Dilihat 104,920 pengunjung Bumi adalah habitat dan tempat tinggal untuk berbagai makhluk hidup yang ada di dunia, termasuk manusia. Namun, semakin hari bumi semakin memanas akibat pemanasan global. Apakah Sobat SMP sudah mengetahui apa itu pemanasan global? Pemanasan global adalah suatu fenomena global yang dipicu oleh kegiatan manusia terutama yang berkaitan dengan penggunaan bahan fosil dan kegiatan alih guna lahan. Kegiatan ini menghasilkan gas-gas yang semakin lama semakin banyak jumlahnya di atmosfer, terutama gas karbon dioksida (CO2) melalui proses yang disebut efek rumah kaca. Efek rumah kaca (greenhouse effect) adalah sebuah istilah yang cukup erat kaitannya dengan pemanasan global. Disebut dengan efek rumah kaca karena adanya peningkatan suhu bumi akibat suhu panas yang terjebak di dalam atmosfer bumi. Prosesnya mirip seperti rumah kaca yang berfungsi untuk menjaga kehangatan suhu tanaman di dalamnya. Peningkatan suhu dalam rumah kaca terjadi karena adanya pantulan sinar matahari oleh benda-benda yang ada di dalam rumah kaca yang terhalang oleh dinding kaca, maka udara panas tidak dapat keluar (greenhouse effect). Apa yang menjadi penyebab pemanasan global? Di atas permukaan bumi, efek rumah kaca juga bisa terjadi. Hal ini dapat terjadi karena sebanyak 25% energi matahari yang masuk ke bumi dipantulkan oleh awan atau partikel lain di atmosfer, 25% diserap awan, 45% diabsorpsi permukaan bumi, dan 5% lainnya dipantulkan kembali oleh permukaan bumi. Energi matahari yang telah diabsorpsi akan dipantulkan kembali dalam bentuk radiasi inframerah oleh awan dan juga permukaan bumi. Namun, energi yang dipantulkan tersebut bisa terhalang oleh karbon dioksida (CO2) dan gas lainnya yang terdapat di atmosfer bumi. Banyaknya CO2 di udara menjadi salah satu faktor terjadinya pemanasan global. Sebenarnya zat CO2 dibutuhkan dan akan diserap oleh tumbuhan untuk melakukan proses fotosintesis. Akan tetapi, karena semakin menipisnya hutan dan lahan hijau membuat kadar CO2 di atmosfer tidak terkendali. Faktor pemanasan global lainnya adalah seperti gas industri, polusi bahan bakar, dan gas metana yang dihasilkan dari sampah plastik. Seperti apa dampak yang ditimbulkan dari pemanasan global? Baca Juga Yuk, Mengolah Limbah Keras yang Ada di Rumah! Tadi sudah sempat dijelaskan bahwa pemanasan global akan meningkatkan suhu di permukaan bumi. Suhu bumi yang meningkat dapat menyebabkan berbagai dampak buruk bagi lingkungan dan ekosistem lainnya karena adanya perubahan iklim dunia. Salah satu contoh dampak yang ditimbulkan dari pemanasan global adalah mencairnya glasier dan es di kutub. Hal ini akan mengakibatkan naiknya permukaan air laut dan membuat sebagian daerah terendam air laut. Contoh dampak buruk lainnya dari pemanasan global adalah seperti curah hujan yang tinggi, kegagalan panen, hilangnya terumbu karang, kepunahan berbagai spesies, hingga penipisan lapisan ozon pada atmosfer bumi. Lantas, bagaimana kita dapat menanggulangi pemanasan global? Terdapat berbagai cara untuk menanggulangi permasalahan yang sudah sejak lama ini. Salah satunya adalah dengan mengurangi pemakaian bahan bakar fosil seperti minyak dan batu bara. Pasalnya, bahan bakar fosil adalah penyebab terbesar tingginya kadar CO2 di bumi. Cara lainnya adalah dengan melakukan reboisasi, yaitu proses penanaman kembali hutan yang telah ditebang dan memperbanyak lahan hijau. Dengan begitu, CO2 akan terserap oleh tumbuhan dan mengurangi dampak pemanasan global. Terakhir, kita bisa mengurangi pemakaian plastik untuk menghindari tumpukan limbah plastik yang bisa menghasilkan gas metana. Selain itu, limbah plastik akan sulit terurai oleh lingkungan. Mulailah beralih ke bahan yang lebih mudah terurai. Sayangi dan cintailah bumi untuk kita dan generasi selanjutnya ya, Sobat SMP! Penulis: Pengelola Web Direktorat SMP Referensi: Modul Pembelajaran IPA SMP Terbuka
Ilustrasi Efek Rumah Kaca (wallpaperstock.net)
...ini pada bulan yang berakhiran `ber` beberapa tempat tidak terjadi hujan bahkan terjadi musim kemarau sehingga masyarakat sulit mencari air," Padang (ANTARA News) - Sebagian besar masyarakat dunia, khususnya di Indonesia tentu telah merasakan perubahan suhu dan cuaca yang terjadi sejak dua puluh tahun terakhir. Perubahan cuaca secara ekstrim terjadi akibat dampak pemanasan global yang lebih disebabkan faktor peningkatan emisi karbon akibat pembakaran bahan bakar fosil, menimbulkan kecenderungan terhadap efek gas rumah kaca. Negara-negara industri maju dan berkembang, dituntut untuk melakukan aksi nyata pengurangan emisi karbon dan kecenderungan peningkatan efek rumah kaca. Protokol Kyoto merupakan sebuah persetujuan internasional mengenai pemanasan global. Negara-negara yang menyetujui untuk menerapkannya, dituntut berkomitmen untuk mengurangi emisi atau pengeluaran karbon dioksida dan lima gas rumah kaca lainnya, atau bekerja sama dalam perdagangan emisi yang telah dikaitkan dengan pemanasan global. Melalui Protokol Kyoto diprediksi akan mengurangi rata-rata cuaca global antara 0,02 derajat celcius dan 0,28 derajat celcius pada tahun 2050. Sementara, pemerintah Indonesia menargetkan hingga 2020 penurunan gas karbon dan emisi gas rumah kaca dapat mencapai 26 persen, guna menanggulangi penyebab kerusakan Ozon. Dari 26 persen upaya penurunan gas karbon dan emisi gas rumah kaca, 14 persen diantaranya dilakukan melalui reboisasi dan pencegahan menurunnya luas hutan secara signifikan. Selanjutnya, enam persen upaya penurunan gas karbon dan emisi gas rumah kaca, dilakukan melalui kebijakan untuk mengefesiensikan penggunaan energi yang tidak dapat terbarukan dengan konsep pembangunan rumah atau gedung yang banyak masuk cahaya, sehingga penggunaan listrik dapat dihemat. Enam persen lagi upaya penurunan dampak emisi gas karbon melalui pengolahan limbah domestik, limbah cair dan B3 (bahan berbahaya dan beracun). Menurut Guru Besar Ilmu Lingkungan Universitas Negeri Padang Prof. Dr. Eri Barlian, M.Si perubahan suhu secara kasat mata memang tidak dapat dilihat namun dapat dirasakan pengaruhnya terhadap lingkungan sekitar. "Suhu semakin panas, terik matahari di siang hari yang menyengat. Terkadang di siang hari sengatan matahari begitu terik, di sorenya tiba-tiba saja hujan lebat mengguyur. Inilah yang disebut dengan cuaca ekstrim, yang melanda sebagian besar belahan dunia, termasuk Indonesia yang merupakan efek rumah kaca tersebut," katanya di Padang, Minggu. Di Sumatera Barat yang 80 persen kawasannya adalah perbukitan dan hutan tropis, efek rumah kaca juga telah dirasakan sejak lima tahun terakhir. Ia menjelaskan, efek rumah kaca merupakan istilah atau dalam bahasa inggris disebut dengan "green house effect". Istilah itu berasal dari pengalaman para petani yang tinggal di daerah beriklim sedang, yang memanfaatkan rumah kaca untuk menanam sayuran dan juga bunga-bungaan. Mengapa para petani menanam sayuran di dalam rumah kaca? Karena di dalam rumah kaca suhunya lebih tinggi dari pada di luar rumah kaca, katanya. Suhu di dalam rumah kaca bisa lebih tinggi, karena cahaya matahari yang menembus kaca akan dipantulkan kembali oleh benda-benda di dalam rumah kaca sebagai gelombang panas yang terperangkap dan tidak bercampur dengan udara dingin di luar ruangan. "Dari pengalaman para petani itulah dikaitkan dengan apa yang terjadi pada bumi dan atmosfir, sehingga muncullah istilah efek rumah kaca," katanya. Lapisan atmosfir paling bawah (troposfir) adalah bagian yang terpenting dalam kasus efek rumah kaca. Sekitar 35 persen dari radiasi matahari tidak sampai ke bumi. Sisanya yang 65 persen masuk ke dalam troposfir. Dari 65 persen cahaya matahari yang ada di troposfir sekitar 51 persen radiasi sampai ke permukaan bumi. Radiasi yang diterima bumi, sebagian diserap oleh tumbuhan, tanah dan air laut dan sebagian dipantulkan. "Radiasi yang diserap dipancarkan kembali dalam bentuk sinar inframerah," katanya. Sinar inframerah yang dipantulkan bumi kemudian diserap oleh molekul gas yang antara lain berupa uap air atau H20, CO2, metan (CH4), dan ozon (O3). Sinar panas inframerah ini terperangkap dalam lapisan troposfir dan oleh karenanya suhu udara di troposfir dan permukaan bumi menjadi naik. "Dari kondisi itu maka terjadilah efek rumah kaca. Sementara gas yang menyerap sinar inframerah disebut Gas Rumah Kaca," katanya. Menurut dia, efek rumah kaca itu sangat penting karena jika tidak ada efek rumah kaca, maka suhu rata-rata bumi bisa mencapai minus 180 derajat celcius. Jadi dengan adanya efek rumah kaca menjadikan suhu bumi layak untuk kehidupan manusia. Suhu meningkat panas yang terjadi saat ini diakibatkan meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca secara global akibat kegiatan manusia terutama yang berhubungan dengan pembakaran bahan bakar fosil (minyak, gas, dan batubara) seperti pada pembangkitan tenaga listrik, kendaraan bermotor, AC, komputer, memasak termasuk pembakaran lahan dan hutan. "Hal tersebut merupakan penyebab dominan pemanasan global yang terjadi saat ini," katanya. Pengurangan dampak negatif Menurut Koordinator Pusat Studi Lingkungan Wilayah I Sumatera Prof Dr Ir Nasfryzal Carlo MSc, ancaman tersebut sudah dirasakan dengan fakta-fakta menunjukan bahwa, pertama, es di kutub utara dan selatan telah mencair sehingga menambah volume dan permukaan air laut yang akhirnya membawa dampak banjir rob tanpa turunnya hujan. "Fakta kedua, pola hujan berubah-ubah; dulu guru kita mengajarkan bahwa musim hujan dimulai pada September hingga Maret dan musim kemarau pada April-Agustus. Tetapi, kini pada bulan yang berakhiran `ber` beberapa tempat tidak terjadi hujan bahkan terjadi musim kemarau sehingga masyarakat sulit mencari air," katanya. Ia menyebutkan, dari hasil penelitian ditemukan bahwa musim kemarau mengalami percepatan 40 hari dan musim hujan mundur sampai 40 hari. Artinya, kemarau menjadi lebih lama 80 hari dan musim hujan berkurang 80 hari. Dengan demikian, prediksi kedatangan musim hujan ataupun kemarau sulit ditentukan, dan mengakibatkan kerugian bagi petani akibat tidak tepatnya dalam penentuan musim tanam. "Fakta ketiga, sering terjadinya gelombang El Nino dan La Nina," katanya. El Nino menyebabkan kekeringan dan suhu yang lebih panas dan terjadinya serangan gelombang panas. Sedangkan La Nina merangsang peningkatan curah hujan di atas normal, katanya. Fakta lain, lanjut dia, mencairnya gletser-gletser sebagai cadangan air dunia. Terakhir, perubahan iklim juga dituding sebagai penyebab berkembangnya serangga ulat bulu (desiciria inclusa) di Probolinggo yang juga sudah sampai di Sumbar. Menurut Nasfryzal Carlo yang juga Direktur Pascasarjana Universitas Bung Hatta Padang, ada enam gas yang dinyatakan sebagai gas rumah kaca dengan kondisi berbeda memerangkap panas dan meningkatkan suhu udara, samudera, dan permukaan bumi. Polutan pertama adalah karbondioksida (CO2) dari pembakaran batu bara untuk listrik dan pemanas, pembakaran produk dari fosil seperti bensin, solar, bahan bakar pesawat pada kegiatan transportasi dan industri. "CO2 juga berasal dari akibat perubahan tata guna lahan yang disebabkan karena kebakaran hutan, pembukaan hutan akibat eksplotasi dan eksplorasi dalam pertambangan," katanya. Penyebab kedua adalah metana yang dibuat manusia dari aktivitas pertanian, kotoran ternak, penanaman padi, dan dari limbah organik di tempat pembuangan sampah. "Jelaga atau karbon hitam yang berasal dari pembakaran kayu, kotoran hewan dan sisa-sisa tanaman pangan untuk memasak dan pabrik batu bata menjadi penyebab ketiga pemanasan global," katanya. Penyebab keempat, lanjut dia, berasal dari bahan-bahan kimia khloroflorokarbon (CFC) yang banyak dijumpai pada peralatan pendingin (kulkas, AC) dan tabung penyemprot parfum. Karbon monoksida dan senyawa organik yang mudah menguap volatile organic compound (VOC) merupakan penyebab pemanasan global kelima. Karbon monoksida, katanya, paling banyak dihasilkan dari knalpot mobil-mobil dan motor di jalan raya. VOC berasal dari proses-proses industri dunia. Penyebab terakhir adalah nirus oksida yang berasal dari proses pertanian yang mengandalkan pupuk nitrogen atau pupuk amonia yang berbahan dasar kimia.(ANT)COPYRIGHT © ANTARA 2011 |