Apa tujuan fusi terhadap partai politik

Dikeluarkannya Maklumat Pemerintah yang ditandatangani oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta tertanggal 3 November 1945, memuat keinginan pemerintah akan kehadiran partai politik. Pemerintah memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada rakyat untuk mendirikan partai politik dalam rangka memperkuat perjuangan mempertahankan kemerdekaan dengan menyalurkan aspirasi rakyat secara teratur. Pada pemilihan umum tahun 1955, jumlah partai poltik di Indonesia mencapai 29 partai dan ditambah dari perorangan atau independen. Namun dalam perkembangan selanjutnya menunjukkan bahwa konflik ideologi yang dibawa masing-masing partai politik merupakan salah satu faktor penyebab Konstituante gagal merumuskan Undang-Undang baru. Berdasarkan hal tersebut, pada masa Demokrasi Terpimpin Presiden Soekarno melakukan penyederhanaan sistem kepartaian dengan Penpres No. 7 tahun 1959 dan Perpres No. 13 tahun 1960 yang mengatur tentang pengakuan, pengawasan, dan pembubaran partai politik. Tanggal 14 April 1961 diumumkan hanya 10 partai politik yang mendapat pengakuan dari pemerintah. Keadaan berlanjut sampai Presiden Soekarno meletakkan jabatannya yang kemudian digantikan oleh Soeharto dan dikenal dengan masa Orde Baru. Orde Baru lahir sebagai koreksi total dari pemerintahan sebelumnya dimana keadaan politik yang tidak stabil menyebabkan kehancuran dalam bidang ekonomi. Selanjutnya pemerintah Orde Baru menciptakan sebuah format politik dengan tujuan untuk menciptakan stabilitas nasional, baik dalam bidang politik, sosial, dan ekonomi. Berdasarkan hal inilah penulis ingin mengkaji permasalahan (1) format politik Orde Baru, (2) pengendalian kehidupan politik nasional, (3) dampak Fusi terhadap dinamika partai politik setelah pemilu 1977. Tujuannya adalah (1) mendeskripsikan format politik Orde Baru, (2) menganalisis pengendalian kehidupan politik nasional, (3) menganalisis dampak Fusi terhadap kehidupan partai politik setelah pemilu 1977. Penelitian ini menggunakan pendekatan pembuatan kebijakan yang diambil dari Harold D. Lasswell dan Richard C. Snyder. Sedangkan teorinya adalah teori elit yang di ambil dari pendapat Pareto dan Roberto Michels. Penulis menggunakan metode penelitian sejarah yang terdiri dari heuristik, kritik, interpretasi dan historiografi. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa format politik Orde Baru dibuat untuk menciptakan stabilitas nasional. Namun pada kenyataanya semata-mata untuk mempertahankan kekuasaan. Posisi dominan ABRI dan DPR tidak lebih sebagai alat perpanjangan tangan penguasa dan alat legitimasi kebijakan. Sementara itu pengendalian kehidupan politik yang salah satunya melalui Fusi justru menimbulkan dampak baru yaitu konflik dalam tubuh partai politik baik secara intern maupun ekstern. Ditambah lagi dengan dikeluarkannya UU. RI. No. 3 tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya dimana partai politik tidak dapat menjalankan fungsi sebagaimana mestinya. Kesimpulan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemerintah Orde Baru membentuk format politik yang pada awalnya sebagai koreksi total terhadap pemerintahan sebelumnya. Namun dalam perkembangannya justru format politik tersebut merupakan langkah awal pemerintahan Suharto untuk mempertahankan kekuasaan. Salah satunya melalui fusi terhadap partai politik yang menimbulkan konflik baru diantara unsur yang ada dalam partai. Berdasarkan hal tersebut maka diharapkan bahwa proses demokrasi harus berjalan sesuai dengan aturan dimana pemerintah dituntut untuk bersikap netral tanpa memihak kepetingan salah satu golongan. Sedangkan untuk partai politik diharapkan dapat menjalankan fungsi dan menghindari terjadinya konflik.

Apa tujuan fusi terhadap partai politik
Apa tujuan fusi terhadap partai politik
Apa tujuan fusi terhadap partai politik
Apa tujuan fusi terhadap partai politik
Apa tujuan fusi terhadap partai politik
Apa tujuan fusi terhadap partai politik
Apa tujuan fusi terhadap partai politik

Semenjak dikukuhkan dalam sidang MPRS yang berlangsung dalam kurun waktu Juni-Juli 1966, terdapat beberapa ketetapan oleh Orde Baru. Diantaranya, mengukuhkan Supersemar dan melarang keras PKI serta ideologinya tumbuh dan berkembang di Indonesia. Perhatian utama Orde Baru tercurahkan kepada kestabilan nasional dan dalam upaya pencapaian tujuan tersebut, dibuatlah beberapa konsesus nasional yang mendasarinya.

Pertama, konsesus utamanya adalah menerapkan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsisten. Kedua, konsesus atas cara yang ditempuh untuk mewujudkan konsesus utama (Maf’ul, 2010: 4). Dasar yuridis terkait konsesus tersebut dapat dilihat dalam TAP MPRS No. XX.1966. Artinya, kesepakatan tersebut telah memiliki kekuatan hukum yang mengikat pada seluruh masyarakat Indonesia.

Bertolak belakang dari rezim Orde Lama dan berupaya melakukan koreksi total, pemerintah Orde Baru menjalankan pembaharuan politik dengan berdasar pada TAP MPRS Nomor XII Tahun 1966 yang mengatakan perlunya pembaharuan politik. Orde Baru mengajak dengan paksa seluruh elemen bangsa tidak lagi berorientasi pada ideologi, tetapi keseluruhan menuju pada progam-progam pembangunan (Rifqiyah: 2004). Slogan pembangunan selalu disertakan dalam setiap pidato-pidato kenegaraan hingga orasi-orasi kampanye era Orde Baru.

Sering kali Orde Baru dianggap sebagai rezim pembangunan. Maksudnya, orientasi yang dicanangkan oleh pemerintah berorientasi pada pencapaian-pencapain target pembangunan fisik negara. Dalam kerangka rezim pembangunan, konflik politik hanya akan menghambat proses pembangunan semata. Kestabilan dan keamanan menjadi konsekuensi logis berikutnya untuk menopang rencana pembangunan.

Isu turunan terkait kestabilan sebagai pijakan rezim pembangunan tersebut adalah pemerintah Orde Baru dianggap sah untuk melakukan penekanan terhadap PNI dan partai yang memiliki basis dukungan masa Islam, terutama Masyumi (Maf’ul, 2010: 79).

Tahun 1971, Pemerintah Orde Baru melakukan verifikasi ulang terhadap partai-partai dan akhirnya tersisa 10 partai. Tahun ini pula menandai lahirnya sebuah parpol besar yang awalnya berangkat dari organisasi fungsional dan kekaryaan, Golongan Karya (Golkar). Konsep penyederhanaan partai (Konsep Fusi) dikukuhkan kembali pada tahun 1973 melalui UU Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan.

Sistem fusi inilah yang berlangsung selama masa kepemimpinan rezim Orba. Perampingan yang terjadi adalah sebagai berikut :

Persatuan Pembangunan: terdiri dari NU, Parmusi, PSII, dan Perti yang dikelompokkan tanggal 13 Maret 1970. Kelompok ini juga dikatagorikan sebagai kelompok spiritual material, artinya lebih menekankan makna spiritual tapi tidak mengalpakan pembangunan atau persoalan material.

Kelompok Demokrasi: terdiri dari PNI, Partai Katholik, Parkindom, IPKI, dan Murba yang dikelompokkan pada tanggal 9 Maret 1970. Kelompok ini juga dikategorikan sebagai kelompok nasionalis atau material-spirtual, kebalikan dari kelompok pertama.

Kelompok Fungsional: Golongan Karya (Golkar). Orde Baru enggan menyebutnya sebagai partai politik.

Setelah melakukan perampingan jumlah partai politik dengan dasar kestabilan, pemilu tahun 1977 terdapat 3 kontestan, yakni PDI, PPP serta satu Golongan Karya. Selama berlangsungnya pemilu selanjutnya, kemenangan selalu berada di pihak Golkar. Realitas demikian akan nampak wajar mengingat Golkar menjadi instrumen penting penguasa Orde Baru kala itu.

Salah satu strategi rezim Orde Baru yang populer adalah diterapkannya floating mass (masa mengambang). Kebijakan masa mengambang merupakan usaha Orde Baru untuk memangkas partai politik dalam melebarkan sayapnya menjaring masa. Hal itu dilaksanakan dengan pelarangan mendirikan kantor pengurus partai di tingkat kecamatan dan Desa-desa.

Seluruh kegiatan parpol, dalam hal ini PPP dan PDI,  hanya diperbolehkan hingga tataran kabupaten atau kotamadya. Tentulah hal itu merugikan PPP dan PDI untuk berusaha mendulang suara di lapisan akar rumput, ditambah lagi Golkar sebagai partai fungsional yang salah satunya berisikan aparat birokrasi negara atau pegawai negeri pastinya memiliki akses hingga pada kecamatan dan desa.

Tidak salah anggapan bahwa strategi floating mass adalah cara untuk mematikan partai politik secara permanen. Disinilah salah satu kunci kemenangan beruntun Golkar dalam setiap pemilihan umum selama masa orde baru. Ciri kepartaian era Orde Baru biasanya dalam kajian Ilmu Politik disebut sebagai sistem satu setengah partai.

Orde Baru berupaya keras menjauhkan masyarakat umum dari tarik-menarik dinamika politik. Asumsi yang mendasarinya adalah, rakyat tidak usah terlibat di dalam proses politik lebih jauh. Rakyat dipandang tidak memiliki kualifikasi untuk masuk menyukseskan progam pembangunan.

Watak tradisional yang masih menancap di masyarakat akan menjadi susah dikompromikan dengan trend modernisasasi yang bercirikan pembangunan. Diharapkan pula dalam proses pembangunan dan modenrnisasi akan mengangkat pola pikir masyarakat dari kejumudan menuju paradigma baru kemodernan.

Orde Baru memaksimalkan energi seluruh komponen bangsa untuk mencapai pertumbungan ekonomi dalam kerangka negara pembangunan. Proses dan konflik politik yang meluas akan menjadi penghambat laju pembangunan.

Walhasil, masyarakat di Era Orde Baru dihegemoni sedemikian rupa untuk hanya sekadar menikmati pembangunan tanpa ikut serta dalam proses pembangunan yang hampir secara keseluruhan dikonsep oleh teknokrat luar negeri, khususnya. Intinya, masyarakat Indonesia hanya dijadikan sebagai “obyek” politik semata.

Rujukan

Rifqiyah, Lif, 2004. Sikap Serikat Islam Terhadap Kebijakan Pemerintah Orde Baru Tentang Fusi Partai-partai Politik (1971-1977). Skripsi Fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Maf’ul, M.Arsyad, 2010. “Partai Politik Pada Masa Orde Baru dan Orde Lama”. dalam Jurnal Supremasi Vol. V No. 2: 76-82.

Penulis: Redaksi Kajian Politik Pojok Wacana

Baca juga:

Desain Penyederhanaan Partai Politik

Bagaimana Memperkuat Sistem Presidensial di Indonesia?

Rekayasa District Magnitude (Besaran Daerah Pemilihan) dalam Pemilihan Umum