Apa tanggapan anda tentang organisasi eksternal kampus

Mahasiswa merupakan ujung tombak terbentuknya kemajuan bangsa. Mereka diharapkan mampu menganalisis sekaligus mengatasi segala permasalahan yang timbul di sekitar. Kemampuan mahasiswa diasah ketika dididik dalam perguruan tinggi melalui berbagai kegiatan seperti UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa), organisasi internal (BEM, BLM, Himpunan Mahasiswa, dan BSO), maupun menjadi relawan (volunteer) dalam event tertentu yang sejalan dengan cita-cita tri dharma perguruan tinggi. Namun tak jarang mahasiswa juga mengasah kemampuan mereka melalui Organisasi Kemasyarakatan dan Pemuda (OKP) atau biasa disebut organisasi ekstra kampus. Melalui OKP, mahasiswa ditempa dengan adanya kaderisasi untuk menjadi pemimpin yang mampu berguna di organisasi internal kampus maupun di kehidupan sosial, kaderisasi ini diadakan masing-masing OKP sesuai dengan tujuan awal mereka didirikan. Meskipun demikian, jika ditelusuri secara historis banyak sekali ‘jebolan’ dari OKP yang kemudian menjadi tokoh politik.  Sehingga tidak ada salahnya jika masyarakat umum mengaitkan keberadaan OKP dengan politik praktis. Hal itu kemudian menjadi acuan para pemangku kebijak terkait untuk mengeluarkan Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 26/DIKTI/KEP/2002 tentang Pelarangan Organisasi Ekstra Kampus atau Partai Politik dalam Kehidupan Kampus. OKP dianggap menjadi underbow dari partai politik tertentu dan dilarang beredar bebas di kampus.

Kendati pelarangan OKP beredar di kampus, justru membawa dampak yang kurang menguntungkan bagi kehidupan mahasiswa. Sebab, bagaimanapun juga organisasi eksternal tetap bergerak melakukan regenerasi untuk menunjukkan eksistensinya kepada publik. Bedanya, jika sebelum adanya pelarangan OKP masuk kampus, organisasi tersebut secara terang-terangan mengajak mahasiswa untuk berkader. Namun setelah adanya larangan, OKP tetap mengajak mahasiswa untuk berkader hanya saja dengan cara sembunyi-sembunyi. Hal tersebut menjadi boomerang bagi mahasiswa. Sebab, perguruan tinggi maupun Kemenristekdikti tidak dapat melakukan pengawasan secara langsung atas apa yang dilakukan oleh OKP. Maka dari itu, pada tahun 2018 akhirnya Kemenristekdikti kembali memperbolehkan OKP beredar di kampus dengan syarat dan ketentuan tertentu.

Menteri Riset, Teknologi, dan  Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohammad Nasir menerbitkan Peraturan nomor 55 tahun 2018, tentang pembinaan Ideologi bangsa dalam kegiatan kemahasiswaan dilingkungan kampus. Dengan diterbitkanya Permenristekdikti ini, maka organisasi ekstra kampus dapat masuk kampus sehingga mampu bersinergi dengan organisasi internal kampus dibawah pengawasan Kampus atau Universitas untuk pembinaan ideologi bangsa dan diharapkan mampu meminalisir paham-paham radikalisme yang telah berkembang di kampus. Adanya kebijakan tersebut juga mengharuskan organisasi ekstra kampus untuk tidak membawa simbol seperti membawa bendera organisasinya sendiri dan mereka harus mampu melebur dan menjadi salah satu bagian dari UKM PIB yang berada di bawah pengawasan perguruan tinggi.

Munculnya kebijakan baru yang diterbitkan oleh Kemenristekdikti tersebut menuai banyak tanggapan dari masyarakat baik yang mengatakan setuju maupun yang mengatakan tidak setuju. Oleh karena itu, dalam survai kali ini peneliti berkeinginan untuk mengetahui bagaimana opini dan reaksi mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi terkait adanya kebijakan tersebut. Selain itu, survai ini juga diharapkan mampu memberikan solusi yang bersumber dari mahasiswa terkait kebijakan atau langkah apa yang seharusnya diambil oleh para pemangku kebijakan terkait.

Tim peneliti dari mahasiswa Sosiologi Universitas Airlangga telah usai melakukan survai terkait kebijakan Kemenristekdikti tentang diperbolehkannya OKP atau biasa disebut dengan Ormek masuk kampus. Survai ini dilakukan pada tanggal 30 Agustus hingga 1 Juni 2019 dengan melibatkan 111 mahasiswa dari beberapa perguruan tinggi untuk menjadi responden.

Apa tanggapan anda tentang organisasi eksternal kampus

Dari hasil survai itu, terlihat bahwa sebagian besar responden mengaku mengetahui apa itu OKP (Organisasi Kemasyarakatan Pemuda) atau ormek. Dalam konteks ini, kata mengetahui dimaknai secara makro, artinya responden telah dikatakan tahu apabila pernah tergabung, pernah mencari informasi terkait atau sekadar pernah mendengar saja. Memperdalam jawaban yang didapatkan, peneliti kemudian mengajukan pertanyaan kepada responden terkait tahu atau tidaknya responden dengan adanya permenristekdikti terbaru terkait keberadaan Organisasi Mahasiswa Ekstra Kampus atau OKP. Dari pertanyaan yang diajukan, didapatkan hasil bahwa lebih dari setengah responden mengetahui adanya permenristekdikti terbaru yang terkait perihal Organisasi Mahasiswa Ekstra Kampus atau OKP.  Namun, perlu digaris bawahi bahwa selisih antara mahasiswa yang mengetahui dan tidak mengetahui sangat tipis, atau dalam kata lain mahasiswa saat ini kurang begitu ‘greget’ dengan adanya Organisasi Mahasiswa Ekstra Kampus atau OKP.

  1. Apakah anda menjadi salah satu bagian dari OKP/ Ormek?

Berkaitan dengan pernyataan di atas, ke-kepo-an mahasiswa terhadap adanya ormek memang cenderung rendah jika dilihat dari data yang dihasilkan. Data yang dihasilkan, memperlihatkan bahwa mahasiswa yang tidak tergabung dalam OKP/ ormek jumlahnya lebih besar daripada mereka yang tergabung. Hanya ada seperlima dari responden saja yang ikut tergabung dalam Organisasi Mahasiswa Ekstra Kampus atau OKP. Bahkan dari beberapa responden menegaskan bahwa dirinya tidak ingin tergabung dalam organisasi itu dengan alasan tertentu. Data itu menguatkan bahwa mahasiswa saat ini memang cenderung kurang tertarik terhadap Organisasi Mahasiswa Ekstra Kampus atau OKP meskipun telah mengantongi izin yang sah dan legal dari Kemenristekdikti.

Berdasarkan diagram di atas, dapat diketahui bahwa lebih dari setengah  responden yang mengetahui kebijakan terbaru Kemenristekdikti yang mengatur masuknya OKP ke kampus. Sedangkan  medekati setengah atau minoritas sangat besar responden yang tidak mengetahui kebijakan baru tersebut. Hal ini dapat disebabkan oleh minimnya keingintahuan akan organisasi di luar kampus, kurangnya sosialisasi dari Kemenristekdikti, kurangnya wawasan keorganisasian mahasiswa maupun rendahnya komunikasi antara kampus dengan mahasiswanya.

Berdasarkan diagram di atas, dapat diketahui bahwa hanya seperempat  responden yang setuju terhadap kebijakan Kemenristekdikti yang mengatur masuknya OKP ke kampus. Hal ini dirasa lumrah dikarenakan lebih dari setengah responden tidak mengetahui mengenai adanya kebijakan Kemenristekdikti yang dimaksud. Hal ini dapat disebabkan oleh minimnya keingintahuan akan organisasi di luar kampus, kurangnya sosialisasi dari Kemenristekdikti maupun rendahnya komunikasi antara kampus dengan mahasiswanya. Padahal melalui kebijakan Kemenristekdikti tersebut mahasiswa diharap mampu mengembangkan pengetahuan ideologi Pancasila melalui Organisasi Mahasiswa Ekstra Kampus atau OKP yang langsung berada dibawah naungan Unit Kegiatan Mahasiswa

  1. Jika setuju, bagaimana pendapat anda tentang kebijakan tersebut?

Melanjutkan dari pertanyaan sebelumnya, untuk responden yang menjawab setuju hasilnya mendekati setengah dari keseluruhan jumlah pendapat responden. Bahwa dengan adanya kebijakan Kemenristekdikti tersebut dapat mengajarkan mahasiswa untuk menjunjung tinggi nilai demokrasi. Seperti yang kita ketahui bahwa dalam kebijakan Kemenristekdikti no 55 tahun 2018 ini tujuan utamanya yakni pengembangan ideologi Pancasila dan pencegahan radikalisme yang marak beredar di kampus. Berbicara tentang radikalisme, riset yang dilakukan oleh Setara Institute terhadap sepuluh perguruan tinggi di Indonesia yakni UI, ITB, UGM, UIN Jakarta dan Bandung, IPB, UNIRAW, UNY, UNBRAW dan UNAIR terkena paparan radikalisme yang terang-terangan dilakukan di lingkungan kampus. Hasil riset menyebutkan bahwa paparan radikalisme datang dari kelompok keagamaan eksklusif melalui dakwah maupun kajian yang dilakukan di masjid kampus. Maka, dari data di atas dapat dikatakan bahwa kesadaran mahasiswa akan pentingnya ideologi bangsa yakni Pancasila cukup minim.

Diagram di atas merupakan tanggapan dari mahasiswa di beberapa kampus yang menolak kebijakan Kemenristekdikti tentang OKP masuk kampus. Bukan sekedar menolak tapi juga memberikan jalan keluar yang memungkinkan efektif jika banyak terjadi penolakan dari mahasiswa berbagai kampus. Mahasiswa yang memberikan alasan menolah kebijakan Kemenristekdikti di dapati lebih dari setengah jumlah responden yakni membiarkan OKP masuk kampus, asalkan tidak dicampuri oleh adanya politik praktis dan sangat sedikit mahasiswa yang menyarankan Kemenristekdikti mencabut kembali kebijakan tersebut. Sisanya memiliki usul masing-masing dan sangat sedikit diantaranya yang  tidak tahu tentang kebijakan tersebut.

  1. Apakah kebijakan tersebut dapat menangkal paham radikalisme dan intoleransi di kehiupan kampus?

Diagram di atas merupakan pendapat dari berbagai mahasiswa mengenai kebijakan Organisasi Mahasiswa Ekstra Kampus atau OKP masuk kampus guna menangkal paham radikalisme dan intoleransi. Sepertiga dari jumlah keseluruhan responden mengatakan tidak setuju dengan kebijakan Kemenristekdikti  mengenai Organisasi Mahasiswa Ekstra Kampus atau OKP masuk kampus guna menangkal paham radikalisme dan intoleransi. Jika dibandingkan dengan responden yang menyatakan setuju jumlahnya lebih kecil yaitu kurang dari sepertiga jumlah keseluruhan responden. Hal ini menenjukan bahwa dari berbagai mahasiswa minoritas menyatakan tidak setuju dengan adanya kebijakan Kemenristekdikti mengenai Organisasi Mahasiswa Ekstra Kampus atau OKP masuk kampus dengan berbagai alasan tertentu.  Sedangkan mayoritas mahasiswa menyatakan tidak tahu-menahu mengenai kebijakan Kemenristekdikti guna menangkal paham radikalisme dan intoleransi masuk kampus.

Diagram di atas menampilkan presentase alasan mengapa mahasiswa tidak setuju apabila Organisasi Mahasiswa Ekstra Kampus atau OKP mampu menangkal radikalisme. Minoritas besar mahasisiwa beralasan keberadaan Organisasi Mahasiswa Ekstra Kampus atau OKP masih ditunggangi oleh kepentingan golongan politik tertentu, disusul dengan presentase lainya mengapa mahasiswa tidak setuju dengan anggapan OKP menangkal radikalisme dan intoleransi. Ternyata tidak berbeda jauh, beberapa diantaranya berpendapat keberadaan Organisasi Mahasiswa Ekstra Kampus atau OKP justru memudahkan paham radikalisme dan beberapa lainya tidak setuju Organisasi Mahasiswa Ekstra Kampus atau OKP menangkal radikalisme karena menganggap justru intoleransi berkembang dengan keberadaan Organisasi Mahasiswa Ekstra Kampus atau OKP memicu adanya konflik. Sedangkan minoritas responden yang merupakan seperlima dari jumlah keseluruhan mengatakan keberadaan Organisasi Mahasiswa Ekstra Kampus atau OKP memicu adanya konflik yang timbul dikalangan mahasiswa dan keberadaanya justru memudahkan paham radikalisme dan intoleransi berkembang.

Dari analisis data di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa banyak mahasiswa yang mengatahui adanya kebijakan yang dibuat oleh Kemenristekdikti terkait Organisasi Mahasiswa Ekstra Kampus atau OKP, tetapi sebagian besar memilih tidak tergabung dalam Organisasi Mahasiswa Ekstra Kampus atau OKP. Hal tersebut berkaitan dengan alasan mahasiswa yang memandang OKP masih menjadi underbow politik praktis. Oleh karena itu, mahasiswa cenderung acuh dan tidak mengetahui dengan keberadaan kebijakan Kemenritsekdikti tentang OKP. Selain itu, disebabkan oleh minimnya keingintahuan akan organisasi di luar kampus, kurangnya sosialisasi dari Kemenristekdikti maupun rendahnya komunikasi antara kampus dengan mahasiswanya. Mengakibatkan ketidaktahuan mahasiswa terhadap kebijakan yang telah dikeluarkan Kemenristekdikti. Meski terdapat perbedaan pendapat antara mahasiswa minoritas dan mahasiswa mayoritas, tentang kapasitas kebijakan dalam menangkal radikalisme. Mahasiswa yang tidak setuju memiliki alasan karena keberadaan Organisasi Mahasiswa Ekstra Kampus atau OKP justru memudahkan paham radikalisme dan intoleransi berkembang dengan keberadaan Organisasi Mahasiswa Ekstra Kampus atau OKP memicu adanya konflik.

Sebagai bentuk laporan, bukan hanya menyampaikan kesimpulan tetapi juga saran yang mendukung. Baik saran yang dipandang bagi pemerintah agar mendapatkan jalan tengah bagi suara-suara mahasiswa, hingga dari sisi mahasiswa yang juga bisa mengembangkna polling ini menjadi suatu kebaharuan.  Saran untuk pemerintah sendiri  harus ada tindakan tegas yang mengatur dan membatasi pergerakan politik praktis agar tidak memberikan pengahrunya terhadap keberlangsungan Organisasi Mahasiswa Ekstra Kampus atau OKP. Bentuk-bentuk pembatasan tersebut tentu bisa saja menerbitkan peraturan khusus bahkan UU dengan rincian apa saja larangan dan keharusan yang dilakukan oleh OKP, bisa juga dengan peraturan tertentu OKP diawasi oleh badan pengawas khusus. Sedangkan bagi mahasiswa, selayaknya sudah mulai terbuka dengan berbagai organisasi kan tetapi dianjurkan lebih selektif dalam mengikuti Organisasi Mahasiswa Ekstra Kampus atau OKP sebagai pencegahan penyebaran paham radikalisme dan intoleransi masuk kampus. Dengan adanya OKP mahasiswa diaharapkan turut menjaga ideologi bangsa dan mengambil manfaat lain yakni mampu mengasah softskill dan memperluas relasi pertemanan anatar prodi, fakultas hingga antar universitas.

*Kegiatan Polling ini dilakukan oleh mahasiswa yang mengikuti mata kuliah Metode Penelitian Kuantitatif Terapan kelompok Tasya Annisa Syahnindita, Aulia Rahma Dinna, Oky Sapto Mugi Saputro, Amir Setianto, Roy Ihza Muzziawan