Mi instan adalah mi yang sudah dikukus, digoreng, dan dikeringkan terlebih dahulu,[1] agar kemudian dapat langsung disajikan dengan menambahkan air panas dan bumbu-bumbu yang sudah ada di dalam bungkusnya. Adonan mi instan umumnya terdiri dari campuran tepung terigu, air, minyak goreng, dan garam.
Mi instan modern diciptakan oleh Momofuku Ando pada 1958, yang kemudian mendirikan perusahaan Nissin dan memproduksi produk mi instan pertama di dunia bernama Chikin Ramen. Peristiwa penting lainnya terjadi pada 1971 ketika Nissin memperkenalkan mi dalam gelas bermerek Cup Noodles, mi instan dalam wadah tahan air yang bisa langsung digunakan untuk memasak mi tersebut. Laboratorium pembuatan mi instan Momofuku Ando diabadikan di Museum CupNoodles, Osaka. Setelah Perang Dunia II, terjadi krisis pangan di Jepang.[2] Pada saat itu Jepang mendapatkan bantuan pangan berupa tepung terigu dari Amerika Serikat, yang banyak diolah menjadi roti.[3] Momofuku Ando, seorang pengusaha kelahiran Taiwan di Jepang, mencoba mencari cara menggunakan tepung terigu untuk menciptakan makanan yang diminati, tahan lama, dan murah.[4] Setelah melalui metode coba-coba, akhirnya Ando penciptakan proses mengkukus, menggoreng, dan mengeringkan mi gandum.[5][2] Pada tahun 1958 Ando mulai memasarkan produk ini dengan nama Chikin Ramen lewat perusahaannya, Nissin.[5] Pada tahun 1971, Nissin memperkenalkan produk Cup Noodles, mi instan yang dijual bersama mangkok tahan panas sehingga semakin praktis dikonsumsi.[4][5] Produk ini mendapatkan inspirasi dari perjalanan Ando ke Amerika Serikat tahun 1966, ketika melihat eksekutif perusahaan supermarket Amerika menggunakan cangkir kopi untuk mencoba mi instan, karena tidak tersedianya mangkok.[4] Inovasi ini membuat mi instan menyebar cepat di Amerika dan Eropa.[6] Popularitas mi instan menanjak dengan cepat ke seluruh dunia. Pada 1997, penjualannya mencapai 42 miliar bungkus. Pada 2000, penjualannya sampai 48 miliar bungkus.[7] Pada 2020, menurut World Instant Noodles Association, konsumsi mi instan global menyentuh angka 116 miliar.[7] Kehadiran mi instan sendiri bermula ketika Jepang sebagai negara asal produk tersebut, mengekspor produknya di Indonesia beberapa tahun setelah produk itu diciptakan yang kemudian dikenal dengan nama "super mie". Belakangan, seiring munculnya UU Penanaman Modal Asing No. 1/1967, sebuah perusahaan dari Negeri Sakura, Sankyo Shokuhin KK, berkeinginan untuk membangun pabrik di Indonesia. Pabrik mi instan itu kemudian diresmikan pada 16 Juli 1969, di bawah PT Lima Satu Sankyo Industri Pangan. Produknya kemudian dikenal dengan nama Supermi, yang merupakan produk mi instan lokal pertama di negeri ini.[8][9] Mulai tahun 1972, masuk juga Indomie sebagai pesaing yang dirintis Djajadi Djaja dan kawan-kawan, dan 10 tahun kemudian, masuklah penguasa industri mi instan saat ini, Salim Group dengan merek Sarimi.[8] Dalam perkembangannya, Indomie menjadi merek yang dominan, sehingga saking terkenalnya, orang Indonesia sering menyebut mi instan dengan sebutan "Indomie", kendati yang dikonsumsi tidak bermerek Indomie. Baik Indomie, Supermi dan Sarimi sejak 1980-an telah mendominasi penjualan mi instan di Indonesia; ketiga merek tersebut, yang kini diproduksi oleh Indofood CBP Sukses Makmur, pada tahun 1994 mencapai 75% pangsa pasar,[8] 88% pada 2002,[10] dan pada 2016 mencapai 72%. Menggiurkannya industri mi instan telah membuat banyak pengusaha berusaha terjun dalam bisnis ini dengan menawarkan berbagai rasa dan promosi, meskipun faktanya Indofood sebagai pemain dominan tetap sulit untuk disaingi. Mi instan pun telah berkembang dari hanya memiliki tiga merek dan rasa yang terbatas, menjadi banyak merek dengan aneka pilihan rasa.[11][10] Tidak hanya sejumlah industri besar, bisnis mi instan juga melibatkan pemain-pemain lain, seperti rumah makan dalam skala kecil seperti warung Indomie (warmindo) maupun besar (seperti Warunk Upnormal).[12] Mi instan merupakan salah satu makanan terfavorit warga Indonesia. Bisa dipastikan hampir setiap orang Indonesia telah mencicipi mi instan atau mempunyai persediaan mi instan di rumah. Bahkan tidak jarang orang membawa mi instan saat ke luar negeri sebagai persediaan "makanan lokal" jika makanan di luar negeri tidak sesuai selera. Sebagai bukti dari kepopuleran itu, Indonesia merupakan salah satu pembeli mi instan terbesar - urutan kedua (14 miliar bungkus/tahun atau 64 bungkus per konsumen/tahun), setelah Tiongkok dengan 44,4 miliar bungkus. Angka ini telah jauh bertumbuh dari 886 juta bungkus pada 1985 dan 5,2 miliar bungkus pada 1994.[13] Pada 2013, penjualan mi instan nasional telah mencapai Rp 22,6 triliun, diperebutkan oleh beberapa pemain dengan persaingan yang cukup sengit.[11] Korea Selatan adalah konsumen mi instan terbanyak per kapita, dengan rata-rata 69 bungkus per tahun, diikuti oleh Indonesia dengan 55 bungkus, dan Jepang dengan 42 bungkus pada 2005.[14]
Produsen dan merekPemain-pemain dalam industri mi instan di Indonesia, meliputi:
Selain mi instan lokal seperti di atas, juga beredar di pasaran produk mi impor yang harganya umumnya lebih mahal, seperti Nongshim dan Samyang. Dalam perkembangannya, tidak hanya produk mi instan, di pasaran juga berkembang bihun instan, yang dipelopori oleh Indomie pada akhir 1980-an.[39] Kini, terdapat beberapa produsen bihun instan, seperti FKS Food (Bihunku), Kuala Pangan (Super Bihun), dan Sungai Budi Sari (Rose Brand). Ada juga misoa instan yang baru-baru ini muncul di pasaran walaupun masih terbatas. Adapun pemain lama yang sudah tidak memproduksi mi instan lagi, seperti:
Dibandingkan produk pangan lain, mi instan umumnya memiliki harga yang ekonomis, sehingga dapat dinikmati di segala waktu. Rasanya yang banyak digemari dan mudahnya didapatkan produk ini membuat masyarakat sulit lepas dari mi instan. Sebagai salah satu contoh dalam budaya populer adalah keterkaitan mi instan sebagai "makanan anak kost".[57] Tidak hanya itu, kepraktisan dalam penyajiannya, penerimaan yang luas dari segala kalangan dan mudahnya pendistribusian membuat mi instan menjadi andalan warga Indonesia saat terjadi tragedi bencana alam untuk mengatasi masalah keterbatasan dan kelangkaan bahan pangan di lokasi dengan segera.[58] Akan tetapi, mi instan juga memiliki beberapa kekurangan. Seperti produk ini sering dianggap makanan kurang sehat, atau bahkan junk food.[59] Hal ini karena mi instan hanya tinggi di karbohidrat, lemak dan garam, namun rendah dalam protein, serat pangan ditambah vitamin dan mineral.[60][61][62] Akibat dari banyaknya kandungan bahan tersebut, mi instan dapat dianggap sebagai salah satu penyebab kegemukan dan masalah kardiometabolik, seperti menurut sebuah penelitian di Korea Selatan.[63] Untuk menepis klaim kurang sehat tersebut, beberapa produsen biasanya menambahkan bahan-bahan tertentu. Misalnya, Indomie disebut memiliki kandungan gizi seperti protein, niasin, asam folat, mineral zat besi, natrium, dan berbagai vitamin seperti vitamin A, B1, B6, dan B12. Di satu sisi, posisi mi instan sebagai makanan industri (processed food) juga seringkali membuat produk ini dipenuhi rumor miring yang tidak jelas kebenarannya. Isu tersebut seperti klaim bahwa mi instan bisa menyebabkan usus buntu, usus "lengket",[64] atau mengandung "lapisan lilin" dalam air rebusannya.[65]
Diarsipkan 17 November 2006 di Wayback Machine.
|