ZISWAF; Jurnal Zakat dan Wakaf ( 2019, Vol. 6 No. 1)
(P-ISSN : 2461-0577 ; E-ISSN : 2477-5347)
19
TELAAH MAUQUF ‘ALAIH DALAM HUKUM PERWAKAFAN
SARPINI
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam IAIN Purwokerto
Email:
Abstract
In Islamic economics it is known that waqf institution as an institution to help social
prosperity. The Prophet himself initially initiated this institution in accordance with the
Qur'an which invites to spend and devote something of value and love in order to attain the
goodness and happiness of Allah (al-birr). Waqf is a mechanism of transfer of wealth from
personal ownership to collective ownership and common interest. In principle, the purpose of
waqf (mauquf 'alaih) is qurbat or close to Allah. This research is descriptive analysis, the
writer presents all data about waqf. This study concludes that the scholar's debate on al-
mauquf 'alaih affirms that the effort to determine targets and provisions of wakaf is very
open. The reference is that the goal should be qurbah or al-birr (virtue) either according to
the size of shari'ah or wakif is the underlying principle of any contemporary interpretation in
empowering the use of wakaf.
Keywords: wakaf, mauquf ‘alaih.
PENDAHULUAN
Hukum Islam merupakan perpaduan antara wahyu Allah SWT dengan kondisi
masyarakat yang ada pada saat wahyu itu diturunkan. Misi hukum Islam sebagai aturan
untuk menerapkan nilai-nilai keimanan dan aqidah mengemban misi utama yaitu
mendistribusikan keadilan bagi seluruh lapisan masyarakat, baik keadilan hukum,
keadilan sosial maupun keadilan ekonomi.
Salah satu institusi sosial Islam yang mengandung nilai sosial ekonomi adalah
lembaga perwakafan. Sebagai kelanjutan dari ajaran tauhid, yang berarti bahwa segala
sesuatu berpuncak pada kesadaran akan adanya Allah SWT, lembaga perwakafan adalah
salah satu bentuk perwujudan keadilan sosial dalam Islam. Prinsip pemilikan harta dalam
ajaran Islam menyatakan bahwa harta tidak dibenarkan hanya dikuasai oleh sekelompok
orang, karena akan melahirkan eksploitasi kelompok minoritas (si kaya) terhadap
kelompok mayoritas (si miskin) yang akan menimbulkan kegoncangan sosial dan akan
menjadi penyakit masyarakat yang mempunyai akibat-akibat negatif yang beraneka
ragam.
ZISWAF; Jurnal Zakat dan Wakaf ( 2019, Vol. 6 No. 1)
(P-ISSN : 2461-0577 ; E-ISSN : 2477-5347)
20
Wakaf dalam hukum Islam merupakan salah satu spare parts penting yang dapat
digunakan sebagai sarana dan pendistribusian resmi rizki Allah SWT guna
merealisasikan kemaslahatan manusia (Rofiq, 2003).
Wakaf merupakan bentuk mu’amalah amaliyah (harta-benda) yang sangat lama
dan sudah dikenal oleh masyarakat sejak dahulu. Dalam hal ini tidak lain karena Allah,
menciptakan manusia untuk mencintai kebaikan dan melakukannya sejak ia dilahirkan
hingga hidup di tengah-tengah masyarakat (Qahaf , 2008).
Sepanjang sejarah Islam, wakaf telah memerankan peran yang sangat penting
dalam mengembangkan kegiatan-kegiatan sosial, ekonomi dan kebudayaan masyarakat
Islam. Wakaf pertama adalah masjid Quba‟ di Madinah yang dilaksanakan oleh Nabi
Muhammad SAW kemudian praktek wakaf diikuti oleh sahabat-sahabat Nabi dan para
khalifah(Manan, 2001).
Di Indonesia wakaf dikenal dan dilaksanakan oleh umat Islam sejak agama Islam
masuk ke Indonesia yang juga menjadi salah satu penunjang pengembangan agama dan
masyarakat Islam. Tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana
diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 antara lain adalah memajukan kesejahteraan umum.
Praktek pelaksanaan wakaf yang dianjurkan oleh Nabi yang dicontohkan oleh
Umar bin Khatab dan diikuti oleh beberapa sahabat Nabi yang lain sangat menekankan
pentingnya menahan eksistensi benda wakaf dan diperintahkan untuk menyedekahkan
hasil dari pengelolaan benda tersebut. Pemahaman yang paling mudah dicerna dari
maksud Nabi adalah bahwa substansi ajaran wakaf itu tidak semata-mata terletak pada
pemerliharaan bendanya (wakaf), tetapi yang jauh lebih penting adalah nilai manfaat dari
benda tersebut untuk kepentingan atau kemaslahatan umum (Departemen Agama RI,
2007).
Dalam peristilahan syara‟, wakaf adalah sejenis pemberian yang pelaksanaannya
dilakukan dengan jalan menahan (pemilikan) asal, lalu menjadikan manfaatnya berlaku
umum (Basyir, 1987). Yang dimaksud dengan menahan (pemilikan) asal ialah menahan
barang yang diwakafkan agar tidak diwariskan, digunakan dalam bentuk dijual,
dihibahkan, digadaikan, disewakan, dipinjamkan, dan sejenisnya (Anshori, 2010).
Sedangkan pemanfaatannya adalah dengan menggunakannya sesuai dengan kehendak
pemberi wakaf (Mughniyah, 2001).
ZISWAF; Jurnal Zakat dan Wakaf ( 2019, Vol. 6 No. 1)
(P-ISSN : 2461-0577 ; E-ISSN : 2477-5347)
21
Dalam penelitian ini, pembahasan diarahkan pada peruntukan harta wakaf,
diawali dari pembagian wakaf ahli (dzurri) dan wakaf khairi (kebajikan), mauquf ‘alaih
dan syarat-syaratnya, serta problematika seputar mauquf ‘alaih dan diakhiri dengan
kesimpulan.
TINJAUAN PUSTAKA
Secara etimologi, wakaf berarti menahan, mencegah, selama, tetap, paham,
menghubungkan, mencabut, meninggalkan dan lain sebagainya (Ma‟luf, 1937).
Muhammad Salam Madkur dalam kitabnya al-Waqf mengatakan: Walaupun para pakar
hukum Islam telah sepakat dalam penggunaan kata wakaf dengan arti menahan dan
mencegah sesuai dengan arti bahasa, tetapi selanjutnya mereka silang pendapat (Madkur,
1961).
Kata wakaf atau waqf () berasal dari bahasa Arab yang berasal dari akar kata
wa-qa-fa berarti menahan, berhenti, diam di tempat atau berdiri. Kata waqafa-
yaqifu-waqfan semakna dengan kata habasa-yahbisu-tahbisan )
maknanya terhalang untuk menggunakan. Kata waqf dalam bahasa Arab mengandung
makna ), artinya: menahan, menahan harta untuk diwakafkan,
tidak dipindah milikkan (al-Zuhaili, 1985).
Dalam bahasa Arab, istilah wakaf kadang-kadang bermakna objek atau benda
yang diwakafkan (al-mauquf bih) atau dipakai dalam pengertian wakaf sebagai institusi
seperti yang dipakai dalam perundang-undangan Mesir. Di Indonesia, term wakaf dapat
bermakna objek yang diwakafkan atau institusi (Praja, 1995). Dalam bahasa Indonesia
kata waqaf biasa diucapkan dengan wakaf dan ucapan inilah yang dipakai dalam
perundang-undangan di Indonesia. Sedangkan menurut istilah wakaf menghentikan atau
menahan perpindahan milik suatu harta yang bermanfaat dan tahan lama sehingga
manfaat harta tersebut dapat digunakan untuk mencari keridhaan Allah SWT
(Departemen Agama, 1986).
Ahmad Azhar Basyir mendefinisikan bahwa wakaf menurut istilah, yaitu
menahan harta yang dapat diambil manfaatnya tanpa musnah seketika dan untuk
penggunaan yang mubah, serta dimaksudkan untuk mencari keridhaan Allah SWT
(Basyir, 1987). Naziroeddin Rachmat memberi pengertian harta wakaf sebagai suatu
barang yang sementara asalnya tetap, selalu berubah, yang dapat dipetik hasilnya dan
yang pemiliknya sudah menyerahkan kekuasaannya terhadap barang itu dengan syarat
ZISWAF; Jurnal Zakat dan Wakaf ( 2019, Vol. 6 No. 1)
(P-ISSN : 2461-0577 ; E-ISSN : 2477-5347)
22
dan ketentuan bahwa hasilnya akan dipergunakan untuk keperluan kebajikan yang
diperintahkan syari‟at (Anshori, 2005). Wakaf menurut Islam adalah pemisahan suatu
harta benda seseorang yang disahkan, dan benda itu ditarik dari benda milik
perseorangan dialihkan penggunaanya kepada jalan kebaikan yang diridhai Allah SWT
(Suhadi, 1985).
Dalam Kompilasi Hukum Indonesia disebutkan bahwa wakaf adalah perbuatan
hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian
dari harta miliknya dan melembagakannya untuk selamalamanya guna kepentingan
ibadah atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran islam (Muttaqien, 1999).
Definisi wakaf menurut Undang-undang No. 41 tahun 2004, tentang Ketentuan
umum menyatakan bahwa wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan
dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya
atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah
dan/atau kesejahteraan umum menurut syari'ah" (UU RI Nomor 41 Tahun 2004 Tentang
Perwakafan).
Wakaf menurut Kompilasi Hukum Islam adalah perbuatan hukum seseorang atau
kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan
melembagakannya untuk selamalamanya guna kepentingan ibadat atau kepentingan
umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam.
Menurut Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia No 73 tahun 2013 dan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 25 tahun 2018, wakaf adalah perbuatan
hukum Wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya
untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan
kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.
Wakaf dinyatakan sah apabila telah terpenuhi rukun dan syaratnya. Rukun wakaf
ada empat (4), yaitu :1
(1) Wakif (orang yang mewakafkan harta);
(2) Mauquf bih (barang atau harta yang diwakafkan);
(3) Mauquf 'Alaih (pihak yang diberi wakaf/peruntukan wakaf);
(4) Shighat (pernyataan atau ikrar wakif sebagai suatu kehendak untuk mewakafkan
sebagian harta bendanya).
METODE PENELITIAN
ZISWAF; Jurnal Zakat dan Wakaf ( 2019, Vol. 6 No. 1)
(P-ISSN : 2461-0577 ; E-ISSN : 2477-5347)
23
Metode penelitian yang akan digunakan dalam penulisan ini adalah penelitian
kualitatif deskriptif dengan penekatan studi kepustakaan, yang akan menjelaskan tentang
wakaf. Jenis data yang digunakan dalam penulisan karya ilmiah ini adalah data sekunder.
Sumber data yang dimaksud adalah jurnal-jurnal yang diperoleh dari hasil penelusuran di
internet serta buku-buku mengenai pengelolaan wakaf dan juga peraturan yang berlaku
seperti Undang-Undang (UU), Peraturan Pemerintah (PP), dan Keputusan Menteri
Agama (KMA). Penggunaan data sekunder dalam penelitian ini memberikan beberapa
keuntungan terutama terkait waktu dan biaya penelitian.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Pengertian dan pembagian mauquf ‘alaih.
Yang dimaksud dengan mauquf 'alaih adalah tujuan wakaf (peruntukan
wakaf). Wakaf harus dimanfaatkan dalam batas-batas yang sesuai dan diperbolehkan
Syariat Islam. Karena pada dasarnya, wakaf merupakan amal yang mendekatkan diri
manusia kepada Tuhan. Karena itu mauquf 'alaih (yang diberi wakaf) haruslah pihak
kebajikan. Para faqih sepakat berpendapat bahwa infaq kepada pihak kebajikan itulah
yang membuat wakaf sebagai ibadah yang mendekatkan diri manusia kepada
Tuhannya. Namun terdapat perbedaan pendapat antara para faqih mengenai jenis
ibadat disini, apakah ibadat menurut pandangan Islam ataukah menurut keyakinan
wakif atau keduanya, yaitu menurut pandangan Islam dan keyakinan wakif.
a. Madzhab Hanafi mensyaratkan agar mauquf 'alaih (yang diberi wakaf) ditujukan
untuk ibadah menurut pandangan Islam dan menurut keyakinan wakif. Jika tidak
terwujud salah satunya, maka wakaf tidak sah. Karena itu sah wakaf orang Islam
kepada semua syi'ar-syi'ar Islam dan pihak kebajikan, seperti orang-orang miskin,
rumah sakit, tempat penampungan dan sekolah. Adapun wakaf selain syi'ar-syi'ar
Islam dan pihak-pihak kebajikan hukumnya tidak sah, seperti klub judi. Sah wakaf
non muslim kepada pihak kebajikan umum seperti tempat ibadat dalam pandangan
Islam seperti pembangunan masjid, biaya masjid, bantuan kepada jamaah haji dan
lain-lain. Adapun kepada selain pihak kebajikan umum dan tempat ibadat dalam
pandangan agamanya saja seperti pembangunan gereja, biaya pengurusan gereja
hukumnya tidak sah. Madzhab Maliki mensyaratkan agar mauquf 'alaih
(peruntukan wakaf) untuk ibadat menurut pandangan wakif. Sah wakaf muslim
ZISWAF; Jurnal Zakat dan Wakaf ( 2019, Vol. 6 No. 1)
(P-ISSN : 2461-0577 ; E-ISSN : 2477-5347)
24
kepada semua syi'ar Islam dan badan-badan sosial umum. Dan tidak sah wakaf
non muslim kepada masjid dan syiar-syiar Islam.
b. Madzhab Syafi'i dan Hambali mensyaratkan agar mauquf 'alaih adalah ibadat
menurut pandangan Islam saja, tanpa memandang keyakinan wakif. Karena itu
sah wakaf muslim dan non muslim kepada badan-badan sosial seperti
penampungan, tempat peristirahatan, badan kebajikan dalam Islam seperti masjid.
Dan tidak sah wakaf muslim dan non muslim kepada badan-badan sosial yang
tidak sejalan dengan Islam seperti gereja. Secara khusus, ahli fiqih dari madzhab
Syafi'i (Syafi'iyyah), membagi tempat penyaluran wakaf kepada dua bagian, yaitu
: a) orang tertentu (baik satu orang atau jamaah tertentu), b) tidak tertentu.
a.) Kepada orang tertentu (satu orang atau jamaah tertentu)
Imam Nawawi menyebut bagian ini dengan "syahshan mu'ayyinan au
jamaatan mu'ayyinina" (satu orang atau kelompok tertentu). Syaratnya ialah
hendaklah penerima wakaf dapat memiliki harta yang diwakafkan kepadanya
pada saat pemberian wakaf. Syarat tersebut membukakan peluang penyaluran
wakaf kepada anggota masyarakat yang cukup luas, baik individu maupun
kelompok. Dalam penerapannya timbul perbedaan pendapat mengenai
sebagian masalah dan mudah diselesaikan.
a.1.) Wakaf kepada diri sendiri
Ada dua pendapat tentang hukum wakif berwakaf kepada
dirinya sendiri. Pertama, Abu Yusuf, Ibnu Abi Laila, Ibnu Syubramah,
sebagian ahli madzhab Syafi'i dan Hambali memperbolehkan wakif
mewakafkan sebagian atau seluruh wakafnya sepada dirinya sendiri.
Diantara pendukungnya dari madzhab Syafi'i ialah Zubairi Dalilnya
ialah bahwa penetapan hak terhadap sesuatu sebagai wakaf tidak sama
dengan penetapannya sebagai milik. Contoh: wakif mewakafkan
hartanya kepada para fakir miskin dengan syarat ia ikut mendapat hasil
wakafnya. Berbeda dengan seseorang berwakaf masjid dan ia sholat di
masjid tersebut. Setiap wakif dapat memanfaatkan wakafnya, tanpa
menjadikannya sebagai syarat. Penerapan pendapat ini akan membuka
peluang menjadikan wakaf sebagai helat (tipu daya) untuk melindungi
kekayaan dari peralihan hak milik selama pemiliknya hidup. Kedua,
Muhammad, madzhab Maliki, mayoritas madzhab Syafi'i, mayoritas
ZISWAF; Jurnal Zakat dan Wakaf ( 2019, Vol. 6 No. 1)
(P-ISSN : 2461-0577 ; E-ISSN : 2477-5347)
25
mazhab Hambali tidak membolehkannya. Diantara pendukungnya dari
kalanganmadzhab Syafi'i ialah Nawawi. Ia menilai, pendapat ini paling
kuat dalam madzhab Syafi'i. Dalil pendapat ini ialah bahwa seseorang
pemilik harta tidak dapat memilikkan apa yang telah dimilikinya
kepada dirinya sendiri, karena ia telah memilikinya. Membuat sesuatu
yang telah terjadi adalah mustahil. Penerapan pendapat ini akan
menutup kemungkinan menjadikan wakaf sebagai helat (tipu daya)
untuk melindungi kekayaan dari peralihan hak milik selama
pemiliknya hidup.
a.2.) Wakaf kepada muslim (muslimat)
Wakaf kepada muslim atau muslimat tertentu atau kelompok
tertentu.
a. 3.) Wakaf kepada non muslim tertentu atau kelompok tertentu
Kepada kafir dzimmi dari muslim (muslimat) Imam Nawawi
mengatakan : "hukumnya sah, wakaf kepada kafir dzimmi tertentu,
baik dari muslim maupun dari kafir dzimmi juga". Dalilnya ialah
karena kafir dzimmi, secara umum dapat memiliki harta yang
diwakafkan kepadanya pada saat pemberian wakaf.
Namun para ahli fiqih menetapkan dua syarat, yaitu :
- Hendaklah obyek wakafnya terdiri dari benda yang dapat dimiliki
non muslim. Sebab itu mereka melarang wakaf Kitab Suci al-Quran
(mushaf), buku-buku agama Islam yang mengandung ayat-ayat al-
Quran dan Sunnah, serta budak Islam. Dalil para ahli fiqih terdahulu
melarang wakaf-wakaf tersebut ialah karena non muslim akan
menghinanya. Karena itu pula mereka melarang menjualnya kepada
non
muslim. Namun, barang kali, fatwa tersebut perlu dipelajari lagi,
mengingat aktifitas dakwah Islam dalam masyarakat non muslim masa
kini lebih efisien dengan media cetak. Artinya, penyebaran buku-buku
Islam kepada non muslim merupakan tuntutan dakwah pada masa
sekarang. Dan dapat dipastikan, media cetak dakwah Islam
mengandung ayat-ayat al-Quran dan terjemahannya.
ZISWAF; Jurnal Zakat dan Wakaf ( 2019, Vol. 6 No. 1)
(P-ISSN : 2461-0577 ; E-ISSN : 2477-5347)
26
- Hendaklah tidak mengandung unsur maksiat. Karena itu tidak sah
wakaf kepada non muslim apabila mengandung unsur maksiat, seperti
berwakaf kepada pelayan gereja dan tikar untuk gereja. Pendapat
sahnya wakaf muslim atau muslimat kepada kafir dzimmi di atas,
berarti pemerintah dapat membuka kesempatan wakaf muslim kepada
kafir dzimmi, tetapi dengan memperhatikan dua syarat tersebut.
Kepada kafir dzimmi dari kafir dzimmi juga Imam Nawawi
menjelaskan : Sah wakaf kepada kafir dzimmi, baik dari muslim
maupun dari kafir dzimmi juga. Artinya, orang kafir dzimmi yang
hidup dalam masyarakat Islam boleh berwakaf kepada kafir dzimmi
juga. Pendapat ini berarti pemerintah dapat membuka lembaga wakaf
khusus dari kafir dzimmi untuk kafir dzimmi. Namun para ahli fiqih
berpendapat bahwa wakaf dari kafir dzimmi kepada kafir dzimmi yang
terjadi sesudah dakwah Rasulullah Muhammad SAW hendaklah tidak
mengandung unsur maksiat. Apabila mengandung unsur maksiat, maka
harus dibatalkan.
Wakaf kepada kafir harbi dan orang murtad dari Islam. Dalam
madzhab Syafi'i terdapat dua pendapat, yaitu :
- Tidak sah
Imam Nawawi mengatakan : Jadi tidak sah wakaf kepada kafir
harbi dan orang Islam yang murtad, karena kafir harbi dan orang
Islam yang murtad tidak mempunyai kekekalan dalam kekufuran
mereka. Wakaf adalah sedekah jariyah. Sebagaimana tidak boleh
mewakafkan sesuatu yang tidak mengandung unsur kekekalan, maka
tidak boleh juga berwakaf kepada yang tidak mempunyai unsur
kekekalan Ini berarti orang Islam tidak boleh menyalurkan wakafnya
kepada kafir harbi dan orang murtad. Pendapat ini selanjutnya berarti
pemerintah tidak berhak membuka kesempatan wakaf muslim kepada
kafir harbi dan orang Islam yang murtad.
- Sah
Oleh karena Nawawi menyebut pendapat di atas adalah terkuat
dari madzhab Syafi'i, berarti ada pendapat lain yang mengatakan boleh
memberikan wakaf kepada kafir harbi dan orang yang murtad dari
ZISWAF; Jurnal Zakat dan Wakaf ( 2019, Vol. 6 No. 1)
(P-ISSN : 2461-0577 ; E-ISSN : 2477-5347)
27
Islam. Sayangnya Nawawi tidak menguraikannya. Meskipun pendapat
kedua ini memandang sah, namun masih sangat berhati-hati. Buktinya
pendapat kedua ini menentukan bunyi pernyataan wakafnya ialah
seperti : "Saya mewakafkan……kepada Saudara Fulan seorang kafir
harbi…….", atau "Saya mewakafkan….. kepada Saudara Fulan yang
murtad……". Tujuannya ialah untuk menghindari pemberian wakaf
kepada orang yang memerangi Islam dan yang meninggalkan Islam
secara langsung.
Wakaf kepada pihak yang tidak memiliki harta wakaf
Penerapan syarat wakaf tertentu di atas menimbulkan pembahasan-
pembahasan tentang wakaf kepada orang yang tidak mempunyai
kecakapan memiliki, seperti :
- Wakaf kepada janin adalah tidak sah, karena janin tidak berhak
memiliki Wakaf kepada mayit (orang yang sudah mati) tidak sah,
karena tidak berhak memiliki.
- Wakaf kepada hewan.
Para ahli fiqih madzhab Syafi'i sepakat tidak sah wakaf kepada
hewan yang tidak dimiliki orang tertentu, seperti burung yang masih
hidup bebas di udara, karena hewan tidak dapat menjadi pemiliknya.
Namun jika hewan tersebut telah menjadi milik orang tertentu dan
bukan liar, maka wakafnya sah. Walaupun ada juga yang berpendapat
tidak sah Dari perbedaan tersebut, wakif dapat menyebutkan dalam
pernyataan wakafnya bahwa ia memberikan wakaf kepada pemiliknya.
Dengan cara
tersebut, maka makanan hewan dapat diambilkan dari harta wakaf.
- Wakaf kepada hewan wakaf
Asy-Syarbini menjelaskan berwakaf kepada hewan wakaf
adalah sah. Dicontohkannya ialah seperti seseorang berwakaf untuk
makanan kuda wakaf. Keterangan asy-Syarbini tersebut dapat
dikembangkan kepada wakaf hewan lain, seperti ayam misalnya.
Sehingga masyarakat dapat ikut serta membantu makanan ayam,
misalnya, melalui wakaf. Adapun pelaksanaannya diatur lembaga
wakaf masyarakat.
ZISWAF; Jurnal Zakat dan Wakaf ( 2019, Vol. 6 No. 1)
(P-ISSN : 2461-0577 ; E-ISSN : 2477-5347)
28
b. ) Wakaf kepada yang tidak tertentu
Tempat kedua penyaluran wakaf ialah kepada pihak tidak tertentu.
Nawawi menyebutnya "waqfan 'ala al-jihati" (berwakaf ke pihak umum).
Tujuan wakif ialah memberikan wakaf kepada pihak yang menderita kefakiran
dan kemiskinan, secara umum, bukan kepada pribadipribadi tertentu.
Contohnya ialah seperti wakaf kepada orang-orang fakir dan miskin, para
mujahid, masjid-masjid, sekolah-sekolah, pengurusan jenazah, tempat
penampungan anak yatim piatu dan sebagainya. Pembahasan bagian kedua ini
terbagi kepada dua bagian pokok, yaitu mengandung unsur maksiat atau tidak.
b.1.) Wakaf umum yang mengandung unsur maksiat
Sumber wakafnya ada dua kemungkinan, yaitu dari muslim
atau non muslim. Contohnya seperti wakaf untuk gereja yang
digunakan sebagai tempat ibadah, baik bahan bangunan, lampu, tikar,
kitab suci Taurat, Injil, pelayan dan sebagainya. Demikian juga wakaf
senjata untuk perbuatan kriminal, seperti perampokan. Hukum wakaf
seperti ini ada dua kemungkinan, tergantung masa pemberian
wakafnya, yaitu :
- Jika pemberian wakafnya kepada gereja-gereja tua dan terlaksana
sebelum dakwah Rasulullah Muhammad SAW, maka umat Islam
mengakuinya dan tidak membatalkannya.
- Jika pemberian wakafnya kepada gereja-gereja baru sesudah dakwah
Rasulullah SAW, maka umat Islam tidak mengakuinya dan
membatalkannya. Begitu juga wakaf senjata kepada perampok adalah
batal karena sebagai sarana untuk melakukan perbuatan maksiat.
b.2.) Wakaf umum yang tidak mengandung unsur maksiat
Wakaf ini terbagi kepada dua segi, yaitu :
- Tampak padanya tujuan ibadah, dan hukumnya sah.
Contohnya ialah seperti wakaf kepada orang-orang miskin, fisabilillah,
ulama-ulama, pelajar-pelajar, mujahidin, masjid-masjid, ka'bah,
sekolah-sekolah, rumah-rumah penampungan kelompok sufi yang
fakir,benteng-benteng, jembatan-jembatan dan kafan-kafan mayat.
Pengertian dari masing-masing pihak tersebut di atas diuraikan dalam
buku-buku fiqih.
ZISWAF; Jurnal Zakat dan Wakaf ( 2019, Vol. 6 No. 1)
(P-ISSN : 2461-0577 ; E-ISSN : 2477-5347)
29
- Tidak tampak padanya tujuan ibadat, seperti wakaf kepada orang
kaya, kafir dzimmi, dan orang yang melakukan maksiat. Di kalangan
ahli fiqih madzhab Syafi'i terdapat dua pendapat : (1) hukumnya tidak
sah. Ini ditinjau dari status wakaf adalah ibadat, (2) hukumnya sah. Ini
ditinjau dari status wakaf adalah memilikkan, tanpa melihat kepada
ibadat atau tidak. Sama halnya dengan wasiat dan wakaf atas yang
tertentu. Karena itu para pendukung pendapat ini mengatakan wakaf
atas masjid dan tempat pemondokan adalah memilikkan manfaat wakaf
kepada kaum muslimin (Kementerian Agama Republik Indonesia,
2006).
Sedangkan apabila yang dimaksud dengan mauquf ‘alaih adalah tujuan wakaf,
maka tujuan wakaf itu harus mengarah pada pendekatan diri kepada Allah, yaitu
untuk kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran
agama Islam. Sedangkan bila yang dimaksud dengan mauquf ‘alaih adalah nadzir
(pengelola harta wakaf), maka menurut UU Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf
pasal 1 ayat (4) menyatakan bahwa; Nadzir adalah pihak yang menerima harta benda
wakaf dari wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya.
Nadzir terdiri dari perseorangan, organisasi atau badan hukum. Nadzir Perseorangan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 huruf a hanya dapat menjadi Nadzir apabila
memenuhi persyaratan:
a. Warga negara Indonesia;
b. Beragama Islam;
c. Dewasa;
d. Amanah;
e. Mampu secara jasmani dan rohani; dan
f. Tidak terhalang melakukan perbuatan hukum.
Nadzir Organisasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 huruf b hanya dapat
menjadi nadzir apabila memenuhi persyaratan:
a. Pengurus organisasi yang bersangkutan dan memenuhi persyaratan nadzir
perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan
b. Organisasi yang bergerak di bidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan, dan/atau
keagamaan Islam.
ZISWAF; Jurnal Zakat dan Wakaf ( 2019, Vol. 6 No. 1)
(P-ISSN : 2461-0577 ; E-ISSN : 2477-5347)
30
Nadzir Badan Hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 huruf c hanya
dapat menjadi nadzir apabila memenuhi persyaratan:
a. Pengurus badan hukum yang bersangkutan memenuhi persyaratan
nadzir perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan
c. Badan hukum Indonesia yang dibentuk sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku; dan
d. Badan hukum yang bersangkutan bergerak di bidang sosial,
pendidikan,kemasyarakatan, dan/atau keagamaan Islam.
Kompilasi Hukum Islam pasal 215 ayat (5) juga menyatakan bahwa “Nadzir
adalah kelompok orang atau badan hukum yang diserahi tugas pemeliharaan dan
pengurusan benda wakaf”. Kemudian
pasal 219 ayat (1) berbunyi: Nadzir sebagaimana dimaksud dalam pasal 215 ayat (5)
yang terdiri dari perorangan harus memenuhi syaratsyarat sebagai berikut:
a. Warga Negara Indonesia
b. Beragama Islam
c. Sudah dewasa
d. Sehat jasmani dan rohani
e. Tidak berada di bawah pengampuan
f. Bertempat tinggal di Kecamatan tempat letak benda yang diwakafkannya.
Pasal 219 ayat (2) berbunyi: Jika berbentuk badan hukum, maka nadzir harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Badan hukum Indonesia berkedudukan di Indonesia
b. Mempunyai perwakilan di Kecamtan tempat letak benda yang diwakafkannya.
Pasal 219 ayat (3) berbunyi: Nadzir dimaksud dalam ayat (1) dan (2) harus
didaftar pada Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat setelah mendengar saran
dari Camat dan Majlis Ulama Kecamatan untuk mendapatkan pengesahan.
Pasal 219 ayat (4) berbunyi: Nadzir sebelum melaksanakan tugas, harus
mengucapkan sumpah di hadapan Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan
disaksikan sekurang-kurangnya oleh 2 orang saksi dengan isi sumpah sebagai berikut:
“Demi Allah, saya bersumpah, bahwa saya untuk diangkat menjadi Nadzir langsung
atau tidak langsung dengan nama atau dalih apapun tidak memberikan atau
menjanjikan ataupun memberikan sesuatu kepada siapapun juga”. “Saya bersumpah,
bahwa saya untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatan ini tiada
ZISWAF; Jurnal Zakat dan Wakaf ( 2019, Vol. 6 No. 1)
(P-ISSN : 2461-0577 ; E-ISSN : 2477-5347)
31
sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun juga suatu janji
atau pemberian. “Saya bersumpah, bahwa saya senantiasa akan menjunjung tinggi
tugas dan tanggung jawab yang dibebankan kepada saya selaku nadzir dalam
pengurusan harta wakaf sesuai dengan maksud dan tujuannya.
Pasal 219 ayat (5) berbunyi: “Jumlah nadzir yang diperbolehkan untuk satu
unit perwakafan, seperti dimaksud pasal 215 ayat (5) sekurang-kurangnya terdiri dari
3 orang dan sebanyak-banyaknya 10 orang yang diangkat oleh Kepala Kantor Urusan
Agama Kecamatan atas saran Majelis Ulama Kecamatan dan Camat setempat”.
Apabila yang dimaksud dengan mauquf „alaih itu orang atau orang-orang yang
diberi harta wakaf, maka dalam hal ini ada 2 (dua) macam yaitu: (Sayyid Sabiq, 2006)
yaitu:
a. Wakaf Ahli (Wakaf Dzurri) (Departemen Agama RI, 2007) disebut juga wakaf
khusus yaitu wakaf yang sejak semula ditentukan kepada pribadi tertentu atau
sejumlah orang tertentu, sekalipun pada akhirnya untuk kemaslahatan dan
kepentingan umum karena apabila penerima wakaf telah wafat, harta wakaf itu
tidak dapat diwarisi oleh ahli waris yang menerima wakaf (Suhendi, 2005).
Persoalan yang mungkin timbul apabila anak atau cucu keturunan wakif sudah
tidak ada lagi atau mati punah, bagaimana kedudukan harta yang demikian.
Adanya kematian wakif dan tidak ada ahli waris wakif tersebut. Jadi, walaupun
anak atau keturunan lain, tetap saja objek wakaf berkedudukan sebagai harta
wakaf yang dapat dipergunakan oleh keluarga wakaf yang lebih jauh atau
dipergunakan untuk kepentingan umum. Di beberapa Negara yang mayoritas
penduduknya beragama Islam, seperti Negara-negara Timur Tengah misalnya,
wakaf ahli ini, setelah berlangsung puluhan tahun lamanya, menimbulkan masalah
terutama kalau wakaf keluarga itu berupa tanah pertanian. Maksud semula sama
dengan wakaf umum, untuk berbuat baik pada orang lain dalam rangka
pelaksanaan amal kebajikan menurut ajaran Islam. Namun, kemudian terjadilah
penyalahgunaan. Penyalahgunaan itu misalnya menjadikan wakaf keluarga itu
sebagai alat untuk menghindari pembagian atau pemecahan harta kekayaan pada
ahli waris yang berhak menerimanya setelah wakif meninggal dunia, dan selain itu
wakaf keluarga itu dijadikan alat untuk mengelakkan tuntutan kreditur terhadap
hutang-hutang yang dibuat oleh seseorang, sebelum ia mewakafkan tanahnya itu
(Khosyi‟ah, 2010). Oleh karena itu, di beberapa Negara, karena penyalahgunaan
ZISWAF; Jurnal Zakat dan Wakaf ( 2019, Vol. 6 No. 1)
(P-ISSN : 2461-0577 ; E-ISSN : 2477-5347)
32
tersebut, wakaf keluarga ini kemudian dibatasi dan bahkan dihapuskan (di Mesir
misalnya, pada tahun 1952), sebab praktek-praktek menyimpang yang demikian
tidak sesuai dengan ajaran Islam.
b. Wakaf Khairi, yaitu wakaf yang ditujukan peruntukkannya sejak semula ditujukan
untuk kepentingan umum (Ghazaly, 2010). Dalam penggunaan yang mubah (tidak
dilarang Tuhan) serta dimaksudkan untuk mendapatkan keridhaan Allah SWT
(Basyir, 1987). Seperti masjid, mushola, madrasah, pondok pesantren, perguruan
tinggi agama, kuburan, dan lain-lain. Wakaf umum inilah yang benar-benar dapat
dirasakan manfaatnya oleh masyarakat serta sejalan dengan perintah agama yang
secara tegas menganjurkan untuk menafkahkan sebagian dari kekayaan umat
Islam, untuk kepentingan umum yang lebih besar dan mempunyai nilai pahala
jariyah yang lebih tinggi. Artinya meskipun si wakif telah meninggal dunia, ia
akan tetap menerima pahala wakaf, sepanjang benda yang diwakafkan tersebut
tetap dipergunakan untuk kepentingan umum (Anshori, 2006). Wakaf dalam
bentuk ini benar-benar dapat dinikmati manfaatnya oleh masyarakat dan
merupakan salah satu sarana untuk menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat,
baik dalam bidang keagamaan maupun dalam bidang ekonomi, sosial, dan
pendidikan.
Wakaf khairi atau wakaf umum inilah yang paling sesuai dengan ajaran Islam
dan yang dianjurkan pada orang yang mempunyai harta untuk melakukannya guna
memperoleh pahala yang terus mengalir bagi orang yang bersangkutan kendatipun ia
telah meninggal dunia, selama wakaf itu masih dapat diambil manfaatnya (Nawawi,
2010).
Selain wakaf ahli dan khairi, Mundzir Kahf menambahkan wakaf musytarak
sebagai jenis ketiga, yang merupakan gabungan keduanya. Di dalamnya ada sebagian
yang merupakan bentuk khairi dan sebagian dzurri (Qahaf, 2008).
2. Mauquf ‘Alaih dan Syarat-syaratnya
Dalam hal distribusi wakaf, aturan syariah tidak begitu jelas dan tegas. Hal ini
tentu berbeda dengan zakat yang menegaskan distribusi zakat untuk ashnaf yang jelas.
Yang dimaksud dengan mauquf ’alaih adalah tujuan wakaf. Wakaf harus
dimanfaatkan dalam batas-batas yang sesuai dan diperbolehkan syari‟at Islam. Syarat-
ZISWAF; Jurnal Zakat dan Wakaf ( 2019, Vol. 6 No. 1)
(P-ISSN : 2461-0577 ; E-ISSN : 2477-5347)
33
syarat mauquf ’alaih adalah qurbat atau pendekatan diri kepada Allah. Oleh karena
itu yang menjadi objek atau tujuan wakaf (mauquf ’alaih)nya harus objek kebajikan
yang termasuk dalam bidang qurbat kepada Allah. Mauquf ’alaih tidak boleh
bertentangan dengan nilai-nilai ibadah, hal ini sesuai dengan sifat amalan wakaf
sebagai salah satu bagian dari ibadah (Departemen Agama RI, 2007).
Mauquf ’alaih harus merupakan hal-hal yang termasuk dalam kategori ibadah
pada umumnya, sekurang-kurangnya merupakan hal-hal yang dibolehkan atau mubah
meurut nilai Islam (Basyir, 1987). Selain tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai
ibadah, mauquf ’alaih harus jelas untuk kepentingan umum. Maukuf dipandang sah
apabila merupakan harta bernilai, tahan lama, dipergunakan dan murni hak milik
wakif. Harta wakaf dapat berupa benda tetap maupun benda-benda bergerak, maukuf
juga tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai ibadah, hal ini sesuai dengan sifat
amalan wakaf sebagai salah satu bagian dari ibadah.
Dalam literatur Fiqh, menurut Wahbah al-Zuhaili (al-Zuhaili, 1996) para
ulama terlibat perdebatan panjang tentang mauquf ’alaih dan syarat-
syaratnya. Menurut mereka mauquf ’alaihi dibagi menjadi mu’ayyan dan ghair
muayyan. Al-Mu’ayyan dapat berupa satu orang, dua orang, ataupun sekumpulan
orang (jamak). Sedangkan ghair al-mu’ayyan atau jihat al-waqf adalah kaum fuqara,
ulama, para qari‟, para pejuang, masjid-masjid, ka‟bah, pasukan dan persiapannya,
sekolah-sekolah, bendungan-bendungan, dan urusan merawat jenazah.
Berkenaan dengan al-mu’ayyan, para fuqaha bersepakat bahwa syaratnya
adalah kemungkinannya untuk memiliki (kaunuh ahl li al-tamalluk). Selanjutnya
mereka berbeda pendapat tentang wakaf untuk al-ma’dum (yang belum ada), al-
majhul (yang belum dikenal), dan untuk diri sendiri.
Sedangkan wakaf untuk ghair al-mu‟ayyan atau jihat al-waqf (sasaran wakaf)
adalah: pertama, hendaknya sasaran itu merupakan kebaikan dan kebajikan (jihat
khair wa birr) sehingga berinfak di dalamnya dapat dianggap bentuk taqarrub kepada
Allah; kedua, Abu Hanifah dan Muhammad menambahkan bahwa akhir dari wakaf
ahli hendaknya berupa sasaran yang tidak akan terputus selamanya. Ta‟bid
ZISWAF; Jurnal Zakat dan Wakaf ( 2019, Vol. 6 No. 1)
(P-ISSN : 2461-0577 ; E-ISSN : 2477-5347)
34
menurutnya adalah syarat dibolehkannya wakaf. Distribusi harta wakaf
diperuntukkan bagi sasaran tertentu (ghard al-waqf) dengan syarat-syarat diantaranya:
a. Sasaran itu berupa salah satu bentuk kebajikan (al-birr) seperti subsidi untuk
lembaga pendidikan umum dan khusus, pendirian perpustakaan, bantuan lembaga
kajian keilmuan dan keislaman, pemeliharaan anak yatim, para janda, orang lemah,
dan lain-lain.
b. Di dalamnya tidak terdapat maksiat yang diharamkan syariat dan hukumnya, atau
dicela oleh akhlaq yang terpuji.
c. Tidak bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku.
d. Akivitas kebajikan dalam sasaran wakaf hendaknya bersifat kontinyu.
e. Barang yang diwakafkan tidak kembali kepada si wakif.
f. Pihak yang diberi wakaf cakap hukum untuk memiliki dan menguasai harta wakaf
(al-Kabisi, 2004).
Dalam rangka mencapai tujuan dan fungsi wakaf, di dalam Pasal 22 Undang-
Undang Nomor 41 Tahun 2004 menyebutkan bahwa harta benda wakaf hanya dapat
diperuntukan bagi sarana dan kegiatan ibadah; sarana dan kegiatan pendidikan serta
kesehatan; bantuan kepada fakir miskin, anak terlantar, yatim piatu, beasiswa;
kemajuan dan peningkatan ekonomi umat; dan kemajuan kesejahteraan umum lainnya
yang tidak bertentangan dengan syariah dan peraturan perundang-undangan
(Departemen Agama RI, 2007).
Hanya saja menurut Mondzer Kahf, sasaran-sasaran kebajikan ini tidaklah
mungkin untuk dibatasi, dan karenanya para fuqaha mengulasnya secara detail. Yang
utama adalah hendaknya ditunjukkan dalam undang-undang sebagian bentuk-bentuk
kebajikan itu, sehingga dapat diqiyaskan kepadanya dan dijadikan pedoman. Setiap
masyarakat dan negara berhak memilih kebajikan yang lebih cocok dan diperlukan
sesuai dengan keadaan masyarakat, tingkat ekonomi, dan kontruksi sosialnya. Dengan
hal ini diharapkan dan mengundang manusia mewakafkan harta untuk tujuan-tujuan
yang paling banyak manfaatnya (Qahaf, 2008).
3. Problematika Seputar Mauquf ‘Alaih
Para fuqaha mempersoalkan beberapa hal yang berkaitan dengan mauquf
„alaih yaitu:
ZISWAF; Jurnal Zakat dan Wakaf ( 2019, Vol. 6 No. 1)
(P-ISSN : 2461-0577 ; E-ISSN : 2477-5347)
35
a. Apakah anak yang masih dalam kandungan dapat menerima wakaf.
Mewakafkan sesuatu kepada orang yang akan dilahirkan, menurut
Imamiyah, Syafi‟i, dan Hambali, wakaf tersebut tidak sah, namun menurut Maliki
sah. Dalam kitab Syarah az-Zarqani Ala Abi Dhiya, jilid VII, dikatakan, “Wakaf
untuk orang yang akan dilahirkan adalah sah, dan ia berlaku sejak anak tersebut
dilahirkan. Akan tetapi, bila tidak ada harapan lagi akan kehamilan atau anak
tersebut meninggal, wakafnya batal.
Para ulama mazhab sepakat terhadap orang yang belum ada tetapi
merupakan kelanjutan dari orang yang sudah ada adalah sah, misalnya
mewakafkan kepada anak-anaknya dan keturunan mereka yang akan lahir. Adapun
wakaf kepada anak yang ada dalam kandungan, menurut Imamiyah, Syafi‟i, dan
Hambali, tidak sah sebab dia belum memiliki kelayakan untuk memiliki, kecuali
sesudah dilahirkan dalam keadaan hidup (Khosyi‟ah, 2010).
b. Apakah hamba sahaya dapat menerima wakaf.
Menurut Al-Rafi‟i, seorang pemuka mazhab Syafi‟i, menegaskan tidak dapat,
dengan alasan bahwa hamba sahaya adalah person yang tidak berhak memiliki
harta. Lain halnya apabila seorang hamba menerima wakaf dengan melibatkan
nama tuannya, seperti pewakaf mengatakan: wakaf ini untuk hamba sahaya tuan
A, maka wakafnya sah. Dan apabila pada suatu saat ia dibebaskan, maka wakaf
tersebut menjadi miliknya, bukan menjadi milik tuannya. Persoalan ini lebih
meruncing apabila hamba sahaya tersebut dijual ke pihak lain, maka apakah
wakafnya turut berpindah bersama dengan kepindahan hamba tersebut atau tidak.
Jawabannya tidak, karena hamba adalah person yang tidak berhak memiliki harta.
Namun demikian, sekalipun pemberian wakaf berkaitan dengan nama tuannya,
tetapi tidak menjadi milik tuannya itu. Kemudian kemanakah harta wakaf tersebut
disalurkan. Persoalan ini sama dengan wakaf-wakaf terlantar akibat penerimanya
terputus, apabila pihak penerima adalah perorangan, dikembalikan pada keluarga
pewakaf atau disalurkan ke baitul mal (Muzarie, 2010).
c. Apakah seseorang boleh mewakafkan harta untuk dirinya sendiri.
ZISWAF; Jurnal Zakat dan Wakaf ( 2019, Vol. 6 No. 1)
(P-ISSN : 2461-0577 ; E-ISSN : 2477-5347)
36
Kelompok Malikiyah menyatakan bahwa wakaf untuk diri sendiri (‘ala nafsih)
tidaklah sah meskipun diikuti dengan selain ahli waris, seperti ungkapan “aku
wakafkan harta ini untuk diriku dan untuk fulan”. Dalam hal ini wakaf untuk diri
sendiri menjadi batal, demikian pula untuk orang lain yang bersamanya kecuali jika
harta itu dikuasai oleh orang tersebut. Jika seseorang mewakafkan hartanya untuk diri
sendiri, kemudian untuk anak-anaknya sesudahnya, maka harta itu menjadi wakaf
setelah ia meninggal, jika para anak menguasainya sebelum adanya mani’ (halangan).
Atau dapat (dikatakan) juga wakaf bagi diri sendiri menjadi batal, sedangkan untuk
yang lain tetap sah, baik wakaf untuk diri sendiri itu mendahului, atau terlambat, atau
bersamaan dengan wakaf untuk orang lain (Departemen Agama RI, 2007).
Kelompok Syafi‟iyyah menyatakan bahwa wakaf untuk diri sendiri tidaklah
dapat dibenarkan, disebabkan tidak adanya kemungkinan bagi seseorang untuk
memberikan kepemilikian apa yang sudah dimilikinya. Madhab Hanabilah secara
umum memiliki pendapat seperti Syafi‟iyyah. Wakaf untuk diri sendiri juga batal,
dikarenakan siapa yang mewakafkan sesuatu secara sah, maka manfaat hartanya
menjadi milik mauquf ‘alaih dan sebaliknya akan hilang dari diri wakif kepemilikan
terhadap harta dan manfaatnya. Tidak sah baginya untuk mengambil manfaat dari
harta itu, dikarenakan wakaf adalah pemindahan kepemilikan baik bentuk ruqbah
maupun manfaat, dan keduanya tidak sah dalam hal ini. Padahal tidak diperbolehkan
bagi seseorang untuk memberikan untuk dirinya sesuatu dari dirinya sendiri, seperti
halnya menjual sesuatu untuk diri sendiri. Hanya saja, bagi diri wakif diperbolehkan
untuk mengambil manfaat dari mauquf, jika ia mewakafkan untuk orang lain seperti
masjid, dalam beberapa hal:
a.) Ia mewakafkan sesuatu bagi kaum muslimin, dan ia masuk dalam golongan
mereka seperti halnya jika ia mewakafkan sebuah masjid, maka diperbolehkan
baginya untuk shalat di dalamnya, atau jika ia mewakafkan kuburan, ia
diperkenankan untuk dikubur di dalamnya.
b.) Ia mensyaratkan dalam wakaf untuk mendapatkan nafkah darinya, sebagaimana
diriwayatkan Ahmad dari Hijr al-Madr bahwa dalam sedekah Rasulullah SAW
beliau memperbolehkan keluarganya untuk makan secara ma’ruf dan tidak
munkar, dan disebabkan bahwa Umar RA ketika mewakafkan berkata “tidak
ZISWAF; Jurnal Zakat dan Wakaf ( 2019, Vol. 6 No. 1)
(P-ISSN : 2461-0577 ; E-ISSN : 2477-5347)
37
mengapa bagi yang mengurus wakaf untuk memakannya atau memberi makan
teman tanpa keinginan untuk memiliki (mutamawwil).
c.) Wakif mensyaratkan untuk memberi makan keluarganya, maka wakaf dan syarat
tersebut dibenarkan karena Nabi SAW mensyaratkan hal itu dalam sedekahnya
(al-Zuhaili, 1996).
Jika yang bertindak sebagai wali wakaf (nadzir) adalah wakif sendiri, maka
diperbolehkan baginya untuk makan dari harta wakaf itu, memberi makan teman,
dikarenakan Umar bertindak sebagai wali sedekahnya.
Sayid sabiq menjelaskan bahwa sebagian ulama seperti Abu Hanifah, Ibnu Abi
Laila, Abu Yusuf, dan Ahmad membolehkan wakaf untuk diri sendiri berdasarkan
petunjuk Nabi kepada orang yang bertanya kepadanya. Yang artinya: “berikan sedekah
dengan harta tersebut untuk dirimu sendiri” (Muzarie, 2010).
d. Apakah wakaf untuk binatang diperbolehkan.
Hal ini masih menjadi bahan pertanyaan karena kemungkinan yang dimaksud
adalah mewakafkan untuk pemiliknya, bukan untuk binatangnya. Apabila yang
dimaksud adalah untuk binatang hukumnya tidak sah karena binatang tidak layak
memiliki harta. Abu Said Al-Mutawalli, seperti dikemukakan Al-Rafi‟i, menjelaskan
bahwa apabila seseorang mewakafkan lahan untuk penggemukan ternak orang lain,
diperselisihkan ulama mengenai hukumnya. Sebagian mereka memandang sah karena
yang dimaksud adalah mewakafkan kepada pemiliknya, bukan kepada binatangnya
(Muzarie, 2010).
e. Apakah diperbolehkan wakaf kepada orang yang sengaja mengabdikan dirinya untuk
memelihara ka‟bah atau untuk memelihara makam Nabi.
Sebagian ulama membolehkan dan sebagian lagi tidak membolehkan. Menurut
Al-Rafi‟i, pendapat yang benar adalah pendapat yang membolehkan. Di masyarakat
Indonesia banyak wakaf yang diberikan kepada orang yang sengaja mengabdikan
dirinya untuk mengurus masjid atau mengurus tempat-tempat ibadah. Tujuannya agar
yang bersangkutan memperoleh kesejahteraan dari hasil wakaf dan lebih tekun dalam
mengurus lembaga tersebut.
ZISWAF; Jurnal Zakat dan Wakaf ( 2019, Vol. 6 No. 1)
(P-ISSN : 2461-0577 ; E-ISSN : 2477-5347)
38
f. Apakah wakaf untuk kuburan diperbolehkan.
Wakaf untuk kuburan dipersoalkan karena dapat diartikan sebagai wakaf yang
ditujukan untuk orang-orang yang sudah mati. Apabila sesorang mewakafkan
hartanya untuk memelihara kuburan, maka menurut Al-Rafi‟i hukumnya tidak boleh.
Alasannya karena orang-orang mati akan hancur dan memelihara atau merawatnya
tidak sesuai dengan kepentingan mereka, berarti amal wakaf akan sia-sia.
Namun demikian para ulama membolehkan wasiat untuk memelihara kuburan
para Nabi, para Wali, dan Ulama serta orang-orang saleh, karena memelihara dan
menghidupkan kuburan mereka diperbolehkan dengan harapan akan dapat
memberikan keberkahan, berupa semangat baru dalam memperjuangkan Islam.
g. Apakah wakaf kepada orang-orang shufi diperbolehkan.
Orang-orang shufi adalah orang-orang yang sudah berpaling dari kehidupan
duniawi dan menghabiskan hampir seluruh waktunya untuk beribadah kepada Allah.
Menurut Syaikh Abu Muhammad, seperti dijelaskan Al-Rafi‟i, mewakafkan kepada
orang-orang shufi tidak sah karena tidak ada tempat untuk memanfaatkan wakaf
tersebut berhubung dengan keshufiannya itu. Namun menurut pendapat yang populer
di kalangan ulama fikih, wakaf kepada orang-orang shufi hukumnya sah, dengan
syarat yang bersangkutan berlaku adil dan sengaja meninggalkan pekerjaan untuk
menekuni ibadah kepada Allah.
h. Apakah wakaf kepada orang kaya diperbolehkan.
Berkenaan dengan wakaf untuk orang kaya (aghniya‟), para ulama memiliki
beragam pendapat. Al-Hanafiyah menyatakan tidak sah wakaf yang mengkhususkan
orang kaya tanpa orang miskin karena hal itu bukanlah sebuah qurbah. Syafi‟iyyah
dan Malikiyah menyatakan sahnya wakaf untuk sasaran yang tidak tampak sebagai
qurbah dengan mempertimbangkan bahwa wakaf adalah bentuk tamlik. Sedekah juga
diperbolehkan atas orang kaya. Kelompok Hanabilah menyatakan tidak sahnya wakaf
yang diberikan untuk orang kaya (al-Zuhaili, 1996).
ZISWAF; Jurnal Zakat dan Wakaf ( 2019, Vol. 6 No. 1)
(P-ISSN : 2461-0577 ; E-ISSN : 2477-5347)
39
i. Apakah wakaf kepada orang non muslim diperbolehkan.
Kelompok Hanafiyah berpendapat bahwa wakaf dzimmi, majusi dapat
dibenarkan karena kaum majusi termasuk ahl al-dzimmah. Sedangkan wakaf seorang
muslim atau dzimmi untuk gereja atau seorang kafir harbi tidaklah sah disebabkan hal
tersebut tidak dapat disebut sebagai qurbah. Wakaf untuk dzimmi dikarenakan wakaf
tidak merupakan qurbahbagi diri kita dan dirinya secara bersamaan. Sedangkan wakaf
bagi harbi, dikarenakan kita telah dilarang untuk berbuat baik kepada mereka.
g. Kelompok Malikiyah menyatakan bahwa wakaf yang berasal dari seorang muslim
untuk dzimmi meskipun ia bukan ahl kitab adalah sah, dan tidah sah wakaf untuk
harbi. Kelompok Syafi‟iyyah menyatakan bahwa wakaf kepada murtad dan harbi
tidaklah dapat dibenarkan disebabkan mereka berdua rawan (‘urdat) untuk dibunuh
sehingga tidak ada (jaminan) kelanggengan hidup mereka, padahal wakaf merupakan
sedekah jariyah. Tidak ada wakaf bagi seseorang yang tidak memiliki kelanggengan
apalagi dengan kekufurannya. Wakaf bagi murtad dan harbi merupakan jihat
ma‟siyat. Sedangkan wakaf dari seorang muslim atau dzimmi bagi dzimmi mu‟ayyan,
ia diperbolehkan karena merupakan qurbah tetapi dipersyaratkan didalamnya tidak
adanya maksud untuk ma‟siyat (al-Kabisi, 2004).
Madhab Hanabilah secara umum memiliki pendapat seperti Syafi‟iyyah.
Wakaf untuk murtad dan harbi tidak sah, dikarenakan harta mereka pada asalnya
adalah mubah, boleh diambil dengan penaklukan atau paksaan. Padahal wakaf
diperkenankan untuk sesuatu yang bersifat mubah al-asl, karena ia merupakan bentuk
tahbis al-asl (penahanan harta pokok). Hukum wakaf untuk dzimmi adalah sah,
dikarenakan mereka memiliki kepemilikan yang dihormati (milk muhtaram),
sebagaimana diperbolehkan bersedekan untuk mereka seperti halnya kaum muslimin.
Dalil diperbolehkannya wakaf seorang muslim untuk dzimmi adalah yang
diriwayatkan bahwa Shafiyyah bin Huyyi istri Nabi Sallahu „alai wasallam
mewakafkan untuk saudaranya seorang yahudi.
SIMPULAN
Dalam uraian pada halaman sebelumnya dapat disimpulkan bahwa perdebatan
ZISWAF; Jurnal Zakat dan Wakaf ( 2019, Vol. 6 No. 1)
(P-ISSN : 2461-0577 ; E-ISSN : 2477-5347)
40
ulama berkenaan al-mauquf ‘alaih memberikan penegasan bahwa upaya untuk
menentukan sasaran dan peruntukan wakaf sangat terbuka. Acuan bahwa sasaran
tersebut haruslah berupa qurbah atau merupakan bentuk al-birr (kebajikan) baik
menurut ukuran syari‟ah maupun wakif, merupakan pegangan pokok yang mendasari
setiap interpretasi kontemporer dalam pemberdayaan pemanfaatan hasil wakaf.
Tentunya mempertimbangkan setiap sasaran wakaf turut membantu dalam
menentukan pilihan. Artinya peruntukan wakaf dimulai dari yang lebih penting, baru
kemudian yang penting berikutnya, dijadikan pijakan kedua dalam distribusi hasil
wakaf. Dengan mencermati hal tersebut semoga tujuan utama wakaf serta
kepentingan wakif dalam mewakafkan hartanya dapat terjaga dan terealisasi. Wallahu
a‟lam.
DAFTAR PUSTAKA
.
--------- (2006). okok-Pokok Hukum Perjanjian Islam di Indonesia. Yogyakarta: Citra
Media.
----------. (2007). Fiqih Wakaf. Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf dan
Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam.
----------.. (2007). Paradigmna Baru Wakaf di Indonesia. Jakarta: Direktorat
Pemberdayaan Wakaf dan Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam.
----------.. (2007). Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf &
Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaannya. Jakarta: Direktorat
Pemberdayaan Wakaf dan Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam.
al-Kabisi, Muhammad Abid Abdullah. (2004). Hukum Wakaf, terj.Ahrul Sani
Faturrahman dan Kuwais Mandiri Cahaya Persada. Jakarta: Dompet Du‟afa Republika dan
IIMan.
al-Zuhaili, Wahbah. (1996). al-Fiqh al-Islam wa Adillatihu. Beirut: Daar al-Fikr, jilid
V111.
Anshori, Abdul Ghafur. (2005). Hukum dan Praktik Perwakafan di Indonesia,
Yogyakarta: Pilar Media.
ZISWAF; Jurnal Zakat dan Wakaf ( 2019, Vol. 6 No. 1)
(P-ISSN : 2461-0577 ; E-ISSN : 2477-5347)
41
Anshori, Abdul Ghofur. (2010). Hukum Perjanjian Islam Di Indonesia ;Konsep
Regulasi dan Implementasi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Basyir. (1987). Ahmad Azhar. Hukum Islam Tentang Wakaf, Ijarah, Syirkah.
Bandung: Al Ma‟arif.
Departemen Agama RI. (2007). Pedoman Pengelolaan Wakaf Tunai. Jakarta:
Direktorat Pemberdayaan Wakaf dan Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam.
Ghazaly, Abdul Rahman. et. All ( 2010). Fiqh Muamalat. Jakarta: Kencana.
Khosyi‟ah, Siah. (2010). Wakaf dan Hibah Perspektif Ulama Fiqh Dan
Perkembangannya di Indonesia. Bandung: Pustaka Setia.
Manan, M.A. (2001). Sertifikat Wakaf Tunai. Depok: Ciber PKTTI-UI.
Mughniyah, Muhammad Jawad. (2001). Fikih Lima Mazhab. Jakarta: Lentera.
Muttaqien, Dadan dkk. (1999) Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Indonesia,
Yogyakarta: UII Press.
Muzarie, Mukhlisin. (2010). Hukum Perwakafan Dan Implikasinya Terhadap
Kesejahteraan Masyarakat. Jakarta: Kementerian Agama RI.
Nawawi, Ismail. (2010). Fiqh Mu’amalah. Surabaya:Putra Mesia Nusantara.
Peraturan Badan Wakaf Indonesia Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur
Penyusunan Rekomendasi terhadap Permohonan Penukaran/ Perubahan Status Harta
Benda Wakaf.
Peraturan Badan Wakaf Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 tentang Pedoman
Pengelolaan dan Pengembangan Harta Benda Wakaf Berupa Uang.
Peraturan Badan Wakaf Indonesia Nomor 3 Tahun 2008 tentang Tata Cara
Pendaftaran dan Penggantian Nazhir Harta Benda Wakaf Tidak Bergerak Berupa
Tanah.
Peraturan Menteri Agama Nomor 4 Tahun 2009 tentang Administrasi Pendaftaran
Wakaf Uang.
Peraturan Menteri Agama Nomor 73 Tahun 2013 tentang Tata Cara Perwakafan
Benda Tidak Bergerak dan Benda Bergerak Selain Uang.
Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan
Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41
Tahun 2004 tentang Wakaf.
Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.
Praja, Juhaya S. (1995). Perwakafan di Indonesia: Sejarah, Pemikiran, Hukum dan
Perkembangannya, Bandung: Yayasan Piara.
Qahaf , Mundzif . (2008). Manajemen Wakaf Produktif . Jakarta: Khalifa.
Rofiq, Ahmad. (2003). Hukum Islam di Indonesia,Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2003.
Sabiq, Sayyid. (2006). Fiqih Sunnah. Jakarta: Pena Pundi Aksara.
Suhadi, Imam. (1985). Hukum Wakaf di Indonesia, Yogyakarta: Dua Dimensi.
ZISWAF; Jurnal Zakat dan Wakaf ( 2019, Vol. 6 No. 1)
(P-ISSN : 2461-0577 ; E-ISSN : 2477-5347)
42
Suhendi, Hendi. (2005). Fiqh Muamalah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
UU Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf