Apakah benar wanita tercipta dari tulang rusuk pria?

Apakah benar wanita tercipta dari tulang rusuk pria?
Apakah benar wanita tercipta dari tulang rusuk pria?

Perempuan Tercipta Dari Tulang Rusuk

Oleh: Hikmalisa*

Kita sering membaca dan mendengar bahwa perempuan adalah sosok yang tercipta dari tulang rusuk laki-laki. Hingga pada satu titik, pernyataan tersebut seolah menjadi sebuah aksioma yang tidak perlu dipertanyakan lagi kebenarannya. Kita dengan mudah menemukan diktum tersebut dalam lirik-lirik lagu, mulai dari lagu dangdut yang disenandungkan oleh Rita Sugiharto sampai lagu populer yang ditulis oleh mantan vokalis Kerispatih, Sammy Simorangkir.

Namun, sebagai muslim, pernahkah kita mempertanyakan kebenaran pernyataan tersebut berdasarkan al-Quran? Adakah ayat al-Quran yang secara khusus mengafirmasi atau minimal mendukung hal tersebut?

***

Sebelum menjawab hal tersebut, mari kita tinjau sekilas bagaimana al-Quran menjelaskan konsep penciptaan manusia. Menurut Hamim Ilyas, dalam tradisi pemikiran Islam dan studi tafsir setidaknya dikenal empat model penciptaan manusia secara umum dalam al-Quran, antara lain: (1) Diciptakan dari tanah yakni penciptaan Nabi Adam. Model ini didasarkan pada QS. Fathir [35]: 11, QS. as-Saffât [37]: 11, dan QS. al-Hijr [15] 26; (2) Penciptaan Nabi Isa dengan tanpa disebabkan oleh hubungan biologis. Hal ini dilandaskan pada QS. Maryam [19]: 19-22; (3) Penciptaan melalui proses kehamilan karena adanya hubungan biologis. Ayat yang dijadikan rujukan adalah QS. al-Muminûn [23]: 12-14; dan (4) Penciptaan Hawa dari (tulang rusuk) Adam. Dalil yang berkaitan hal ini didasarkan pada QS. an-Nisâ [4]: 1, QS. al-Arâf [7]: 189, dan QS. az-Zumar [39]: 6.

Uniknya, di antara model-model tersebut, model keempat merupakan satu-satunya yang tidak memiliki penjelasan secara eksplisit di dalam al-Quran. Mekanisme asal-usul kejadian Adam dan Hawa memang tidak dibedakan secara tegas dalam al-Quran. Bahkan kata Hawa, yang dipahami sebagai istri dari Nabi Adam, justru tidak pernah dikenalkan oleh al-Quran. Nama Hawa, oleh pakar, diperoleh dari sebuah kisah yang terkenal di kalangan ahli kitab (Abdulradi, 2006: 14).

Baca Juga:Lima Nilai Kesetaraan Laki-Laki dan Perempuan menurut Al Yasa Abubakar

Lantas dari manakah penafsiran tersebut muncul? Secara redaksional, ayat pertama surah An-Nisâ, yang sering menjadi wacana, pada dasarnya sangat potensial untuk dimaknai secara beragam, khususnya penafsiran mengenai kalimat nafs wâhidah dan kalimat zawjahâ yang terdapat di dalamnya sebagaimana berikut:

يأيها الناس اتقوا ربكم الذي خلقكم من نفس واحدة وخلق منها زوجها وبث منهما رجالا كثيرا ونساء والتقوا الله الذي تساءلون به والارحام إن الله كان عليكم رقيبا

Artinya, Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakanmu dari nafs wâhidah, dan dari padanya Allah menciptakan zawj-nya; dan daripada keduanya Allah mengembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu (QS. an-Nisâ [4]: 1).

Perbedaan Tafsir

Perbedaan penafsiran mengenai makna kalimat nafs wâhidah dan kalimat zawjahâ tersebut melahirkan dua model teori penciptaan awal perempuan. Pertama, perempuan diciptakan dari satu sumber, yakni Adam. Kedua, perempuan tidak diciptakan dari tulang rusuk laki-laki, melainkan dari unsur atau elemen lain yang setara dengan subtansi penciptaan Adam (Umar, 1999: 226-8).

Perdebatan mengenai hal ini telah ada sejak masa klasik. Kelompok pertama, yang merupakan mayoritas, mengatakan makna nafs wâhidah adalah Adam dan zawjahâ adalah Hawa. Beberapa penafsiran yang termasuk dalam kelompok ini di antaranya Tafsir al-Qurtubi, Tafsir Ibn Kasir, Tafsir Ruh al-Bayan, Tafsir al-Kasysyaf, Tafsir al-Maraghi, Tafsir al-Wasith, Ruh al-Maani, al-Asas fi al-Tafsir, dan lain-lain. Secara umum, para mufasir ini melandaskan pendapat mereka pada beberapa hadis yang mengisyaratkan bahwa perempuan (Hawa) diciptakan dari tulang rusuk Nabi Adam.

Baca Juga:Tafsir Hunna Hartsul Lakum: Benarkah Istri adalah Ladang Suami? (Bagian 1)

Sedangkan kelompok kedua memahami penciptaan perempuan bukan dari tulang rusuk Adam, melainkan dari jenis (jins) Adam. Kelompok ini lebih memilih untuk memamahami hadis tadi sebagai metafora (kiasan). Salah satu mufasir klasik yang masuk dalam kelompok ini adalah ar-Razi. Dengan mengutip pendapat Abu Muslim al-Isbahani (w.332 H), ar-Razi menjelaskan bahwa kata ganti (damir) hâ pada kalimat minhâ dalam ayat tersebut adalah jenis Adam bukan bagian tubuh Adam. Analisis tersebut juga dikaitkannya dengan kata nafs yang terdapat dalam QS. an-Nahl [16]: 78, QS. ali-Imran [3]: 164, dan QS. at-Taubah [9]: 128 (ar-Razi, II: 478).

Namun, perdebatan dua kelompok ulama klasik di atas pada dasarnya lebih dimaksudkan untuk memverifikasi teori monogenisme yang mengacu pada satu sumber asal manusia daripada mempersoalkan status perempuan (Irsyadunnas, 2014: 172).

Pergeseran Diskursus

Hal ini berbeda dengan diskursus yang dikembangkan oleh feminis Muslim modern. Bagi mereka, penafsiran mayoritas ulama klasik yang tergolong dalam kelompok pertama memiliki kesan bahwa status perempuan lebih rendah dari laki-laki sehingga sangat potensial merugikan bagi pihak perempuan.

Konsekuensi ini muncul karena perempuan diciptakan dari sumber yang tidak sempurna, yakni tulang rusuk laki-laki. Bagi mereka, pemahaman seperti ini menggiring pada kesimpulan bahwa penciptaan perempuan sangat tergantung pada penciptaan laki-laki: jika laki-laki tidak atau belum diciptakan oleh Allah, maka perempuan tidak akan pernah tercipta. Di antara feminis Muslim tersebut antara lain adalah Asghar Ali Engineer dan Riffat Hassan.

Baca Juga:Pergeseran Peran Perempuan di Era Milenial

Dengan demikian, bagaimana sebaiknya kita menyikapi perbedaan dan perdebatan mengenai asal-usul penciptaan perempuan dalam al-Quran ini? Bagaimanapun hebat dan majunya teknologi yang dikembangkan manusia nantinya, mustahil rasanya akan dapat membuktikan secara nyata dan pasti bagaimana proses Tuhan menciptakan perempuan pertama, apakah dari tulang rusuk atau dari unsur yang sama dengan laki-laki. Ayat al-Quran yang dapat dijadikan rujukan mengenai hal ini pun, sebagaimana dijelaskan di atas, nyatanya multi-interpretasi. Agaknya, membiarkan perbedaan penafsiran ini merupakan salah satu sikap yang bijak.

Namun, seperti yang ditegaskan oleh Dona Kahfi (2017), persoalan apakah manusia pertama diciptakan adalah laki-laki dan perempuan diciptakan dari bagian tubuh laki-laki pada dasarnya tidak mutlak membuktikan superioritas laki-laki atas perempuan atau bahkan sebaliknya, selama penafsiran dan pemahaman seperti itu tetap disertai dengan pemahaman bahwa laki-laki dan perempuan memiliki fungsi yang sama dalam membentuk peradaban umat manusia.

Titik Temu

Dengan demikian, perbedaan apa pun (baca: termasuk jika seandainya ada perbedaan dalam penciptaan) antara laki-laki dan perempuan, tidak boleh dijadikan legitimasi atas pemahaman apalagi perilaku ketidakadilan gender, baik dalam bentuk marginalisasi, subordinasi, stereotip, kekerasan, maupun beban kerja ganda.

Baca Juga:Titik Temu Kesetaraan Gender

Lebih dari itu, secara kodrati, manusia diciptakan Tuhan secara berpasang-pasangan: laki-laki dan perempuan. Esensi dari penciptaan yang berpasangan itu, bertujuan untuk saling melengkapi. Setiap anggota pasangan mensyaratkan adanya anggota pasangan lain dan keduanya berdiri atas dasar pasangan tersebut. Seorang laki-laki baru dapat dikatakan suami jika dikaitkan dengan istri. Demikian pula sebaliknya. Artinya, keberadaan dari salah satu anggota pasangan ditentukan oleh anggota pasangan lainnya.

*Dosen UIN Sunan Kalijaga