund, 2011). Suatu kasus pada Maret 2017 yang ditangani oleh penulis, seorang klien remaja akhir mengeluh depresi dengan gejala-gejala seperti sering menangis tanpa sebab, merasa enggan bertemu dengan orang lain, merasa tidak lagi mengenal dirinya dan motivasi kuliah menurun. Penulis berusaha membantu klien untuk menemukan akar permasalahannya. Setelah menjalani konseling, klien memperoleh insight bahwa ternyata akar permasalahan dari kondisinya saat ini adalah ia telah terpapar kekerasan dalam pacaran selama 3 tahun. Klien mengaku bahwa sebelumnya ia tidak memahami apa itu kekerasan dalam pacaran, dan gejala-gejala yang dialaminya merupakan manifestasi dampak dari kesulitannya untuk keluar dari siklus kekerasan tersebut (Komunikasi Personal, April 2017).

Kekerasan dalam pacaran adalah berbagai bentuk kekerasan fisik, seksual, psikologis yang dilakukan oleh pasangan. Ada pula yang mendeskripsikan kekerasan dalam pacaran sebagai tindakan yang bertujuan untuk menyakiti pasangan secara fisik, agresi lisan, atau pemaksaan seksual (Breiding, 2015; Prospero & Vohra-Gupta, 2007). Menurut Walker, Tolman dan Rosen, dampak kekerasan dalam pacaran sangat kompleks. Individu yang mengalami kekerasan dari pasangannya dapat mengalami berbagai komplikasi baik secara fisik dan psikis. Hal tersebut juga dapat mengganggu pekerjaan dan pendidikan penyitas (dalam Shurman dan Rodriguez, 2006).

Korban Kekerasan dalam Pacaran

Apakah kekerasan dalam pacaran selalu terjadi pada perempuan? Beberapa penelitian mengungkapkan perempuan lebih banyak sebagai penyitas dan lak-laki sebagai pelakunya, hal ini dinilai berhubungan erat dengan konstruksi budaya patriarkhi di Indonesia. Namun tidak menutup kemungkinan laki-laki juga sebagai penyitas, biasanya laki-laki menjadi penyitas kekerasan psikis dimana perempuan mendominasi dalam pengambilan keputusan (Poerwandari dan Lianawati, 2010). Penelitian mengenai kekerasan dalam pacaran yang dilakukan oleh Pratiwi (2016) juga menunjukkan data adanya partisipan laki-laki yang mengalami kekerasan psikis dan fisik dari pasangannya.

Penanganan terhadap Kekerasan dalam Berpacaran

Melalui pemaparan diatas, penulis ingin mengajak kita semua untuk lebih aware mengenai bahaya kekerasan dalam pacaran melalui peran kita masing-masing, seperti psikoedukasi, menyediakan dukungan sosial dan penguatan terhadap komunitas. Psikoedukasi sebagai salah satu bentuk program preventif diperlukan agar tidak lagi bermunculan kasus-kasus yang baru. Selain itu, penulis merasa pentingnya pendampingan bagi para penyitas agar mampu keluar dari siklus kekerasan dan memperoleh hidup yang lebih sejahtera. Beberapa penelitian (Dannisworo, 2016; Smedslund, 2011) juga mengungkapkan bahwa penanganan terhadap pelaku juga diperlukan misalnya seperti program manajemen rasa marah, manajemen perilaku serta mengubah pandangan atau pola pikir pelaku terhadap perilaku berkekerasan.

Referensi:

Breiding, M. J., Basile, K. C., Smith, S. G., Black, M. C., Mahendra R. (2015). Intimate partner Violence Surveillance Uniform Definitions and Recommended Data Elements. Atlanta : National Center for Injury Prevention and Control. Diakses tanggal 30 Juni 2015. Dari //www.cdc.gov/violenceprevention/pdf/intimatepartnerviolence.pdf

Dannisworo, C. A. (2016). Anger Management dengan Pendekatan Cognitive Behavioral Therapy untuk Mengelola Perasaan Marah dalam Hubungan Pacaran. Thesis. Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

Komnas Perempuan. (2017). Lembar Fakta Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan Tahun 2017 Labirin Kekerasan terhadap Perempuan: Dari Gang Rape hingga Femicide, Alarm bagi Negara untuk Bertindak Tepat. Diakses tanggal 13 April 2017. Dari //www.komnasperempuan.go.id/lembar-fakta-catatan-tahunan-catahu-komnas-perempuan-tahun-2017-labirin-kekerasan-terhadap-perempuan-dari-gang-rape-hingga-femicide-alarm-bagi-negara-untuk-bertindak-tepat-jakarta-7-maret-2017/.

Poerwandari, K. & Lianawati. (2010). Petunjuk Penjabaran Kekerasan Psikis: Untuk Menindaklanjuti Laporan Kasus KDRT. Depok: Program Studi Kajian Wanita, Program Pascasarjana Universitas Indonesia.

Pratiwi, C. P. (2016). Cognitive Behavior Therapy untuk Meningkatkan Self-esteem pada Dewasa Muda yang Mengalami Kekerasan dalam Pacaran. Thesis. Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

Prospero, M. & Vohra-Gupta, S. (2007). Gender Differences in the Relationship Between Intimate Partner Violence Victimization and the Perception of Dating Situations Among College Students. Violence and Victims, 22 (4), 489-502.

Shurman, L. A., & Rodriguez, C. M. (2006). Cognitive-affective predictors of women’s readiness to end domestic violence relationships. Journal of Interpersonal Violence, 21 (11), 1417-1439.

Smedslund, G., Dalsbo, T.K., Steiro, A., Winvold, A., & Clench-Aas, J. (2011). Cognitive behavioral therapy for men who physically abuse their female partner (Review). The Cochrane Library: John Wiley & Sons, Ltd.

Page 11

ISSN 2477-1686

Vol.3. No.5, Mei 2017

Integrative Complexity: Dibalik PILKADA DKI 2017

Clara Moningka

Fakultas Psikologi, Universitas Pembangunan Jaya

Tidak seperti PILKADA DKI sebelumnya. Pilkada DKI 2017 merupakan momen yang ditunggu setiap orang dan tonggak demokrasi di Jakarta. Percaya atau tidak banyak orang termasuk saya pada PILKADA sebelumnya memilih karena menjalankan  kewajiban sebagai pemilih, dan cenderung tidak peduli terhadap konsekuensi pilihan. Siapapun Gubernur yang dipilih akan diterima dengan senang hati. PILKADA kali ini menorehkan banyak cerita, cerita perjuangan, cerita kebahagiaan, kepedihan, gagal move on, dan yang paling menyedihkan adalah cerita mengenai diskriminasi dan integrative complexity. 

Maraknya Isu saat PILKADA

Bagi saya sebagai pendidik, PILKADA DKI meninggalkan kekecewaan. Bukan karena ternyata pilihan saya tidak menang; toh selama ini saya juga tidak bekerja di Jakarta dan tidak terlalu merasakan kenyamanan Jakarta yang baru; hanya bisa menyaksikan lewat berita atau sosial media. Paling tidak saya bisa menikmati RPTRA (karena ada yang di dekat rumah) dan mendengar cerita atau obrolan sana-sini yang cenderung positif.  Bagi saya pribadi dan mungkin juga orang lain, kalah dan menang adalah konsekuensi dari sebuah pertandingan atau kompetisi (dalam hal ini kompetisi menjadi Gubernur), tetapi ketika momen tersebut diikuti oleh isu SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan); mendiskreditkan orang lain karena agama atau asal-usulnya; rasanya miris sekali. Saya sempat berpikir sepertinya  harus ada Sumpah Pemuda ke dua atau ada musuh besar bersama, dan kemudian kita bisa menjadi bangsa yang bersatu kembali.

Pada dasarnya, Sumpah pemuda dan Proklamasi kemerdekaan RI merupakan perubahan sosial yang mengajak bangsa kita untuk maju dan bersatu. Sayangnya pada titik dimana kita dianggap menjadi bagian dunia yang sudah modern ini kita kembali mengalami kemunduran. Saya sempat berpikir ada apa dengan masyarakat yang cenderung sensitif dengan isu tertentu, namun tanpa bisa berkaca apa yang sudah ia lakukan untuk orang lain atau bangsanya. Informasi yang ada diserap begitu saja tanpa dipahami dan diolah. Begitu mudahkah cara berpikir manusia? Sempat saya berdiskusi dengan beberapa peneliti di Indonesia mengenai hal ini..apa yang terjadi ketika orang terpelajar pun kemudian tidak dapat mengolah informasi dengan baik, bukannya melakukan klarifikasi namun memperkeruh suasana. Integrative complexity ada dibalik perilaku tersebut.

Integrative Complexity Memegang Peranan Penting

Integrative complexity merupakan proses kognisi manusia yang dibedakan menjadi 2 yaitu diferensiasi (differentiation) dan integrasi (integration). Diferensiasi mengacu pada kemampuan individu untuk mempersepsi dimensi atau sudut pandang yang berbeda ketika dihadapkan pada suatu permasalahan. Integrasi mengacu pada bagaimana mengintegrasikan hal-hal atau sudut pandang yang berbeda (Baker-Brown, Ballard, Bluck, De Vries, Suedfeld, Tetlock, 1992). Ke dua hal tersebut berkembang sesuai dengan perkembangan kemampuan kognisi seseorang. Banyak yang mempercayai bahwa integrative complexity akan berkembang dengan baik pada individu yang lebih terpelajar atau dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Studi mengenai integrative complexity biasa dilakukan pada ilmu psikologi sosial dan dapat berkaitan dengan keadaan politik ataupun terorisme; seperti penelitian Suedfeld (2003) yang meneliti integrative complexity pemimpin besar yang terlibat dalam perang melawan Taliban dengan melihat pola komunikasi mereka. Di Indonesia sendiri, penelitian ini dilakukan oleh Putra, Arimbi, Erikha, dan Rufaedah yang meneliti bagaimana meningkatkan integrative complexity pada para teroris yang telah dipenjara. 

PILKADA DKI 2017 Merupakan Fenomena Integrative Complexity

Pada dasarnya konsep integrative complexity dapat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan atau kemampuan kognisi individu. Dengan kata lain, individu dapat mengolah informasi yang ia terima dengan lebih bijak, namun pada kenyataannya pendidikan bukan merupakan faktor utama. Beberapa wawancara informal dengan rekan peneliti atau dosen menunjukkan bahwa orang terpelajar dengan tingkat pendidikan yang tinggi kerap tidak mampu mengolah informasi dengan bijaksana (anda juga dapat melihat berdasarkan fenomena yang ada saat ini).Bayangkan bagaimana kebencian dapat disebarluaskan oleh orang yang terpelajar sekalipun.

PILKADA kali ini merupakan suatu contoh dari fenomena integrative complexity di Indonesia. Bagaimana banyak orang terpelajar tidak mampu menganalisa dengan objektif suatu permasalahan. Kebencian membutakan semua sudut pandang dan kelogisan. Pada dasarnya sulit untuk merubah atau menghentikan sesuatu yang terjadi di dunia ini. Namun tetap berusaha menjadikan generasi mendatang menjadi generasi yang pluralis dan memiliki integrative complexity merupakan tanggung jawab kita sebagai pendidik. Dimulai dari lingkup kecil (keluarga, teman terdekat, sekolah) untuk mengajarkan konsep omni culturalism. Konsep ini berbeda dengan multiculturalism; dimana orang dianggap beragam. Omniculturalism menekankan pada persamaan; apa yang sama pada semua manusia. Prioritasnya adalah pada omni (manusia); bahwa kita semua adalah manusia (Moghaddam, 2012). Selanjutnya ketika anak sudah memahami bagaimana konsep tersebut; barulah kemudian kita mempelajari perbedaan dengan lebih logis dan terbuka.

Semoga pluralisme di negeri ini tidak sekedar angan-angan

Referensi:

Bake-Brown, G., Ballard, E.J., Bluck, S., De Vries, ., Suedfeld, P., & Tetlock, P.E. (1992). Coding manual for conceptual integrative complexity. University of British of Colombia & University of California.

Moghaddam, F.M. (2012). The omnicultural imperative. Culture & Psychology, 18(3), 304-330.

Putra, I.E., Arimbi, R.S., Erikha, F., Rufaedah, A. Increasing integrative complexity on convicted terrorist in Indonesia. The qualitative report (manuscript 3001).

Suedfeld, P. (2003). Integrative complexity on western and terrorist leaders in the war against the Afgan terrorist regime. PsicologiaPolitica, 27,79-91.

 

Page 12

ISSN 2477-1686

Vol.3. No.5, Mei 2017

Abnormalitas dalam Perspektif Budaya

Adinda Putri Utami & Rahminanda Dalimo

Mahasiswa Fakultas Psikologi, Universitas YARSI

Menurut Matsumoto & Juang, setidaknya ada empat cara untuk mengidentifikasi abnormalitas, yakni statistik, in-efisiensi peran, pertentangan norma dan laporan pasien sendiri (dalam Sarwono, 2015). Psikologi berusaha merumuskan definisi abnormalitas secara universal sehingga penanganannya pun bisa dilakukan secara terstandar. Kenyataannya dinamika kehidupan sangat kompleks sehingga psikologi lintas budaya menjadi salah satu usaha para ilmuan untuk bertindak lebih adil, salah satunya dengan mengacu pada budaya. Matsumoto & Juang (dalam Sarwono, 2015) memaparkan beberapa gangguan psikologis yang bersifat unik dan hanya terjadi di budaya tertentu, di antaranya: Sinbyong di Korea; Amok di Malaysia, Filipina, dan Thailand; Anorexia Nervosa di Eropa dan Amerika Serikat; Ataque de Nervious di Amerika Latin; Zar di imigran Etiopia di Israel; Whakama di suku Maori, Selandia Baru; Shinking Heart di budaya Punjabi; dan Avanga di negara-negara Asia Tenggara. 

Latah

Fenomena latah tidaklah asing di Indonesia, namun bagi masyarakat di negara Barat, bukanlah hal yang dipandang normal karena tidak pernah ditemukan sehari-hari (Sarwono, 2015). Menurut Mayer latah adalah suatu reaksi sensitivitas yang berlebihan pada stimulus yang dirasakan datang secara tiba-tiba, biasanya disertai dengan pengikutan gerakan orang lain secara tidak sadar (dalam Fitriani, 2012). Menurut Ellis (dalam Winzeler, 1995) latah terbagi menjadi empat yaitu: ekolalia yaitu perilaku latah ini menirukan kata-kata dan kalimat yang diberikan orang lain, koprolalia yaitu perilaku latah ini biasanya mengucapkan kata-kata berupa alat kelamin baik laki-laki maupun perempuan, dan  auto ekolalia, yaitu perilaku latah ini biasanya mengulangi kata-kata yang diucapkannya sendiri, automatic obedience yaitu perilaku latah ini biasanya melaksanakan perintah secara spontan pada saat terkejut dan ada lagi sekarang.

Latah merupakan salah satu bentuk cultural bound syndrome, yaitu gangguan yang hanya ada atau terjadi pada budaya tertentu saja. Secara etik latah hanya muncul pada budaya melayu (Malaysia dan Indonesia). Fenomena latah awalnya muncul pada masyarakat islam di Malaysia kemudian menyebar hingga ke Jawa.  Latah sering ditemukan pada suku Jawa, Sunda, dan Betawi. Secara emik, latah banyak muncul di masyarakat Jawa. Menurut Geertz (dalam Fitriani, 2012) budaya berpengaruh pada timbulnya gejala latah. Latah dianggap sebagai salah satu alternatif solusi agar perilakunya diterima karena adanya pembatasan dalam pengekspresian emosi, seksual, dan pendapat. Pada budaya jawa terdapat batasan-batasan dalam pengekspresian emosi dan seksual. Masyarakat jawa menganggap tidak sopan jika mengekspresikan kekecewaan, kaget dan marah di depan umum serta menganggap tabu membicarakan hal-hal terkait seksualitas. Individu menjadi lebih ekspresif saat latah dan kata-kata yang dikeluarkan dalam latah sering merujuk pada anggota tubuh yang sensitif, seperti menyebut alat kelamin. Pada umumnya perkataan atau perilaku yang dilakukan oleh individu yang latah lebih bisa dimaklumi oleh lingkungan, sehingga individu yang latah tidak cemas saat perkataan atau perilakunya bertentangan dengan nilai-nilai budaya. 

Memanjangkan Telinga sebagai Simbol

Menindik telinga telah menjadi hal yang lumrah untuk dilakukan terutama pada seorang perempuan. Umumnya perempuan menggunakan anting-anting sebagai salah satu perhiasannya, namun tidak hanya bagi perempuan, laki-laki pun kini menindik bagian daun telinganya. Ternyata masyarakat tradisional juga memiliki tradisi menindik telinga untuk dipasangkan anting-anting.

Secara umum, masyarakat Indonesia umumnya terbiasa menggunakan anting-anting pada daun telinganya sebagai perhiasan. Berbeda dengan suku Dayak Kenyah, salah satu suku dari rumpun Dayak Kenyah-Kayan-Bahau dan berkembang di daerah Kalimantan Timur. Suku ini memiliki identitas yang unik dengan daun telinga yang panjang. Masyarakat suku Dayak Kenyah memanjangkan telinganya dengan cara menggunakan anting yang sudah dimulai sejak berusia di bawah lima tahun yang digunakan baik untuk laki-laki atau perempuan, dan anting-anting tersebut ditambah jumlahnya setiap tahun sehingga telinga mereka semakin memanjang. Terdapat aturan penggunaan terkait panjang anting bagi laki-laki dan perempuan dimana laki-laki tidak boleh memanjangkan telinganya melebihi bahu sedangkan perempuan diperbolehkan memanjangkan telinganya hingga sebatas dada. Model anting yang digunakan pun dapat berbeda-beda tergantung dari status sosial. Ada anting yang hanya boleh digunakan oleh kaum bangsawan, atau hanya berdasarkan jenis kelamin. Selain itu, gaya-gaya tertentu menandakan bahwa seseorang menjadi jago atau gagah berani (Maunati, 2014).

Budaya memanjangkan telinga ini tidak banyak kita temui di Indonesia, maupun luar Indonesia. Tindakan ini, jika mengacu pada identifikasi abnormal berdasarkan statistik menjadi abnormal di tengah masyarakat dunia. Begitu pula dengan latah yang tidak lagi mengejutkan masyarakat Indonesia namun bisa membuat bingung orang asing.

Referensi:

Fitriani. (2012). Perilaku Latah pada Remaja. Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma

Kadir, Abdul Hatib. (2009). Menafsir Fenomena Latah sebagai Emosi Kebudayaan Masyarakat Melayu. Psikobuana, Vol.1, No.1, 49-59

Maunati, Y. (2004). Identitas Dayak: Komodifikasi & Politik Kebudayaan.Yogyakarta: LKiS Yogyakarta

Inayah, S. S. (2013). Kesinambungan Indentitas Kultural dalam Menjaga Kerukunan Hidup pada Masyarakat Multietnis (Studi Kasus Masyarakat Adat Dayak Pampang Samarinda). Jurnal Komunikasi dan Sosial Keagamaan, Vol. XV, No. 1. 81-100.

Sarwono, S.W. (2015) Psikologi Lintas Budaya. Jakarta; Rajagrafindo Persada.

Tim Indonesia Exploride. (n.d.). Dayak Kuping Panjang. Retrieved from //www.indonesiakaya.com/jelajah-indonesia/detail/dayak-kuping-panjang

Winzeler, R.L. (1995). Latah in southeast Asia: The sistory and etnography of culture-bound syndrome. New York: Cambridge University Press.

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA