Loading Preview Sorry, preview is currently unavailable. You can download the paper by clicking the button above.
Berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) melalui sejarah panjang perjuangan para pahlawan kemerdekaan dalam menumpas penjajahan 350 tahun Hindia Belanda. Memasuki fase kemerdekaan atau masa transisi di Indonesia, serentetan kejadian yang melukai negeri juga bukannya tidak terjadi. Pasca kemerdekaan, Indonesia kembali dihadapkan pada banyak pergolakan. Sejarah Indonesia pasca kemerdekaan dapat dirunut berdasarkan garis waktu atau timeline yang terjadi sepanjang masa perjuangan setelah kemerdekaan. Pertengahan 1960-an merupakan masa transisi di Indonesia, dimana terjadi pergantian kepemimpinan dari Ir. Soekarno kepada Jenderal Soeharto, atau kita mengenalnya dengan sebutan orde baru. Pergolakan politik terbesar yang terjadi dimulai ketika 7 perwira senior TNI tewas pada 30 September 1965 dengan dugaan dibunuh oleh pemberontakan PKI. Garis waktu yang pertama adalah masa 1966-1967 yang dikenal sebagai masa transisi ke orde baru. Orde baru sendiri lahir sebagai upaya untuk mengoreksi total penyimpangan yang dilakukan pada masa Orde Lama. Di masa ini dimulai penataan kembali seluruh aspek kehidupan rakyat, bangsa, dan negara Indonesia, melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen, serta menyusun kembali kekuatan bangsa untuk menumbuhkan stabilitas nasional guna mempercepat proses pembangunan. Aksi-aksi Tritura Pada masa transisi ini terjadi pergolakan politik, militer hingga lingkup sosial masyarakat. Hal ini terbukti ketika para mahasiswa Jakarta membentuk organisasi federasi bernama Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). Berbagai tindakan pemuda dan mashasiswa pada masa transisi ini salah satunya aksi Tritura, dimana ada 3 tuntutan yang disampaikan kepada pemerintah, yaitu pembubaran PKI, Pembersihan Kabinet dari Unsur G30 S PKI, dan Penurunan Harga atau Perbaikan Ekonomi. Surat Perintah Sebelas Maret atau (Supersemar) Surat perintah ini diterbitkan sebagai akibat demonstrasi yang dilakukan pemuda dan mahasiswa pada tanggal 11 Maret 1966, sehingga pemerintah mengadakankan sidang kabinet dalam mengatasi krisis. (Baca juga: 5 Fakta Penting Tentang Dekrit Presiden 5 Juli 1959) Tujuan dikeluarkannya Supersemar adalah untuk memberi tugas pada Panglima Angkatan Darat saat yang bertugas saat itu adalah Mayjen Soeharto untuk memutuskan tindakan apa yang harus dilakukan untuk memulihkan keamanan, ketertiban, dan kestabilan dalam melaksanakan jalannya kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Tokoh dibalik perumusan Supersemar adalah Muhamad Yusuf, Amir Machmud, dan Basuki Rachmat. Dualisme Kepemimpinan Nasional Supersemar membuat Soeharto memiliki kuasa sebagai pelaksana pemerintahan, sementara Soekarno sebagai pimpinan pemerintahan. Hal ini menimbulkan Dualisme Kepemimpinan Nasional yang akhirnya menyebabkan pertentangan politik di kalangan masyarakat, sehingga muncullah pendukung Soekarno dan pendukung Soeharto. Demi menjaga keutuhan bangsa, Soekarno menyerahkan kekuasan pemerintahan kepada pengemban Tap. MPRS. No. IX/MPRS/1966 Jenderal Soeharto pada 23 Februari 1967. Pada 7-12 Maret 1967 diselenggarakan Sidang Istimewa MPRS dengan tema utama mengenai pertanggungjawaban presiden selaku mandataris MPRS. Akhir masa pemerintahan Soekarno Akhirnya, pada 22 Juni 1966, Presiden Soekarno menyampaikan pidato NAWAKSARA dalam persidangan MPRS berisi 9 persoalan yang dianggap penting. Lantaran isi pidato tersebut hanya sedikit yang menyinggung tentang G 30 S PKI maka pengabaian peristiwa itu tak memuaskan anggota MPRS. Pada 10 Januari 1967, Presiden menyampaikan surat kepada pimpinan MPRS yang berisi Pelengkap Nawaksara (Pelnawaksara). Setelah membahas pelnawaksara pada 21 Januari 1967, pimpinan MPRS menyatakan bahwa Presiden telah alpa dalam memenuhi ketentuan konstitusional. Sehingga, pada 22 Februari 1967 tepat pukul 19.30 Presiden Soekarno membacakan pengumuman resmi pengunduran dirinya. Maka pada 12 Maret 1967 Jenderal Soeharto dilantik menjadi Pejabat Presiden Republik Indonesia oleh Ketua MPRS Jenderal Abdul Haris Nasution. Setelah setahun menjadi pejabat presiden, Soeharto dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia pada tanggal 27 Maret 1968 dalam Sidang Umum V MPRS.
Hal ini ditambah lagi dengan ditolaknya pidato pertanggungjawabannya hingga dua kali oleh MPRS. Sementara itu Soeharto setelah mendapat Surat Perintah Sebelas Maret dari Presiden Soekarno dan sehari sesudahnya membubarkan PKI, namanya semakin populer. Dalam pemerintahan yang masih dipimpin oleh Soekarno, Soeharto sebagai pengemban Supersemar, diberi mandat oleh MPRS untuk membentuk kabinet, yang diberi nama Kabinet Ampera. Dualisme kepemimpinan Soekarno-Soeharto pada tahun 1966-1967 identik dengan adanya dua pemimpin dengan kewenangan yang sama sebagai kepala pemerintahan yaitu Soekarno yang menjabat sebagai Presiden dan Soeharto yang menjadi pengemban Surat Perintah 11 Maret. Meningkatnya wewenang Pengemban SP 11 Maret inilah yang menjadi fokus utama kajian dalam pembahasan Dualisme kepemimpinan 1966-1967 hingga berakhirnya. Alasan peneliti mengkaji dualisme kepemimpinan antara Soekarno dan Soeharto karena masih belum adanya penelitian terdahulu yang lebih memfokuskan pada topik dualisme kepemimpinan secara lebih mendalam. Pentingnya penelitian ini juga terkait dengan permainan politik yang terjadi dalam MPRS dan DPRG yang didominasi oleh AD untuk meningkatkan wewenang Soeharto dan mengikis kekuasaan Presiden Soekarno. Peneliti juga tertarik membahas dualisme kepemimpinan, hal ini dikarenakan penulisan sejarah sebelumnya banyak didominasi penguasa Orde Baru. Oleh sebab itu, munculnya berbagai interpretasi mengenai tulisan sejarah saat ini diharapkan mampu memberikan keterbukaan akan inter-pretasi baru. Permasalahan yang peneliti kaji dalam penelitian ini ialah pertama, bagaimanakah situasi politik Indonesia antara tahun 1957-1966 sebagai latar belakang dualisme kepemimpinan, kedua bagaimanakah terjadinya dualisme kepemimpinan antara Soekarno-Soeharto dan yang ketiga bagaimanakah akhir dari dualisme kepemimpinan tersebut. Situasi politik Indonesia antara tahun 1957-1966 yang memberikan gambaran mengenai dominasi Angkatan Darat dalam pemerintahan. Dominasi tersebut berpengaruh pada konflik dengan PKI karena AD merasa bahwa PKI dapat mengancam politiknya. Presiden Soekarno juga merasa bahwa dominasi AD dapat mengancam kekuasaannya, sehingga Presiden mendukung PKI dalam berkonflik dengan AD. Pada akhirnya, munculnya Soeharto sebagai kekuatan baru dalam AD menjadi tokoh yang mampu menumpas G 30 S dan menghancurkan PKI yang merupakan pendukung politik Soekarno. Terima kasih atas kunjungannya
Ukuran Huruf: Risang Tunggul Manik Dualisme kepemimpinan Soekarno-Soeharto pada tahun 1966-1967 identik dengan adanya dua pemimpin dengan kewenangan yang sama sebagai kepala pemerintahan yaitu Soekarno yang menjabat sebagai Presiden dan Soeharto yang menjadi pengemban Surat Perintah 11 Maret. Meningkatnya wewenang Pengemban SP 11 Maret inilah yang menjadi fokus utama kajian dalam pembahasan Dualisme kepemimpinan 1966-1967 hingga berakhirnya. Alasan peneliti mengkaji dualisme kepemimpinan antara Soekarno dan Soeharto karena masih belum adanya penelitian terdahulu yang lebih memfokuskan pada topik dualisme kepemimpinan secara lebih mendalam. Pentingnya penelitian ini juga terkait dengan permainan politik yang terjadi dalam MPRS dan DPRG yang didominasi oleh AD untuk meningkatkan wewenang Soeharto dan mengikis kekuasaan Presiden Soekarno. Peneliti juga tertarik membahas dualisme kepe-mimpinan, hal ini dikarenakan penulisan sejarah sebelumnya banyak didominasi penguasa Orde Baru. Oleh sebab itu, munculnya berbagai interpretasi mengenai tulisan sejarah saat ini diharapkan mampu memberikan keterbukaan akan inter-pretasi baru. Permasalahan yang peneliti kaji dalam penelitian ini ialah pertama, bagaimanakah situasi politik Indonesia antara tahun 1957-1966 sebagai latar belakang dualisme kepemimpinan, kedua bagaimanakah terjadinya dualisme kepemimpinan antara Soekarno-Soeharto dan yang ketiga bagaimanakah akhir dari dualisme kepemimpinan tersebut. Jenis penelitian dalam kajian ini ialah penelitian sejarah dengan menggunakan metode studi kepustakaan dan metode historis. Metode studi kepustakaan (library research) yaitu menggali sumber data dengan merujuk dari bahan-bahan pustaka dan referensi lain yang relevan. Metode ini dilakukan dengan cara mengumpulkan data dari berbagai sumber pustaka yang kemudian disajikan dengan cara baru dan atau untuk keperluan baru. Peneliti juga menggunakan metode historis dengan tahapan penelitian sejarah. Hasil dari penelitian ini adalah mengenai situasi politik Indonesia antara tahun 1957-1966 yang memberikan gambaran mengenai dominasi Angkatan Darat dalam pemerintahan. Dominasi tersebut berpengaruh pada konflik dengan PKI karena AD merasa bahwa PKI dapat mengancam politiknya. Presiden Soekarno juga merasa bahwa dominasi AD dapat mengancam kekuasaannya, sehingga Presiden mendukung PKI dalam berkonflik dengan AD. Pada akhirnya, munculnya Soeharto sebagai kekuatan baru dalam AD menjadi tokoh yang mampu menumpas G 30 S dan menghancurkan PKI yang merupakan pendukung politik Soekarno. Dualisme Kepemimpinan Soekarno-Soeharto diawali dengan perbedaan penafsiran mengenai Surat Perintah 11 Maret 1966 diantara keduanya. Soeharto Please register PDFcamp on http://www.verypdf.com/, thank you.menganggap bahwa SP 11 Maret merupakan penyerahan kekuasaan, sedangkan Soekarno merasa bahwa SP 11 Maret hanyalah perintah pengamanan belaka. Tindakan Soeharto sebagai Pengemban SP 11 Maret seperti pembubaran PKI secara de facto merupakan suatu dualisme kepemimpinan. Hal ini dikarenakan sesuai dengan Penetapan Presiden No. 7 tahun 1959 bahwa sebenarnya Presiden yang berwenang membubarkan partai, sedangkan isi dari SP 11 Maret sebenarnya hanyalah merupakan perintah Presiden dan tidak menunjukkan peningkatan wewenang Soeharto. Wewenang Soeharto sebagai Pengemban SP 11 Maret selanjutnya meningkat setelah MPRS yang didominasi AD bersidang dan menghasilkan Ketetapan yang menimbulkan dualisme kepemimpinan secara de jure. Ketetapan MPRS diantaranya dalam hal pembentukan Kabinet Ampera yaitu Presiden bersama-sama Pengemban SP 11 Maret diberi wewenang membentuk kabinet. Kenyataannya, Soeharto yang merupakan ketua presidium kabinet selanjutnya memimpin kabinet dan menguasai jalannya pemerintahan. Tindakan Soeharto pada akhir masa dualisme kepemimpinan yaitu berhasil mempersatukan politik AD dalam Doktrin Tri Ubaya Cakti dan konsep Orde Barunya. Tindakan Soeharto selanjutnya yaitu dengan mengadili para pendukung terdekat Soekarno mengenai keterlibatannya dalam peristiwa G 30 S/PKI. Dalam pengadilan tersebut, Soekarno secara tidak langsung didiskreditkan mendukung G 30 S/PKI yang menyebabkan semakin berkurangnya pendukung dirinya. Soekarno kemudian merasa terdesak dan menyerah pada keadaan yang terjadi, ia menyerahkan kekuasaan eksekutif pada Soeharto. Akhirnya MPRS mengeluarkan Ketetapan MPRS No. XXXIII/MPRS/1966 dalam Sidang Istimewa yang mencabut kekuasaan eksekutif dari Presiden Soekarno. Berakhirlah Dualisme Kepemimpinan yang terjadi dengan diangkatnya Soeharto menjadi Pejabat Presiden. Untuk penelitian selanjutnya, peneliti menyarankan agar sumber-sumber primer dapat digali kembali sehingga diharapkan dapat menemukan sesuatu yang baru mengenai Dualisme Kepemimpinan 1966-1967. |