Apakah nama upacara yang rutin diselenggarakan setiap tahun di Bali?

Advertisement

Bali memang memiliki daya tarik tersendiri untuk dikunjungi wisatawan. Selain pesona pantainya yang indah, Pulau Bali juga menyimpan keanekaragaman budaya yang sangat menarik. Salah satu tradisi adat yang masih bertahan hingga sekarang adalah tradisi Ngerebong.

Ngerebong adalah upacara adat yang diadakan enam bulan sekali oleh masyarakat Bali, tepatnya di Desa Kesiman, Denpasar. Lebih tepatnya, upacara ini akan diadakan setiap delapan hari setelah Hari Raya Kuningan. Tradisi Ngerebong yang unik menjadi daya tarik wisatawan baik domestik maupun mancanegara.

Sejarah

Upacara Ngerebong pada Zaman Dahulu (sumber: denpasarkota.go.id)

Ngerebong dalam bahasa Denpasar berarti berkumpul, yaitu dianggap berkumpulnya para dewa. Upacara adat ini adalah tradisi turun temurun yang digelar umat Hindu di Pura Pangrebongan.

Budayawan Desa Kesiman, I Gede Anom Ranuara, mengatakan Ngerebong merupakan peringatan atas kejayaan raja pada zamannya. Peringatan ini dikemas dengan upacara religi untuk memperkuat keberhasilan raja pada saat itu.

Ngerebong diadakan sebagai peringatan kejayaan Raja Kesiman saat berhasil mengekspansi beberapa daerah di Sasak, Lombok. Ekspansi yang dilakukan Raja Kesimen terjadi sekitar tahun 1860.

Sejak saat itu, upacara Ngerebong rutin dilaksanakan sebagai rasa syukur. Upacara ini diadakan di Puri Kesiman sebelum dipindahkan ke Pura Petilan Pengerebongan.

Mengawali Upacara

Masyarakat memadati wantilan untuk memulai upacara Ngerebong (sumber: kabarkomik.wordpress.com)

Upacara Ngerebong dilakukan sejak pagi dan diawali dengan upacara tabuh rah. Tujuannya adalah untuk membangkitkan keharmonisan dan kepatuhan masyarakat terhadap Guna Sattwam. Guna Sattwam merupakan sifat-sifat yang baik dalam diri manusia, yaitu tenang, tulus, bijaksana, dan tanpa pamrih.

Sebelum dimulainya acara, para pecalang (polisi adat di Bali) akan menutup jalan sebab acara ini sangat sakral. Upacara akan dimulai dengan sembahyang di Pura Petilan.

Acara akan disambung dengan adu ayam di wantilan (paviliun khas Bali). Setelah selesai, masyarakat akan mengadakan arak-arakan berupa barong menuju Pura Pengerebongan. Barong merupakan simbol dari kebaikan bagi masyarakat Hindu.

Setelah masyarakat keluar dari pura, lalu diharuskan untuk mengelilingi wantilan sebanyak tiga kali. Ketika mengelilingi wantilan ini, peristiwa kesurupan massal pun terjadi.

Kesurupan Massal

Seorang warga yang tidak mengalami kesakitan saat tertusuk keris (sumber: triponnews.com)

Kesurupan massal merupakan hal yang wajar pada saat upacara adat Ngerebong. Bahkan, kesurupan massal dianggap sebagai puncak dari acara Ngerebong.

Mereka yang kesurupan akan menangis, berteriak, menari, atau bahkan melakukan hal ekstrem lainnya. Ada pula masyarakat yang menancapkan keris pada bagian tubuhnya, akan tetapi tidak terluka sama sekali. Yang lebih menarik adalah, mereka akan mengiringi ‘puncak acara’ tersebut dengan musik-musik tradisional.

Namun, tidak semua masyarakat yang menghadiri upacara akan mengalami kesurupan. Mereka yang tidak akan mengamankan masyarakat yang kesurupan agar tidak menimbulkan kerusuhan dan melukai banyak orang.

Ritual akan diakhiri pada saat matahari tenggelam. Sehingga, roh-roh yang masuk ke dalam tubuh masyarakat akan dipulangkan ke alamnya. Yaitu dengan melakukan sembahyang bersama serta menyiram air yang telah disucikan kepada masyarakat selepas kesurupan.

Tujuan

Ngerebong merupakan bentuk ritual sebagai penetralisir alam makrokosmos dan mikrokosmos. Dengan diadakannya tradisi Ngerebong, masyarakat tidak hanya memperingati peristiwa ekspansi Raja Kesimen tetapi juga menghindari malapetaka.

Upacara Ngerebong dilaksanakan sebagai upacara ritual dengan tujuan menyeimbangkan dua kekuatan yang bertentangan satu sama lain di alam semesta. Fungsi lainnya juga sebagai ungkapan rasa terimakasih kepada Tuhan atas berkah yang diberikan.

Selain makna religi, ada pula keseimbangan yang diciptakan. Keseimbangan tersebut berupa keharmonisan antar umat manusia, manusia dengan Tuhan, dan manusia dengan lingkungannya. 

Apakah kamu tahu? Berkat keunikannya, Ngerebong telah masuk ke dalam warisan budaya tak benda di tahun 2018, lho, Sobat Genpi! Bagi kamu yang penasaran namun belum ada kesempatan berkunjung, mari simak keseruan Ngerebong melalui video berikut:

Video Youtube: Upacara Ngerebong di Pura Agung Petilan Pengerebongan

Nah, bagi kamu yang ingin melihat langsung Tradisi Ngerebong, dapat langsung berkunjung ke Desa Kesiman, Bali. Pastikan kamu datang delapan hari setelah Hari Raya Kuningan. Waktu terbaik untuk berkunjung adalah sebelum acaranya dimulai, yakni sebelum jam 09.00 WITA.

Penulis: Nabila Cahya Pramita. Universitas Diponegoro. Peserta Magang GenPinas 2021

Advertisement

Terdapat sebuah tradisi unik yang ada di Bali, yaitu Tradisi Ngerebong Bali. Ngerebong adalah salah satu tradisi yang masih dipegang teguh oleh masyarakat Bali, khususnya oleh masyarakat yang ada di Desa Kesiman, Denpasar. Tidak hanya itu, tradisi ini juga menjadi daya tarik lain para wisatawan. Ngerebong sendiri merupakan bahasa Bali yang memiliki arti berkumpul. Pada saat tradisi Ngerebong diadakan, dipercaya jika para dewa sedang berkumpul. Tradisi Ngerebong akan diadakan setiap 6 bulan sekali sesuai dengan penanggalan Bali, yaitu setiap 8 hari setelah Hari Raya Kuningan, pada hari Minggu / Redite Pon Wuku Medangsia.

Pusat diadakannya Tradisi Ngerebong Bali berada di Pura Petilan, yang terletak di daerah Kesiman. Sebelum dimulainya acara puncak, biasanya masyarakat sudah memenuhi area acara. disana juga sudah terdapat beberapa suguhan seperti alunan musik tradisional, bunga-bungaan dalam tempayan cantik, serta penjor-penjor. Sebelum upacara dimulai, para pecalang atau yang biasa disebut polisi adat akan mengosongkan jalanan atau menutup jalan. Jalanan ditutup sebab upacara dan serangkaian tradisi ngerebong memang sakral.Untuk mengawali upacara ini, masyarakat akan sembahyang di Pura Petilan. Kemudian acara akan semakin ramai, karena dilanjutkan dengan adanya acara adu ayam di wantilan. Wantilan merupakan bangunan yang menyerupai bale-bale. Setelah itu masyarakat mengarak barong yang merupakan lambang kebaikan bagi masyarakat pennganut Hindu dan diarak menuju Pura Pengerebongan. Kemudian masyarakat juga keluar dari pura dan mengelilingi tempat adu ayam atau wantilan tadi sebanyak tiga kali.

"Ngerebong adalah sebuah pangilen yang dilaksanakan di Pura Agung Petilan untuk menciptakan keseimbangan dunia,” ujar salah satu tokoh sekaligus budayawan Desa Kesiman, I Gede Anom Ranuara. Lebih lanjut dijelaskannya, tradisi ini sudah dipatenkan sejak tahun 1937, namun telah dilaksanakan dengan kapasitas yang lebih kecil di area Kerajaan atau Puri Kesiman. Ada beberapa rangkaian yang wajib dilaksanakan sehubungan dengan Ngerebong. Yakni Ngerebek yang dilaksanakan pada Umanis Galungan, dilanjutkan dengan Pamendakan Agung pada Paing Kuningan, dan terakhir adalah Ngerebong.

Tradisi ini melibatkan semua Mangku Pepatih yang merupakan wilayah Desa Kesiman terdahulu. Dahulu diyakini Puri Kesiman memiliki wilayah yang sangat luas, hingga ke Desa Sanur dan Pemogan. “Jadi, yang tangkil ke Pura Agung Petilan saat pelaksanaan pangerebongan adalah Sesuhunan yang merupakan warih Puri Kesiman,” tutur Anom Ranuara.Dalam pelaksanaan Ngerebong, yang unik adalah Keris, Ngurek dan Penjor yang megah. Dalam tradisi ini, sejumlah pamedek trance (kasurupan) dengan menusukkan keris ke tubuhnya. Bahkan ada yang menusukkan di bagian matanya.

Berdasarkan buku hasil penelitian Sejarah Pura yang dilakukan IHD (kini UNHI) Denpasar tahun 1979, upacara Pangerebongan tergolong upacara bhuta yadnya atau pacaruan. Sehingga, upacara Pangerebongan itu bertujuan untuk mengingatkan umat Hindu melalui media ritual sakral untuk memelihara keharmonisan hubungan antarmanusia dengan Tuhannya, antara manusia dengan sesama umat manusia  dan dengan alam lingkungannya.

Prosesi upacara Pangerebongan dilakukan Redite Pon Medangsia sejak pagi, dan  dilakukan upacara tabuh rah. Tujuannya untuk membangkitkan guna rajah untuk di-somia atau diharmoniskan agar patuh dengan arahan guna sattwam. Dengan demikian guna rajah menjadi bersifat positif, memberi semangat untuk kuat menghadapi berbagai gejolak kehidupan. 

Selanjutnya para manca dan prasanak pengerob Pura Petilan di Kesiman dengan pelawatan berupa Barong dan Rangda semuanya diusung ke Pura Petilan untuk mengikuti upacara Pangerebongan. Sebelum ke Pura Petilan didahului dengan upacara panyucian di Pura Musen di sebelah timur Pura Petilan di pinggir barat Sungai Ayung. Selanjutnya, setelah kembali ke pura barulah upacara Pangerebongan dimulai. 

Diawali dengan upacara Nyanjan dan Nuwur. Tujuan upacara ini untuk memohon kekuatan suci Bhatara-Bhatari agar turun melalui pradasar-nya dari para umat dari para manca dan prasanak pangerob. Umumnya para pengusung rangda dan pepatihnya setelah dilakukan upacara Nyanjan dan Nuwur itu dalam keadaan trance (karauhan).  Selanjutnya semua pelawatan Barong dan Rangda serta para pepatih yang trance itu keluar dari Kori Agung, terus mengelilingi wantilan dengan cara prasawia tiga kali.

Mengelilingi dengan cara prasawia itu adalah para pelawatan Barong Rangda dan pepatihnya bergerak dari timur ke utara, ke barat, ke selatan dan kembali ke timur. Terus demikian sampai tiga putaran. 

Saat melakukan prasawia itu, para pepatih melakukan ngunying atau yang dipakai ngurek itu keris tajam yang sungguhan, dada para pepatih itu tak sedikit pun terluka. Kalau sudah acara prasawia ini selesai semuanya kembali ke Gedong Agung dengan upacara Pengeluwuran. Mereka yang trance kembali seperti semula.

Setelah upacara Pangeluwuran itu, maka dilanjutkan dengan upacara Maider Bhuwana Bhatara-Bhatari para Manca dan Prasanak Pangerob dengan semua pengiringnya kembali mengelilingi wantilan tiga kali dengan cara Pradaksina. Mengelilingi dengan cara Pradaksina berlawanan dengan cara Prasawia tadi. Selanjutnya upacara mengelilingi wantilan dengan cara Pradaksina atau mengikuti arah jarum jam.

Pradaksina ini dilakukan tiga kali sebagai simbol pendakian hidup dari Bhur Loka menuju Bhuwah Loka dan yang tertinggi menuju Swah Loka, yaitu alam kedewatan. Karena itulah upacara ini disebut upacara Maider Bhuwana mengelilingi alam semesta. Setelah selesai mengelilingi wantilan dengan Pradaksina semuanya kembali ke Jeroan Pura. Adanya prosesi Prasawia dan Pradaksina dalam upacara Pengerebongan di Pura Petilan Kesiman ini sangat menarik untuk dipahami makna filosofinya. Prosesi Prasawia bermakna untuk meredam aspek Asuri Sampad atau kecenderungan keraksasaan, sedangkan Pradaksina sebagai simbol untuk menguatkan Dewi Sampad, yaitu kecenderungan sifat-sifat kedewaan. Kalau kecenderungan keraksasaan (Asuri Sampad) berada di bawah kekuasaan Dewi Sampad, maka manusia akan menampilkan perilaku yang baik dan benar dalam kehidupan kesehariannya.

(Dikutid dari berbagai sumber)

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA