Apa yang dimaksud dengan amar ma ruf nahi munkar sesuai Quran surah Ali Imran ayat 104?

Makna di antara kamu surat Ali Imran ayat 104 mempunyai makna tersendiri.

Selasa , 29 Sep 2020, 05:55 WIB

Makna di antara kamu surat Ali Imran ayat 104 mempunyai makna tersendiri. Alquran dan Dzikir (ILustrasi)

Rep: Syalaby Ichsan Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, Umat Rasulullah SAW kini memegang tongkat risalah dakwah. Meski tantangannya tidak 'sebrutal' apa yang dihadapi para nabi dan rasul terdahulu, para dai harus menghadapi 'musuh' yang menyerang langsung ke pemikiran dan pengetahuan manusia. 

Dengan segala propagandanya, musuh itu mampu membuat kita menjadi manusia imitatif sesuai dengan agenda mereka. Informasi yang masuk justru memprovokasi kita untuk berkelahi antarsesama.

Era digital kini memungkinkan saluran informasi terbuka bagi siapa saja. Dengan bekal beberapa ayat dan tampilan Islami, semua bisa berceramah dan berpidato layaknya ajengan, ustadz, dan kiai. Padahal, secara eksplisit, Allah SWT menjelaskan dalam Alquran mengenai tugas dakwah yang harus dilakukan manusia.

وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

"Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang mengajak kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Merekalah orang-orang beruntung" (QS Ali Imran: 104).

Dalam Tafsir Al Misbah, Prof Quraish Shihab menjelaskan, kata minkum (di antara kamu) dalam ayat di atas dipahami para ulama dengan arti sebagian. Dengan demikian, perintah berdakwah dalam ayat ini tidak tertuju kepada setiap orang.

Karena itu, bagi mereka yang menafsirkan dengan makna tersebut, ayat ini mengandung dua macam perintah. Pertama, segenap kaum Muslimin untuk membentuk dan menyiapkan satu kelompok khusus yang bertugas melaksanakan dakwah.

Perintah kedua, kelompok khusus itu seyogianya bisa melaksanakan dakwah menyeru kepada kebajikan dan mencegah kemungkaran.

Meski demikian, Quraish menjelaskan, ada juga ulama yang memfungsikan kata minkum dalam arti penjelasan. Karena itu, ayat ini merupakan perintah kepada setiap Muslim untuk melaksanakan tugas dakwah masing-masing sesuai kemampuannya.

Menurut Quraish, jika dakwah yang di mak sud adalah dakwah sempurna, tentu tidak semau orang dapat melakukannya. Di sisi lain, butuh kelompok khusus untuk dakwah mengingat era keterbukaan informasi seperti sekarang ini amat rentan konten-konten sesat yang membuat umat bingung dan ragu.

Karena itu, Quraish berpendapat, lebih tepat memahami kata minkum dalam arti sebagian kamu tanpa menutup kewajiban semua Muslim untuk saling mengingatkan. Bukankah dalam QS al-Ashr, Allah SWT berfirman jika semua manusia mengalami kerugian kecuali mereka yang beriman dan beramal saleh dan saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran.

Tidak hanya itu, hadits Rasulullah SAW untuk menyampaikan walau hanya satu ayat—(Sampaikan dariku walau hanya satu ayat/HR Bukhari)—bisa tetap dijalankan sesuai dalam konteks saling menasihati an tarsesama Muslim. 

Hendaknya setiap manusia menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar.

Senin , 25 Oct 2021, 12:15 WIB

republika

Makna Kata Minkum dalam Surat Ali Imran Ayat 104

Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Hanan Aslamiyah Thoriq, Mahasiswi PUTM Yogyakarta

Baca Juga

Bahasa arab merupakan bahasa yang memiliki beragam kosakata dengan makna yang unik serta autentik. Salah satu contoh keberagaman bahasa arab termaktub dalam surat Ali Imran (3): 104. Pada ayat tersebut, terdapat lafadz minkum yang dapat dimaknai sebagai min bayaniah yang berarti memberi penjelasan atau min ba’dhiyah yang manunjukkan arti sebagian. 

Selain itu, ayat inilah yang menjadi spirit K.H Ahmad Dahlan mendirikan organisasi Muhammadiyah. Adapun bunyi ayatnya adalah sebagai berikut :

 وَلْتَكُنْ مِّنْكُمْ اُمَّةٌ يَّدْعُوْنَ اِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۗ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ  .

Artinya: “Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.”

Dalam tafsir al-Manar karya Rasyid Ridho murid dari Muhammad Abduh, dijelaskan bahwa para mufassir berbeda pendapat ketika menafsirkan lafadz minkum pada ayat diatas. Al-Jalal, al-Kasyaf dan lainnya berpendapat lafadz minkum dalam surat Ali Imran ayat 104 bermakna sebagian yang menunjukkan arti bahwa; menyeru kepada amar ma’ruf nahi mungkar hukumnya adalah fardu kifayah.

Sedangkan pendapat kedua mengatakan bahwa lafadz “minkum” pada ayat tersebut bermakna penjelasan. Jika dinarasikan menjadi “hendaklah kalian (semua) menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar”, bukan bermakna “sebagian” sebagaimana pendapat pertama.

Senafas dengan pendapat kedua, imam Muhammad Abduh berkata bahwasanya firman Allah tersebut merupakan perintah yang bersifat amm (umum). Hal ini menunjukkan implikasi hukumnya adalah fardu ‘ain.

Lalu beliau pertegas keumuman tersebut dengan firman Allah dalam Q.S al-Ashr sebagai berikut :

وَالْعَصْرِۙ . اِنَّ الْاِنْسَانَ لَفِيْ خُسْرٍۙ . اِلَّا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ ەۙ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ . ࣖ

Artinya: “Demi masa. Sungguh, manusia berada dalam kerugian.  kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran.”

Surat al-Ashr diatas menunjukkan bahwasanya setiap manusia memiliki kewajiban untuk saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran yang merupakan bagian dari perbuatan amar ma’ruf nahi mungkar. Selain dalam surat al-Ashr, Allah Azza wa Jalla juga berfirman dalam Q.S. al-Ma’idah ayat 78- 79, berikut :

لُعِنَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا مِنْۢ بَنِيْٓ اِسْرَاۤءِيْلَ عَلٰى لِسَانِ دَاوٗدَ وَعِيْسَى ابْنِ مَرْيَمَ ۗذٰلِكَ بِمَا عَصَوْا وَّكَانُوْا يَعْتَدُوْنَ . كَانُوْا لَا يَتَنَاهَوْنَ عَنْ مُّنْكَرٍ فَعَلُوْهُۗ  لَبِئْسَ مَا كَانُوْا يَفْعَلُوْنَ .

Artinya: “Mereka tidak saling mencegah perbuatan mungkar yang selalu mereka perbuat. Sungguh, sangat buruk apa yang mereka perbuat. Orang-orang kafir dari Bani Israil telah dilaknat melalui lisan (ucapan) Dawud dan Isa putra Maryam. Yang demikian itu karena mereka durhaka dan selalu melampaui batas.”

Ayat diatas memberikan isyarat kepada kita bahwa Allah tidak mengkisahkan kehidupan orang-orang terdahulu kecuali untuk diambil hikmahnya. Adapun hikmah yang dapat dipetik ialah hendaknya setiap manusia saling menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar supaya tidak terulang kembali laknat Allah kepada orang-orang kafir dari bani Israil yang enggan saling menasihati dalam kebaikan dan mencegah manusia dari perbuatan mungkar.

Akan tetapi, penjelasan Imam Muhammad Abduh ini disanggah oleh mufassir yang lain (baca: al-Jalal) bahwasanya ia menolak keumuman perintah pada ayat tersebut Q.S Ali Imran ayat 104). Sebab al-Jalal mensyaratkan bagi orang yang hendak berdakwah amar ma’ruf nahi mungkar adalah orang-orang yang ‘aalim, yaitu mengetahui perbuatan ma’ruf yang ia perintahkan dan mengetahui perbuatan mungkar yang ia larang. Senada dengan hal tersebut, al-Jalal menyebutkan bahwa ditengah-tengah manusia terdapat orang-orang yang tidak mengetahui hukum-hukum Allah.

Namun, Imam Abduh membantah sanggahan tersebut dengan pernyataan bahwa; perkara yang telah ditetapkan dalam al-Qur’an dan hukum-hukum Allah tidak mungkin bagi seorang muslim untuk tidak mengetahuinya (mana perbuatan yang ma’ruf dan mana perbuatan yang mungkar). Secara umum, perbuatan ma’ruf  adalah sesuatu yang diketahui oleh akal dan merupakan watak yang bersih sedangkan mungkar adalah sesuatu yang diingkari, baik oleh akal maupun naluri manusia. 

Dan untuk mengetahui hal tersebut, seorang muslim tidak perlu bersusah payah membaca kitab-kitab terdahulu atau menuliskannya dalam sebuah buku, dikarenakan hal tersebut telah menjadi fitrah manusia. Oleh karena itu menurut Muhammad Abduh, seawam-awamnya orang islam pasti mengetahui antara yang baik dan buruk, hanya saja berbeda pada tinggi tingkat keilmuannya.

Ringkasnya, seorang muslim tentu saja memahami bahwa tolong menolong adalah akhlak terpuji, sedangkan perbuatan mencuri, mencaci, membunuh adalah perbuatan tercela. Sesederhana inilah yang menjadi tekanan bahwa menyeru kepada kebaikan dan mencegah dari keburukan menjadi kewajiban masing-masing individu umat muslim. Sebab, jika seorang muslim bersikap berlebih-lebihan dalam meninggalkan nasihat maka akan berdampak pada kosongnya hati dan bertebarannya kemaksiatan di muka bumi.

Dengan demikian, dalam tafsir al-Manar makna lafadz “minkum” Q.S Ali Imran (3): 104 dimaknai sebagai min bayaniah yang berlaku pada setiap umat muslim, bukan hanya berlaku untuk sebagain saja sebagaimana pendapat mufassir yang lain. Perlu digarisbawahi bersama pula bahwa penafsiran para mufassir ini bersifat variatif bukan kontradiktif, yakni berbeda dalam menafsirkan lafadz “minkum” namun tetap berorientasi pada kewajiban ber-amar ma’ruf nahi mungkar. Dan hal inilah yang sejatinya menujukkan kepada kita bahwa ilmu Allah begitu luas untuk umur yang terbatas.

Wallahu a’lam bisshawab.

Link artikel asli

  • surat ali imran ayat 104
  • minkum
  • amar maruf nahi munkar
  • muslim
  • allah

sumber : Suara Muhammadiyah

Silakan akses epaper Republika di sini Epaper Republika ...

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA