Apakah larangan yang dikeluarkan pemerintah dapat terlaksana dengan baik di sekitar kalian

Apakah larangan yang dikeluarkan pemerintah dapat terlaksana dengan baik di sekitar kalian

tidak, karena rokok itu salah satu suplay paling banyak dana Negara

ROKOK sudah lama membudaya di dalam masyarakat Indonesia yang turut memengaruhi perilaku masyarakat.

Kebiasaan merokok dianggap wajar di kalangan masyarakat dapat dilihat dari kemudahan mengakses rokok, yang telah menjadi kebutuhan bahkan gaya hidup.

Rokok yang terbuat dari tembakau yang dibudidayakan di Indonesia juga telah menjadi bagian dari tradisi dalam menjalin keakraban sosial, misalnya rokok kretek.

Akan tetapi, kebiasaan merokok ternyata juga berbanding lurus dengan jumlah perokok di Indonesia yang terus meningkat.

Dalam asap rokok, zat yang paling membahayakan bagi perokok adalah TAR yang dihasilkan dari proses pembakaran.

Ada lebih dari 7.000 macam senyawa kimia dalam TAR, sebagian di antaranya berbahaya terhadap kesehatan.

Kita tentu sudah tahu bahaya merokok yang juga ditulis pada setiap bungkus rokok, mulai dari kanker, jantung, kolesterol, komplikasi diabetes, gigi menguning, keguguran, gangguan mata, dan lainnya.

Namun, yang menjadi pertanyaan mendasar mengapa larangan sudah dicantumkan di bungkus rokok, bahkan melalui pamflet di pinggir jalan secara besar-besaran tetapi tidak memberikan dampak secara efektif? Apakah ada yang salah dengan cara seperti itu?

Efektifitas komunikasi simbol yang disampaikan melalui gambar atau bahkan narasi sangat tergantung dari sisi budaya, pendidikan maupun adat istiadat.

Budaya masyarakat kita kurang gemar membaca, lebih patuh pada bahasan lisan langsung oleh seorang tokoh atau bahkan langsung diperlihatkan dampak negatifnya pada penderita.

Kurang efektifnya larangan rokok ini terlihat dari tren masih terus meningkatnya jumlah perokok di Indonesia dan prevalensi merokok yang masih tinggi.

Selain komunikasi simbol, pemerintah Indonesia juga telah melakukan upaya-upaya lain, yaitu mengenakan cukai pada rokok dan produk tembakau lainnya, menaikkan harga jual eceran (HJE) rokok, penyuluhan kesehatan kepada masyarakat dan klinik berhenti merokok, pembatasan iklan dan promosi rokok, hingga penerapan Kawasan Tanpa Rokok (KTR).

Berdasarkan laporan Southeast Asia Tobacco Control Alliance (Seatca) berjudul The Tobacco Control Atlas tahun 2019, jumlah perokok di Indonesia sebanyak 65,19 juta orang menempatkan Indonesia sebagai negara dengan jumlah perokok terbanyak di Asia Tenggara.

Selain itu, menurut data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, jumlah perokok di atas 15 tahun sebanyak 33,8 persen dari jumlah tersebut 62,9 persen merupakan perokok laki-laki dan 4,8 persen perokok perempuan.

Data tersebut juga menunjukkan peningkatan prevalensi merokok menjadi 9,1 persen dibandingkan 7,2 persen pada tahun 2013.

Kenaikan prevalensi merokok ini dapat menjadi momok bagi pemerintah karena menimbulkan beban kesehatan dan hilangnya kesempatan bonus demografi.

Dengan jumlah yang sangat besar itu sungguh bisa menjadi beban pemerintah. Jika 10 persen saja berakibat pada penyakit kronis, akan ada sekitar 6,5 juta orang yang menggunakan BPJS dengan biaya pengobatan yang sangat besar.

Untuk mencari solusinya, kita harus memahami akar permasalahan penyebab tingginya jumlah perokok dan prevalensi merokok di Indonesia, yakni tradisi dan budaya merokok yang melekat di masyarakat.

Apakah larangan yang dikeluarkan pemerintah dapat terlaksana dengan baik di sekitar kalian
Pertimbangan pemerintah dalam melindungi anak terhadap dampak tembakau yaitu rokok beserta zat adiktif yang dikandungnya merupakan landasan bagi Pemerintah Indonesia untuk mengendalikan masalah rokok. Undang-undang nomor 23/2002 tentang Perlindungan Anak, pasal 59 dan 67 menyatakan secara tegas bahwa pemerintah dan lembaga negara lainnya wajib bertanggung jawab memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, dimana salah satunya adalah anak yang menjadi korban penyalahgunaan zat adiktif, termasuk rokok.

Demikian disampaikan Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (PP dan PL) Kemenkes RI, Prof. dr. Tjandra Yoga Aditama SpP(K), MARS, DTM&H, DTCE, melalui surat elektroniknya kepada Pusat Komunikasi Publik, (15/9).

“Undang-undang Nomer 36 tahun 2009 tentang Kesehatan pasal 113 ayat 2 secara tegas menyatakan bahwa zat adiktif meliputi tembakau, produk yang mengandung tembakau”, ujar Prof. Tjandra.

Prof. Tjandra menambahkan, pada pasal 67 Undang-undang perlindungan anak menyatakan perlindungan khusus terhadap bahan yang mengandung zat adiktif berupa produk tembakau, dilaksanakan secara terpadu dan komprehensif melalui kegiatan pencegahan, pemulihan kesehatan fisik dan mental serta pemulihan sosial.

“Dalam hal pencegahan, upaya yang dapat dilakukan yaitu dengan menjauhkan anak dari akses rokok, perlindungan dari sasaran pemasaran industri rokok (dengan pelarangan iklan, promosi dan sponsor rokok), pemberian informasi yang benar tentang bahaya rokok (edukasi, peringatan kesehatan bergambar ) dan perlindungan dari terpapar asap rokok”, jelas Prof. Tjandra.

Lebih lanjut, Prof. Tjandra menerangkan bahwa Pemerintah telah menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pengamanan Produk Tembakau sebagai zat adiktif bagi Kesehatan.

“Rancangan Peraturan Pemerintah tersebut mengatur implementasi penerapan pasal-pasal mengenai  pengendalian produk tembakau secara lebih terperinci. Hal fundamental yang ingin dicapai melalui RPP adalah perlindungan kesehatan masyarakat Indonesia dari dampak buruk rokok dan produk tembakau lainnya”, terang Prof. Tjandra.

Prof Tjandra menerangkan, hal-hal yang diatur dalam RPP tentang Pengamanan Produk Tembakau sebagai Zat Adiktif bagi Kesehatan, yaitu: Pencantuman peringatan bahaya kesehatan berupa gambar dan tulisan sebesar 40% pada masing-masing sisi depan dan belakang pada bungkus rokok; Larangan pencantuman informasi yang menyesatkan, termasuk kata light, ultralight, mild, extra mild, low tar, slim, full flavor dan sejenisnya; Penerapan Kawasan Tanpa Rokok (KTR), termasuk ketentuan bahwa tempat khusus untuk merokok di tempat kerja dan tempat umum, harus merupakan terbuka dan berhubungan langsung dengan udara luar; Larangan iklan, promosi dan sponsorship; serta pengendalian iklan produk tembakau dan iklan di media penyiaran, karena berbagai studi yang menunjukkan sasaran iklan adalah anak-anak dan remaja.

“Hal yang perlu digarisbawahi adalah RPP ini merupakan sebuah perlindungan bagi anak-anak dan ibu hamil. RPP ini mengatur penjualan produk tembakau kepada anak di bawah usia 18 tahun. Pelarangan ini dimaksudkan untuk mempersempit jangkauan anak untuk memperoleh produk tembakau serta menghindarkan penjualan kepada anak dibawah umur”, tambah Prof. Tjandra.

Prof. Tjandra menyampaikan, menurut data hasil Global Adult Tobacco Survey (GATS) 2011, persentase perokok aktif di Indonesia mencapai 67% (laki-laki ) dan 2.7% (perempuan) dari jumlah penduduk, terjadi kenaikan 6 tahun sebelumnya perokok laki-laki sebesar 53 %. Data yang sama juga menyebutkan bahwa 85.4% orang dewasa terpapar asap rokok ditempat umum, di rumah (78.4%) dan di tempat bekerja (51.3%).

“Mereka yang merokok dirumah sama dengan mencelakakan kesehatan anak dan istri”, tegas Prof. Tjandra.

Dengan diterbitkannya Undang-undang  36 tahun 2009 tentang Kesehatan khusunya pasal 113 sampai pasal 116 jelas menunjukkan keseriusan pemerintah dalam upaya pengendalian dampak tembakau. Selanjutnya, penyebarluasan strategi perluasan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) dalam Peraturan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri Nomor 88/Menkes/PB/I/2011, nomor 7 tahun 2011 disepakati bahwa salah satu tatanan kawasan tanpa rokok adalah tempat proses belajar mengajar, tempat anak bermain, dan tempat-tempat umum yang dapat diakses oleh masyarakat umum, termasuk anak-anak.

“Kebijakan Kawasan Bebas Asap Rokok, telah diidentifikasi sebagai intervensi efektif di tingkat daerah dalam strategi pengendalian penyakit tidak menular (PTM). Ditergetkan dapat mencakup 497 Kabupaten/Kota yang memiliki kebijakan 100% Bebas Asap Rokok pada 2014”, ujar Prof. Tjandra.

Dalam upaya pengendalian tembakau, upaya advokasi  perlu dirancang, diantaranya melalui pemberdayaan masyarakat dan legislasi Peraturan Daerah (PERDA). Kementerian Kesehatan pada tahun 2012 telah melakukan advokasi ke beberapa provinsi dan kabupaten/kota terkait pengembangan KTR.

“Sampai dengan saat ini sekitar 76 Kabupaten/Kota yang telah diadvokasi. beberapa diantara Kabupaten/Kota tersebut telah menyampaikan keinginannya untuk mengembangkan kebijakan terkait pengembangan KTR. Saat ini tercatat sudah sekitar 32 Kabupaten/Kota memiliki kebijakan KTR, serta 3 Provinsi DKI Jakarta, Bali, dan Sumatera Barat”, kata Prof. Tjandra.

Kemenkes juga menyelenggarakan peringatan Hari Tanpa Tembakau Sedunia (HTTS) setiap tahun dengan berbagai variasi acara/event anti merokok yang diminati oleh generasi muda. Selain itu, tengah dikembangkan dan dikumandangkan ”Gerakan Sekolah Sehat Tanpa Asap Rokok” bersama Usaha Kesehatan Sekolah (UKS).

“Hal yang sangat butuh diperjuangkan adalah perlindungan generasi muda dari gencarnya iklan, promosi dan sponsor rokok yang sangat mempengaruhi keiinginan generasi muda untuk mulai merokok”, tandas Prof. Tjandra.

Berita ini disiarkan oleh Pusat Komunikasi Publik Sekretariat Jendral Kementrian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi melalui nomor telepon: (021)52907416-9, faksimili: (021)52921669, Pusat Tanggap Respon Cepat (PTRC): <kode lokal> 500-567 dean 081281562620 (sms), atau e-mail