Apakah perbedaan antara KETETAPAN MPR dengan PERATURAN Pemerintah

ANALISIS TERHADAP TAP MPR NO. 1 TAHUN 2003 SEBAGAI JENIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANG BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

  • ardians
  • Oktober 15, 2020
  • 6:41 am
  • No Comments
  1. PENDAHULUAN
  1. LATAR BELAKANG

Sebagai konsekuensi dari dianutnya paham kedaulatan rakyat dalam konstitusi di Indonesia, demokrasi selalu menjadi pijakan dasar ketika membahas eksistensi lembaga perwakilan. Dalam tatanan norma paling tinggi pun, Pancasila sebagai philosophische grondslaag di Indonesia telah menjadikan kedaulatan rakyat sebagai salah satu pilarnya melalui sila ke-4 yang berbunyi kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Adanya pemahaman yang memandang tinggi posisi kedaulatan rakyat ini diejawantahkan dengan dimuatnya Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 sebelum amandemen yang menyebutkan: Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Adanya pengakuan kedaulatan rakyat dengan cara ini lah yang kemudian menjadi awal mula paham distribution of power dalam pembagian kekuasaan di Indonesia, di mana sumber kekuasaan dianggap berada pada rakyat dan dijalankan oleh sebuah Majelis Permusyawaratan Rakyat (selanjutnya disebut MPR), kekuasaan ini kemudian didistribusikan dan dibagi-bagikan kepada lembaga-lembaga negara lain, sehingga dapat dipahami bahwa lembaga-lembaga negara lain tersebut berada di bawah Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam struktur ketatanegaraan.

Guna melaksanakan perannya sebagai lembaga tertinggi negara yang berwenang menentukan garis-garis besar haluan negara, Majelis Permusyawaratan Rakyat memilliki kewenangan untuk membentuk peraturan perundang-undangan berupa suatu Ketetapan MPR (selanjutnya disebut Tap MPR). Tap MPR merupakan produk legislatif yang dihasilkan dari keputusan musyawarah MPR untuk ditujukan keluar guna memberikan garis-garis besar pengaturan baik pada pelaksanaan baik di kekuasaan legislatif maupun di kekuasaan eksekutif.

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat atau yang disingkat TAP MPR2, merupakan salah satu wujud peraturan perundang-undangan yang sah dan legitimate berlaku di Negara Indonesia. Bahkan didalam hierarki peraturan perundang-undangan, TAP MPR memiliki kedudukan lebih tinggi dibandingkan dengan UU, Perpu, PP, Perpres dan Perda. Hal ini ditegaskan dalam pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang menegaskan bahwa, jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas :

  1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
    1. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
    1. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
    1. Peraturan Pemerintah;
    1. Peraturan Presiden;
    1. Peraturan Daerah Provinsi; dan
    1. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Berdasarkan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, maka TAP MPR dapat dikatakan sebagai salah satu sumber hukum. Meskipun dalam Undang-undang sebelumnya, yakni Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, TAP MPR tidak dimasukkan dalam hierarki perundang- undang, bukan berarti keberadaan TAP MPR tidak diakui. Akan tetapi norma yang diatur dalam setiap TAP MPR sejak tahun 1966 hingga tahun 2002 tetap diakui sebagai sebuah produk hukum yang berlaku sepanjang tidak digantikan dengan Undang-undang formal yang ditetapkan setelahnya.

Dimasukkannya kembali TAP MPR dalam tata urutan perundang-undangan berdasarkan apa yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, hanya merupakan bentuk penegasan saja bahwa produk hukum yang dibuat berdasarkan TAP MPR, masih diakui dan berlaku secara sah dalam sistem perundang-undangan Indonesia. Namun demikian, dimasukkannya kembali TAP MPR dalam tata urutan perundang-undangan tersebut, tentu saja membawa implikasi atau akibat hukum yang membutuhkan penjelasan rasional, agar tidak menimbulkan tafsir hukum yang berbeda-beda.

  • RUMUSAN MASALAH

Terjadinya berbagai perubahan dalam struktur ketatanegaraan di Indonesia pun tak elak memberikan perubahan berarti terhadap keberadaan Tap MPR dalam tata urutan peraturan perundang-undangan Indonesia. Perubahan yang terjadi bukan hanya dari aspek perubahan urutan, akan tetapi melingkup pula hingga ke materi yang dapat dimuat dalam sebuah Tap MPR. Maka dari itu, menjadi menarik kiranya untuk mengkaji:

Bagaimanakah kedudukan Tap MPR dalam berbagai tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia?

  1. PEMBAHASAN

KEDUDUKAN TAP MPR DALAM BERBAGAI TATA URUTAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA

Menurut Darji Darmodiharjo, sila ke-4 diartikan secara harafiah melalui uraian yang ada pada tiap-tiap kata. Pada kata kerakyatan dalam hubungannya dengan sila ke-4 didapati bahwa terdapat pengakuan kedaulatan rakyat atau demokrasi sebagai bentuk kedaulatan tertinggi di Indonesia. Frasa hikmat kebijaksanan diartikan oleh Darmodiharjo sebagai diakuinya penggunaan pikiran atau rasio dengan selalu memperhatikan persatuan dan kepentingan rakyat secara jujur dan bertanggung jawab sesuai dengan hati nurani.

Kata-kata selanjutnya yang terdapat di dalam sila ke-4 ini adalah permusyawaratan dan perwakilan. Permusyawaratan diartikan oleh Darmodiharjo sebagai metode perumusan solusi atas suatu perkara sesuai dengan kehendak rakyat. Sedangkan perwakilan diartikan sebagai sebuah prosedur yang dilaksanakan untuk menjamin terlibatnya rakyat dalam pengambilan keputusan atas hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan bernegara. Pada akhirnya, Darmodiharjo menyimpulkan bawa dengan segala unsur-unsur tersebut sila ke-4 menjadi sendi penting dalam asas kekeluargaan di Indonesia. Sejalan dengan cara pemikiran tersebut juga lah, sila keempat sering dinilai sebagai sebuah metode dalam mewujudkan keseluruhan isi Pancasila, yakni metode kerakyatan atau demokrasi. Pertimbangan-pertimbangan berdasarkan Pancasila ini kemudian dituangkan dalam gagasan pada Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang memposisikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara.

Sebagai lembaga negara tertinggi dalam struktur ketatanegaraan Indonesia, terdapat setidaknya dua prinsip yang dimiliki oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat: (i) prinsip legal power, yakni sebagai suatu institusi berdaulat yang memegang kekuasaan berdasarkan hukum untuk menetapkan segala ketentuan yang terdapat di dalam UUD 1945; (ii) prinsip no rival authority, yang berarti tidak ada suatu otoritas pun baik secara individual maupun institusional yang memiliki kekuasaan untuk melanggar atau mengenyampingkan sesuatu yang telah diputuskan berdasarkan otoritas yang ada pada MPR.

Posisi MPR sebagai suatu lembaga tertinggi negara di dalam UUD 1945 sebelum amandemen dapat pula dilihat dari kewenangan-kewenangannya, yang mana menurut Cosmas Batubara dapat disarikan menjadi:

Fungsi MPR adalah:

  1. Menetapkan Undang-Undang Dasar;
  2. Menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara;
  3. Memilih Presiden dan Wakil Presiden

Kewenangan MPR adalah:

  1. Mengubah Undang-Undang Dasar;
  2. Meminta pertanggungjawaban dari Presiden/Mandataris MPR mengenai pelaksanaan GBHN dan menilai pertanggungjawaban tersebut;
  3. Mencabut mandat dan memberhentikan Presiden dalam masa jabatannya apabila Presiden/Mandataris MPR sungguh-sungguh melanggar Haluan Negara dan/atau Undang-Undang Dasar.

Dalam perkembangannya, terdapat beberapa perubahan mengenai kedudukan MPR dalam struktur ketatanegaraan. Mula dari perubahan tersebut dapat ditemui dari rumusan Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945 yang berbunyi: Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar Tidak lagi diakuinya MPR sebagai lembaga tertinggi negara pun membawa beberapa perubahan terhadap fungsi dan kewenangan MPR. Ketetapan MPR (selanjutanya disebut Tap MPR) sebagai produk hukum MPR yang mulanya bersifat mengatur pun turut mengalami perubahan fundamental, terutama dari aspek materi muatan.

Untuk melihat kedudukan TAP MPR dalam sistem perundang-undangan Indonesia, baiknya kita memulai dari teori piramida hukum (stufentheorie) yang diperknalkan oleh Hans Kelsen. Teori tersebut memberikan kategorisasi atau pengelompokan terhadap beragam norma hukum dasar yang berlaku. Teori Hans Kelsen ini kemudian dikembangkan oleh Hans Nawiasky melalui teori yang disebut dengan theorie von stufenufbau der rechtsordnung. Teori ini memberikan penjelasan susunan norma sebagai berikut :

  1. Norma fundamental negara (staatsfundamentalnorm);
  2. Aturan dasar negara (staatsgrundgesetz);
  3. Undang-undang formal (formell gesetz); dan
  4. Peraturan pelaksanaan dan peraturan otonom (verordnung en autonome satzung).

Berdasarkan teori Hans Nawiasky tersebut, A. Hamid S. Attamimi mencoba mengaplikasikannya kedalam struktur hierarki perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Berdasarkan teori Nawiasky tersebut, maka tata urutan perundang-undangan di Indonesi adalah sebagai berikut :

  1. Staatsfundamentalnorm : Pancasila (Pembukaan UUD 1945);
  2. Staatsgrundgesetz : Batang Tubuh UUD 1945, Tap MPR, dan Konvensi Ketatanegaraan;
  3. Formell gesetz : Undang-Undang;
  4. Verordnung en Autonome Satzung : Secara hierarkis mulai dari Peraturan Pemerintah hingga Keputusan Bupati atau Walikota.

Secara garis besar, TAP MPR dikategorikan sebagai aturan dasar Negara (staatsgrundgesetz) atau dapat juga disebut sebagai norma dasar (grundnorm). Akan tetapi kategorisasi yang dilakukan oleh Attamimi ini dilakukan disaat kedudukan MPR masih sebagai lembaga tertinggi Negara atau sebelum perubahan UUD 1945. Kedudukan TAP MPR sebelum perubahan UUD, memang menjadi salah satu produk hukum yang berada setingkat dengan UUD. Hal tersebut mengacu kepada kewenangan dan kedudukan MPR sebagai lembaga perwujudan kedaulatan rakyat dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Hal ini sejalan dengan penjelasan Pasal 3 UUD 1945, yang menyatakan bahwa, Oleh karena Majelis Permusyawaratan Rakyat memegang kedaulatan negara, maka kekuasaannya tidak terbatas, mengingat dinamik masyarakat, sekali dalam 5 tahun Majelis memperhatikan segala yang terjadi dan segala aliran-aliran pada waktu itu dan menentukan haluan-haluan apa yang hendaknya dipakai untuk di kemudian hari.

Dalam periode era reformasi, TAP MPR dianggap sebagai perpanjangan tangan dari kekuasaan untuk membuat peraturan-peraturan tertentu yang menguntungkan atau meligitimasi kepentingan kekuasaan. Untuk itu kemudian muncul istilah sunset clouse, yakni upaya sedikit demi sedikit untuk menghapus TAP MPR sebagai sumber hukum dalam sistem perundang- undangan Indonesia. Ini juga yang mendasari proyek evaluasi yang disertai penghapusan secara besar-besaran terhadap TAP MPRS ditahun 2003 melalui Sidang Umum (SU) MPR. Mahfud MD menyebut agenda ini sebagai Sapu Jagat, yakni TAP MPR yang menyapu semua TAP MPRS yang pernah ada untuk diberi status baru.

Puncak dari agenda sunset clouse dan sapu jagat ini adalah diterbitkannya Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang tidak memasukkan TAP MPR sebagai salah satu sumber hukum. Namun apakah tidak dimasukkannya TAP MRP dalam undang- undang tersebut, berarti roh dan keberadaan TAP MPR benar-benar hilang sama sekali dalam sistem perundang-undangan Indonesia? Tidak. Eksistensi TAP MPR seharusnya tetap diakui meskipun dengan sifat dan norma yang berbeda.

Mengutip pendapat Mahfud MD, bahwa TAP MPR tetap saja boleh ada dan dikeluarkan oleh MPR, tetapi terbatas hanya untuk penetapan yang bersifat beschikking (kongret dan individual) seperti TAP tentang pengangkatan Presiden, TAP tentang pemberhentian Presiden dan sebagainya. Bahkan TAP MPR tetap dijadikan sebagai sumber hukum yang bersifat materiil. Sebagaimana yang ditegaskan oleh Mahfud MD, bahwa sebagai sumber hukum, TAP MPR dapat dijadikan sebagai sumber hukum materiil (bahan pembuatan hukum), namun bukan sumber hukum formal (peraturan perundang-undangan). Sebagai sumber hukum materiil, TAP MPR bisa menjadi bahan hukum seperti halnya nilai-nilai keadilan yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat, keadaan social dan ekonomi masyarakat, warisan sejarah dan budaya bangsa dan lain- lain.

TAP MPR DALAM HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG PERNAH DAN MASIH BERLAKU DI INDONESIA

Secara teoretis, perkembangan mengenai hierarki dan susunan peraturan perundang-undangan tidak dapat dilepaskan dari teori yang diintrodusir oleh Hans Kelsen. Menurut Kelsen, pada dasarnya terdapat dua golongan norma dalam hukum, yakni norma yang bersifat superior dan norma yang bersifat inferior di mana validitas dari norma yang lebih rendah dapat diuji terhadap norma yang secara hierarkis berada di posisi lebih tinggi. Karena adanya pengujian validitas terhadap norma hukum yang lebih tinggi inilah, Kelsen dalam Stufentheorie nya berpendapat bahwa hukum telah mengatur pembentukan atas dirinya sendiri. Adapun akhir dari pembentukan hukum (regressus) ini menurutnya akan berujung pada sebuah norma dasar tertinggi atau lazim disebut dengan Grundnorm.

Pemikiran Hans Kelsen mengenai hierarki dan jenjang norma dalam peraturan perundang-undangan tersebut dirinci secara lebih mendalam oleh Hans Nawiasky dalam die Theorie vom Stufenordnung der Rechtsnormen. Menurut Nawiasky, susunan norma hukum tersusun dalam bangunan hukum berbentuk stupa (Stufenformig) yang terdiri dari bagian-bagian tertentu (Zwischenstufe). Nawiasky mengamini bahwa pembentukan norma-norma yang bersusun ini memang diawali oleh sebuah norma dasar yang dibentuk bukan berdasarkan atas norma yang lebih tinggi, namun bersifat ditentukan terlebih dahulu (pre-supposed). Lapisan tertinggi dari bangunan hukum tersebut menurut Nawiasky adalah Staatsfundamentalnorm, yakni norma yang menjadi dasar dari pembentukan konstitusi sebuah negara yang harus diterima secara fiktif sebagai suatu aksioma. Karenanya menurut Nawiasky, norma dalam Staatsfundamentalnorm ini pada dasarnya terbentuk lebih dahulu jauh sebelum adanya konstitusi sebuah negara.

Di bawah Staatsfundamentalnorm tersebut terdapat kelompok norma sebagai sebuah aturan dasar yang lazim dikenal dengan (Gesetzesrecht) sebagai acuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam sebuah negara. Staatsgrundgesetz. Pengaturan ini dapat dihimpun dalam sebuah dokumen tertentu untuk kemudian dikenal sebagai Staatsverfassung atau dapat pula tersebar dalam beberapa dokumen negara untuk ekmudian disebut dengan terminologi Staatsgrundgesetz. Pengaturan didalam Staatsgrundgesetz ini sekalipun lebih rinci apabila dibandingkan dengan Staatsfundamentalnorm, namun masih bersifat dasar dan luas.

Pada lapisan selanjutnya menurut Nawiasky terdapat Formellgesetz atau lazim diterjemahkan sebagai undang-undang formal. Peraturan dalam tingkatan Formellgesetz ini bersifat lebih konkret dan terperinci. Lazimnya, dalam kelompok peraturan inilah didapati norma-norma hukum yang berpasangan, dimana suatu ketentuan hukum berupa suruhan (norma primer) dilengkapi pula dengan konsekuensi pelanggarannya (norma sekunder). Hal ini berarti dalam tingkatan Formellgesetz inilah telah didapati ketentuan-ketentuan yang dilengkapi dengan sanksi-sanksi.

Tingkatan terbawah dari teori Nawiasky ini adalah Verordnungsatzung dan Autonome Satzung yang diterjemahkan sebagai peraturan pelaksana dan peraturan otonom. Verordnungsatzung merupakan peraturan-peraturan pelaksana yang bersumber dari adanya kewenangan delegasi, sedangkan Autonome satzung bersumber dari suatu kewenangan atribusi.

Teori mengenai peraturan perundang-undangan yang digagas oleh Nawiasky tersebut apabila dikontekstualisasikan dalam tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia maka didapati bahwa Pancasila dan Pembukaan UUD NRI 1945 berada pada pucuk stupa sebagai Staatsfundamentalnorm yang keberadaannya diterima sebagai sebuah aksioma. Adapun Batang Tubuh UUD NRI 1945, Ketetapan MPR, dan Konvensi Ketatanegaraan dimasukkan ke dalam kelompok Staatsgrundgesetz. Undang- Undang dalam artian produk hukum yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden termsuk ke dalam kelompok Formellgesetz. Sedangkan beragam peraturan perundang-undangan lainnya yang bersifat sebagai peraturan otonom dan peraturan pelaksana seperti Peraturan Pemerintah, Peraturan Daerah, dan lain sebagainya digolongkan dalam kelompok terakhir, yakni Verordnungsatzung dan Autonome satzung.

Indonesia telah coba mengadopsi pemahaman akan pentingnya eksistensi tata urutan dan susunan peraturan perundang-undangan demi menjaga tertib hukum. Untuk kepentingan tersebut, pengaturan mengenai urutan peraturan perundang-undangan telah beberapa kali mengalami perubahan dalam berbagai produk hukum. Pada era orde lama, urutan keberlakuan peraturan perundang-undangan tersebut diatur melalui Pasal 1 Undang-Undang No. 1 tahun 1950 yang menyebutkan:

Jenis peraturan-peraturan Pemerintah Pusat ialah:

  1. Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang,
  2. Peraturan Pemerintah,
  3. Peraturan Menteri

Tampak bahwa Tap MPR masih belum mendapatkan tempat tersendiri dalam UU No. 1 tahun 1950 sebagai bagian dari peraturan perundang-undangan. Rekognisi atas eksistensi Tap MPR sebagai suatu penambahan jenis peraturan perundang-undangan yang mengubah hierarki peraturan perundang-undangan mulai ditemui pada ketentuan pada Tap MPR No. XX/MPRS/1966 yang pada Lampiran II nya merinci urutan peraturan perundang-undangan menjadi:

Bentuk-bentuk Peraturan Perundangan Republik Indonesia menurut Undang-Undang Dasar 1945 ialah sebagai berikut:

  1. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945;
    1. Ketetapan MPR;
  2. Undang-undang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang;
  3. Peraturan Pemerintah;
  4. Keputusan Presiden;
  5. Peraturan-peraturan Pelaksanaan lainnya seperti:
  6. Peraturan Menteri;
  7. Instruksi Menteri; dll

Produk hukum yang mengatur mengenai tata urutan peraturan perundang-undangan kembali mengalami penyesuaian paska terjadinya reformasi. Ketentuan mengenai tata urutan peraturan perundang-undangan disusun dalam Tap MPR No. III/MPR/2000 yang pada Pasal 2 mengatur Tata urutan peraturan perundang-undangan merupakan pedoman dalam pembuatan aturan hukum dibawahnya. Tata urutan peraturan perundang-undangan Republik Indonesia adalah:

  1. Undang-Undang Dasar 1945;
    1. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia;
    1. Undang-Undang;
    1. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu);
    1. Peraturan Pemerintah;
    1. Keputusan Presiden;
  2. Peraturan Daerah.

Di masa keberlakuan Tap MPR No. III/MPR/2000 tersebutlah terjadi sebuah perubahan mendasar dalam struktur ketatanegaraan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai konsekuensi dari rampungnya Amandemen ke-IV UUD NRI 1945. Perubahan tersebut tentunya juga membawa dampak yang besar pada susunan dan tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia, salah satunya mengenai keberlakuan Tap MPR sebagai suatu peraturan perundang-undangan. Melalui keberadaan Tap MPR No. I/MPR/2003, terdapat daftar Tap MPR dan Tap MPRS yang dicabut keberlakuannya maupun yang dinyatakan dicabut penundaan waktu terlebih dahulu. Sekalipun masih terdapat Tap MPR yang berlaku, namun sifatnya hanyalah sebagai beschikking atau ketetapan, sedangkan kewenangan untuk menerbitkan Tap MPR yang bersifat mengatur atau regelling tidak lagi dimiliki MPR. Tap MPR yang masih berlaku pasca diterbitkannya Tap MPR No. I/MPR/2003 tersebut antara lain:

  1. Tap MPRS Nomor XXIX/MPRS/1966 tentang Pengangkatan Pahlawan Ampera;
    1. Tap MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
    1. Tap Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan; serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
    1. Tap MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan.
    1. Tap MPR Nomor V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional.
    1. Tap MPR Nomor VI/MPRI2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
    1. Tap MPR Nomor VII/MPR/2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia.
  2. Tap MPR Nomor VI/MPR/200I tentang Etika Kehidupan Berbangsa.
  3. Tap MPR Nomor VII/MPR/2001 tentang Visi Indonesia Masa Depan.
  4. Tap MPR Nomor VIII/MPR/200I tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
  5. Tap MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.

Adapun hilangnya Tap MPR dari tata urutan peraturan perundang-undangan tersebut menurut Marida Farida secara konstitusional dapatlah diterima. Hal ini dikarenakan kewenangan MPR yang terdapat di dalam UUD NRI 1945 Amandemen ke- IV hanya meliputi kewenangan untuk mengubah dan menetapkan UUD, melantik dan memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden, memilih Wakil Presiden apabila terjadi kekosongan, dan memilih Presiden dan Wakil Presiden jika terjadi kekosongan. Kewenangan MPR di bidan pembentukan peraturan perundang-undangan untuk mengatur masyarakat tidaklah tertuang di dalam UUD NRI 1945 yang mana berkonsekuensi pada ditiadakannya Tap MPR yang bersifat mengatur.

Sehubungan dengan adanya perubahan tersebutlah, maka di dalam UU No. 10 tahun 2004 keberadaan Tap MPR dari hierarki perturan perundang-undangan di Indonesia dihilangkan. Di bawah keberlakuan UU No. 10 tahun 2004, tata urutan peraturan perundang-undangan yang berlaku adalah:

Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut:

  1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
  3. Peraturan Pemerintah;
  4. Peraturan Presiden;
  5. Peraturan Daerah.

Akan tetapi, eksistensi Tap MPR dalam peraturan perundang-undangan kembali diakui dalam UU No. 12 tahun 2011, yang mana menurut undang-undang tersebut tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia terdiri dari:

Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:

  1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
  3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
  4. Peraturan Pemerintah;
  5. Peraturan Presiden;
  6. Peraturan Daerah Provinsi; dan
  7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Di samping memasukkan kembali Tap MPR sebagai bagian dari peraturan perundang-undangan, di dalam Penjelasan Pasal 7 UU No. 12 tahun 2011 disebutkan pula bahwa yang dimaksud sebagai Tap MPR di dalam UU tersebut adalah:

Yang dimaksud dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang masih berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002, tanggal 7 Agustus 2003.

Keberadaan Penjelasan Pasal 7 tersebut menyebabkan terjadinya penyusutan jumlah Tap MPR yang masih berlaku. Maka dari itu, apabila dirinci dengan mempertimbangkan undang-undang yang berlaku dalam hukum positif serta dengan limitasi yang diberikan oleh Penjelasan Pasal 7 tersebut, didapati bahwa Tap MPR yang masih berlaku antara lain:

  1. Pasal 2 Tap MPR Nomor I/MPR/2003
  2. Tap MPR Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunis/Marxisme-Leninisme.
  3. Tap MPR Nomor XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi dalam Rangka Demokrasi Ekonomi.
  • Pasal 4 Tap MPR Nomor I/MPR/2003
  • Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
  • Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa.
  • Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor VII/MPR/2001 tentang Visi Indonesia Masa Depan.
  • Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.

Pengaruh perubahan demi perubahan yang terjadi dalam tata urutan peraturan perundang-undangan tersebut terhadap keberadaan Tap MPR bukan hanya dari aspek ada dan hilangnya Tap MPR dari hierarki tersebut, namun lebih dari pada itu juga berpengaruh terhadap materi muatan yang terdapat di dalam Tap MPR itu sendiri. Maka dari itulah, pemahaman terhadap MPR perlu pula dilakukan hingga ke aspek bentuk dan materi muatannya.

Tap MPR Sebagai Beschikking

Terlebih dahulu perlu untuk didefinisikan apa yang dimaksud dengan regelling dan beschikking dalam konteks administrasi negara. Secara garis besar, antara beschikking dan regelling terdapat perbedaan pada cakupan pengaturannya. Beschikking merupakan keputusan administratif dengan lingkup pengaturan yang individual dan konkret. Beschikking didefinisikan oleh Prins sebagai suatu tindakan hukum yang bersifat sepihak dalam bidang pemerintahan yang dilakukan oleh suatu badan pemerintah berdasarkan wewenangnya yang luar biasa. Terhadap produk hukum yang bersifat beschikking tersebut digunakan nomenklatur keputusan atau ketetapan. Ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam sebuah beschikking menurut Maria Farida bersifat sekali selesai (einmahlig).

Sedangkan regelling digunakan untuk menyebut hasil-hasil pengaturan, sehingga jika dikualifikasi dalam terminologi hukum di Indonesia lazim dipadankan dengan peraturan. Regelling mengatur norma-norma yang sifatnya umum dan abstrak serta terus menerus.

Dengan menggunakan beberapa pengertian dasar tersebut, kita dapat mengkritisi eksistensi Tap MPR. Pertama, dari segi peristilahan jelas bahwa Ketetapan MPR dapat kita justifikasi sebagai sbuah beschikking dikarenakan adanya penggunaan istilah ketetapan dalam penamaan produk hukum tersebut. Telah diuraikan sebelumnya bahwa penggunaan terminologi ketetapan lazim digunakan untuk produk hukum yang sifatnya beschikking.

Kedua, dari segi materi. Substansi yang dimuat dalam Tap MPR sebenarnya mengalami perubahan sesuai dengan perubahan rezim perundang-undangan yang berlaku. Dalam perkembangan terbarunya pasca reformasi memang materi dari Tap MPR telah disesuaikan dengan kedudukannya dalam UUD NRI 1945, sehingga hanya terdapat Tap MPR yang sifatnya beschikking. Tap MPR yang masih berlaku pasca berlakunya UU No. 12 tahun 2011 sebagaimana telah diuraikan pada bagian sebelumnya pun seluruhnya sudah merupakan sebuah beschikking.

Perlu pula kiranya untuk meninjau materi muatan yang terdapat dalam Tap MPR dalam hubungannya dengan ketentuan umum suatu peraturan perundang-undangan. Menurut Satjipto Rahardjo, terdapat beberapa ciri yang harus dipenuhi oleh suatu produk hukum agar dapat digolongkan sebagai peraturan perundang-undangan. Ciri-ciri tersebut antara lain: (i) peraturan perundang-undangan memiliki sifat umum dan komprehensif, lawan dari sifat ini adalah sifat khusus dan terbatas; (ii) peraturan perundang-undangan bersifat universal agar dapat mengantisipasi peristiwa di masa yang akan datang yang belum tentu terjadi; (iii) adanya ketentuan untuk mengoreksi dan memperbaiki dirinya sendiri.

Dengan berdasarkan pada tiga ciri tersebutlah dapat kita ketahui bahwa Tap MPR tidak sepenuhnya dapat dijustifikasi sebagai suatu peraturan peundang-undangan. Terkait dengan ciri pertama, memang Tap MPR yang sifatnya mengatur dan berlaku secara umum dapat disebut sebagai suatu peraturan perundang-undangan, namun tidak begitu halnya dengan Tap MPR yang berlaku secara konkret dan individual. Demikian pula halnya dengan ciri kedua, tidak semua Tap MPR berlaku secara universal dan mempertimbangkan kemanfaatannya di masa yang akan datang, Tap MPR yang sifatnya menetapkan sesuatu tentulah terbatas hanya pada hal-hal yang sifatnya konkret dan individual. Hal yang sama juga terjadi dengan ciri ketiga, dalam sebuah Tap MPR yang sifatnya beschikking tidak memungkinkan adanya mekanisme untuk melakukan perubahan karena penerapannya hanya berlaku sekali dan bersifat final.

Ketiga, sebagaimana telah disebutkan pula sebelumnya bahwa perubahan yang terdapat di dalam UUD NRI 1945 tidak lagi membuka peluang bagi MPR untuk menerbitkan produk hukum yang sifatnya mengatur masyarakat secara umum. Dalam UUD NRI 1945, kewenangan MPR telah mendapat pembatasan hingga hanya menjadi kewenangan untuk melantik dan memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden, memilih Wakil Presiden apabila terjadi kekosongan, dan memilih Presiden dan Wakil Presiden jika terjadi kekosongan. Hal ini menunjukkan bahwa memang tidak terdapat suatu justifikasi konstitusional bagi MPR untuk mengeluarkan sebuah Tap MPR, terutama yang bersifat mengatur umum. Di dalam UU No. 17 tahun 2014, sebagai dasar hukum lembaga legislatif di level undang-undang tidak pula diterangkan adanya kewenangan bagi MPR untuk membuat sebuah peraturan perundang-undangan yang mengatur umum. Hal ini semakin menjustifikasi bahwa pengakuan kembali Tap MPR sebagai bagian dari peraturan perundang-undangan adalah hal yang secara konstitusional kurang tepat.

Karenanya, guna menjaga konstitusionalitas serta kesesuaian dengan teori-teori dalam perundang-undangan, Penulis berpendapat bahwa eksistensi Tap MPR dalam tata urutan peraturan perundang-undangan haruslah ditiadakan. Hal ini dikarenakan pengaturan dalam peraturan perundang-undangan seharusnya adalah peraturan yang bersifat regelling, hal mana tidak lagi dapat dimuat dalam Ketetapan MPR pasca berlakunya Tap MPR No. I/MPR/2003.

Adapun guna mencegah terjadinya kekosongan hukum, maka norma-norma di dalam Tap MPR yang saat ini masih berlaku dan dianggap perlu dapatlah pula untuk dibakukan dalam bentuk undang-undang. Pengaturan melalui undang-undang tersebut dinilai lebih menguntungkan karena sifatnya yang regelling, di mana dimungkinkan pula terdapat pengaturan mengenai pencegahan bahkan sanksi terhadap pelanggaran norma-norma tersebut. Dengan demikian, terdapat kesesuaian antara lembaga dan produk hukumnya dengan norma-norma yang ada pada konstitusi.

Implikasi Hukum

Pasca diterbitkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, maka keberadaan TAP MPR kembali menjadi wacana (diskursus) hangat disemua kalangan, khususnya diantara para ahli hukum tata negara dan perundang-undangan. Implikasi hukum dimasukkannnya kembali TAP MPR dalam hierarki perundang-undangan, jelas membawa konsekuensi-konsekuensi logis dalam penataaan sistem hukum Indonesia, baik norma, kedudukan, maupun ruang pengujian akibat pertentangan antara sesama produk perundang-undangan lainnya. Keberadaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, mengakibatkan TAP MPR secara otomatis (ex- officio) menjadi rujukan dalam pembentukan dan penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berada di bawahnya. Dalam hal ini UU/Perpu, PP. Perpres, dan Perda.

Silang pendapatpun muncul diantara pengamat hukum ketatanegaraan dan perundang-undangan. Ada yang menyebutkan bahwa keberadaaan TAP MPR dalam hierarki perundang-undangan sebagaimana tertuang dalam Undang- udang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan, telah memberikan ruang bagi MPR untuk kembali merumuskan kembali ketentuan yang mengikat publik. Padahal dalam Sidang Umum MPR tahun 2003, telah diputuskan bahwa TAP MPR tidak lagi mengatur keluar (mengikat publik), namun hanya berlaku bagi intern MPR. Dalam siding umum MPR di tahun 2003 tersebut ditegaskan bahwa, ketentuan yang mengikat publik, harus diimplementasikan melalui produk Undang-undang. Namun hal ini sudah dijawab pada bagian pembahasan sebelumnya, bahwa MPR kini tidak memiliki lagi kewenangan untuk menetapkan ketentuan yang bersifat mengatur (regeling). Setidaknya terdapat 2 (dua) alasan yang melatar belakanginya, Pertama, perubahan UUD 1945 membawa konsekunsi kewenangan MPR yang tidak lagi dapat membuat ketentuan yang mengatur, kecuali yang bersifat kedalam organ MPR sendiri. Kedua, MPR merupakan lembaga yang dapat dikatakan exist ketika menjalankan fungsi dan kewenangan yang diberikan oleh UUD. Dan kewenangan untuk membentuk UU, tidak lagi tertuang dalam UUD pasca amandemen.

Ada 3 (tiga) pertanyaan penting terkait dimasukkannya kembali TAP MPR dalam hierarki peraturan perundang-undangan berdasarkan ketentuan Pasal 7 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pertama, sesungguhnya apa roh atau asbabun nuzul dimasukkannya kembali TAP MPR dalam hierarki perundang-undangan? Kedua, TAP MPR yang manakah yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan? Ketiga, bagaimana konsekuensi pengujian materi atau norma dalam TAP MPR yang bertentangan dengan peraturan perundanga-undangan lainnya dan sebaliknya?

Mengapa TAP MPR kembali dimasukkan kedalam hierarki perundang-undangan yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan? Haru dipahami bahwa TAP MPR masih diakui sebagai sumber hukum dalam sistem perundang-undangan Indonesia. Hal ini diperkuat oleh Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada bagian Aturan Tambahan Pasal I yang menyatakan bahwa, Majelis Permusyawaratan Rakyat ditugasi untuk melakukan peninjauan terhadap materi dan status hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk diambil putusan pada sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat tahun 2003.

TAP MPR yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang- udang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, bisa djabarkan melalui penjelasan pasal tersebut yang mengatakan bahwa, Yang dimaksud dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang masih berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002, tanggal 7 Agustus 2003. Dalam TAP MPR Nomor I/MPR/2003, telah diputuskan yang mana saja TAP MPR(S) dari total 139 ketetapan sejak tahun 1966 hingga 2002, yang masih berlaku dan tidak berlaku lagi.

Dalam TAP MPR Nomor I/MPR/2003 TAP MPR yang ada, diberikan status hukum baru yang dikelompokkan ke dalam 6 (enam) pasal, antara lain :

  • Pasal 1 tentang Ketetapan MPR/MPRS yang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku (8 Ketetapan)
  • Pasal 2 tentang Ketetapan MPRS/MPR yang dinyatakan berlaku dengan ketentuan (3 Ketetapan)
  • Pasal 3 tentang Ketetapan MPRS/MPR yang dinyatakan tetap berlaku sampai dengan terbentuknya pemerintahan hasil pemilihan umum tahun 2004 (8 Ketetapan)
  • Pasal 4 tentang Ketetapan MPRS/MPR yang dinyatakan tetap berlaku sampai terbentuknya UU (11 Ketetapan)
  • Pasal 5 tentang Ketetapan MPRS/MPR yang dinyatakan masih berlaku sampai ditetapkannya peraturan tata tertib yang baru oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia hasil pemilihan umum tahun 2004 (5 Ketetapan)
  • Pasal 6 tentang Ketetapan MPRS/MPR yang tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut, baik Karena bersifat final (enimalig), telah dicabut, maupun telah selesai dilaksanakan. (104 Ketetapan)

Berdasarkan pengelompokan di atas, maka TAP MPR yang masih dianggap berlaku tertuang dalam Pasal 2 dan Pasal 4, dengan total sebanyak 13 TAP MPR yang masih berlaku. TAP MPR yang masih berlaku tersebut, adalah :

  1. Ketetapan MPRS No. XXV/MPRS.1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, pernyataan sebagai organisasi terlarang di seluruh Wilayah Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan larangan setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme.
  2. Ketetapan MPR No. XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi Dalam Rangka Demokrasi Ekonomi.
  3. Ketetapan MPR No V/MPR/1999 tentang Penentuan Pendapat di Timor Timur.
  4. Ketetapan MPRS No. XXIX/MPRS/1966 tentang Pengangkatan Pahlawan Ampera. (dalam perkembangan terakhir telah terbentuk UU No. 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan)
  5. Ketetapan MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN.
  6. Ketetapan MPR No. XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan, serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam NKRI.
  7. Ketetapan MPR No. V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional.
  8. Ketetapan MPR No. VI/MPR/2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Indonesia.
  9. Ketetapan MPR No. VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Peran Polri.
  10. Ketetapan MPR No. VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa.
  11. Ketetapan MPR No. VII/MPR/2001 tentang Visi Indonesia Masa Depan.
  12. Ketetapan MPR No. VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan KKN.
  13. Ketetapan MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolahan Sumber Daya Alam.

Ketiga belas TAP MPR inilah yang dimaksud dalam penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dengan pengelompokan 11 TAP MPR yang sudah tidak berlaku akibat telah dibentukknya UU (Pasal 4 TAP MPR Nomor I/MPR/2003) dan 3 TAP MPR yang masih berlaku hingga saat ini (Pasal 2 TAP MPR Nomor I/MPR/2003). Adapun Ketetapan MPR No V/MPR/1999 tentang Penentuan Pendapat di Timor Timur, secara otomatis tidak berlaku lagi akibat norma yang diatur didalamnya sudah terlaksana. Dengan demikian, sisa 2 TAP MPR yang masih berlaku hingga saat ini akibat status hukumnya yang tidak dicabut atau diganti melalui UU. Pertanyaan kemudian muncul, apakah diluar 2 TAP MPR tersebut, TAP MPR dapat dinyatakan berlaku kembali dan dijadikan sebagai sumber hukum formill? Secara logika hukum, hal tersebut mustahil mengingat tidak mungkin keberlakukan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi justru dilegitimas atau dibuat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah, dalam hal ini Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Akibat dimasukkannya TAP MPR dalam hierarki peraturan perundang- undangan, maka muncul persoalan dalam hal pengujian norma diantara peraturan perundang-undangan lainnya. Bagaimana jika TAP MPR bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945? Dan bagaimana pula jika terdapat UU yang bertentangan dengan TAP MPR? Jika merunut kepada sistem kekuasaan kehakiman Indonesia dewasa ini, uji materi dibebankan kepada Mahkamah Konstitusi. Akan tetapi kewenangan Mahkamah Konsitusi sebatas uji materi UU terhadap UUD. Tidak ada ketentuan khusus yang mengatur tata cara pengujian TAP MPR terhadap UUD atapun UU terhadap TAP MPR. Mahkamah Konstitusi tidak boleh serta merta melakukan pengujian terhadap TAP MPR, kecuali Mahkamah Konstitusi melakukan upaya hukum progresif seperti yang dilakukan selama ini.

Akan tetapi, jika merunut kepada TAP MPR Nomor I/MPR/2003 khususnya dalam ketentuan Pasal 4, maka Mahkamah Konstitusi sebenarnya dapat melakukan pengujian terhadap TAP MPR. Hal tersebut mengingat ketentuan Pasal 4 TAP MPR Nomor I/MPR/2003, secara tersirat telah menyamakan kedudukan TAP MPR dengan produk Undang-undang yang diharuskan untuk dibuat sebagai pengganti norma yang diatur dalam TAP MPR sebelumnya. Kecuali TAP MPR yang disebutkan dalam Pasal 2 TAP MPR Nomor I/MPR/2003, Mahkamah Konstitusi tidak berwenang mengujinya sebab ketentuan Pasal 2 tersebut tidak mensyaratkan perubahan atau pencabutan melalui Undang- Undang sebagaimana yang dipersyaratkan dalam Pasal 4.

  1. PENUTUP
  1. KESIMPULANMelalui uraian di atas dapat dipahami bahwa keberadaan Tap MPR sebagai sebuah produk legislasi telah mengalami dinamika yang panjang. Keberadaan Tap MPR yang pada mulanya belum mendapat tempat dalam UU No. 1 tahun 1950, justru kemudian mendapat pengakuan sebagai Staatsgrundgesetz di bawah UUD NRI 1945 pada Tap MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR Mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia serta dalam Tap MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan. Hilangnya pengakuan akan Tap MPR sebagai salah satu peraturan perundang- undangan dalam UU No.10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan tidak semerta menjadikannya sirna, namun justru kembali dimunculkan sebagai Staatsgrundgesetz di dalam UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
  • Untuk saat ini, pengaturan mengenai Ketetapan MPR sudah menunjukkan adanya kesesuaian dengan norma-norma konstitusi. Hal ini seiring dengan terjadinya Amandemen ke-IV terhadap UUD NRI 1945 yang menyetarakan kedudukan lembaga negara di mana MPR tidak lagi dianggap sebagai lembaga tertinggi negara, sehingga memaksa MPR mencabut Tap MPR yang bersifat mengatur atau regelling melalui Tap MPR No. I/MPR/2003. Penyesuaian demi penyesuaian peraturan perundang-undangan yang dilakukan melalui produk berupa undang- undang pun menekan eksistensi Tap MPR sehingga hanya menyisakan 6 Tap MPR bersifat beschikking yang sifatnya konkret, individual, dan final. Kendati demikian, karena sifatnya yang beschikking itu lah, keberadaan Tap MPR sebagai bagian dari peraturan perundang-undangan pun sebaiknya ditiadakan agar terwujudnya tertib hukum yang baik dalam negara hukum Indonesia.
  • Kedudukan dan kewenangan MPR sebelum dan sesudah perubahan UUD 1945 sangatlan berbeda. Hal tersebut membawa konsekuensi bahwa MPR dapat dikatakan eksist, ketika menjalankan kewenangan yang diberikan oleh UUD. Akibatnya, MPR bukan lagi lembaga perwakilan utuh, akan tetapi cendrung menjadi joint sesion antara anggota DPR dan anggota DPD yang memiliki fungsi bersifat lembaga konstituante yang bertugas merubah dan menetapkan Undang-undang Dasar.
  • Dimasukkannya TAP MPR ke dalam hierarki perundang-undangan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan, memberikan implikasi hukum, yakni diharuskannya TAP MPR sebagai rujukan bagi peraturan perundang-undangan yang berada dibawahnya, baik UU/Perpu, PP, Perpres ataupun Perda.
  • TAP MPR yang dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan, adalah TAP MPR yang merujuk hasil Sidang Umum MPR tahun 2003 yang melahirkan TAP MPR Nomor I/MPR/2003, khususnya pada pasal 2 dan pasal 4.
  • TAP MPR tetap saja boleh ada dan dikeluarkan oleh MPR, tetapi terbatas hanya untuk penetapan yang bersifat beschikking (kongret dan individual) seperti TAP tentang pengangkatan Presiden, TAP tentang pemberhentian Presiden dan sebagainya.
  • TAP MPR dapat dijadikan sebagai sumber hukum materiil (bahan pembuatan hukum), namun bukan sumber hukum formal (peraturan perundang-undangan). Sebagai sumber hukum materiil, TAP MPR bisa menjadi bahan hukum seperti halnya nilai-nilai keadilan yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat, keadaan social dan ekonomi masyarakat, warisan sejarah dan budaya bangsa dan lainnya.
  • Pengujian terhadap TAP MPR terhadap UUD maupun UU terhadap TAP MPR sebagai konsekuensi hierarki perundang-undangan yang diatur dalam 7 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, tidak memiliki landasan mekanisme atau ketentuan pengujian. Mahkamah Konstitusi tidak serta merta dapat menguji TAP MPR, kecuali TAP MPR yang berdasarkan ketentuan Pasal 4 TAP MPR Nomor I/MPR/2003, yang dipersamakan dengan produk Undang-undang.
  • SARAN

Menurut pendapat Penulis, eksistensi Tap MPR dalam tata urutan peraturan perundang-undangan haruslah ditiadakan. Hal ini dapat dilakukan setelah norma- norma di dalam Tap MPR yang saat ini masih berlaku dan dianggap perlu diadopsi dalam bentuk undang-undang. Sehingga, kekhawatiran akan adanya kemungkinan kekosongan hukum dapat dihindari.

DAFTAR PUSTAKA

Peraturan

Indonesia. Undang-Undang Dasar NRI 1945 Amandemen Ke-IV.

Indonesia, Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara tentang Memorandum DPR-GR Mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia. Tap MPRS No. XX/MPRS/1966.

Indonesia, Majelis Permusyawaratan Rakyat. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang- Undangan. Tap MPR No. III/MPR/2000,

Indonesia, Majelis Permusyawaratan Rakyat. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Pemusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002. Tap MPR No. I/MPR/2003.

Indonesia. Undang-undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, UU No. 10 tahun 2004, LN No. 53 tahun 2004, TLN No. 4389.

Indonesia. Undang-undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, UU No. 12 tahun 2011, LN No. 82 tahun 2011, TLN No. 5234.

Buku

Adisapoetra, R. Kosim. Pengantar Ilmu Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Pradnja Paramita, 1978.

Asshiddiqie, Jimly. Hukum Acara Pengujian Undang-Undang. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2006.

Asshiddiqie, Jimly dan M. Ali Safaat. Teori Hans Kelsen tentang Hukum. Jakarta: Konstitusi Press, 2012.

Batubara, Cosmas. Mengenal Majelis Permusyawaratan Rakyat: Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Produk-Produknya. Jakarta: Yayasan Aristokrasi, 1992.

Harjono. Konstitusi sebagai Rumah Bangsa. Jakarta: Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008.

Kelsen, Hans. Teori Hukum dan Negara Dasar-dasar Ilmu Hukum Normatif sebagai Ilmu Hukum Deskriptif-Empirik. Jakarta: BEE Media Indonesia, 2007.

Darmodiharjo, Darji. Orientasi Singkat Pancasila. Malang: Humas Universitas Brawijaya, 1974.

Soenaryo. Metodologi Riset I. Surakarta: UNS Press, 1985.

Soeprapto, Maria Farida Indrati. Ilmu Perundang-Undangan: Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan. Yogyakarta: Kanisius, 2016.

Suny, Ismail. Mekanisme Demokrasi Pancasila. Jakarta: Aksara Baru, 1978.

Thaib, Dahlan. Implementasi Sistem Ketatanegaraan Menurut UUD 1945. Yogyakarta: Liberty, 1989.

Triwulan, Titik dan Ismu Gunadi Widodo. Hukum Tata Usaha Negara dan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2011.

Internet

Safaat, Muchamad Ali. Kedudukan Ketetapan MPR dalam Sistem Peraturan Perundang-Undangan Indonesia. safaat.lecture.ub.ac.id//KEDUDUKAN- KETETAPAN. Diakses 27 Agustus 2018.

Penulis : Rahmat Nur Najib, S.H.

PrevPreviousPANDANGAN SOSIOLOGICAL JURISPRUDENCE TERHADAP HAK TERDAKWA DI PERSIDANGAN

Tinggalkan Komentar Batalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ketik disini...

Nama*

Surel*

Situs Web

Simpan nama, email, dan situs web saya pada peramban ini untuk komentar saya berikutnya.