Apakah pengemis atau gelandangan termasuk dalam gejala sosial?

Apakah pengemis atau gelandangan termasuk dalam gejala sosial?

Pengemis dan gelandangan masuk ke dalam suatu bentuk gejala sosial, alasannya karena keduanya merupakan salah satu masalah sosial di Indonesia yang pada saat ini masih banyak ditemukan, khususnya di berbagai kota-kota besar.

Maka, sangatlah pantas jikalau banyak akibat negatif yang akan ditimbulkan ketika jumlah pengemis dan gelandangan di lingkungan sosial semakin tinggi. Misalnya saja meningkatkan angka kriminalitas dan kualitas penduduk yang menurun dalam segi pendapatkan serta pendidikannya.

Pengemis dan Gelandangan

Pengemis dan gelandangan merupakan istilah yang berbeda. Tetapi saling terkait dengan arti masalah sosial. Oleh karena itulah definisi keduanya sebagai berikut;

Pengemis adalah orang yang mendapatkan penghasilan dengan cara meminta-minta kepada orang lain diberbagai tempat, khusunya tempat yang ramai. Orang yang melakukan pekerjaan ini mengandalakan belas kasihan orang lain.

Karakteristik seorang pengemis biasanya berpenampilan lusuh atau kusut dengan tujuan agar hati orang tersentuh dengan penampilannya. Bahkan terdapat beberapa orang yang mengendong anak kecil dengan wajah yang tak kalah lusuh.

Mereka akan berkeliling atau menetap di beberapa lampu lalu lintas yang banyak di lalui orang pada jam-jam tertentu. Bagi pengemis yang berkeliling mereka akan mendatangi beberapa tempat seperti rumah makan, toko, dan lain-lain yang banyak dikunjungi orang.

Gelandangan adalah setiap orang yang memiliki untuk hidup dalam keadaan tidak sesuai dengan adanya berbagai norma sosial di masyarakat, hal ini disebabkan tidak memiliki tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap sehingga mambuatnya untuk memilih hidup mengembara di tempat umum dengan keadaan yang secukupnya.

Dampak Pengemis dan Gelandangan

Setiap orang memiliki alasan untuk melakukan sebuah bentuk tindakan sosial. Orang yang memilih menjadi pengemis dan gelandangan juga memiliki alasan tertentu. Alasan yang digunakan tersebut menjadi faktor penyebab banyaknya pengemis dan gelandangan.

Ketika sudah banyak pengemis dan geladangan disebuah lingkungan maka akan menimbulkan dampak baik bagi pelaku atau masyarakat sekitar. Antara lain;

Banyaknya pengemis dan geladangan membuat sebuah daerah akan sulit melakukan pembangunan. Banyaknya jumlah pengemis menandakan buruknya tatan kota, hal ini memiliki makna harus memperbaiki sistem ini terlebih dahulu.

Permasalahan kesejahteraan sosial masyarakat merupakan hal yang penting dan menjadi perhatian tersendiri bagi masing-masing daerah bahkan negara.

Pengemis dan geladangan biasa melakukan kegiatannya di lingkungan yang ramai dan banyak di kunjungi orang. Semakin banyak pengemis di daerah tersebut dianggap kurang mampu mengkondisikan lingkungan tersebut. Pengemis yang ada di jalanan akan membuat pemandangan yang buruk atau terkesan tidak rapi.

Gambaran suatu bangsa dapat dilihat dari kesejahteraan masyarakatnya. Kesejahteraan ini diharapkan dapat menjadi gambaran keadaan negara tersebut. Jumlah pengemis yang tidak terkendali membuat banyak pertanyaan yang muncul tentang kesejahteraan bangsanya. Masalah ini merupakan contoh masalah sosial yang banyak kita temui.

Prinsip seseorang yang menjadikan mengemis merupakan jalan hidupnya, akan membuat masyarakat malas untuk belajar atau sekolah. Apabila ini terus menerus maka akan menciptakan bangsa yang bodoh. Pola pikir yang membuat sebuah negara sulit untuk maju dalam segi ekonomi.

Orang yang memilih menjadi pengemis dan menjadi gelandangan kadang sudah tidak merasa percaya diri untuk mencari pekerjaan lain yang sebenarnya mampu ia lakukan. Orang tersebut tahu bahwa menjadi seorang pengemis dan gelandangan merupakan salah satu hal tindakan yang merendah diri sendiri. Sulit untuk kembali memiliki rasa percaya diri melakukan sesuatu yang lebih bermakna.

Orang yang merasa dirinya rendah maka sudah tidak ada keinginan untuk dihargai oleh orang lain. Orang ini merasa tidak perlu di anggap oleh lingkungannya. Apbila hal ini terjadi maka banyak orang yang merasa tidak memiliki harga diri.

Itulah tadi artikel yang bisa diberikan pada semua kalagan berkenaan dengan akibat banyaknya pengemis dan gelandangan di masyarakat.

Sebagai negara yang dikategorikan sebagai negara berkembang, Indonesia memiliki masalah kesejahteraan sosial yang cukup tinggi. Oleh karena itu, mengatasi masalah kesejahteraan sosial menjadi fokus utama pemerintah terutama di tengah pandemi COVID-19 saat ini yang berdampak besar bagi kesejahteraan masyarakat. Untuk menyelenggarakan kesejahteraan sosial bagi masyarakat, pemerintah berpedoman pada Pasal 27 ayat 2 dan Pasal 34 yang menyebutkan bahwa setiap warga negara, termasuk fakir miskin dan anak terlantar, dipelihara oleh negara dan berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Namun mengingat masalah kesejahteraan sosial di Indonesia sangat kompleks, maka penanganan masalah kesejahteraan sosial seringkali tidak tuntas dan tidak terpadu. Akibat penanganan masalah kesejahteraan sosial yang tidak tuntas dan tidak terpadu, sehingga menyebabkan masalah kesejahteraan sosial justru semakin kompleks. Salah satu permasalahan kesejahteraan sosial yang masih tinggi dan menimbulkan dampak negative adalah masalah gelandangan dan pengemis.

Persoalan gelandangan dan pengemis telah menjadi isu nasional kesejahteraan sosial. Hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan Undang-Undang No.11 Tahun 2009 Tentang Kesejahteraan Sosial yang memberikan ruang bagi terbukanya pemenuhan kesejahteraan tak terkecuali gelandangan dan pengemis (Yusrizal & Asmara, 2020). Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1980 Tentang Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis, gelandangan adalah orang-orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai dengan norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat, serta tidak mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap di wilayah tertentu dan hidup mengembara di tempat umum. Sementara itu, pengemis adalah orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan meminta-minta di muka umum dengan berbagai cara dan alasan untuk mengharapkan belas kasihan dari orang lain.

Definisi lain gelandangan menurut Sastraatmadja (1987) adalah sekelompok masyarakat yang terasing, mereka ini lebih sering dijumpai dalam keadaan yang tidak lazim, seperti di kolong jembatan, di sepanjang lorong-lorong sempit, di sekitar rel kereta api ataupun di setiap emperan toko, dan dalam hidupnya sendiri mereka akan terlihat sangat berbeda dengan manusia merdeka lainnya. Artinya gelandangan adalah orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai dengan norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat serta tidak mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap di wilayah tertentu dan hidup menggelandang di tempat umum. Adapun definisi lain pengemis menurut Kuntari dan Hikmawati (2017) adalah orang yang mendapatkan penghasilan dengan meminta-minta di muka umum dengan berbagai cara dan alasan untuk mengharapkan belas kasihan dari orang lain.

Menurut Fadri (2019), jika dilihat dari sudut pandang teori struktur-fungsionalis, gelandangan dan pengemis merupakan bagian dari komunitas kelas pinggiran atau marginal (dilihat aspek ekonomi) di dalam tataran status struktur keadaan sosial masyarakat yang secara sengaja atau tidak sengaja berusaha untuk mengaktualisasikan keberadaan komunitasnya dengan cara melakoni dan menjalani secara berkelanjutan terhadap dunia yang informal sebagai bagian dari ketahanan terhadap sektor atau ruang pembangunan yang cenderung mengarah berpihak pada sebuah sektor formal. Namun secara substansi, Setiawan (2020) menganggap gelandangan dan pengemis merupakan perwujudan dari entitas kelompok masyarakat yang sangat rentan dari segi keadaan ekonomi karena berada dalam kondisi sub marginal. Hal ini karena kondisi gelandangan dan pengemis yang memang tidak mempunyai kapasitas yang baik khususnya dalam bersaing terhadap kelompok formal yang diimplikasikan oleh kualitas kemampuanya yang terbatas, level pendidikanya yang tidak mencukupi, dan kapasitasnya yang kurang begitu menggembirakan. Oleh karena itu, para ahli berpendapat bahwa keberadaan gelandangan dan pengemis disebabkan karena terjadinya kemiskinan lokal secara kultural maupun struktural.

Beberapa faktor penyebab menjadi gelandangan dan pengemis menurut hasil penelitian Tateki dkk (2009) antara lain :  1) Tidak mampu bekerja;  2) Tidak punya modal usaha; 3) Tidak punya keterampilan kerja; 4) Tidak punya pilihan lain; dan 5) lebih suka menjadi gepeng. Sementara faktor-faktor penyebab terjadinya gelandangan dan pengemis menurut Suparlan (1984)  dalam Mardiyati (2015) yaitu : 1) Lajunya pertumbuhan penduduk di perdesaan;  2) Kondisi daerah perdesaan; 3) Kondisi lapangan kerja; 4) Warisan hidup menggelandang; dan 5) Faktor alam atau musibah/ bencana. Faktor-faktor yang dikemukakan Suparlan dalam Mardiyati (2015) diatas memang relevan dengan kondisi saat ini. Laju pertumbuhan penduduk yang tinggi berimplikasi pada meningkatnya angka ketergantungan, yaitu besarnya usia produktif tidak diimbangi banyaknya lapangan pekerjaan, sehingga terjadi peningkatan jumlah pengangguran. Bagi orang-orang yang tinggal di pedesaan yang kurang produktif karena lahan sempit dan tanah tandus, mereka lebih memilih melakukan urbanisasi ke perkotaan meskipun tidak memiliki pekerjaan jelas dan tempat hidup layak. Padahal dengan keterbatasan pendidikan, keterampilan, dan keterbatasan lapangan kerja formal dan informal, sehingga akhirnya mereka terjebak menjadi gelandangan dan pengemis.

Menurut Fadri (2019), terdapat beberapa ciri-ciri yang menjadi karakter bagi gelandangan dan pengemis, diantaranya yaitu : (1) Tidak memiliki tempat tinggal yang tetap dan layak huni, biasanya mereka  mengembara di tempat umum seperti di bawah kolong jembatan, rel kereta api, gubuk liar di sepanjang sungai, emperan toko dan lain-lain; (2) Hidup dengan penuh ketidakpastian seperti tidak memiliki jaminan sosial seperti yang dimiliki oleh masyarakat, akses untuk berobat dan lain lain; (3) Hidup di bawah garis kemiskinan; (4) Tidak memiliki pekerjaan tetap yang layak, seperti pencari puntung rokok, penarik grobak, pencari barang rongsokan, dan lain-lain; (5) Memakai baju yang compang camping, kumal dan dekil; (6) Meminta-minta dengan cara berpura-pura atau sedikit memaksa, disertai dengan tutur kata yang manis dan iba; (7) Tuna etika, dalam arti saling tukar-menukar istri atau suami, kumpul kebo atau komersialisasi istri dan lain-lainnya; dan (8) Meminta-minta di tempat umum seperti terminal bus, stasiun kereta api, di rumah-rumah atau ditoko-toko.

Kehadiran gelandangan dan pengemis telah menjadi masalah sosial yang mengganggu dan meresahkan masyarakat. Sebagian masyarakat menganggap gelandangan dan pengemis sebagai orang-orang dengan citra negatif serta dapat mengganggu ketertiban, keindahan, kesusilaan, kebersihan, dan ketenteraman masyarakat. Namun menurut Kuntari dan Himawati (2017), masalah yang diakibatkan dari gelandangan dan pengemis lebih kepada masalah sosial budaya, yakni ketidakmampuan mereka dalam mengikuti aturan kehidupan sosial yang berlaku dalam masyarakat, sehingga mereka terpinggirkan dan terkucil dari tatanan kehidupan masyarakat di tempat tujuan. Disamping itu, menurut Salamah (2004), kehadiran gelandangan dan pengemis juga dianggap sebagai pusat pengangguran, rawan terhadap kriminalitas yaitu pencurian, penjambretan, perjudian, mabuk-mabukan dan pelacuran.

Mengingat permasalahan gelandangan dan pengemis yang cukup kompleks, maka permasalahan ini membutuhkan peran dari berbagai pihak termasuk pihak swasta dan masyarakat umum. Pemerintah pusat dan daerah sudah melakukan berbagai upaya untuk penanganan gelandangan dan pengemis, seperti penyediaan rumah tinggal layak huni, pemberdayaan sosial dan ekonomi, pemberian bantuan sosial, perujukan ke panti sosial, dan lain-lain. Secara umum penanganan gelandangan dan pengemis dibagi dalam dua kategori, yaitu penanganan terorganisir dan penanganan tidak terorganisir. Penanganan terorganisir adalah penanganan yang dilakukan oleh aparat pemerintahan secara berkelanjutan, meliputi dua sistem yaitu sistem panti dan sistem non-panti sosial. Sistem panti sosial adalah sistem penanganan yang ujung dari alur penanganannya berupa diterima dan dibinanya gelandangan dan pengemis di panti sosial dengan melibatkan aparat pemerintahan (Dinas Sosial dan Satpol PP) dalam penjemputan gelandangan dan pengemis lalu menyerahkannya ke panti sosial yang kemudian (panti sosial bersangkutan) akan melakukan pembinaan, pelayanan, rehabilitasi, pembinaan lanjutan dan terminasi. Sementara itu, sistem non-panti sosial berbeda dengan sistem panti sosial karena keterlibatan aparat pemerintahan sangat kecil karena masyarakat setempat (yayasan individu) yang memegang peranan utama dalam melakukan pembinaan, pelayanan, rehabilitasi, dan pemberdayaan bagi gelandangan dan pengemis. Pengorganisasian kegiatan menurut sistem ini dilakukan oleh pemilik/masyarakat (donatur) karena dibiayai secara swadaya oleh masyarakat atau swasta. Oleh karena itu, penanganan sistem non-panti sosial disebut mengedepankan tindakan yang bersifat altruisme karena sarat nilai kemanusiaan dan saling tolong-menolong. Sementara penanganan yang tidak terorganisir biasanya tidak memasukkan gelandangan dan pengemis dalam panti seperti penanganan terorganisir melalui panti sosial dan panti individu diatas. Penanganan tidak terorganisir biasanya dilakukan dalam waktu tertentu dan sifatnya temporer seperti misalnya penyaluran bantuan atau bakti sosial bagi gelandangan dan pengemis.

Meskipun hingga saat ini berbagai upaya yang sudah dilakukan pemerintah, swasta, dan masyarakat belum menunjukkan hasil yang memuaskan atau mencegah timbulnya gelandangan dan pengemis baru namun paling tidak sudah ada penanganan meskipun tidak dapat menyelesaikan permasalahan secara tuntas. Tetapi satu hal penting yang harus dilakukan diingat dalam penanganan gelandangan dan pengemis yaitu tetap memanusiakan manusia. Menurut Arief (2010) dalam Yusrizal & Asmara (2020), pendekatan humanistis dalam penanggulangan gelandangan dan pengemis sangat penting dikedepankan. Hal ini berarti pencegahan perbuatan mengelandang dan mengemis tidak hanya lewat pemberian pidana/hukuman yang dikenakan kepada si pelanggar harus sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan yang beradab, tetapi juga harus dapat meningkatkan kesadaran si pelanggar akan nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-nilai pergaulan hidup bermasyarakat.

Meskipun pemberian pidana/hukuman juga tetap dibutuhkan, namun sebaiknya tetap memperhatikan unsur kemanusiaan. Hal ini penting tidak hanya karena kejahatan itu pada hakikatnya merupakan masalah kemanusiaan, tetapi juga pada hakikatnya pidana itu sendiri mengandung unsur penderitaan yang dapat menyerang kepentingan atau nilai yang paling berharga kehidupan manusia. Oleh karena itu, pendekatan humanistis yang mengedepankan harkat dan martabat mereka juga harus tetap dipegang teguh agar hak-hak mereka pun terjaga dan mampu mengembalikan fungsi sosial mereka di masyarakat.


Oleh Syadza Alifa, M.Kesos

Widyaiswara Ahli Pertama BBPPKS Bandung

Daftar Referensi :

Fadri, Zainal. (2019). “Upaya Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis (Gepeng) Sebagai Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) di Yogyakarta” Komunitas : Jurnal Pengembangan Masyarakat islam Vol. 10, No. 1, Juni 2019. Padang : Institut Agama Islam Negeri Batusangkar.

Kuntari, Sri & Hikmawati, Eni. (2017). “Melacak Akar Permasalahan Gelandangan Pengemis (Gepeng)” Media Informasi Penelitian Kesejahteraan Sosial, Vol. 41, No. 1, April 2017, 11-26. Yogyakarta : Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pelayanan Kesejahteraan Sosial (B2P3KS) Kementerian Sosial RI.

Mardiyati, Ani. (2015). “Gelandangan Pengemis dan Anak Jalanan dari Perspektif Sosial Budaya” Media Informasi Penelitian Kesejahteraan Sosial, Vol. 39, No. 1, Maret 2015, 79-89. DIY Yogyakarta : Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pelayanan Kesejahteraan Sosial (B2P3KS). Kementerian Sosial RI.

Sastraatmadja, E. (1987). Dampak Sosial Pembangunan. Bandung: Angkasa.

Setiawan, Hendy. (2020). “Fenomena Gelandangan Pengemis Sebagai Dampak Disparitas Pembangunan Kawasan Urban dan Rural di Daerah Istimewa Yogyakarta” Jurnal MODERAT,Volume 6, Nomor 2. Ciamis : Universitas Galuh.

Yusrizal & Romi Asmara. (2020). “Kebijakan Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis (Studi Penelitian Di Kabupaten Aceh Utara)” Jurnal Ilmu Hukum Reusam ISSN 2338-4735/E-ISSN 27225100 Volume VIII Nomor 1 (Mei 2020). Nangore Aceh Darussalam : Universitas Malikussaleh.