Apakah dalam Gereja Katolik imam bisa perempuan?

Share on FacebookShare on Whats AppShare on Twitter

Salah satu issue hangat dalam Gereja Katolik sejak awal Abad XX hingga sekarang ini ialah tentang tahbisan imam perempuan. Tema ini menghangat akhir-akhir ini sejak Sinode Amazonia (Oktober 2019 lalu), di mana mayoritas suara setuju kemungkinan menahbisan pria awam yang telah beristri maupun tahbisan perempuan, karena kelangkaan imam dan besarnya kebutuhan umat di wilayah terpencil seperti di Amerika Latin.

Tulisan ini menyoal issue tahbisan perempuan. Pro dan kontra tentang issue ini bukanlah hal baru yang mengejutkan. Di sini kami sarikan argumen kontra berdasarkan dua dokumen, yaitu pandangan Konggregasi Suci Ajaran Iman berjudul Inter insigniores (1976) yang dikeluarkan oleh Paus Paulus VI dan Surat Apostolik Paus Yohanes Paulus Kedua, Ordinatio Sacerdotalis (1994).

Panggilan menjadi Imam bukan soal kesetaraan gender. Fokus pembicaraan tentang tahbisan imam ialah panggilan Tuhan. Panggilain itu sesuatu yang luhur dari pihak Tuhan. Tema panggilan itu berbeda dengan tema kesetaraan kodrat manusia perempuan dan laki-laki. Meyakini bahwa manusia itu citra Allah jelas berarti bahwa pria dan wanita setara martabatnya di hadapan Tuhan.

Sedangkan dalam tema panggilan ilahi, kita berbicara tentang kehendak Tuhan untuk memanggil dan memilih seseorang, entah perempuan entah laki-laki. Nah, jika Tuhan memutuskan untuk memanggil seorang pria, itu sama sekali bukan karena wanita tidak setara dengan laki-laki.

Yesus yang memilih, bukan Gereja. Berbicara tentang panggilan Tuhan, iman Kristen meyakini bahwa panggilan itu terwujud dalam pernyataan diri Allah kepada persekutuan umat yaitu Gereja, jadi bukan untuk individu tertentu saja. Dalam konteks hidup Gereja Kristen, Yesus telah secara bebas memanggil dua belas orang murid yang semuanya pria (bahasa Latin: viri).

Kelompok 12 orang Rasul yang semuanya pria itu dipanggil dan dikumpulkan oleh Yesus sendiri, bukan atas kemauan Gereja yang terbentuk kemudian. Pertanyaan mengapa Yesus memilih hanya pria tentu tidak relevan, karena tidak ada pendasaran bagi siapapun untuk menjawabnya.

Sulitnya menjawab pertanyaan tersebut (mengapa Yesus memilih hanya pria) sesulit menjawab pertanyaan-pertanyaan lain seperti ini: Mengapa Tuhan hadir di dunia sebagai Yesus orang Yahudi, dan bukan seseorang dari benua Asia atau Afrika? Mengapa Yesus dan para murid makan roti dan minum anggur pada Perjamuan Terakhir, dan bukan makanan lain yang lebih cocok dengan kultur kuliner kita? Pertanyaan-pertanyaa konyol sekaligus serius semacam itu tentu dapat ditambahkan lagi.

BacaJuga

Inilah Mukjizat dalam Ekaristi

Pengajaran Roti Hidup Bermakna Mendalam

St. Ireneus tentang Dua Tangan Allah

Mengapa Dosa Melawan Roh Kudus Tidak Diampuni?

Maria Citra Allah Tritunggal Maha Kasih. Begini Penjelasannya.

Dogma Maria Perawan

Imam itu in persona Christi. Seorang imam menghadirkan diri Kristus melalui tugas pelayanannya. Ia adalah gambaran konkret seluruh diri-pribadi Yesus Kristus. Diri Yesus, laki-laki dari Nazaret itu hendaknya tampak dalam diri seorang imam Tuhan. Apakah ini sebuah diskriminasi dari Gereja bagi perempuan. Tentu tidak! Sebab panggilan Tuhan tidak didasarkan pada pertimbangan gender.

Gereja meyakini bahwa sejak awal Yesus memanggil orang-orang yang dikehendaki-Nya (Mrk 3: 13), dan mereka itu mewariskan tugas pelayanan sampai ke Gereja sekarang ini.

Terkait ciri persona Christi itu, hendak ditegaskan pula bahwa panggilan iman bukan sebuah karier, entah karena bakat dan keberahasilan seseorang atau atas promosi sosial. Dalam hal ini disadari bahwa kekeliruan mengidentikkan imamat dengan karier dalam hidup para imam perlu dikoreksi.

Sikap Yesus dan Gereja.Tidak sulit menemukan teks-teks PB yang menunjukkan bahwa Yesus menaruh hormat pada perempuan. Ia mengasihi mereka, membela hak-hak mereka, dan menampakkan diri kepada mereka setelah bangkit dari maut. Di tengah budaya Judais yang cenderung mengabaikan hak-hak perempuan, Yesus justru konsisten membela kesetaraan.

Sikap Yesus itu diperjuangkan terus dalam Gereja, tentu dengan jatuh bangunnya. Dan patut diakui bahwa Gereja sudah terus berusaha melibatkan partisipasi perempuan dalam reksa pastoral.

Di Indonesia misalnya mudah saja menemukan bahwa banyak perempuan terlibat aktif membantu pelayanan seputar altar; melayani jemaat dalam kelompok kategorial, katekese dan pendidikan bagi berbagai kelompok jemaat, serta pertisipasi dalam oraganisasi gerejawi.

Dengan kata lain, Gereja memberi tempat yang luas bagi siapapun yang mau terlibat aktif dalam pelayanan Gereja. Berjuta kemungkinan pun terbentang di hadapan Gereja, sejalan dengan perubahan konteks dan cara hidup manusia, termasuk kemungkinan perlunya imam perempuan.

Bunda Mari juga bukan Imam. Yohanes Paulus II dalam Ordinatio Sacerdotalis, mengingatkan bahwa, juga figur Bunda Maria yang begitu penting dan dihormati dalam karya keselamatan Allah sekalipun tidak ditetapkan Gereja sebagai Rasul dan Imam. Poin ini mengandung penegasan bahwa panggilan menjadi imam adalah warisan Imam Agung Kristus, dan bukan pertama-tama atas wewenang Gereja.

Akhirnya patut diingat bahwa dalam konteks ini kita sedang berbicara tentang pandangan Gereja Katolik Roma, yang tentu berbeda dengan ajaran Katolik Ortodoks atau Gereja Protestan.

Tags: imamimam katolikimamatin persona christipanggilanPaus Fransiskus