Apa penyebab tukang foto di lokasi pesta tidak dihargai

You are here: Home / Cerpen / Telaga Air Mata (Mengenang Korban Lumpur Lapindo)

November 22, 2014 by   - dibaca 1832 kali

Kategori: Cerpen  Diterbitkan: Selasa, 28 Oktober 2014  Ditulis oleh Suheri

Sidoarjo, 2060.
Seperti para pelancong lainnya, aku pun bergeming di tepi telaga. Mata tertuju ke tengah-tengah danau2 sambil berharap-harap cemas menanti kemunculan kabut dari dalam air telaga yang oleh penduduk dikenal sebagai Pedhut Kabegjan.

Benar saja, begitu semburat sinar merah terlihat dari ufuk timur, bermunculanlah kabut dari dalam danau. Mula-mula sedikit dan berupa gumpalan-gumpalan kecil, namun lambat laun kian banyak sehingga kemudian permukaan telaga itu tak terlihat lagi karena tertutup kabut. Tak lama dari hal itu, gumpalan-gumpalan kabut sebesar kepala manusia bergerak dari dalam danau menuju tepi danau, dimana berjajar para wisatawan yang telah menunggu, itulah Pedhut Kabegjan3. Fenomena alam atas kuasa Tuhan, yang ilmu pengetahuan belum dapat menjelaskan keberadaannya.

Pedhut kabegjan adalah keberuntungan. Mitos yang berkembang adalah siapapun yang terusap oleh kabut itu, maka keberuntungan atau nasib baik akan menyertainya. Awet muda, cepat kaya, mudah rezeki, enteng jodoh, atau terkabul hajatnya adalah hal yang dipercaya dibawa oleh kabut itu.

Sudah tiga kali wajahku tertampar oleh kabut itu, walaupun ia menerpa dengan kencang, tetapi yang terasa adalah rasa sejuk dan hawa segar saja yang aku alami.

Kala mentari telah kehilangan warna tembaganya, Pedhut Kabegjan berangsur menghilang. Kemudian air telaga menjadi berkilau keemasan terjilat sinar sang surya, prosesi telah berakhir. Lalu aku membasuh muka lantas menuju kedai  pedagang asongan yang berjajar rapi  di tepi danau. Merangkak siang, Telaga Air mata kian ramai. Mereka yang tak sempat mendapati Pedhut kabegjan masih bisa berharap pada keberuntungan lain dari telaga itu. Sinar matahari telah sepenggalah, tukang-tukang sampan mulai riuh menawarkan jasa perahunya kepada para pelancong.

Aku masih termangu memikirkan misteri Telaga Air Mata. Keajaiban itu sengaja dihembuskan oleh para pemandu wisata sebagai daya magis  agar wisatawan mau dipandunya. Cerita mitos yang sedikit terbukti tentang keajaiban Pedhut kabegjan, Ikan Jula-Juli, dan Sekar Srinthil kuning, membuat sebagian besar wisatawan bernafsu untuk menjumpainya.

Hal itu membuat Telaga Air Mata kian diminati pelancong, dan telaga itu menjadi daerah kunjungan wisata utama di Jawa Timur. Merasakan keanehan Telaga Air Mata, membuat keyakinanku akan kebesaran Tuhan semakin menebal. Maka benarlah, bila Ia berkehendak sesuatu maka cukup berkata kun.4

Aku terperanjat, manakala terdengar deheman lirih seorang tukang perahu yang dengan itu ia mengisaratkan kehadirannya. Ku tengok, tampak seorang kakek kurus beralis tebal, berbaju batik warna merah yang sudah pudar kelirnya.

“Assalamualaikum Gus5, sangat bersyukur bila mau membagi rezeki dengan simbah ini. Walau renta, mbah masih sanggup mendayung perahu berkeliling danau,” Si Kakek menawarkan jasa perahunya.

‘Waalikum salam,…lho, Bapak yang tadi menjadi imam shalat subuh kan?” Aku balik bertanya. Lelaki tua itu mengangguk. Lantas kami bersalaman, berbincang-bincang ringan, lalu sepakat untuk meneruskan obrolan di atas perahu.

“Mbah Tejo warga asli Sidoarjo?”
“Ya,… Mbah dari Jatirejo.6 Mbah tahu legenda danau ini, bahkan jauh ke belakang sebelum danau ini terbentuk. Mbah melihatmu tadi, kamu mendapat Pedhut Kabegjan Gus. Kamu beruntung Gus, karena hal yang tak diketahui oleh orang kebanyakan, kabut itu merupakan ejawantah dari semangat, daya juang, kesabaran, kepasrahan yang dipunyai oleh warga korban Lumpur lima puluh empat tahun yang lalu.” Mbah Tejo memberiku informasi tambahan.

Aku jadi teringat cerita ayah tentang perjuangan tak kenal lelah para korban lumpur yang menuntut ganti rugi yang berlangsung alot, lambat, dan penuh konfrontasi.

“Mbah tahu asal mula danau ini?” Aku memancing tahu.

Mbah Tejo tak lekas menjawab, sambil mengayuh perahu matanya menerawang ke pusat danau, mengumpulkan serpih ingatan masa lalunya, baru kemudian ia berkata.

“Penderitaan kami diawali dari muntahnya lumpur yang lambat diantisipasi. Mula-mula lumpur itu merendam sawah, rumah, lantas semuanya menjadi tak bersisa. Ladang, sawah, rumah, makam, kantor, semua tenggelam dalam lumpur. Orang-orang mengungsi, tercerabut dari akar komunitasnya. Hubungan sosial terganggu dan putus. Memang benar kami mendapat ganti rugi,7 tapi itu tak secara kontan dan tidak semua langsung mendapat.” Mbah Tejo menghela nafas panjang, tanpa diminta ia lalu melanjutkan, “Semenjak itu semua denyut kehidupan desa hilang. Kami terputus dengan masa lalu.”
    
“O,… itu yang disebut Geger Lapindo Gus.  Kisahnya begini. Sejak Tahun 2031, yang menyembur bukan lumpur lagi tetapi minyak, ya,..minyak bumi, ini aneh, ajaib, tapi nyata. Sejak itu Lapindo yang sudah dimiliki orang Amerika, hidup kembali. Maka mulai dibangun, penyulingan, kantor, hotel, depot penimbunan, dan perumahan. Orang-orang seperti semut melihat gula, berduyun-duyun datang ke mari. Porong menjadi hidup siang dan malam. Kedungbendo, Siring, Renokenongo, Jatirejo, telah menjadi milik bule. Kami cuma jongos di tanah sendiri. Itu berlangsung cukup lama. Perut bumi Porong terus mengeluarkan isinya. Materi, harta benda, kemewahan hidup menjadi Tuhan baru. Kemaksiatan yang menyertai orang Amerika itu, seperti udara bersih yang berebut dihirup oleh orang kita. Tapi pesta itu berakhir tahun 2058, ketika gempa besar melanda Porong. Orang-orang pintar mengatakan kalau lindu itu terjadi sebab patahan porong yang berupa lapisan pliosen, miosen, serta oligosen8di bawah Porong patah,dan mengisi lubang yang ditinggalkan lumpur dan minyak bumi itu. Namun Mbah yakin, bila itu merupakan azab Tuhan, seperti sewaktu Dia menghancurkan kaum Nabi Saleh, dan Nabi Syuaeb, seperti yang tercatat dalam kitab suci9.”

Aku menghela nafas dalam-dalam.  Membayangkan kota beserta penghuninya yang tiba –tiba runtuh sedalam seratus lima puluh meter, tak menyisakan apapun, kecuali akhirnya membentuk danau yang sedang kami arungi ini.

“Dasyat sekali peristiwa itu Mbah,”

“Seperti kiamat kecil Gus. Gemuruh suaranya sampai terdengar dari Tuban, Blitar, Ngawi, bahkan Banyuwangi dan Madura.  Selama enam bulan kubah itu tak dapat dilihat dasarnya, karena tertutup debu dan kabut. Setelah itu, musim hujan 2059, tak ada yang mengira bila kawah itu berubah menjadi danau. Ilmuwan mengatakan bila hal itu karena hujan yang turun tujuh hari berturut-turut. Tapi tak ada yang percaya Gus, bila air itu merupakan air mata ribuan penduduk korban lumpur setengah abad silam.”

Aku makin tercekam mendengar cerita Mbah tejo.

“E,eee,..Gus, itu Jula-Juli,10 ambil Gus. Ayo,.. ambil, ikan itu nurut sekali. Kamu diberkati  Gus, ayo pegang.” Mbah Tejo menunjuk ikan yang menari-nari di sisi kanan sampan kami. Aku memungutnya, dan nyata bila ia jinak sekali, Insangnya bergerak-gerak waktu Jula-Juli ada di tanganku.
“Usap kepalanya Gus. Biasanya tak lama dari itu ia akan menangis,” Mbah Tejo memberi tahu. Aku menurutin perintahnya. Dan benar, ikan itu berkedip-kedip, sesudah itu keluarlah air mata berwarna hijau dan menetes di telapak tanganku. Aku tak kuasa membiarkan hal itu lama-lama, sehingga Jula-Juli aku cemplungkan kembali ke danau. Mbah Tejo memandangku heran.

“Orang justru akan membawanya pulang agar ikan itu mewek terus, kamu malah melakukan sebaliknya, mengapa Gus?”

“Saya kemari hanya untuk membuktikan kebenaran leganda dan mitos danau ini Mbah. Bukan ingin memiliki apa yang ada di danau ini. Biar legenda itu tetap menjadi milik danau ini, apa yang saya saksikan hal ini hanya mempertebal rasa inginku membaca ayat-ayat Allah. Tak lebih dari itu Mbah.”

“Kamu berseberangan dengan orang kebanyakan Gus. Umumnya mereka justru rakus ingin mendapatkan apa yang bukan menjadi hak mereka. Nah ayo mendayung agak lebih cepat, siapa tahu kamu juga beruntung mendapatkan Sekar Srinthil Kuning11 Mbah Tejo memberi aba-aba. Aku mendayung lebih jauh ke tengah danau.

“Berhenti Gus. Lekas baca Al Fatihah tiga kali. Kalau engkau mujur, bunga itu akan  muncul,” perintah Mbah Tejo.

Aku mematuhi perintahnya. Selesai membaca ummul kitab itu, tak lama kemudian timbul gelembung-gelembung air, yang makin lama kian banyak, bahkan gelembung itu menyembur beberapa senti ke permukaan air, seperti air mancur saja. Begitu semburan hilang, air di bekas semburan itu, telah terdapat bunga yang

“Petiklah barang setangkai Gus. Simpanlah. Kembang ini takkan pernah layu, asal tempatnya kau beri air sumur. Begitu pula dengan harumnya, akan tetap semerbak, meskipun telah terlepas dari kelopaknya,”

Aku masih ragu-ragu,  dan hanya pandangi kembang berwarna kuning itu. Mbah Tejo tak sabar melihat polahku, kemudian  ia dipetiknya kembang itu setangkai,lantas ia selipkan di saku bajuku.

“Nah, anggaplah sebagai tanda mata dari Simbah. Semoga engkau akan selalu mengingat Simbah ini. Kembang ini lambang cinta kasih abadi, seperti cinta dan pengorbanan korban lumpur, sama halnya dengan ikan Jula-Juli  itu tadi.” Tersendat-sendat Mbah Tejo berkata begitu.

Tak terasa matahari telah berada di titik kulminasi. Mbah Tejo mintaku mendayung perahu ke tepi.lantas beliau berucap,” Nah Gus, sepertinya kita harus berpisah disini. Dhuhur sudah mau masuk. Hatimu bersih tak terselip oleh nafsu, sehingga Kau terpilih menyaksikan kekuasaan Tuhan melalui makhluk ciptaan-Nya yang ada di danau ini. Dan hanya Kamu yang mendapat cerita lengkap dan sesungguhnya tentang misteri telaga ini. Mbah pamit Gus,… Assalamulaikum…”

Setelah berkata begitu, Mbah Tejo menjabat tanganku sambil tersenyum. Kemudian Ia turun dari perahu dan berjalan ke  arah tempat munculnya  Sekar Srinthil Kuning  tadi.

Aku terpana menyaksikan Mbah Tejo berjalan di atas air. Sontak haluan perahu aku balikkan, mengejarnya, sambil berteriak-teriak memanggil-manggil namanya. Tetapi Ia terus saja berjalan, tanpa menoleh ke arahku, Sampan aku kayuh lebih cepat agar dapat menyusulnya. Dalam keadaan begitu, tanpa dinyana datang gelombang yang menghantam perahuku, yang lantas terbalik dan aku tercebur ke dalam danau. Hal ini membuatku kian panik, sambil menendang-nendang dan tangan berkecipak-kecipuk agar tidak tenggelam. Aku makin lantang berteriak memanggil Mbah Tejo.

Lama hal itu aku lakukan, sehingga tenagaku terasa terkuras, aku tak kuat lagi menjaga keseimbangan, rasanya aku tenggelam ke dasar danau.

“Bangun Her,.. bangun, istigfar Nak. Kamu mimpi buruk dan terjatuh dari ranjang. Kamu bermimpi ketemu Kakekmu Nak?” Ayah menggoyang-goyang tubuhku. Aku terjaga seolah tak percaya. Dalam kebingungan dan ketakutan aku peluk ayah.

“Apa nama Kakekku Tejo, Yah?”
“Ya. Tejo Kusuma lengkapnynya. Selama ini hingga Kamu remaja, yang Kau kenal hanya Eyang kakung saja, tanpa mengenal nama aslinya. Liburan sekolah nanti Ayah berjanji akan mengajakmu ke Jawa, menengok kakekmu di Jatirejo. Kasihan Mbah sendirian. Tapi ayah tidak dapat memaksa Simbah untuk tinggal bersama kita. Dengan paklik-mu yang di Porong saja Mbah ngak mau ikut. Beliau begitu mencintai desanya, dan tak mau merepotkan anak-anaknya. Apalagi ganti rugi yang mestinya beliau terima, belum juga di dapat,” Sambil berkata begitu, Ayah mengelus-elus kepalaku.

Aku merasa tentram dalam pagutan ayah. Sehingga aku berani mengingat-ingat mimpi yang barusan aku alami. Bersamaan dengan hal itu, Ibu telah berdiri di depan pintu kamarku. Roman mukanya tegang, lalu agak gemetar berkata,” Yah,… ada telepon dari Dik Kusno,”

Tanpa berucap ayah bergegas mengikuti ibu ke ruang tengah. Aku masih memikirkan mimpiku tadi. Telaga Air Mata, Pehut kabegjan, Ikan Jula-Juli, Sekar Srinthil Kuning, Mbah Tejo….

Ketika mengingat beliau, samara-samar tercium aroma kembang mawar yang sangat menyengat, entah darimana datangnya. Aku menjadi takut dan lalu menyusul ayah. Ketika sampai di ruang tengah, ayah baru saja meletakkan gagang telepon. Lantas ayah berpaling ke arahku, sambil berkata dengan tersendat,” Innalilahi wa innaa ilaihi raajiun,12… kakekmu Her…..”
Lidahku  seperti disengat lebah puluhan  ekor.    

Sukadana, Juli 2006.
Suheri menulis esai, artikel, puisi, cerpen, yang dipublikasikan
Di Majalah Horison, Majalahj Guruku, Lampung Post,
Radar Lampung, Media Lampung Timur.
Guru SMAN 1 Sukadana Lampung Timur.

Catatan :

  • Nama sebuah danau yang terbentuk tahun 2058, pada tahun 2006 lalu, masih merupakan kubangan semburan lumpur Lapindo Brantas
  • Konon merupakan pusat semburan lumpur Lapindo Brantas  Yang mulai muncul sejak tanggal 29 Mei 2006 di sebuah sawah         berjarak 150 meter dari sumur Banjar Panji 1 milik PT.Lapindo Brantas yang sedang mengeksploitasi gas. Per Maret 2007 semburan lumpur telah mencapai 10 jua M3. Merendam sedikitnya 4 desa, 23 perusahaan, membuat penduduk mengungsi sampai 22 ribu jiwa. Sampai cerpen ini selesai ditulis,semburan lumpur terus berlangsung.
  • Pedhut Kabegjan hanya muncul selama matahari masih berwarna merah tembaga di pagi hari.
  • Hanya sesungguhnya apabila Dia (Allah) menghendaki sesuatu, Dia berkata kepadanya”Jadilah”, maka jadilah.(QS Yassin; 82, Al Baqarah;177).
  • Nama julukan (panggilan) kepada anak laki-laki, digunakan di sebagian daerah Jawa Timur.
  • Konon merupakan desa tertua di Kecamatan Porong. Di sana terdapat pesarean Syekh Anas Al Ayubi, tokoh desa yang dihormati.
  • Tanggal 4 Desember 2006, PT.Energi Mega Persada, anak perusahaan Grup Bakrie pemilik lapindo Brantas, mengabulkan ganti rugi dengan ketentuan: tanah dihargai Rp.1 juta/meter2, bangunan Rp.1,5 juta/meter2, sawah Rp.120.000;/meter2. Pembayaran diangsur mulai Maret 2006 sampai September 2008.
  • Batuan yang terbentuk kira-kira 16 juta sampai dengan 4 juta tahun yang lalu, bagian akhir zaman tersier, batuan yang terbentuk kirta-kira 5-26 juta tahun yang lalu, batuan yang terbentuk kira-kira 40 – 25 juta tahun yang lalu, ketika hewan dan tumbuhan berkembang ke arah bentuknya yang sekarang.
  • Karena itu mereka ditimpa gempa, maka jadilah mereka mayat-mayat yang bergelimpangan di tempat tinggal mereka (QS. Ar-A”araf; 78).
  • Ikan Jula-Juli mirip dengan ikan Lou Han yang terkenal di era awal tahun 2000-an. Bedanya ia dapat mengedipkan mata dan menangis seperti manusia. Air mata ikan ini diyakini dapat menyembuhkan berbagai penyakit.
  • Daunnya menyerupai bunga melati, kembangnya mirip bunga mawar, sedang akarnya berserabut seperti eceng gondok. Harum baunya perpaduan mawar, melati, sedap malam dan kenanga. Namun aroma mawar lebih dominan. Bunganya berwarna kuning.
  • Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nya kami akan dikembalikan (QS. Al baqarah; 156).

 Sumber: http://horisononline.or.id/id/cerpen/1221-telaga-air-mata-mengenang-korban-lumpur-lapindo

Apa yang dikatakan tukang foto?

Berbeda dengan seorang tukang foto, biasanya sebutan tukang foto disematkan kepada seseorang yang bekerja untuk mengabadikan moment orang - orang ketika berada di tempat rekreasi.

Apa nama lain dari tukang foto?

Fotografer atau juru foto (bahasa Inggris: photographer) adalah orang-orang yang membuat gambar dengan cara menangkap cahaya dari subyek gambar dengan kamera maupun peralatan fotografi lainnya, dan umumnya memikirkan seni dan teknik untuk menghasilkan foto yang lebih bagus serta berusaha mengembangkan ilmunya.

Apa yang dimaksud dengan hunting foto?

Hunting di dunia fotografi adalah salah satu kegiatan mencari objek foto baik itu pemandangan, benda, manusia, hewan, dan jenis objek lainnya. Ketika seseorang mengatakan ingin hunting foto, itu artinya dia mau mencari objek yang bisa ia foto.

Apa perbedaan dari fotografi dan fotografer?

Pengertian Fotografer dan Fotografi – Banyak orang yang beranggapan bahwa fotografi dan fotografer sama. Padahal pengertian fotografer dan fotografi memiliki perbedaan yang sangat jauh, untuk fotografi merupakan sebuah aktivitas sedangkan untuk fotografer adalah orang yang melakukan.