Apa yang akan terjadi jika salah satu dari mereka?

Tinggal menghitung hari, kita akan memasuki era pasar bebas tingkat Asia (Asian Free Trade Market) atau dalam istilah lain disebut MEA (Masyarakat Ekonomi Asia) yang akan dimulai pada bulan Desember tahun 2015, sehingga dalam rangka memasuki AFTA, setiap pelaku bisnis harus mengerti tentang seluk beluk praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, sebagaimana yang diatur dalam UU Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Di negara lain keberadaan Undang-Undang Anti Monopoli sebenarnya sudah sangat tua. Di Amerika Serikat, keberadaan Undang-Undang tersebut sudah berumur lebih dari 100 tahun yang dikenal dengan nama Shermant Act. Di Kanada pada tahun 1889 Undang-Undang semacam itu sudah dikenal, di Jepang umurnya sekitar 40 tahun, di Jerman umurnya sekitar 60 tahun dan terdapat lembaga pengawas dengan nama Bundes Kartel Amm. Dan di Eropa sudah lama dikenal perjanjian di antara negara-negara Eropa untuk menyelesaikan perkara-perkara atau kasus-kasus monopoli yang terjadi yang dilakukan secara cross border atau dilakukan secara lintas batas di berbagai negara Eropa.

Berbeda dengan Indonesia nanti setelah dilanda berbagai krisis, mulai dari krisis keuangan, ekonomi kemudian krisis multi-dimensi barulah pada tahun 1999, tepatnya bulan Maret Undang-Undang tentang monopoli diterbitkan, padahal diskusi-diskusi tentang pentingnya Undang-Undang Anti Monopoli sudah lama dibicarakan, hal ini sudah menunjukkan begitu lambatnya kita merespon perkembangan hukum yang sedang berlangsung saat ini yang setiap detik mengalami perubahan terutama hukum yang mengatur mengenai masalah bisnis.

Pada intinya Undang-Undang Anti Monopoli dirancang untuk mengoreksi tindakan-tindakan dari kelompok pelaku ekonomi yang menguasai pasar. Karena dengan posisi dominan maka mereka dapat menggunakan kekuatannya untuk berbagai macam kepentingan yang menguntungkan pelaku usaha. Sehingga dengan lahirnya Undang-Undang Anti Monopoli maka ada koridor-koridor hukum yang mengatur ketika terjadi persaingan usaha tidak sehat antara pelaku-pelaku usaha.

Ditinjau lebih lanjut sebenarnya terjadinya suatu peningkatan konsentrasi dalam suatu struktur pasar dapat disebabkan oleh beberapa hal yang dapat menimbulkan terjadinya monopolistik di antaranya adalah pembangunan industri besar dengan teknologi produksi massal (mass production) sehingga dengan mudah dapat membentuk struktur pasar yang monopolistik dan oligopolistik, kemudian faktor yang lain adalah pada umumnya industri atau usaha yang besar memperoleh proteksi efektif yang tinggi, bahkan melebihi rata-rata industri yang ada kemudian faktor yang lain adalah industri tersebut memperoleh kemudahan dalam mendapatkan Sumber Daya Alam (SDA) dan Sumber Daya Manusia (SDM) yang lebih baik, dan dengan adanya berbagai usaha yang menghambat usaha baru.

Sebagai akibatnya pelaku usaha yang memiliki industri tersebut membentuk kelompok dan dengan mudah memasuki pasar baru serta pada tahap selanjutnya akan melakukan diversifikasi usaha dengan mengambil keuntungan dari kelebihan sumber daya manusia dan alam serta keuangan yang berhasil dikumpulkan dari pasar yang ada.

Sehingga, pada tahap selanjutnya struktur pasar oligopolistik dan monopolistik tidak dapat dihindarkan, akan tetapi bukan pula bahwa lahirnya direncanakan. Oleh sebab itu pada negara-negara berkembang dan beberapa negara yang sedang berkembang struktur pasar yang demikian perlu ditata atau diatur dengan baik, yang pada dasarnya akan mengembalikan struktur pasar menjadi pasar yang lebih kompetitif. Salah satu cara dengan menciptakan Undang-Undang Anti Monopoli sebagaimana dalam Undang-Undang Anti Monopoli yang saat ini berlaku di Indonesaia, yang dimaksudkan untuk membubarkan grup pelaku usaha yang telah menjadi oligopoli atau trust akan tetapi hanya ditekankan untuk menjadi salah satu alat hukum untuk mengendalikan perilaku grup pelaku usaha yang marugikan masyarakat konsumen.

Jenis Persaingan Usaha Tidak Sehat

Secara garis besar jenis persaingan usaha yang tidak sehat yang terdapat dalam suatu perekonomian pada dasarnya adalah : (1) Kartel (hambatan horizontal), (2) Perjanjian tertutup (hambatan vertikal), (3) Merger, dan (4) Monopoli.

Persaingan usaha tidak sehat pertama yakni kartel atau hambatan horizontal adalah suatu perjanjian tertulis ataupun tidak tertulis antara beberapa pelaku usaha untuk mengendalikan produksi, atau pemasaran barang atau jasa sehingga diperoleh harga tinggi. Kartel pada gilirannya berupaya untuk memaksimalkan keuntungan pelaku usaha yang mana kartel merupakan suatu hambatan persaingan yang paling banyak merugikan masyarakat, sehingga di antara Undang-Undang Monopoli di banyak negara kartel dilarang sama sekali. Hal ini karena kartel dapat merubah struktur pasar menjadi monopolistik. Kartel juga dapat berupa pembagian wilayah pemasaran maupun pembatasan (quota) barang atau jasa. Dalam keadaan perekonomian yang sedang baik kartel dengan mudah terbentuk, sedangkan kartel akan terpecah kalau keadaan ekonomi sedang mengalami resesi. Selain kartel juga akan mudah terbentuk apabila barang yang diperdagangkan adalah barang massal yang sifatnya homogen sehingga dengan mudah dapat disubstitusikan dengan barang sejenis dengan struktur pasar tetap dipertahankan. Persaingan usaha tidak sehat yang kedua adalah perjanjian tertutup (exclusive dealing) adalah suatu hambatan vertikal berupa suatu perjanjian antara produsen atau importir dengan pedagang pengecer yang menyatakan bahwa pedagang pengecer hanya diperkenankan untuk menjual merek barang tertentu sebagai contoh sering kita temui bahwa khusus untuk merek minyak wangi tertentu hanya boleh dijual di tempat yang eksklusif. Dalam kasus ini pedagang pengecer dilarang menjual merek barang lain kecuali yang terlah ditetapkan oleh produsen atau importir tertentu dalam pasar yang bersangkutan (relevant market). Suatu perjanjian tertutup dapat merugikan masyarakat dan akan mengarah ke struktur pasar monopoli.

Jenis persaingan usaha yang ketiga adalah merger. Secara umum merger dapat didefinisikan sebagai penggabungan dua atau lebih pelaku usaha menjadi satu pelaku usaha. Suatu kegiatan merger dapat menjadi suatu pengambilalihan (acquisition) apabila penggabungan tersebut tidak diinginkan oleh pelaku usaha yang digabung. Dua atau beberapa pelaku usaha sejenis yang bergabung akan menciptakan integrasi horizontal sedangkan apabila dua pelaku usaha yang menjadi pemasok pelaku usaha lain maka akan membentuk integrasi vertikal. Meskipun merger atau pengambilalihan dapat meningkatkan produktivitas pelaku usaha baru, namun suatu merger atau pengambilalihan perlu mendapat pengawasan dan pengendalian, karena pengambilalihan dan merger dapat menciptakan konsentrasi kekuatan yang dapat mempengaruhi struktur pasar sehingga dapat mengarah ke pasar monopolistik.

Persaingan usaha yang tidak sehat akan melahirkan monopoli. Bagi para ekonom defenisi monopoli adalah suatu struktur pasar dimana hanya terdapat satu produsen atau penjual. Sedangkan pengertian monopoli bagi masyarakat adalah adanya satu produsen atau penjual yang mempunyai kekuatan monopoli apabila produsen atau penjual tersebut mempunyai kemampuan untuk menguasai pasar bagi barang atau jasa yang diperdagangkannya, jadi pada dasarnya yang dimaksud dengan monopoli adalah suatu keadaan yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (1) hanya ada satu produsen atau penjual, (2) tidak ada produsen lain menghasilkan produk yang dapat mengganti secara baik produk yang dihasilkan pelaku usaha monopoli, (3) adanya suatu hambatan baik secara alamiah, teknis atau hukum.

Kalau kita melihat hal tersebut di atas maka ada beberapa faktor yang dapat mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat di antaranya adalah (1) kebijaksanaan perdagangan, (2) pemberian hak monopoli oleh pemerintah, (3) kebijaksanaan investasi, (4) kebijaksanaan pajak, (5) dan pengaturan harga oleh pemerintah.

Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang pengaturan monopoli terdapat 2 (dua) kelompok karakteristik yaitu:

  1. kelompok pasal yang memiliki karakteristik rule of reason dan
  2. kelompok pasal yang memiliki karakteristik perse illegal

Rule of reason dapat diartikan bahwa dalam melakukan praktik bisnisnya pelaku usaha (baik dalam melakukan perjanjian, kegiatan, dan posisi dominan) tidak secara otomatis dilarang. Akan tetapi pelanggaran terhadap pasal yang mengandung aturan rule of reason masih membutuhkan suatu pembuktian, dan pembuktian ini harus dilakukan oleh suatu majelis yang menangani kasus ini yang dibentuk oleh KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) , kelompok pasal ini dapat dengan mudah dilihat dari teks pasalnya yang dalam kalimatnya selalu dikatakan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli atau persaingan usaha tidak sehat.

Sedangkan yang dimaksud dengan perse illegal (atau violation atau offense) adalah suatu praktik bisnis pelaku usaha yang secara tegas dan mutlak dilarang, sehingga tidak tersedia ruang untuk melakukan pembenaran atas praktik bisnis tersebut.

Demikian tulisan singkat ini yang sedikit membahas mengenai persaingan usaha tidak sehat dan praktek monopoli yang terdapat dalam UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, semoga menjadi pencerahan bagi kita dalam menjalankan usaha dan dalam rangka menyambut dan menghadapi era pasar bebas kawasan Asia yang tinggal menghitung hari.

Penulis: Muliyawan, S.H., M.H., Hakim pada Pengadilan Negeri Palopo

Bullying berasal dari kata Bully, yaitu suatu kata yang mengacu pada pengertian adanya “ancaman” yang dilakukan seseorang terhadap orang lain (yang umumnya lebih lemah atau “rendah” dari pelaku), yang menimbulkan gangguan psikis bagi korbannya (korban disebut bully boy atau bully girl) berupa stress (yang muncul dalam bentuk gangguan fisik atau psikis, atau keduanya; misalnya susah makan, sakit fisik, ketakutan, rendah diri, depresi, cemas, dan lainnya). Apalagi Bully biasanya berlangsung dalam waktu yang lama (tahunan) sehingga sangat mungkin mempengaruhi korban secara psikis. Sebenarnya selain perasaan-perasaan di atas, seorang korban Bully juga merasa marah dan kesal dengan kejadian yang menimpa mereka. Ada juga perasaan marah, malu dan kecewa pada diri sendiri karena “membiarkan” kejadian tersebut mereka alami. Namun mereka tak kuasa “menyelesaikan” hal tersebut, termasuk tidak berani untuk melaporkan pelaku pada orang dewasa karena takut dicap penakut, tukang ngadu, atau bahkan disalahkan.

Dengan penekanan bahwa bully dilakukan oleh anak usia sekolah, perlu dicatat bahwa salah satu karakteristik anak usia sekolah adalah adanya egosentrisme (segala sesuatu terpusat pada dirinya) yang masih dominan. Sehingga ketika suatu kejadian menimpa dirinya, anak masih menganggap bahwa semua itu adalah karena dirinya.

Apa yang akan terjadi jika salah satu dari mereka?
Riduan Siswa T.K.J SMKN1 Banjarmasin yang tidak menyukai Bullying

Bullying sepertinya sudah menjamur dikalangan anak sekolah. Baik antar teman, kakak kelas dan adik kelas, bahkan guru sekalipun tidak terlepas dari perilaku bullying ini. Menyikapi fenomena ini terdapat beberapa pendapat dari para siswa terkait hal ini. Salah satunya adalah Muhammad Riduan dari kelas XI A TKJ yang sering melihat, mendengar bahkan mengalami perilaku bullying. Menurut Duan, Bullying awalnya didasari atas saling olok mengolok, bercanda. Tetapi lama kelamaan menjadi frontal bahkan sudah mulai rasis dan mengandung SARA

Menurut Riduan, Bullying awalnya didasari atas saling olok mengolok, bercanda. Tetapi lama kelamaan menjadi frontal bahkan sudah mulai rasis dan mengandung SARA. Akhirnya menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan dan tak terduga seperti penindasan, pengeroyokan, pemukulan dan hal-hal yang merusak psikis atau mental seseorang.

Riduan memaparkan bahwa contoh dampak bullying bagi sang korban yaitu :– Depresi– Rendahnya kepercayaan diri / minder– Pemalu dan penyendiri– Merosotnya prestasi akademik– Merasa terisolasi dalam pergaulan

– Terpikir atau bahkan mencoba untuk bunuh diri

Untuk itu dia sangat mengecam keras siswa-siswi yang terlibat bullying dalam bentuk apapun.

“Semoga di sekolah ini tidak ada kasus Bullying yang berujung kejalur hukum dan memalukan nama Sekolah kita, Stop Bullying !!! Kejar Prestasi bukan Sensasi” ujar Riduan

Melihat besarnya dampak dari bullying kita sebagai guru maupun orang tua harusnya senantiasa mengawasi dan memantau anak kita dan kegiatannya baik di dunia nyata maupun dunia maya. Agar anak kita bisa lebih terarah dalam memilih keputusan mana yang baik dan mana yang akan berdampak buruk bagi masa depannya kelak.

Tindakan Bullying bisa terjadi dimana saja, terutama tempat-tempat yang tidak diawasi oleh guru atau orang dewasa lainnya. Pelaku akan memanfaatkan tempat yang sepi untuk menunjukkan “kekuasaannya” atas anak lain, agar tujuannya tercapai. Sekitar toilet sekolah, pekarangan sekolah, tempat menunggu kendaraan umum, lapangan parkir, bahkan mobil jemputan dapat menjadi tempat terjadinya Bullying. Sebagai orang tua, kita wajib waspada akan adanya perilaku bullying pada anak, baik anak sebagai korban atau sebagai pelaku.

Beberapa hal yang dapat dicermati dalam kasus Bullying adalah :
Bagaimana mengenali anak yang diindikasi mengalami tindakan intimidasi di sekolahnya? Sejumlah tips yang dirangkum Kompas.com dari berbagai sumber ini mungkin bisa membantu Anda. Ciri-ciri yang harus diperhatikan di antaranya:1. Enggan untuk pergi sekolah 2. Sering sakit secara tiba-tiba 3. Mengalami penurunan nilai 4. Barang yang dimiliki hilang atau rusak 5. Mimpi buruk atau bahkan sulit untuk terlelap 6. Rasa amarah dan benci semakin mudah meluap dan meningkat 7. Sulit untuk berteman dengan teman baru 8. Memiliki tanda fisik, seperti memar atau lukaJika menemukan ciri-ciri seperti di atas, langkah yang harus dilakukan orangtua di antaranya: 1. Berbicara dengan orangtua si anak yang melakukan bully terhadap anak Anda 2. Mengingatkan sekolah tentang masalah seperti ini3. Datangi konseling profesional untuk ikut membantu mengatasi masalah ini Beberapa hal yang dapat dicermati dalam kasus Bullying adalah :

a. Anak menjadi Korban


Tanda-tandanya :1. Munculnya keluhan atau perubahan perilaku atau emosi anak akibat stres yang ia hadapi karena mengalami perilaku bullying (anak sebagai korban).2. Laporan dari guru atau teman atau pengasuh anak mengenai tindakan bullying yang terjadi pada anak.

b. Anak sebagai Pelaku


Tanda-tandanya :1. Anak bersikap agresif, terutama pada mereka yang lebih muda usianya, atau lebih kecil atau mereka yang tidak berdaya (binatang, tanaman, mainan).2. Anak tidak menampilkan emosi negatifnya pada orang yang lebih tua/ lebih besar badannya/ lebih berkuasa, namun terlihat anak sebenarnya memiliki perasaan tidak senang.3. Sesekali anak bersikap agresif yang berbeda ketika bersama anda.4. Melakukan tindakan agresif yang berbeda ketika tidak bersama anda (diketahui dari laporan guru, pengasuh, atau teman-teman).5. Ada laporan dari guru/ pengasuh/ teman-temannya bahwa anak melakukan tindakan agresif pada mereka yang lebih lemah atau tidak berdaya (no. 1).6. Anak yang pernah mengalami bully mungkin menjadi pelaku bully.

Apa yang akan terjadi jika salah satu dari mereka?


Karakter-karakter tertentu pada anak yang biasanya menjadi korban bullying, misalnya:• Sulit berteman• Pemalu• Memiliki keluarga yang terlalu melindungi• Dari suku tertentu• Cacat atau keterbatasan lainnya• Berkebutuhan khusus• Sombong, dll.Anak yang menjadi korban biasanya merasa malu, takut, tidak nyaman. Sehingga untuk membuat ia kembali mampu menjalani kegiatannya sehari-hari seperti biasa, ia harus dibekali dengan “tools” yang membuat ia yakin bahwa ia akan mendapatkan pertolongan. Ia harus tahu dan percaya bahwa guru kelas dan temannya akan membantu, misalnya. Atau ia kemudian mendapatkan teman selama jam istirahat atau kegiatan di luar kelas. Rasa percaya dirinya kembali dipupuk dengan memusatkan perhatian pada hal-hal yang menjadi kelebihan dan potensinya. Yang terakhir ini biasanya berjakan dengan sendirinya jika rasa aman sudah kembali dimiliki.Bullying terjadi ketika seseorang merasa teraniaya, takut, terintimidasi, oleh tindakan seseorang baik secara verbal, fisik atau mental. Ia takut bila perilaku tersebut akan terjadi lagi, dan ia merasa tak berdaya mencegahnya. (Andrew Mellor, antibullying network, univ. of edinburgh, scotland)Perilaku bullying di institusi pendidikan bisa terjadi oleh siswa kepada siswa, siswa kepada guru, guru kepada siswa, guru kepada guru, orang tua siswa kepada guru atau sebaliknya, dan antarcivitas akademika di institusi pendidikan/sekolah.

Bullying terjadi apabila memenuhi unsur:

1. Perilaku yang menyebabkan seseorang/ siswa/ guru terhina, terintimidasi, takut, terisolasi2. Perilaku yang dilakukan berulang-ulang baik verbal, fisik, dan psikis, yang menimbulkan powerless3. Adanya aktor yang superior dan inferior4. Perilaku yang dilakukan berdampak negatif.

Bentuk dan Modus Bullying:

1. Fisik (tendangan, pukulan, jambakan, tinju, tamparan, lempar benda, meludahi, mencubit, merusak, membotaki, mengeroyok, menelanjangi, push up berlebihan, menjemur, mencuci WC, lari keliling lapangan yang berlebihan/ tidak mengetahui kondisi siswa, menyundut rokok, dll).2. Verbal (mencaci maki, mengejek, memberi label/ julukan jelek, mencela, memanggil dengan nama bapaknya, mengumpat, memarahi, meledek, mengancam, dll).3. Psikis (pelecehan seksual, memfitnah, menyingkirkan, mengucilkan, mendiamkan, mencibir, penghinaan, menyebarkan gosip).

B. Solusi terhadap Kasus Bullying

Pada tahun 2006 Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, kasus kekerasan pada anak mencapai Rp 25 juta, dengan berbagai macam bentuk, dari yang ringan sampai yang berat. Lalu, data BPS tahun 2009 menunjukkan kepolisian mencatat, dari seluruh laporan kasus kekerasan, 30 persen di antaranya dilakukan oleh anak-anak, dan dari 30 persen kekerasan yang dilakukan anak-anak, 48 persen terjadi di lingkungan sekolah dengan motif dan kadar yang bervariasi.Plan Indonesia sendiri pernah melakukan survei tentang perilaku kekerasan di sekolah. Survei dilakukan di Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, dan Bogor, dengan melibatkan 1.500 siswa SMA dan 75 guru. Hasilnya, 67,9 persen menganggap terjadi kekerasan di sekolah, berupa kekerasan verbal, psikologis, dan fisik. Pelaku kekerasan pada umumnya adalah teman, kakak kelas, adik kelas, guru, kepala sekolah, dan preman di sekitar sekolah. Sementara itu, 27,9 persen siswa SMA mengaku ikut melakukan kekerasan, dan 25,4 persen siswa SMA mengambil sikap diam saat melihat terjadi kekerasan.

Oleh karenanya, solusi yang bisa dilakukan untuk mencegah dan menangani kasus Bullying ini, antara lain:

Apa yang akan terjadi jika salah satu dari mereka?


Solusi buat orang tua atau wali orang tua jika anaknya menjadi korban intimidasi (bullying) di sekolah. Beberapa di antaranya:
1. Satukan Persepsi dengan Istri/Suami. Sangat penting bagi suami-istri untuk satu suara dalam menangani permasalahan yang dihadapi anak-anak di sekolah. Karena kalau tidak, anak akan bingung, dan justru akan semakin tertekan. Kesamaan persepsi yang dimaksud meliputi beberapa aspek, misalnya: apakah orang tua perlu ikut campur, apakah perlu datang ke sekolah, apakah perlu menemui orang tua pelaku intimidasi, termasuk apakah perlu lapor ke polisi.
2. Pelajari dan Kenali Karakter Anak Kita. Perlu kita sadari, bahwa satu satu penyebab terjadinya bullying adalah karena ada anak yang memang punya karakter yang mudah dijadikan korban. Saya sudah sampaikan tadi, salah satunya adalah sikap “cepat merasa bersalah”, atau penakut, yang dimiliki anak saya. Dengan mengenali karakter anak kita, kita akan bisa mengantisipasi berbagai potensi intimidasi yang menimpa anak kita, atau setidaknya lebih cepat menemukan solusi (karena kita menjadi lebih siap secara mental). Sekedar ilustrasi, anak saya yang kedua, sampai saat ini (sudah SMA) belum pernah menjadi korban intimidasi seperti yang dialami oleh kakaknya dulu.
3. Jalin Komunikasi dengan Anak. Tujuannya adalah anak akan merasa cukup nyaman (meskipun tentu saja tetap ada rasa tidak nyaman) bercerita kepada kita sebagai orang tuanya ketika mengalami intimidasi di sekolah. Ini menjadi kunci berbagai hal, termasuk untuk memonitor apakah suatu kasus sudah terpecahkan atau belum. Untuk saya sendiri, anak-anak lebih banyak/sering bercerita ke ibunya, meskipun kalau sudah sampai pada tahap pemecahan masalah, saya yang lebih banyak berperan.
4. Jangan Terlalu Cepat Ikut Campur. Idealnya, masalah antar anak-anak bisa diselesaikan sendiri oleh mereka, termasuk di dalamnya kasus-kasus bullying. Oleh karena itu, prioritas pertama memupuk keberanian dan rasa percaya diri pada anak-anak kita (yang menjadi korban intimidasi). Kalau anak kita punya kekurangan tertentu, terutama kekurangan fisik, perlu kita tanamkan sebuah kepercayaan bahwa itu merupakan pemberian Tuhan dan bukan sesuatu yang memalukan. Kedua, jangan terlalu “termakan” oleh ledekan teman, karena hukum di dunia ledek-meledek adalah “semakin kita terpengaruh ledekan teman, semakin senang teman yang meledek itu”.
5. Masuklah di Saat yang Tepat. Jangan lupa, bahwa seringkali anak kita sendiri (yang menjadi korban intimidasi) tidak senang kalau kita (orang tuanya) turut campur. Situasinya menjadi paradoksal: Anak kita menderita karena diintimidasi, tapi dia takut akan lebih menderita lagi kalau orang tuanya turut campur. Karena para pelaku bullying akan mendapat ‘bahan’ tambahan, yaitu mencap korbannya sebagai “anak mami”, cemen, dsb. Oleh karena itu, kita mesti benar-benar mempertimbangkan saat yang tepat ketika memutuskan untuk ikut campur menyelesaikan masalah. Ada beberapa indikator: (1) Kasus tertentu tak kunjung terselesaikan, (2) Kasus yang sama terjadi berulang-ulang, (3) Kalau kasusnya adalah pemerasan, melibatkan uang dalam jumlah cukup besar, (4) Ada indikasi bahwa prestasi belajar anak mulai terganggu.
6. Bicaralah dengan Orang yang Tepat. Jika sudah memutuskan untuk ikut campur dalam menyelesaikan masalah, pertimbangkan masak-masak apakah akan langsung berbicara dengan pelaku intimidasi, orang tuanya, atau gurunya. Seperti yang saya ceritakan di atas, kalau saya lebih suka untuk berbicara langsung dengan anak saya, pelaku intimidasi, dan sekaligus guru/wali kelasnya dalam satu kesempatan di sekolah. Saya cenderung untuk menghindari berbicara dengan orang tua pelaku intimidasi, karena khawatir masalahnya jadi melebar kemana mana dan situasi menjadi sangat emosional.
7. Kalau Perlu, Intimidasilah Pelaku Intimidasi. Menjadi pertanyaan memang, koq melawan intimidasi dengan intimidasi? Idealnya memang jangan melakukan itu, tapi kalau memang diperlukan, saya tak segan melakukannya. Pesan yang ingin saya sampaikan adalah: (1) Untuk anak saya, saya ingin dia tahu bahwa saya ada di sisinya, sehingga dia tidak merasa sendirian, (2) Untuk pelaku intimidasi, saya ingin dia tahu bahwa kalau dia melakukannya terus, dia akan berhadapan dengan saya, (3) Untuk guru/sekolah, saya ingin mereka tahu bahwa kalau sekolah/guru tidak bisa menyelesaikan masalah itu, maka saya akan ikut campur menyelesaikannya, dengan cara saya sendiri. Tentu saja pendekatan yang agak-agak bergaya ‘preman’ ini sebaiknya menjadi pilihan terakhir (sebelum lapor ke polisi, mungkin).
8. Jangan Ajari Anak Lari dari Masalah. Dalam beberapa kasus yang diceritakan teman-teman saya, anak-anak kadang merespon intimidasi yang dialaminya di sekolah dengan minta pindah sekolah. Kalau dituruti, itu sama saja dengan lari dari masalah. Jadi, sebisa mungkin jangan dituruti. Kalau ada masalah di sekolah, masalah itu yang mesti diselesaikan, bukan dengan ‘lari’ ke sekolah lain. Jangan lupa, bahwa kasus-kasus bullying itu terjadi hampir di semua sekolah.
9. Buah Simalakama? Makanlah Salah Satunya. Kadang-kadang kita dihadapkan pada dua situasi yang sama-sama buruk. Seperti kasus yang saya sampaikan tadi: (1) Anak kita menjadi korban, atau (2) Anak kita tidak mau menjadi korban dan melawannya dengan kekerasan. Saya tidak tahu bagaimana “teori”-nya, tapi ketika dihadapkan pada dua pilihan yang sama-sama buruk itu, saya memilih yang kedua, yaitu membiarkan anak saya melawan, meskipun dengan cara kekerasan.
10. Jangan Larut dalam Emosi. Ada yang bilang, “orang emosi selalu kalah”. Jadi, usahakan semaksimal mungkin untuk tidak larut dalam emosi, baik dalam bentuk “menangisi anak kita” (yang menjadi korban) maupun melabrak teman anak kita atau orang tuanya. Semua langkah yang kita ambil harus terkendali oleh akal sehat. Karena kalau tidak, masalah bisa melebar ke mana-mana. Dan kalau masalahnya sudah selesai, atau dianggap selesai, jangan diungkit-ungkit terus. Jadikan pelajaran, dan lupakan saja… Masih banyak persoalan lain yang menunggu.

Penanganan yang bisa dilakukan oleh guru:

1. Usahakan mendapat kejelasan mengenai apa yang terjadi. Tekankan bahwa kejadian tersebut bukan kesalahannya.2. Bantu anak mengatasi ketidaknyamanan yang ia rasakan, jelaskan apa yang terjadi dan mengapa hal itu terjadi. Pastikan anda menerangkan dalam bahasa sederhana dan mudah dimengerti anak. JANGAN PERNAH MENYALAHKAN ANAK atas tindakan bullying yang ia alami.3. Mintalah bantuan pihak ketiga (guru atau ahli profesional) untuk membantu mengembalikan anak ke kondisi normal, jika dirasakan perlu. Untuk itu bukalah mata dan hati Anda sebagai orang tua. Jangan tabu untuk mendengarkan masukan pihak lain.4. Amati perilaku dan emosi anak anda, bahkan ketika kejadian bully yang ia alami sudah lama berlalu (ingat bahwa biasanya korban menyimpan dendam dan potensial menjadi pelaku di kemudian waktu). Bekerja samalah dengan pihak sekolah (guru). Mintalah mereka membantu dan mengamati bila ada perubahan emosi atau fisik anak anda. Waspadai perbedaan ekspresi agresi yang berbeda yang ditunjukkan anak anda di rumah dan di sekolah (ada atau tidak ada orang tua / guru / pengasuh).5. Binalah kedekatan dengan teman-teman anak anda. Cermati cerita mereka tentang anak anda. Waspadai perubahan atau perilaku yang tidak biasa.6. Minta bantuan pihak ke tiga (guru atau ahli profesional) untuk menangani pelaku.

Pencegahan buat anak yang menjadi korban bullying:

1. Bekali anak dengan kemampuan untuk membela dirinya sendiri, terutama ketika tidak ada orang dewasa/ guru/ orang tua yang berada di dekatnya. Ini berguna untuk pertahanan diri anak dalam segala situasi mengancam atau berbahaya, tidak saja dalam kasus bullying. Pertahanan diri ini dapat berbentuk fisik dan psikis. Pertahanan diri Fisik : bela diri, berenang, kemampuan motorik yang baik (bersepeda, berlari), kesehatan yang prima. Pertahanan diri Psikis : rasa percaya diri, berani, berakal sehat, kemampuan analisa sederhana, kemampuan melihat situasi (sederhana), kemampuan menyelesaikan masalah.2. Bekali anak dengan kemampuan menghadapi beragam situasi tidak menyenangkan yang mungkin ia alami dalam kehidupannya. Untuk itu, selain kemampuan mempertahankan diri secara psikis seperti yang dijelaskan di no. 1a. Maka yang diperlukan adalah kemampuan anak untuk bertoleransi terhadap beragam kejadian. Sesekali membiarkan (namun tetap mendampingi) anak merasakan kekecewaan, akan melatih toleransi dirinya.3. Walau anak sudah diajarkan untuk mempertahankan diri dan dibekali kemampuan agar tidak menjadi korban tindak kekerasan, tetap beritahukan anak kemana ia dapat melaporkan atau meminta pertolongan atas tindakan kekerasan yang ia alami (bukan saja bullying). Terutama tindakan yang tidak dapat ia tangani atau tindakan yang terus berlangsung walau sudah diupayakan untuk tidak terulang.4. Upayakan anak mempunyai kemampuan sosialisasi yang baik dengan sebaya atau dengan orang yang lebih tua. Dengan banyak berteman, diharapkan anak tidak terpilih menjadi korban bullying karena :a. Kemungkinan ia sendiri berteman dengan pelaku, tanpa sadar bahwa temannya pelaku bullying pada teman lainnya.b. Kemungkinan pelaku enggan memilih anak sebagai korban karena si anak memiliki banyak teman yang mungkin sekali akan membela si anak.c. Sosialisasi yang baik dengan orang yang lebih tua, guru atau pengasuh atau lainnya, akan memudahkan anak ketika ia mengadukan tindakan kekerasan yang ia alami.

Penanganan buat anak yang menjadi pelaku Bullying:

1. Segera ajak anak bicara mengenai apa yang ia lakukan. Jelaskan bahwa tindakannya merugikan diri dan orang lain. Upayakan bantuan dari tenaga ahlinya agar masalah tertangani dengan baik dan selesai dengan tuntas.2. Cari penyebab anak melakukan hal tersebut. Penyebab menjadi penentu penanganan. Anak yang menjadi pelaku karena rasa rendah diri tentu akan ditangani secara berbeda dengan pelaku yang disebabkan oleh dendam karena pernah menjadi korban.Demikian juga bila pelaku disebabkan oleh agresifitasnya yang berbeda.

3. Posisikan diri untuk menolong anak dan bukan menghakimi anak.