Apa maksud tema membumikan langit

Komunitas Malam Puisi Bandar Lampung Gelar ‘Ibadah Rutin’pada Jumat

dan

http://www.saibumi.com/artikel-72589-komunitas-malam-puisi-bandar-lampung-kembali-gelar-ibadah-rutin.html

Duajurai.com, Bandar Lampung – Komunitas Malam Puisi (Malpus) Bandar Lampung akan mengadakan ‘ibadah rutin’ pada Jumat mendatang, 12 Februari 2016. Rencananya, acara akan berlangsung di Kedai Union, depan Gang PU Kedaton, mulai pukul 19.15 WIB.

Yoga Pratama, Hubungan Eksternal Malpus Bandar Lampung, mengatakan, pihaknya akan mengusung tema agak filosofis dari biasanya, yakni ‘Membumikan Langit’. “Tema itu dipilih melalui sebuah diskusi panjang dengan menyesuaikan puisi-puisi para anggota Malam Puisi Bandar Lampung yang kebanyakan menganalogikan puisi mereka dengan semesta dan partikelnya,” kata Yoga kepada duajurai.com, Selasa, 9/2/2016.

Dia melanjutkan, karena itu, tema malam puisi pada Jumat memiliki tagline ‘Saat Semesta Bersahaja’. Sedangkan tagline utama komunitasnya, ‘Datang, Dengar, dan Bacakan Puisimu’. “Puisi adalah cara kami untuk menerjemahkan hal yang sebenarnya tak bisa kami terka. (Kami) mencoba memvisualkannya lewat puisi dengan makna kasih sayang dan cinta,” ujarnya.

Yoga menambahkan, acara yang akan datang merupakan bukti nyata konsistensi Komunitas Malpus. Selama dua tahun belakangan mereka melakukan ibadah di kafe, tempat wisata, maupun lokasi yang menjadi ikon kota. “Jadi, jangan sampai melewatkan malam puisi edisi kali ini. Mari Datang, Dengar dan Bacakan Puisimu. Pulang dapat bingkisan puisi melalui Zine lagi,” kata dia.(*)

Laporan Imelda Astari, wartawan duajurai.com, Portal Berita Lampung Terkini Terpercaya

dan

Saibumi.com, Bandar Lampung – Komunitas Malam Puisi (Malpus) Bandar Lampung, kembali menunjukan eksistensinya sebagai wadah belajar-berkarya para penulis dan pembaca puisi muda di provinsi ini.

Komunitas yang ada disetiap daerah Indonesia ini  akan mengadakan “ibadah rutin” di Kedai Union, depan Gang PU Kedaton, Jumat 12 Februari 2016 mendatang, mulai pukul 19.15 WIB.

Menurut Hubungan Eksternal Malpus Bandar Lampung Yoga Pratama, Malpus akan mengusung tema agak filosofis dari biasanya, yakni “Membumikan Langit”.

Tema tersebut dipilih melalui sebuah diskusi panjang dengan menyesuaikan puisi-puisi para anggota Malam Puisi Bandar Lampung. “Kebanyakan dari kami (anggota) menganalogikan puisi yang akan dibawakan dengan semesta dan partikelnya,” tutur pria yang disapa Goy tersebut, saat menghubungi Saibumi.com, via telepon di Bandar Lampung, Selasa, 9 Februari 2016.

Dilanjutkanya, tema membumikan langit ini juga memiliki tagline Saat Semesta Bersahaja, selain tagline utama komunitas Datang, Dengar, dan Bacakan Puisimu.

“Puisi adalah cara kami untuk menerjemahkan hal yang sebenarnya tak bisa kami terka. (Kami) mencoba memvisualkannya lewat puisi dengan makna kasih sayang dan cinta,” ujar Mahasiswa Peternakan Universitas Tulangbawang tersebut.

Pria yang pernah menyelesaikan pendidikan Diploma III di Peternakan Politeknik Negeri Lampung ini menambahkan, acara yang akan datang merupakan bukti nyata konsistensi Komunitas Malpus.

Sebab, selama dua tahun belakangan mereka melakukan ibadah di kafe, tempat wisata, maupun lokasi yang menjadi ikon kota.

“Jadi, jangan sampai melewatkan malam puisi edisi kali ini. Mari Datang, Dengar dan Bacakan Puisimu. Pulang dapat bingkisan puisi melalui Zine lagi,” tandasnya.(*)

Laporan wartawan Saibumi.com Irzon Dwi Darma

Sumber: http://www.saibumi.com

http://www.saibumi.com/artikel-72589-komunitas-malam-puisi-bandar-lampung-kembali-gelar-ibadah-rutin.html#ixzz3zg4n25Ar

Apa maksud tema membumikan langit

Dari masa ke masa, berbagai konsep dari ‘kaum atas’ digulirkan untuk masyarakat akar rumput. 'Kaum atas’ yang dimaksud ialah elit pemerintahan dan kalangan intelektual. Namun, tak jarang kalangan rakyat malah antipati.

Mari kita mulai parade contoh dari yang dekat. Sebutlah GoJek. GoJek merupakan inovasi jasa  layanan ojek berbasis teknologi informasi. Keberadaannya memudahkan masyarakat. Tinggal memainkan aplikasi di ponsel pintar, ojek Gojek pun hadir.

Namun, rupanya beberapa tukang ojek yang merasa tak dirangkul GoJek iri. Mereka merasa terancam akan adanya GoJek. Beberapa pangkalan ojek  bahkan memasang spanduk “Say No to Gojek”.

Kemudian, wilayah Jatigede di Sumedang sudah mulai digenangkan. Jatigede akan dijadikan sebagai waduk.  Namun, warga setempat terusik. Warga menilai,  rencana relokasi warga yang tinggal di calon wilayah genangan, tak jelas. Pelepasan lahan tak transparan.

Kasus lain ialah penggusuran wilayah Kampung Pulo oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Kampung Pulo dianggap terlalu kumuh. Warga disinyalir menduduki tanah negara.  Warga kampung setempat dikabarkan tak puas dengan ganti rugi berupa rusunawa.

Lantas, siapa yang sebenarnya salah? Kaum 'atas’ yang tak peduli keluh-kesah rakyat? Atau rakyat yang menyebalkan, tidak mau menerima hal-hal baru?

Dari sudut pandang komunikasi, bisa jadi salah satu faktornya adalah kurang terjalinnya komunikasi publik yang baik.  Dalam mengomunikasikan konsep yang masih terdengar asing, tentu diperlukan strategi.  Bukan sekadar desain kampanye yang mutakhir, atau slogan-slogan berkampanyekan bahasa setempat.

Abdillah Hanafi dalam bukunya Memasyarakatkan Ide-Ide Baru– memberikan gambaran mengenai bagaimana seharusnya inovasi dikomunikasikan dengan seterencana mungkin.

Ia menyadur skema yang ditawarkan oleh Everett M. Rogers dalam Communication of Innovations. Skema tersebut terdiri dari empat tahap. Tahap-tahap tersebut adalah (1) pengenalan; (2) persuasi; (3) keputusan; dan (4) konfirmasi.

Tahap pengenalan bermula ketika seseorang mengetahui adanya inovasi. Tak hanya tahu keberadaannya, namun juga memperoleh beberapa pengertian bagaimana inovasi tersebut berfungsi.

Dalam tahap pengenalan, dimungkinkan urgensi kebutuhan terhadap inovasi muncul. Kebutuhan, menurut Rogers, adalah ketidakpuasan atau frustasi yang terjadi jika keinginan seseorang lebih besar daripada kenyataan yang diperoleh.

Kebutuhan dapat pula timbul jika seseorang mengetahui ada hal-hal yang lebih sempurna dalam melengkapi kehidupannya. Munculnya kebutuhan ini erat kaitannya dengan karakter masyarakat dan sistem sosial yang melingkupi mereka. Hal ini yang perlu diperhatikan 'kaum atas’ yang hendak menyosialisasikan konsep pada khalayak.

Pemahaman atas khalayak inilah yang menjadi bekal pada proses persuasi. Pada tahap persuasi, seseorang lebih terlibat secara psikologis dengan konsep baru. Persuasi konsep dinilai berhasil jika ide tersebut, secara afektif, disukai masyarakat.

Setelah itu barulah masuk ke tahap keputusan. Pada tahap keputusan, seseorang terpilih  dalam kegiatan yang mengarah para pemilihan untuk menerima atau menolak ide. Ada proses pengujian atau uji coba terkait ide dalam tahap itu.

Barulah, setelah itu ada yang dinamakan proses konfirmasi. Konfirmasi adalah tahap dimana adanya peneguhan dari masyarakat. Apakah akan melanjutkan konsep tersebut? Atau malah meninggalkan/kontra karena tidak dirasa manfaatnya?

Sikap Agen Pembaru

Dalam mengawali pelbagai skema diterapkannya suatu ide kepada masyarakat, Everett Rogers juga memberi panduan sikap agen pembaru. Diperlukan ketajaman dan empati tinggi untuk memahami dunia klien.

Agen pembaru harus mampu mengemukakan alternatif-alternatif baru untuk mengatasi problem yang ada. Ia juga membantu timbulnya kebutuhan ini dengan cara konsultatif dan persuasif. Tak berhenti di situ, agen harus membangkitkan motivasi untuk mengadakan perubahan– atau sekurang-kurangnya menaruh minat.

Membina keakraban dengan masyarakat juga penting. Masyarakat harus lebih dulu bisa menerima agen pembaru secara fisik dan sosial, sebelum mereka diminta menerima konsep yang dipromosikan. Agen dapat menciptakan keakraban dengan bersikap amanah, jujur, serta berempati terhadap kebutuhan dan dilematika masyarakat.

“Masyarakat harus lebih dulu bisa menerima agen pembaru secara fisik dan sosial, sebelum mereka diminta menerima konsep yang dipromosikan”

Empati diperlukan agar agen pembaru dapat menganalisa situasi problematis masyarakat. Secara psikologis, agen harus terjun ke dalam situasi masyarakat agar dapat melihat dunia dari perspektif masyarakat itu sendiri.

Setelah masyarakat mulai menaruh minat, agen pembaru hendaknya merancang pelaksanaan adopsi konsep yang ia tawarkan. Agar efektif, agen pembaru secara berkala dapat memberikan informasi atau pesan-pesan yang menunjang, sehingga masyarakat terteguhkan dan “merasa segar”.

Peran final yang harus dimiliki oleh agen pembaru adalah– menuntun masyarakat menjadi agen pembaru bagi dirinya sendiri. Masyarakat dibimbing untuk tak alergi terhadap konsep baru yang muncul. Lebih jauh lagi, diharapkan masyarakat dan dapat menanggapi secara tepat akan perkembangan ide.

Kita bisa mencontoh strategi Dynan Fariz dalam mengadakan Jember Fashion Carnaval. Ia sampai meminta restu pada pimpinan-pimpinan pesantren setempat agar idenya terlaksana. Para pimpinan pesantren ini kuatir Jember Fashion Carnival akan menjadi ajang pamer aurat. Dynan Fariz pun melakukan kompromi dan memastikan agar acaranya seminimal mungkin tak menampilkan aurat.

Memang, proses pengenalan konsep baru akan rumit jika menggunakan skema pengenalan inovasi yang dilakukan Everett M. Rogers. Namun, setidaknya kita paham jika manusia bukanlah robot yang bisa diprogram cepat untuk menerima ide. Bahkan, ada kalanya, agenlah yang mendapat ide dari masyarakat.

Guru Besar Filsafat Unpar Bambang Sugiharto dalam kuliah umum Course of Intellectual Writing Skills di Masjid Salman ITB mengatakan, ada dimensi-dimensi lain yang abstrak dan sulit dimengerti dalam diri manusia. Ada unsur perasaan, pengalaman, dan imajinasi yang perlu disoroti.

Perlu empati yang tulus, diri yang lapang, serta pikir yang tajam dalam berinteraksi dengan masyarakat.  Perlu kesabaran ekstra untuk menjembatani antara das sollen (konsep ideal) dengan das sein (realita).

Membumilah lebih sering, wahai kaum langitan!

*Pernah dimuat di Selasar.com. Foto milik pribadi.