Apa yang kamu ketahui tentang filtrasi budaya

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Tentunya kita tak lupa dengan sosok yang menurut saya fenomenal dalam dunia politik, dunia Islam dan beliau merupakan tokoh yang memperjuangkan Pluralisme yang bersandarkan pada toleransi serta beliau sebagai pejuang demokrasi yang konsisten di negeri ini, beliau seorang ulama sekaligus politisi. Beliau adalah KH.Abdurrahman Wahid, yang lebih dikenal sebagai "Gusdur", Presiden ke-4 Republik Indonesia. Kenapa saya disini memaparkan sosok Gusdur dalam catatan saya yang berjudul "Antara Islam dan Budaya Arab", karena banyak buah fikiran beliau yang saya kutip dalam catatan saya ini.

Masih hangat ditelinga kita, meme Gusdur yakni : "Islam datang bukan untuk mengubah budaya leluhur kita jadi budaya Arab... Bukan untuk AKU menjadi ANA... SAMPEYAN menjadi ANTUM... SEDULUR menjadi AKHI... Kita pertahankan milik kita, kita harus filtrasi ajarannya, tapi bukan budayanya". Dan pastinya akan banyak yang menuduh Gusdur anti arab. Jawabannya tidak, dan kita ketahui, nama Gusdur itu arab, dan sekolahnya juga di Timur-Tengah, di Mesir dan Iraq. Bahkan konon saat dia sedang menempuh studi sastra di Iraq, dia sering mengirim surat cinta dengan romantisme-romantisme ala arab, dengan mengutip syair-syair arab, ini bukti beliau sangat menghargai budaya arab.

Gusdur menurut saya hanya ingin melakukan pemahaman dengan analisa-analisanya bahwa Islam datang di nusantara, bukan serta-merta mengubur dalam-dalam budaya lokal. Menurut Gusdur arab itu budaya, dan sama kedudukannya dengan budaya-budaya di seluruh belahan dunia, Islam bukan identik dengan Islam. Tidak bisa kita bayangkan Indonesia yang kaya akan seni, adat, budaya dan memiliki kearifan lokal masing-masing, akan di eliminir karena datangnya Islam?.. Islam yang menggerus budaya lokal, atau pemahaman yang tidak tepat, karena tak bisa memfiltrasi Islam dari budaya arab?.. coba kita berimajinasi kedepan saat filtrasi ini tak berjalan, maka bangsa ini akan kehilangan identitasnya dan anak cucu kita akan minim referensi akan kekayaan budaya Indonesia. Tentunya kita juga tak ingin secara serampangan menginterpretasikan akulturasi budaya, dengan memaksakan mengedepankan budaya di depan agama, maka kita harus pandai memilah, mana budaya yang tak bertentangan dengan nilai-nilai Islam yang kita bersepakat untuk mempertahankannya.

Dan tak lupa disini kami tetap menghargai mereka yang ingin mengadopsi budaya arab, karena disini tidak ada tendensi pelarangan berkembangnya suatu budaya asing, selama tidak mengandung unsur mudarat yang kompleks. Arab sebagai "lokasi" yang dipilih Allah, sebagai cikal-bakal Islam, bukan berarti budaya arab lebih kita utamakan dari budaya yang lain, dan lantas akan lebih Islami karena berjubah, bersorban, atau pakai anta, antum, akhi, milad, ahad dan lainnya. Nabi Muhammad memang arab, tapi musuh nabi juga arab, Abu Jahal dan Abu Lahab juga bersurban dan berjubah, pakek antum, akhi dan sebagainya, lantas bagaimana kita memposisikan hubungan keduanya, yakni antara Islam dan arab??

Artinya Islam agama yang universal, bagaimana ke universalannya di ekspresikan dalam konteks sejarah tertentu, termasuk di Indonesia. Dan ijinkan saya mengutip kembali ide-ide Gusdur, yakni "Pribumisasi Islam" ke Islaman yang mengakomodasi dan menyerap budaya lokal, tapi tetap pada prinsip-prinsip budaya yang tak bertentangan dengan ajaran Islam. Dengan prinsip-prinsip universalisme Islam yang di jabarkan dalam ide "Pribumisasi Islam" ala Gusdur, maka akan memperkaya peradaban Islam, yang kelak tak hanya bersumber dari belahan bumi di Timur-Tengah saja, tapi bisa juga dilihat dari Indonesia, Eropa dll kekayaan peradaban Islam tersebut. Pribumisasi Islam di Indonesia akan beda dengan pribumisasi islam di arab, dan juga akan beda dengan pribumisasi Islam era sekarang dengan pra-modern, karena konteks sejarahnya berbeda.

"Antara Islam dan Budaya Arab" adalah sebuah penegasan akan pentingnya interpretasi universalisme Islam dalam konteks setempat, dan itu artinya penegasan tentang Islam untuk kaum muslim Indonesia, bukan Islam Arab. Hanya dengan cara itulah justru terbukti bahwa Islam relevan untuk setiap masa dan tempat.

~sumber:

www.gusdur.net

kultweet @Sahal_AS (pengurus NU cabang istimewa Amerika-Kanada)

Tahukah kalian bagaimana air mineral yang setiap hari kita minum dikatakan aman untuk dikonsumsi? Padahal zat-zat yang ada di alam umumnya masih tercampur dengan zat-zat lainnya. Untuk itulah diperlukan pengolahan air yang bertujuan menghasilkan air yang memenuhi standar kesehatan. Pengolahan air yang dilakukan ini harus terlebih dahulu melalui sebuah metode, yang dipanggil metode pemisahan campuran.

Campuran sendiri memiliki sifat fisika seperti ukuran partikel, berat molekul, dan titik didih. Oleh karena itu, campuran dapat dipisahkan berdasarkan sifat fisiknya tersebut.

Ada beberapa metode yang digunakan untuk memisahkan campuran berdasarkan sifat fisikanya, yaitu metode penyaringan (filtrasi), metode pengkristalan (kristalisasi), metode penyubliman (sublimasi), kromatografi, dan penyulingan (distilasi).

Dalam artikel kali ini, kita akan bahas satu persatu mengenai metode pemisahan camputan tersebut:

  • Metode Penyaringan (Filtrasi)

Penyaringan adalah metode yang digunakan untuk memisahkan cairan dan padatan yang tidak larut dalam cairan dengan melewatkannya pada saringan berpori. Umumnya, campuran disaring menggunakan kertas saring yang ditaruh dalam corong gelas.

Padatan dengan ukuran partikel besar yang tidak larut akan tertinggal di kertas saring sedangkan cairan dengan ukuran partikel lebih kecil dari pori-pori kertas saring akan melewati kertas saring. Padatan yang tertinggal di kertas saring disebut residu dan cairan yang dapat melewati kertas saring disebut filtrate.

(Baca juga: Mengenal 4 Macam Hukum Gas)

Contohnya: memisahkan air the dari batang dan daun teh dengan menggunakan penyaring teh.

  • Pengkristalan (kristalisasi)

Kristalisasi adalah cara pemisahan campuran antara zat padat terlarut dalam larutan dengan cara menguapkan pelarutnya. Contohnya, membuat garam dapur dari air laut. Prosesnya memerlukan terik matahari untuk menguapkan air laut yang terdapat dalam tambak-tambak garam di pinggir pantai.

Metode pemisahan campuran yang satu ini adalah cara pemisahan campuran antara zat padat dengan zat padat yang mudah menyublim. Prinsip kerja sublimasi adalah mengubah zat padat menjadi gas dengan dipanaskan. Lalu gas yang terbentuk segera didinginkan sehingga gas berubah menjadi Kristal padat kembali.

Contohnya, memisahkan kapur barus yang bercampur dengan pasir. Pemisahan ini dilakukan dengan memanaskan campuran kapur barus yang kotor sehingga kapur barusnya menguap sedangkan pasirnya tidak ikut menguap. Selanjutnya uap kapur barus didinginkan sehingga uap kapur barus menyublim berubah menjadi kristal kapur barus yang berwarna putih.

Kromatografi adalah cara pemisahan campuran berdasarkan perbedaan koefisien difusi atau kecepatan perambatan dari komponen-komponen zat dalam suatu medium tertentu. Pada kromatografi komponen-komponen zat akan dipisahkan antara dua buah fase yaitu fase diam dan fase gerak.

Distilasi adalah proses pemisahan campuran antara zat cair dengan zat cair berdasarkan perbedaan titik didihnya. Penyulingan bertingkat digunakan untuk pengolahan minyak bumi sehingga dapat memisahkan minyak bumi menjadi fraksi-fraksi minyak bumi seperti LPG, bensin, minyak tanah, solar, lilin, maupun aspal.

Dalam filsafat Marxis, hegemoni budaya adalah dominasi terhadap masyarakat ragam-budaya oleh kelas penguasa yang membentuk (atau memanipulasi) budaya masyarakat tersebut —dari sisi keyakinan, persepsi, nilai-nilai, dan adat istiadat— sehingga pandangan kelompok tertentu menjadi norma budaya umum tanpa paksaan. Norma umum yang terbentuk ini kemudian menjadi ideologi dominan yang sah secara universal dan membenarkan status quo di bidang sosial, politik, dan ekonomi sebagai sesuatu yang alami, tak terelakkan, abadi, dan memiliki kesan bermanfaat bagi semua orang, walaupun terkadang manfaatnya lebih banyak menguntungkan kelompok penguasa yang dominan.[1][2]

Apa yang kamu ketahui tentang filtrasi budaya

Intelektual Marxis Antonio Gramsci (1891-1937) mengembangkan teori hegemoni budaya yang membantu terbentuknya pandangan dunia terhadap kelas pekerja.

Dalam filsafat dan sosiologi, istilah hegemoni budaya memiliki denotasi dan konotasi yang berasal dari kata Yunani Kuno ἡγεμονία (hegemoni) yang berarti aturan dan kepemimpinan. Dalam politik, hegemoni adalah metode geopolitik imperial dominasi tidak-langsung dimana hegemon (pemimpin negara) mengatur serikat di bawahnya dengan intervensi dan bukan dengan kekuatan militer (invasi, penjajahan, atau aneksasi).[3]

Antonio Gramsci mencetuskan teori Perang Manuver, yaitu, perebutan hegemoni budaya secara frontal (biasanya melalui aksi militer), dan teori Perang Posisi dimana perebutan hegemoni budaya dilakukan secara bertahap dan melalui proses panjang.

Evolusi etimologi dan historis dari kata Yunani ἡγεμονία berlangsung demikian:

  • Di Yunani Kuno (abad ke-8 SM – abad ke-6 M), ἡγεμονία (kepemimpinan) melambangkan dominasi politik–militer sebuah kota-negara terhadap kota-negara lainnya, seperti di Gedung League (338 SM), sebuah federasi negara–kota Yunani yang didirikan oleh Raja Philip II dari Makedonia, untuk memudahkan akses ke dan pemanfaatan militer Yunani dalam melawan Kekaisaran Persia.
  • Pada abad ke-19, hegemoni (kekuasaan) melambangkan dominasi geopolitik dan budaya satu negara atas negara-negara lain, seperti pada zaman Kolonialisme Eropa di Amerika, Afrika, Asia, dan Australia.[4]
  • Pada abad ke-20, denotasi politik-ilmu dari hegemoni (dominasi) meluas hingga mencakup penjajahan budaya; budaya, dan dominasi oleh kelas penguasa di masyarakat yang memiliki strata sosial. Bahwa dengan memanipulasi ideologi dominan (nilai-nilai budaya dan adat istiadat) masyarakat setempat, kelas penguasa dapat mendominasi kelas-kelas sosial lainnya secara intelektual dengan memberlakukan pandangan dunia (Weltanschauung) yang membenarkan status quo di ranah sosial, politik, dan ekonomi masyarakat seolah-olah hal tersebut wajar, normal, dan tidak dapat dihindari.[5][6][7]

Pada tahun 1848, Karl Marx berteori bahwa resesi ekonomi dan kontradiksi praktis di masyarakat kapitalis akan memprovokasi kelas pekerja untuk melakukan revolusi untuk menggulingkan kapitalisme dan merestrukturisasi lembaga-lembaga sosial (ekonomi, politik, sosial) sesuai faham sosialisme. Semua ini akan membawa masyarakat tersebut menuju komunisme. Dalam istilah Marxisme, perubahan dialektika pada fungsi ekonomi masyarakat menentukan budaya dan politik sosial dan ekonomi. Proses ini terjadi seakan seperti sesuatu hal yang wajar dan sudah seharusnya terjadi.

Antonio Gramsci mengambil teori hegemoni Marxisme tersebut, namun mengusulkan bahwa hegemoni budaya akan sosialisme bukanlah sesuatu hal yang niscaya tetapi merupakan bagian dari dialektik kritis masyarakat dimana ada kemungkinan lahirnya filsafat dari akal sehat rakyat sendiri.[8] Perang Posisi merupakan aksi perebutan atau pengambil alihan hegemoni yang ada melalui manuver panjang dari berbagai lini sosial politik. Gramsci percaya bahwa perjuangan masyarakat umum untuk menciptakan budaya proletar yang sistem nilai aslinya melawan hegemoni budaya kaum borjuis harus melalui perang budaya dan pengetahuan tentang antikapitalisme. Budaya ini kemudian akan meningkatkan kesadaran kelas, mengajarkan tentang teori revolusi dan analisis sejarah, serta menyebarkan organisasi revolusi ke kelas-kelas sosial. Kemudian, pemimpin sosialis biasanya akan berusaha memegang kekuasaan politik dan mendapatkan dukungan untuk memulai manuver kesejahteraan yang dikumandangkan sistem sosialisme. Karena itulah, Gramsci menekankan bahwa revolusi proletariat baru dapat terjadi jika masyarakat kelas bawah siap secara intelektual, budaya, dan politik karena semua ini diperlukan agar kaum proletar dapat berhasil merebut hegemoni budaya, atau dalam kata lain memenangkan Perang Posisi. Gramsci menggunakan strategi Perang Posisi untuk mematahkan hegemoni borjuis melalui kepemimpinan intelektual, budaya, dan ideologis dalam lembaga-lembaga swasta, sekolah-sekolah, gereja, industri, dan asosiasi kota dan pedesaan.[8] Di lain sisi, Perang Manuver adalah konflik frontal terbuka antar kelas sosial yang hasilnya akan terlihat dari hasil revolusi tersebut. Contoh Perang Manuver adalah revolusi Lenin di Rusia, represi berdarah gerakan Spartan di Jerman (1918), dan pelucutan dewan pekerja di Italia oleh Bienno Rosso (1919-20).[9]

Dominasi budaya awalnya diterapkan sebagai sebuah analisis Marxisme mengenai "kelas ekonomi" (basis dan suprastruktur). Antonio Gramsci kemudian mengembangkannya untuk memahami kelas sosial; oleh karena itu, hegemoni budaya mengusulkan bahwa norma-norma budaya yang berlaku di suatu masyarakat dan diterapkan oleh kelas penguasa (hegemoni budaya borjuis), tidak seharusnya dianggap sebagai sesuatu yang alami dan tak terhindarkan. Sebaliknya, harus dianggap sebagai konstruksi sosial (oleh lembaga, praktek, keyakinan, dan sebagainya) yang harus diselidiki lebih lanjut tentang akar filosofisnya hingga dapat menjadi universal. Pengetahuan praksis seperti ini sangat diperlukan untuk pembebasan intelektual dan politik dari kaum proletariat, sehingga pekerja dan petani, orang-orang perkotaan, dan bangsa suatu negara dapat membuat budaya kelas pekerja mereka sendiri yang membahas kebutuhan sosial dan ekonomi kelas sosial mereka masing-masing.

Dalam suatu masyarakat, hegemoni budaya bukanlah praksis intelektual monolitik maupun kesatuan sistem nilai-nilai, namun merupakan struktur strata sosial yang kompleks dimana masing-masing kelas sosial dan ekonomi memiliki tujuan sosialnya masing-masing. Setiap kelas juga memiliki logikanya masing-masing yang memungkinkan anggotanya untuk berperilaku secara unik dan berbeda dari perilaku anggota kelas-kelas sosial lainnya, namun semuanya hidup berdampingan sebagai satu kesatuan masyarakat.

Karena memiliki tujuan sosial yang berbeda-beda, kelas-kelas dapat bersatu menjadi satu masyarakat dengan misi sosial yang lebih besar. Ketika seorang pria, seorang wanita, atau anak-anak melihat struktur sosial hegemoni budaya borjuis, akal sehat setiap pribadi akan melakukan peran ganda struktural (peran pribadi dan peran masyarakat). Individu akan menggunakan akal sehat untuk mengatasi kehidupan sehari-hari sesuai pemahamannya menurut status quo yang dimiliki masing-masing kelas sosial. Di dalam masyarakat, keterbatasan persepsi pribadi tersebut menghambat individu untuk memahami eksploitasi sosio-ekonomi sistematis yang dimungkinkan oleh hegemoni budaya. Karena adanya perbedaan dalam memahami status quo —hierarki sosio-ekonomi dari budaya borjuis— kebanyakan orang menyibukkan diri dengan masalah pribadinya masing-masing daripada memikirkan tentang masalah yang tidak langsung berhubungan dengan mereka (masalah publik), sehingga mereka pun tidak memikirkan atau mempertanyakan asal-muasal terjadinya ketidak adilan sosio-ekonomi di bidang sosial, politik, maupun pribadi mereka.[10]

Efek dari hegemoni budaya terasa jelas di tingkat pribadi. Walaupun setiap orang menjalani hidup penuh makna dalam kelas sosialnya masing-masing, tetapi pembagian kelas-kelas sosial terasa bedanya ketika dilihat per kehidupan pribadi setiap individu. Namun, ketika dilihat secara keseluruhan masyarakat, setiap orang memberikan kontribusi yang besar terhadap hegemoni sosial. Meskipun keragaman sosial, ekonomi, dan kebebasan politik muncul karena kebanyakan orang melihat kehidupan yang berbeda-keadaan, mereka tidak mampu memahami pola besar hegemoni yang terbuat ketika kehidupan yang mereka saksikan menyatu dalam satu masyarakat. Hegemoni budaya diwujudkan dan dipertahankan oleh keberadaan kondisi-kondisi satuan yang berbeda-beda, sebuah perbedaan yang tidak selalu sepenuhnya dirasakan oleh anggota masyarakat.[11]

 

Pada tahun 1960-an, pemimpin mahasiswa Jerman, Rudi Dutschke dari 68er-Bewegung, mengatakan bahwa borjuisme Jerman Barat perlu diubah dengan tindakan long march oleh lembaga-lembaga masyarakat yang seharusnya mengidentifikasi dan memerangi hegemoni budaya. Kutipan ini sering disalah kutipkan sebagai kutipan milik Antonio Gramsci.[12]

Pada tahun 1967, pemimpin gerakan mahasiswa Jerman Rudi Dutschke merumuskan ulang filosofi hegemoni budaya Antonio Gramsci dengan kalimat long march melalui kelembagaan (Bahasa Jerman: Marsch durch die Institutionen) untuk mengidentifikasi politik Perang Posisi, sebuah kiasan untuk Long March (1934-35) dari Tentara Pembebasan Masyarakat Komunis Tiongkok, dimana kelas pekerja membuat sendiri intelektual dan budayanya (ideologi dominan) untuk menggantikan paham yang dibentuk oleh kaum borjuis.[13][14][15][16][17]

Dalam lingkup kritik konseptual hegemoni budaya, filsuf strukturalis Louis Althusser mempresentasikan teori aparatur negara yang ideal untuk menjelaskan struktur hubungan kompleks antar banyak anggota badan dalam sebuah administrasi negara. Dalam situasi tersebut, ideologi disebarkan ke masyarakat. Althusser menggambarkan adanya konsep hegemoni pada hegemoni budaya tetapi ia menolak historisisme absolut yang diusulkan oleh Gramsci.

Bahwa aparatur negara yang ideal (ISA) merupakan tempat dimana terjadinya konflik antar idealisme berbeda-beda yang datang dari kelas sosial masyarakat yang berbeda-beda pula. Bahwa, bertolak belakang dengan aparatur negara yang represif (RSA) seperti yang berlaku di militer dan kepolisian, ISA dapat hadir secara majemuk. Jika kelas berkuasa dapat mengendalikan RSA, dalam kasus ISA semua kelas masyarakat saling berebut kuasa. Lagipula, ISA bukanlah badan-badan sosial monolitik, dan tersebar di seluruh lapisan masyarakat, baik di ranah publik maupun swasta, sehingga persaingan di dalam dan antar kelas masyarakat akan terus terjadi.

Di On the Reproduction of Capitalism (1968), Louis Althusser mengatakan bahwa aparatus negara yang ideal merupakan zona masyarakat yang berlebihan karena mencakup elemen rumit dari produk ideologi-ideologi di masa lalu, dan dengan demikian akan terus menjadi alat politik. ISA ini diantaranya adalah:

  • ISA religius (sistem keagamaan, misalnya kelompok keagamaan)
  • ISA pendidikan (sistem pendidikan, misalnya sekolah negeri dan sekolah swasta)
  • ISA keluarga
  • ISA legalitas
  • ISA politik (sistem politik, misalnya partai politik)
  • ISA serikat buruh
  • ISA komunikasi (media, radio, TV, dll)
  • ISA budaya (sastra, seni, olahraga, dll)

Althusser mengatakan bahwa struktur parlemen negara dimana “kemauan masyarakat” diwakilkan melalui perwakilan delegasi merupakan terapan dari aparatur negara yang ideal. Bahwa sistem politik itu sendiri merupakan aparatur ideal karena menyertakan “fiksi, menimpali realitas 'tertentu' yang bagian komponen sistem politiknya serta prinsip fungsinya berdasarkan pada ideologi 'kebebasan' dan 'persamaan hak' dari para individu pemberi suara dan ‘pilihan bebas’ dari perwakilan rakyat, yang mewakili keseluruhan masyarakat.”[18]

  • Konsep Hegemoni Gramsci
  • Dominasi dan Seni Perlawanan Tersembunyi: Transkrip (1990), oleh James C. Scott
  • Hegemoni dan Strategi Sosialis (1985), oleh Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe
  • "Ideologi dan Ideologi Aparatur Negara" (1970), oleh Louis Althusser
  • Teori keterasingan Marx
  • Pasca-hegemoni
  • Modal sosial
  • Transformasi Struktural Ranah Publik: Sebuah Penyelidikan ke dalam Kategori Masyarakat Borjuis (1962), oleh Jürgen Habermas

  1. ^ Bullock, Alan; Trombley, Stephen, Editors (1999), The New Fontana Dictionary of Modern Thought Third Edition, pp. 387–88.
  2. ^ The Columbia Encyclopedia, Fifth Edition. (1994), p. 1215.
  3. ^ Ross Hassig, Mexico and the Spanish Conquest (1994), pp. 23–24.
  4. ^ Bullock & Trombley 1999.
  5. ^ Clive Upton, William A. Kretzschmar, Rafal Konopka: Oxford Dictionary of Pronunciation for Current English. Oxford University Press (2001)
  6. ^ Oxford English Dictionary
  7. ^ "Timeline", US Hegemony, Flagrancy 
  8. ^ a b "Perihal Hegemoni dan Perang Posisi". Rumah Indonesia (dalam bahasa Inggris). 2006-11-21. Diakses tanggal 2017-10-29. 
  9. ^ "P2P Tactics: War of Position and War of Maneuver? | P2P Foundation". P2P Foundation (dalam bahasa Inggris). 2013-08-07. Diakses tanggal 2017-10-29. 
  10. ^ Hall, Stuart (1986). "The Problem of Ideology — Marxism without Guarantees" (PDF). Journal of Communication Inquiry. 10 (2): 28–44. doi:10.1177/019685998601000203. [pranala nonaktif permanen]
  11. ^ Gramsci, Antonio (1992). Buttigieg, Joseph A, ed. Prison Notebooks. New York City: Columbia University Press. hlm. 233–38. ISBN 0-231-10592-4. OCLC 24009547. 
  12. ^ Buttigieg, J. A. (1 March 2005). "The Contemporary Discourse on Civil Society: A Gramscian Critique". boundary 2. 32 (1): 33–52. doi:10.1215/01903659-32-1-33. 
  13. ^ Gramsci, Buttigieg, Joseph A, ed., Prison Notebooks (edisi ke-English critical), p 50 footnote 21, diarsipkan dari versi asli tanggal 2010-06-16, Long March Through the Institutions21 
  14. ^ Buttigieg, Joseph A. (2005). "The Contemporary Discourse on Civil Society: A Gramscian Critique". Boundary 2. 32 (1): 33–52. doi:10.1215/01903659-32-1-33. ISSN 0190-3659. Diakses tanggal 2010-06-30. 
  15. ^ Davidson, Carl (6 April 2006), Strategy, Hegemony & ‘The Long March’: Gramsci’s Lessons for the Antiwar Movement (web log) .
  16. ^ Marsch durch die Institutionen at German Wikipedia.
  17. ^ Antonio Gramsci: Misattributed at English Wikiquote for the origin of “The Long March Through the Institutions” quotation.
  18. ^ Althusser, Louis (2014). On the Reproduction of Capitalism. London/New York: Verso

  • Beech, Dave; Andy Hewitt; Mel Jordan (2007). The Free Art Collective Manifesto for a Counter-Hegemonic Art. England: Free Publishing. ISBN 978-0-9554748-0-4. OCLC 269432294. 
  • Bullock, Alan; Trombley, Stephen, ed. (1999), The New Fontana Dictionary of Modern Thought (edisi ke-3rd) .
  • Flank, Lenny (2007). Hegemony and Counter-Hegemony: Marxism, Capitalism, and Their Relation to Sexism, Racism, Nationalism, and Authoritarianism. St. Petersburg, Florida: Red and Black Publishers. ISBN 978-0-9791813-7-5. OCLC 191763227. 
  • Gramsci, Antonio (1992), Buttigieg, Joseph A, ed., Prison notebooks, New York City: Columbia University Press, ISBN 0-231-10592-4, OCLC 24009547  Lebih dari satu parameter |author-link= dan |authorlink= yang digunakan (bantuan); Lebih dari satu parameter |ISBN= dan |isbn= yang digunakan (bantuan); Lebih dari satu parameter |oclc= dan |OCLC= yang digunakan (bantuan)More than one of |author-link=, |author-link=, dan |authorlink= specified (bantuan); More than one of |ISBN= dan |isbn= specified (bantuan); More than one of |oclc= dan |OCLC= specified (bantuan) * Abercrombie, Nicholas; Turner, Bryan S. (June 1978). "The Dominant Ideology Thesis". The British Journal of Sociology. The London School of Economics and Political Science: Wiley-Blackwell. 29 (2): 149–70. doi:10.2307/589886. JSTOR 589886. 
  • Anderson, Perry (1977). "Antinomi dari Antonio Gramsci", Baru Meninggalkan Review, http://newleftreview.org/static/assets/archive/pdf/NLR09801.pdf
  • Gramsci (archive), Marxists .
  • International Gramsci society .
  • Gramsci, journal, AU: UOW, diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-11-28 .
  • Rethinking Marxism .
  • Rethinking Marxism: Association for economic & social analysis, EI Net, diarsipkan dari versi asli (review) tanggal 2013-02-21 
  • Gramsci, "Selections", Prison notebooks, Marxists .
  • Gramsci, Prison notebooks, Marxists .

Diperoleh dari "https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Hegemoni_budaya&oldid=21188426"