Ayat-ayat al qur’an yang berisi tentang hukum-hukum syari’at berfungsi sebagai ….

Minggu, 15 Des 2002

Belakangan ini, ada kecenderungan sebagian umat Islam menjadikan syariat Islam seolah-olah bagaikan obat antibiotik yang dapat menyembuhkan semua penyakit di setiap tempat dan di segala zaman. Mereka berpandangan bahwa syariat Islam itu sempurna sehingga mengatur seluruh aspek kehidupan masyarakat, mulai ibadah, muamalah, sampai sistem pemerintahan.

Klaim kesempurnaan syariat Islam tersebut selalu diulang-ulang dalam berbagai kesempatan. Implikasinya adalah syariat islam seakan-akan tidak membutuhkan teori atau ilmu non-syariah. Semua problematika ekonomi, politik, sosial, budaya, dan hukum bisa dipecahkan oleh syariat Islam yang telah diturunkan Allah 15 abad yang lampau. Untuk itu, sudah selayaknya dilakukan tinjauan ulang terhadap klaim kesempurnaan syariat Islam.

Tiga Dalil

Klaim kesempurnaan di atas biasanya didasarkan pada tiga dalil. Pertama, dalam al-Maidah ayat 3, Allah telah menyatakan, "Pada hari ini, telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridai Islam itu jadi agama bagimu."

Kalimat ini sebenarnya hanyalah penggalan ayat yang sebelumnya berbicara mengenai keharaman makanan tertentu dan larangan mengundi nasib serta larangan untuk takut kepada orang kafir. Karena itulah, konteks ayat itu menimbulkan pertanyaan atas kata "sempurna": apakah kesempurnaan itu berkaitan dengan larangan-larangan di atas atau berkaitan dengan keseluruhan syariat Islam?

Dari sudut peristiwa turunnya ayat, potongan ayat di atas turun pada hari Arafah saat Rasulullah Muhammad menunaikan haji. Karena itulah, sebagian ahli tafsir membacanya dalam konteks selesainya aturan Allah mengenai ibadah, mulai salat sampai haji. Sebagian ahli tafsir menganggap potongan ayat ini turun saat fathu Makkah. Dengan demikian, dikaitkan dengan larangan sebelumnya untuk takut kepada kaum kafir, penggalan ayat "kesempurnaan" tersebut dibaca dengan makna, "Sungguh pada hari ini telah Aku tundukkan musuh-musuh kalian."

Selain itu, sejumlah ulama memandang bahwa kesempurnaan yang dimaksud dalam ayat tersebut terbatas pada aturan halal dan haram. Mereka tidak menganggap bahwa pada hari diturunkannya ayat itu, syariat Islam telah sempurna. Sebab, ternyata setelah ayat tersebut, masih ada ayat Quran lain yang turun, seperti ayat yang berbicara tentang riba dan kalalah.

Kedua, klaim kesempurnaan syariat Islam juga didasarkan pada al-Nahl ayat 89, "Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (Alquran) untuk menjelaskan segala sesuatu." Menurut Mahmud Syaltut, ketika Alquran memperkenalkan dirinya sebagai tibyanan likulli syay’i, bukan maksudnya menegaskan bahwa ia mengandung segala sesuatu, tetapi bahwa dalam Alquran terdapat segala pokok petunjuk menyangkut kebahagiaan hidup duniawi dan ukhrawi. Jadi, cukup tidak berdasar kiranya kalau ayat tersebut diajukan sebagai bukti bahwa syariat Islam mencakup seluruh hal.

Ketiga, dalam al-An’am ayat 38 disebutkan, "Tiadalah Kami alpakan sesuatu pun di dalam al-Kitab." Sejumlah ahli tafsir menjelaskan bahwa Alquran tidak meninggalkan sedikit pun dan atau lengah dalam memberikan keterangan mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan tujuan-tujuan pokok Alquran, yaitu masalah-masalah akidah, syariah, dan akhlak, bukan sebagai apa yang dimengerti oleh sebagian ulama bahwa ia mencakup segala macam ilmu pengetahuan.

Sebagian ahli tafsir lainnya menganggap kata "al-Kitab" di atas bukan merujuk pada Alquran, tetapi pada lauh al-mahfuz. Dengan demikian, segala sesuatu terdapat di dalam lauh al-mahfuz, bukan di dalam Alquran.

Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa secara umum, Alquran sebagai sumber utama hanya memberikan pokok-pokok masalah syariat, bukan menjelaskan semua hal secara menyeluruh dan sempurna.

Proporsional

Selain tiga dalil di atas yang sering dipahami secara literal dan sepotong-sepotong, kalangan yang mengklaim kesempurnaan syariat Islam juga sering alpa bahwa jumlah ayat hukum dan hadis hukum sangat terbatas. Di antara yang jumlahnya terbatas itu, hanya sedikit yang berkekuatan qath’i al-dalalah. Dan, hanya itulah yang masuk kategori syariat.

Kalau kita buka kitab fikih, hanya sekitar 20 persen yang berisi syariat. Selebihnya merupakan opini, pemahaman, interpretasi, atau penerapan (tathbiq) yang kita sebut dengan fikih. Isi fikih ini jauh lebih luas ketimbang syariat. Disadari atau tidak, ketika syariat Islam diklaim meliputi segala sesuatu, mereka merancukan antara syariat dan fikih.

Sebagai contoh, kewajiban mendirikan negara Islam tidak terdapat dalam ayat hukum dan hadis hukum secara jelas, langsung dan tegas, serta berkekuatan qath’i al-dalalah. Klaim kewajiban itu lahir dari pemahaman ataupun interpretasi yang telah berlangsung sepanjang sejarah Islam. Menolak kewajiban mendirikan negara Islam tidaklah berarti menolak syariat Islam.

Klaim kesempurnaan syariat Islam juga menimbulkan paradoks. Jika benar segala sesuatu telah terdapat dalam syariat Islam, bagaimana kita meletakkan ijtihad dalam masalah tersebut? Ijtihad justru diperlukan karena syariat Islam tidaklah "sempurna". Masih banyak problematika umat yang tidak diatur secara tegas, pasti, dan jelas dalam Alquran dan hadis.

Di sinilah perlunya kreativitas umat untuk memanfaatkan potensi akalnya. Celakanya, banyak kalangan yang tidak bisa membedakan penafsiran para ulama salaf dan khalaf dalam kitab fikih, kitab syarah hadis, dan kitab tafsir dengan kesucian kitab suci. Mereka menganggap bahwa penafsiran dan pemahaman itu juga termasuk kategori syariat yang tidak bisa diutak-atik.

Selama klaim kesempurnaan syariat Islam tidak didudukkan secara proporsional, umat Islam akan cenderung menolak semua ijtihad baru atau semua teori baru. Setiap terobosan baru akan dianggap mengutak-atik ajaran yang sudah sempurna. Kalau sudah sempurna, untuk apa lagi ada pembaharuan? Untuk itu, marilah kita letakkan secara lebih proporsional klaim kesempurnaan syariat Islam tersebut.

Syariat Islam sesungguhnya hanya mengatur hal-hal yang pokok semata (ushuliyah). Dan, selebihnya adalah penafsiran, termasuk penafsiran yang lebih kontekstual, humanis, plural, dan liberal. **

Nadirsyah Hosen adalah dosen Fakultas Syariah UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta
http://www.jawapos.co.id/index.php?act=detail_c&id=14925

Date: Mon, 16 Dec 2002 21:00:50 +1100 From: Nadirsyah Hosen <> Subject: [mus-lim] Mengupas Tiga Dalil Syariat

tirto.id - Selain berfungsi sebagai kitab suci yang membahas urusan agama, Al-Quran juga berfungsi untuk mengatur perkara kehidupan duniawi.

Allah SWT menciptakan manusia sebagai khalifah di muka bumi, maka Al-Quran diturunkan sebagai pedoman untuk menjalani peran tersebut.

Untuk menjalankan peran sebagai khalifah, dibutuhkan hukum dan aturan spesifik yang harus ditaati manusia. Tujuan hukum-hukum tersebut adalah untuk menertibkan kehidupan sehari-hari agar berjalan dengan harmonis.

Agama Islam adalah agama yang lengkap mengatur hukum-hukum itu. Saking detailnya, Islam memberikan pedoman spesifik sejak seseorang bangun tidur hingga memejamkan mata lagi di pembaringan, sejak bayi lahir hingga tua dan dikebumikan di liang lahat.

Lengkapnya hukum dan aturan Islam tersebut tertera dalam firman Allah SWT dalam surah Al-Maidah ayat 3:

"Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama bagimu … " (QS. Al-Maidah [5]: 3).

Sumber hukum Islam yang pertama adalah Al-Quran, selanjutnya diiringi dengan hadis Nabi Muhammad SAW, lalu ijmak (kesepakatan) ulama, dan seterusnya. Al-Quran adalah sumber hukum tertinggi dibandingkan nas-nas lainnya.

Kendati demikian, penjelasan Al-Quran kerap kali masih umum atau dalam bentuk isyarat, dan belum mendetail.

Kemudian, hadis Nabi Muhammad SAW yang akan merinci penjelasan tersebut. Jikapun sudah detail, maka sabda Rasulullah berfungsi sebagai penguat firman Allah dalam Al-Quran, sebagaimana dikutip dari penjelasan Jurnal Indo-Islamika.

Macam-macam Hukum Islam dalam Al-Quran

Dalam Al-Quran, hukum Islam ada beragam macamnya, dikelompokkan dengan aturan hubungan manusia dengan Allah, dengan sesama manusia, dengan lingkungan sekitar, hingga dengan dirinya sendiri.

Secara umum, Ahmad Taufik dalam buku Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti (2019) menuliskan tiga macam hukum Islam yang tertera dalam Al-Quran sebagai berikut:

Pertama, hukum akidah (i'tiqadiyah) yang membahas perkara keimanan dan kepercayaan dalam Islam. Hukum ini terwujud dalam bentuk rukun iman yang harus diyakini setiap muslim. Ilmu yang mempelajari hukum ini adalah ilmu tauhid atau ilmu kalam.

Kedua, hukum akhlak (khuluqiyah) yang membahas perkara amal perbuatan manusia. Ilmu yang mempelajari hukum ini disebut ilmu akhlak.

Dalam Islam, tindak-tanduk manusia merupakan bahasan penting, sebab tujuan utama diutusnya Nabi Muhammad adalah untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak dan mewanti-wanti umat Islam untuk menghindari perbuatan tercela.

Hal ini tergambar dalam sabda Nabi Muhammad SAW: "Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak," (H.R. Baihaqi).

Ketiga, hukum syariat (syariyah) yang mengatur perkara hubungan dengan Allah (hablum minallah), aturan dengan sesama manusia (hablum minannas), dan alam sekitar.

Hukum syariat dalam Islam juga dikenal dengan hukum amaliyah yang tercermin dalam perilaku hidup sehari-hari.

Hukum syariat dalam Islam terbagi dalam enam kelompok hukum tersendiri sebagai berikut:

    • Hukum ibadah yang mengatur hubungan antara manusia dengan Allah, seperti hukum salat, zakat, puasa, haji, dan sebagainya.
    • Hukum muamalah yang berkaitan dengan hubungan sesama manusia. Hukum muamalah ini mengatur mengenai harta benda, seperti tanah, uang, dan lain sebagainya. Contoh perkara yang diatur hukum muamalah adalah perkara jual beli, gadai, riba, dan sebagainya.
    • Hukum perkawinan yang mengatur perkara keluarga, pernikahan, perceraian, adopsi anak, dan urusan rumah tangga lainnya.
    • Hukum waris yang berkaitan dengan harta benda yang ditinggalkan orang yang meninggal.
    • Hukum pidana atau jinayah yang mengatur perkara jiwa, akal, dan kehormatan manusia. Contoh perkara jinayah ini adalah kasus pembunuhan, zina, perampokan, dan sebagainya.
    • Hukum politik (siyasah) yang mengatur urusan pemerintahan, seperti pemilihan kepala negara, kementerian (wizarah), urusan keuangan negara, dan sebagainya.

Baca juga:

  • Siapakah Luqman yang Namanya Disebutkan dalam Surah Al-Qur'an?
  • Adab Berdoa & Membaca Al-Quran dalam Islam Sesuai Sunah Rasulullah
  • Bacaan Doa Khatam Al-Qur'an dan Tata Cara saat Khataman

Baca juga artikel terkait AL-QURAN atau tulisan menarik lainnya Abdul Hadi
(tirto.id - hdi/tha)


Penulis: Abdul Hadi
Editor: Dhita Koesno
Kontributor: Abdul Hadi

Subscribe for updates Unsubscribe from updates