Jakarta - Otonomi daerah adalah daerah yang mengatur dirinya sendiri. Dalam wacana administrasi publik, otonomi daerah sering disebut pemerintah daerah. Show
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, otonomi daerah yakni hak, wewenang, dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam sumber yang sama disebutkan, dasar diterapkannya otonomi daerah yakni Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 yang telah diamandemen dari UU No 32 Tahun 2004 dan UU No 22 Tahun 1999. Dalam UU itu disebutkan, otonomi daerah artinya hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Daerah otonom yang selanjutnya disebut daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tujuan otonomi daerah seperti dikutip dari buku Konsepku Mensukseskan Otonomi Daerah: Membangun Indonesia Berkeadilan Sosial karya Bungaran Antonius Simanjuntak, yakni memungkinkan daerah yang bersangkutan mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Serta meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan kepada masyarakat dan pelaksanaan pembangunan. Selain itu, tujuan otonomi daerah untuk meningkatkan pembinaan kestabilan politik dan sebagai pelaksanaan asas desentralisasi. Untuk melaksanakan tujuan itu, daerah diberi wewenang melaksanakan urusan rumah tangga dan perekonomian sendiri. Dalam UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip-prinsip otonomi seluas-luasnya. Dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan pemerintah yang ditetapkan dalam Undang-Undang. Selain itu, dalam buku Strategi dan Problem Sosial Politik Pemerintahan Otonomi Daerah Indonesia oleh Rosramadhana, Bungaran Antonius Simanjuntak, disebutkan manfaat otonomi daerah yakni:1. Pelaksanaan dapat dilakukan sesuai dengan kepentingan masyarakat di daerah yang bersifat heterogen dengan cara menerima inspirasi-inspirasi mereka.2. Dengan otonomi daerah, pemerintah daerah lebih leluasa mengendalikan daerahnya dalam pembangunan daerah itu.3. Kebijakan pemerintah akan lebih cocok tujuannya karena lebih tahu karakter manusia dan daerah itu sendiri.4. Dapat menarik investor dengan keunikan suatu daerah supaya tidak akan terjadi pemekaran masyarakat tersebut.(nwy/pal)Ada usul agar artikel atau bagian ini digabungkan ke Pemerintahan daerah di Indonesia. (Diskusikan)
Otonomi daerah di Indonesia adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.” Terdapat dua nilai dasar yang dikembangkan dalam UUD 1945 berkenaan dengan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia, yaitu:
Dikaitkan dengan dua nilai dasar tersebut di atas, penyelenggaraan desentralisasi di Indonesia berpusat pada pembentukan daerah-daerah otonom dan penyerahan/pelimpahan sebagian kekuasaan dan kewenangan pemerintah pusat ke pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus sebagian sebagian kekuasaan dan kewenangan tersebut. Adapun titik berat pelaksanaan otonomi daerah adalah pada Daerah Tingkat II (Dati II)[2] dengan beberapa dasar pertimbangan:[3]
Atas dasar itulah, prinsip otonomi yang dianut adalah:
Beberapa aturan perundang-undangan yang berhubungan dengan pelaksanaan Otonomi Daerah:
Sejak tahun 1966, pemerintah Orde Baru berhasil membangun suatu pemerintahan nasional yang kuat dengan menempatkan stabilitas politik sebagai landasan untuk mempercepat pembangunan ekonomi Indonesia. Politik yang pada masa pemerintahan Orde Lama dijadikan panglima, digantikan dengan ekonomi sebagai panglimanya, dan mobilisasi massa atas dasar partai secara perlahan digeser oleh birokrasi dan politik teknokratis. Banyak prestasi dan hasil yang telah dicapai oleh pemerintahan Orde Baru, terutama keberhasilan di bidang ekonomi yang ditopang sepenuhnya oleh kontrol dan inisiatif program-program pembangunan dari pusat. Dalam kerangka struktur sentralisasi kekuasaan politik dan otoritas administrasi inilah, dibentuklah Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. Mengacu pada UU ini, Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban Daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.[4] Selanjutnya yang dimaksud dengan Daerah Otonom, selanjutnya disebut Daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah tertentu yang berhak, berwenang dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.[5] Undang-undang No. 5 Tahun 1974 ini juga meletakkan dasar-dasar sistem hubungan pusat-daerah yang dirangkum dalam tiga prinsip:
Dalam kaitannya dengan Kepala Daerah baik untuk Dati I (Provinsi) maupun Dati II (Kabupaten/Kotamadya), dicalonkan dan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dari sedikit-dikitnya 3 (tiga) orang dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang calon yang telah dimusyawarahkan dan disepakati bersama antara Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah/Pimpinan Fraksi-fraksi dengan Menteri Dalam Negeri,[9] untuk masa jabatan 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya,[10] dengan hak, wewenang dan kewajiban sebagai pimpinan pemerintah Daerah yang berkewajiban memberikan keterangan pertanggungjawaban kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sekurang-kurangnya sekali setahun, atau jika dipandang perlu olehnya, atau apabila diminta oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, serta mewakili Daerahnya di dalam dan di luar Pengadilan.[11] Berkaitan dengan susunan, fungsi dan kedudukan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, diatur dalam Pasal 27, 28, dan 29 dengan hak seperti hak yang dimiliki oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat (hak anggaran; mengajukan pertanyaan bagi masing-masing Anggota; meminta keterangan; mengadakan perubahan; mengajukan pernyataan pendapat; prakarsa; dan penyelidikan),[12] dan kewajiban seperti a) mempertahankan, mengamankan serta mengamalkan PANCASILA dan UUD 1945; b)menjunjung tinggi dan melaksanakan secara konsekuen Garis-garis Besar Haluan Negara, Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat serta mentaati segala peraturan perundang-undangan yang berlaku; c) bersama-sama Kepala Daerah menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja daerah dan peraturan-peraturan Daerah untuk kepentingan Daerah dalam batas-batas wewenang yang diserahkan kepada Daerah atau untuk melaksanakan peraturan perundangundangan yang pelaksanaannya ditugaskan kepada Daerah; dan d) memperhatikan aspirasi dan memajukan tingkat kehidupan rakyat dengan berpegang pada program pembangunan Pemerintah.[13] Dari dua bagian tersebut di atas, tampak bahwa meskipun harus diakui bahwa UU No. 5 Tahun 1974 adalah suatu komitmen politik, namun dalam praktiknya yang terjadi adalah sentralisasi (baca: kontrol dari pusat) yang dominan dalam perencanaan maupun implementasi pembangunan Indonesia. Salah satu fenomena paling menonjol dari pelaksanaan UU No. 5 Tahun 1974 ini adalah ketergantungan Pemda yang relatif tinggi terhadap pemerintah pusat. Upaya serius untuk melakukan desentralisasi di Indonesia pada masa reformasi dimulai di tengah-tengah krisis yang melanda Asia dan bertepatan dengan proses pergantian rezim (dari rezim otoritarian ke rezim yang lebih demokratis). Pemerintahan Habibie yang memerintah setelah jatuhnya rezim Suharto harus menghadapi tantangan untuk mempertahankan integritas nasional dan dihadapkan pada beberapa pilihan yaitu:[3]
Pada masa ini, pemerintahan Habibie memberlakukan dasar hukum desentralisasi yang baru untuk menggantikan Undang-Undang No. 5 Tahun 1974, yaitu dengan memberlakukan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Beberapa hal yang mendasar mengenai otonomi daerah dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang sangat berbeda dengan prinsip undang-undang sebelumnya antara lain:
|