Apa yang dilakukan Gerwani?

Merdeka.com - Di akhir tahun 1965, perhatian warga Desa Jombang, Kecamatan Jombang, Jember, Jawa Timur, tertuju ke sebuah kolam kering yang ada di belakang rumah Suratman. Sejak beberapa pekan sebelumnya, Suratman selalu menjelaskan kepada para tetangga, bahwa kolam sedalam tiga meter dengan panjang sekitar lima meter itu, akan dia gunakan untuk budidaya ikan lele.

Tetapi rupanya, Suratman punya rencana lain atas kolam tersebut. "Kolam tersebut rencananya akan dijadikan kuburan massal, untuk tokoh-tokoh di Desa Jombang yang akan dihabisi oleh PKI. Senjata juga sudah mereka siapkan, dengan disimpan di sumur yang ada di kantor PKI Desa Jombang," ujar KH Abdullah Ubaid Syafawi, tokoh masyarakat Desa Jombang, menceritakan pengalaman yang dia lihat di masa kecilnya.

©2021 Merdeka.com

Kiai yang Melindungi 'Simpatisan' PKI

Situasi menjadi berbalik setelah G30S dinyatakan gagal, dan seluruh basis massa PKI diburu militer bersama rakyat. Perburuan terhadap mereka yang dianggap terafiliasi kepada PKI juga dilakukan di wilayah Kecamatan Kencong, termasuk Desa Jombang. Hal itu menimbulkan ketakutan bagi mereka yang pernah terlibat atau sempat dicap sebagai pendukung PKI.

"Sejumlah perempuan anggota Gerwani yang sebelumnya tidak pernah ke pondok, langsung tergopoh-gopoh lari ke Ponpes Madaf. Mereka meminta perlindungan dan berharap agar bisa diakui sebagai santriwati," ujar KH Abdullah Ubaid Syafawi, putra KH Syafawi, pengasuh Ponpes Madaf.

Meski pernah nyaris dibunuh dan menjadi musuh politik PKI, permintaan para anggota Gerwani itu dituruti oleh KH Syafawi. Tak ada dendam yang menyertainya. Banyak di antara para anggota Gerwani itu yang tidak memiliki kerudung (jilbab). Karena itu, Nyai Zainab Hanafi (istri KH Syafawi), meminta agar para santriwati Ponpes Madaf untuk meminjamkan kerudung mereka kepada para anggota Gerwani.

BACA JUGA:
Menengok markas PKI yang telah matiTry Sutrisno: Jangan pernah melupakan Pancasila

"Para perempuan anggota Gerwani itu lalu diminta berkumpul di halaman pesantren. Mereka dituntut untuk kembali membaca dua kalimat syahadat. Kalau perlu, jika ditanya tentara, mereka diminta untuk mengaku sebagai anggota Muslimat NU (ormas perempuan milik NU)," papar KH Abdullah Ubaid Syafawi.

Nasib apes juga menimpa sejumlah pria warga Desa Jombang. Mereka terkena label PKI karena diketahui pernah menonton acara kesenian yang digelar oleh Lekra. Para pria ini lantas berbondong-bondong meminta perlindungan ke Pondok Pesantren Mabdaul Maarif (Madaf). "Semuanya diterima dengan tangan terbuka," lanjut KH Ubaid.

Bahkan, di seberang pesantren, terdapat seorang pria yang belakangan diketahui sebagai intel 'swasta' PKI. Saat masa jaya PKI, si pria yang tidak disebutkan namanya itu, ditugaskan oleh partai untuk memata-matai gerak-gerik dari KH Syafawi. Identitas mata-mata PKI level desa ini kemudian terdeteksi oleh tentara yang ditugaskan untuk membasmi PKI pasca G30S.

Sang intel PKI itu kemudian lari menyelamatkan diri ke Ponpes Madaf. Ia meminta perlindungan kepada KH Syafawi, tokoh yang selama ini ia mata-matai.

BACA JUGA:
Alisa Wahid: Orde Baru dulu tak ingin Islam berkembangPolitisi Golkar puji kekuatan ideologi PKI

"Saat itu pria tersebut menangis, membuat pengakuan bersalah kepada KH Syafawi. Beberapa saat kemudian, datang tentara mencari si pria itu untuk ditangkap. Tetapi langkah tentara itu justru dicegah oleh KH Syafawi. Kepada tentara, KH Syafawi berbohong dengan mengatakan pria tersebut adalah warga NU, bukan PKI. Berbohong demi menyelamatkan nyawa orang lain," tutur Rijal Mumazziq Zionis, penulis buku biografi 'Khidmah Keummatan: KH Syafawi Ahmad Basyir', yang saat ini menjadi Rektor INAIFAS Kencong.

Melalui sejumlah upaya, KH Syafawi Ahmad Basyir setidaknya berhasil meredam atau mengurangi gejolak yang ada di sekitarnya, pasca G30S 1965. KH Syafawi Ahmad Basyir meninggal dunia pada 9 September 1984 pada usia 83 tahun. Ia meninggalkan seorang istri dan 7 putra-putri, sejumlah cucu dan pesantren yang hingga kini masih kokoh berdiri.

(mdk/cob)