DALAM Undang-Undang No 7 Tahun 1996 tentang Pangan, ketahanan pangan didefinisikan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap masyarakat yang tecermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, terjangkau, dan berbasis pada keragaman sumber daya lokal. Ketahanan pangan merupakan suatu sistem yang terdiri dari subsistem ketersediaan, distribusi, dan konsumsi. Subsistem ketersediaan pangan berfungsi menjamin pasokan pangan untuk memenuhi kebutuhan seluruh penduduk, baik dari segi kuantitas, kualitas, keragaman, maupun keamanannya. Subsistem distribusi berfungsi mewujudkan sistem distribusi yang efektif dan efisien untuk menjamin seluruh rumah tangga dapat memperoleh pangan dalam jumlah dan kualitas yang cukup sepanjang waktu dengan harga yang terjangkau. Subsistem konsumsi berfungsi mengarahkan pola pemanfaatan pangan secara nasional agar memenuhi kaidah mutu, keragaman, kandungan gizi, kemananan, dan kehalalannya. Berdasarkan definisi ketahanan pangan dari FAO (1996) dan UU RI No 7 Tahun 1996, ada empat komponen yang harus dipenuhi untuk mencapai kondisi ketahanan pangan, yaitu 1) Kecukupan ketersediaan pangan, 2) Stabilitas ketersediaan pangan tanpa fluktuasi dari musim ke musim atau dari tahun ke tahun, 3) Aksesibilitas dan keterjangkauan terhadap pangan, serta 4) Kualitas keamanan pangan. Permasalahan saat ini Faktor ekonomi dan pendidikan menjadi penyebab tingginya angka balita stunting di Indonesia, khususnya di wilayah bagian timur Indonesia. Dengan melihat kondisi itu, semua pihak baik pemerintah, swasta, maupun masyarakat dituntut untuk terus berupaya menghapus kelaparan dan kekurangan gizi dengan melakukan pemberdayaan ekonomi guna meningkatkan produksi pangan dan memastikan masyarakat memiliki akses untuk mendapatkan makanan yang bergizi. Solusi peningkatan ketahanan pangan Pengembangan pangan fungsional di suatu negara tidak saja menguntungkan bagi konsumen karena manfaat yang dapat diambil, tetapi juga merupakan peluang bagi industri pangan dan kentungan bagi pemerintah. Kemampuan untuk memberikan keuntungan bagi konsumen merupakan satu faktor krusial dalam pengembangan pangan fungsional. Perkembangan dan pemasaran bahan pangan fungsional sangat menjanjikan. Bagi industri pangan, permintaan yang tinggi akan bahan pangan fungsional berarti sebuah peluang untuk meningkatkan keuntungan dengan melakukan inovasi pengembangan produk dan formulasi makanan sesuai dengan permintaan pasar. Beragamnya masalah kesehatan yang dihadapi masyarakat juga berarti semakin luas segmen pasar dengan kebutuhan pangan fungsional tertentu. Beberapa hasil penelitian terbaru tentang produk pangan fungsional yang layak dikembangkan di antaranya susu formula bayi dan balita yang dilengkapi dengan prebiotik seperti FOS, GOS, dan inulin. Di samping itu, ada juga produk pangan fungsional lain seperti yoghurt sinbiotik dan tepung umbi-umbian kaya pati resisten. Bahan pangan fungsional berbasis tepung umbi-umbian kaya pati resisten dapat diolah menjadi produk olahan berupa kue kering, cake, cookies, mi, dan roti tawar. Tepung umbi-umbian kaya pati resisten dapat digunakan sebagai substitusi tepung terigu karena memiliki indeks glikemik yang rendah sehingga dapat menurunkan glukosa darah dan aman dikonsumsi oleh penderita diabetes. Manfaat lain dari tepung umbi-umbian kaya pati resisten ialah peranannya sebagai sumber prebiotik untuk menjaga kesehatan saluran pencernaan. Aneka produk pangan fungsional tersebut dapat digunakan pihak industri untuk pengembangan pangan fungsional. Pemerintah juga diuntungkan pengembangan pangan fungsional. Setidaknya ada tiga komponen yang menjadi keuntungan bagi pemerintah, yaitu (a) kesempatan kerja dengan berkembangnya industri makanan fungsional, (b) pengurangan biaya pemeliharaan kesehatan masyarakat, dan (c) peningkatan pendapatan (pajak) dari industri pangan fungsional. |