Apa yang di sebut dengan kedudukan kodrat

You're Reading a Free Preview
Page 3 is not shown in this preview.

DAFTAR PUSTAKA

Aji Damanhuri, Metodologi Penelitian Mu’amalah, STAIN Ponorogo Press, Ponorogo, 2010.

Ali Mudhofir, Garis Besar Filsafat, Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta, 1996.

Ali Mudhofir, “Pancasila Sebagai Pokok Pangkal Sudut Pandang Bagi Ilmu Menurut Notonagoro”, Jurnal Filsafat, Vol. 39, No. 1, April 2006.

Anton Bakker, Metodologi Penelitian Filsafat, Kanisius, Yogyakarta, 2002.

B. Arief Sifharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum: Sebuah Penelitian Tentang Fundasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Hukum Sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 2000.

Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan UUPA, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, 1999

Heri Santosa, “Sejarah Singkat Berdirinya UGM”, Khazanah Buletin Kearsipan Arsip Universitas Gadjah Mada, Vol. 5 , No. 2, Juli 2012.

Isti Maryatun, “Peran Prof. Notonagoro dalam Pengembangan Pancasila” dimuat dalam Buletin Telisik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Janpatar Simamora, “Tafsir Makna Negara Hukum Dalam Perspektif Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 14, No. 3, 2014

Iman Soetiknjo, Proses Terjadinya UUPA, Peranserta Seksi Agraria Universitas Gadjah Mada, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1987.

Mudjia Rahardjo, Sekilas Tentang Study Tokoh Dalam Penelitian, Tri Bhakti, Bandung, 2010.

Mohammad Kasiram, Metodologi Penelitian Kualntitatif-Kualitatif, UIN Malang Press, Malang, 2008.

Muhammad Natsir , Ilmuwan Muslim Sepanjang Sejarah, Mizan, Bandung, 1995.

Muhammad Nurhakim, Metodologi Studi Islam, Universitas Muhammadiyah Malang Press, Malang, 2005.

Notonagoro, “Pemboekaan Oendang-Oendang Dasar 1945”, Pidato Dies Natalis, Universitas Airlangga Pertama, 10 November 1955.

Notonagoro, “Beberapa Hal Mengenai Falsafat Pancasila: Pengertian Inti-Isi- Mutlak Daripada Pancasila Dasar Falsafat Negara, Pokok Pangkal Pelaksanaannya Secara Murni dan Konsekwen”, Orasi Dies Natalis, Universitas Pancasila Ke-I, Jakarta, 18 November 1967.

Notonagoro, Pancasila Secara Ilmiah Populer, Pantjuran Tujuh, Jakarta, 1980.

Notonagoro, Politik Hukum dan Pembangunan Agraria di Indonesia, Bina Aksara, Jakarta, 1984.

Padmo Wahjono, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983.

Padmo Wahjono, Jakarta, Sistem Hukum Nasional Dalam Negara Hukum Pancasila: Pidato Ilmiah Pada Peringatan Dies Natalis Universitas Indonesia Ke-33, Rajawali Pers, Jakarta, 1992.

Padmo Wahjono, Negara Republik Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 1995.

Rizal Mustansyir, “Notonagoro Sebagai Homo Significans Atas Ideologi Pancasila”, Jurnal Filsafat, Vol. 39, No. 1, April 2006.

Soejono Koesoemo Sisworo, “Mempertimbangkan Beberapa Pokok Pikiran Pelbagai Aliran Filsafat Hukum Dalam Relasi dan Relevansinya Dengan Pembangunan/ Pembinaan Hukum Indonesia”, Kumpulan Pidato Pengukuhan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang, dihimpun oleh Soekotjo Hardiwinoto, Badan Penerbit U niversitas Diponegoro, Semarang, 1995.

Sri Soeprapto, “Aktulisasi Nilai-Nilai Filsafat Pancasila Notonagoro”, Program Studi Ilmu Filsafat Program Pasca Sarjana UGM, Yogyakarta, 1995.

Steven Arthur Sumuan, “Validitas Konstitusi dan Amandemen Dalam Negara Republik Indonesia”, Jurnal Lex Administratum, Vol. III, No. 8, Okt. 2015.

St. Sularto (ed.), Guru-Guru Keluhuran, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2010.

Sumaryono, Etika dan Hukum: Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas Aquinas, Kanisius, 2002, Yogyakarta.

Kedudukan kodrat manusia. Pada hakikatnya kedudukan manusia adalah sebagai: (a) Makhluk berdiri sendiri, yaitu manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan adalah otonom, mempunyai eksistensi sendiri memiliki pribadi sendiri. (b) Makhluk Tuhan, manusia pada hakikatnya merupakan makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Jadi manusia adalah berasal dari Tuhan di atas manusia masih terdapat Dzat yang Maha Esa dan Maha Kuasa. Jadi Tuhan adalah sebagai sebab pertamaUnsur-unsur hakikat manusia tersebut, masing-masing merupakan kedua-tunggalan (monodualis), yaitu susunan kodrat manusia yaitu terdiri atas dua unsur yang merupakan suatu kesatuan yaitu raga jiwa, sifat kodrat manusia yang terdiri atas dua unsur yang merupakan suatu kesatuan yaitu makhluk individu dan makhluk sosial, dan kedudukan kodrat manusia sebagai makhluk berdiri sendiri dan makhluk Tuhan yang Mahaesa. Keseluruhan unsur-unsur hakikat manusia pada hakikatnya mewujudkan suatu keutuhan (ketunggalan) jadi bersifat ‘majemuk tunggal’atau ‘monopluralis’ (Notonagoro, 1975: 89). Dalam kenyataan hidup manusia tadi harusdijelmakan dalam suatu perbuatan lahir maupun batin yang seharusnya memenuhi tunggalan (majemuk-tunggal) (monopluralis) tadi. Jadi agar manusia benar-benar sebagai manusia maka harus mampu menjelmakan unsur-unsur hakikat manusia yang bersifat ‘monopluralis’ tadi dalamperbuatan lahir dan batin dalam kehidupan sehari- hari.Moralitas Musyawarah-Mufakatdalam moralitas manusia merupakan suatu potensi kejiwaan manusia. Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa unsur poptensi jiwa manusia adalah akalyang berkaitan dengan kemampuan intelektual, keilmuan, kreativitas, kecerdasan dan lainnya. Rasaadalah potensi kejiwaan manusia yang berkaitan dengan keindahan, keselarasan antara lain dalam hubungannya dengan seni. Adapun kehendak adalah berkaitan dengan potensi kejiwaan manusia yang berkaitan dengan tingkah laku moralitas manusia. Aspek kehendak ini merupakan potensi kejiwaan manusia dan merupakan basis bagi tingkah laku manusia yang bersifat susila, etis dan baik. Hal inilah yang merupakan sumber moralitas musyawarah-mufakat. Meminjam istilah Imam Al-Ghazali bahwa dalam diri manusia terdapat unsur al-aql(akal), al-Qalb(hati nurani), dan al-nafs(nafsu). Al-qalb atau hati nurani adalah sumber kebaikan moralitas manusia yang bersumber kepada wahyu Allah. Berdasarkan pengertian tersebut hakikat manusia ‘individu-makhluk sosial’ terkandung unsur ‘hak’ namun juga ‘wajib’. Bagi filsafat liberalisme hakikat manusia adalah sebagai makhluk individu yang bebas, sehingga dalam dirinya terkandung hak. Sementara Hobbes mendeskripsikan bahwa, dalam kehidupan masyarakat terjadilah persaingan-perebutan hak sehingga kondisi demikian dilukiskan sebagai ‘homo hominilupus’manusia menjadi serigala bagi manusia lain. Dalam kondisi yang demikian ini kemudian terjadilah suatu kesepakatan antar anggota masyarakat dalam membentuk persekutuan hidup, yang dilandasi oleh undang-undang (kehidupan negara). Hal inilah menu-rutnya diistilahkan dengan sociale contract (kontrak sosial). Realitas yang demikian ini mustahil dapat diikat dengan suatu relasi etis dalam kehidupan masyarakat, sehingga tidak mungkin terjadi suatu musyawarah-mufakat.

Upload your study docs or become a

Course Hero member to access this document

Upload your study docs or become a

Course Hero member to access this document

End of preview. Want to read all 27 pages?

Upload your study docs or become a

Course Hero member to access this document