Apa dasar agama yang dianut oleh kerajaan Aceh Darussalam setelah resmi berdiri

jelaskan arti istighfar! ​

Asal mula kata kocnaj terbalik ada pada zaman??​

Bagaimana cara melestarikan nama kampung dan jalan di Jakarta? ​

apa kesimpulan dari film sang kiyai​

Sebutkan pembagian kebudayaan Mesolitikum yang dapat di bagi menjadi 2 sebutkan Uraikan!!Jawab plis sekarang pr setor besok​

Apa berbedaan Isa (Muslim) & Yeshua (Christianity)?

BAGAIMANA UNSUR² PENEMBAKAN FERDY SAMBO? tolonggg​

berikut ini adalah nama astronom islam yang terkenal pada masa dinasti abbasiyah, kecuali?A. Abu Ma'syar al-Falaky.B. al-Biruni.C. al-Battany.D. Abu H … asan.tolong bantu jawab, ya :Dd​

berikut ini yang tidak termasuk ahli sejarah pada masa kemasan bani abbasiyah adalah​

artikan je dalam bahasa indonesia suttan ratu putri​

tirto.id - Sejarah Kesultanan Aceh Darussalam mengalami masa kejayaan pada era Sultan Iskandar Muda (1607-1636 Masehi). Kala itu, kerajaan bercorak Islam yang berpusati Kutaraja Bandar Aceh Darussalam (Banda Aceh) ini memiliki wilayah kekuasaan yang luas dan angkatan perang yang kuat.

Aceh memiliki sejarah panjang sebagai salah satu lokasi kerajaan Islam awal di Nusantara. Di tanah rencong, pernah berdiri Kerajaan Samudera Pasai (1272-1450 M) dan Kesultanan Aceh Darussalam (1516-1700 M) yang berlokasi strategis di Semenanjung Malaya.

Kesultanan Samudera Pasai kerajaan Islam pertama di Indonesia pernah mengalami masa kejayaan di Aceh. Namun pada paruh akhir abad 14 masehi, Samudera Pasai mengalami kemunduran setelah mendapat serangan dari Kerajaan Majapahit.
Ditambah dengan munculnya Kesultanan Malaka dan Kesultanan Aceh Darussalam pada abad ke-15 masehi sebagai pusat perdagangan di Selat Malaka membuat pengaruh Samudera Pasai semakin luruh.Hingga akhirnya, Portugis datang dan merebut Malaka pada 1511. Saat itu, tahun 1496, muncul cikal-bakal Kesultanan Aceh Darussalam. Kehadiran kesultanan ini menggantikan posisi kekuasaan Kerajaan Samudera Pasai di Serambi Mekah.

Sejarah Kesultanan Aceh Darussalam

Raja pertama yang menduduki tahta Kesultanan Aceh Darussalam adalah Sultan Ali Mughayat Shah atau Raja Ibrahim. Selama 14 tahun (1514-1528 ), ia memerintah di kerajaan yang merupakan gabungan Kerajaan Lamuri dan Kerajaan Aceh ini.

Kesultanan Aceh Darussalam memang terlahir dari fusi dua kerajaan tersebut. Menurut Kitab Bustanussalatin karya Nuruddin Ar Raniri yang ditulis tahun 1636, kala itu Raja Lamuri menikahkan Ali Mughayat Shah dengan putri raja Aceh. Dari ikatan pernikahan ini, kedua kerajaan di tanah rencong tersebut meleburkan kekuasaan dan melahirkan Kesultanan Aceh Darussalam. Sebagai pemimpinnya adalah seorang sultan dan dimandatkan kepada Ali Mughayat Shah. Kesultanan Aceh Darussalam sejak berdiri telah melandaskan asas negara dengan ajaran Islam. Oleh sebab itu, kerajaan ini menjadi sebuah kerajaan Islam alias kesultanan yang berkembang seiring mulai meredupnya pamor kerajaan-kerajaan bercorak Hindu-Buddha di Nusantara.

Era Kejayaan Kesultanan Aceh Darussalam

Kesultanan Aceh Darussalam mengalami masa kejayaan ketika dipimpin oleh Sultan Iskandar Muda atau Sultan Meukuta Alam pada 1607-1636 M. Iskandar Muda adalah seorang pemimpin yang tegas terhadap penjajah untuk melindungi wilayah dan rakyatnya. Suatu hari, Raja James I dari Inggris meminta kepada Sultan Iskandar Muda agar diperbolehkan berdagang di wilayah kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam. Permohonan itu tertulis dalam surat berangka tahun 1615 masehi. Namun, Sultan Sultan Iskandar Muda dengan tegas menolak. Ia paham betul mengenai misi Inggris di Aceh, yakni ingin menguasai seluruh sumber daya yang ada. Penolakan serupa dialami pula oleh Portugis dan Belanda yang ingin menanamkan pengaruh di bumi Serambi Mekah.

Berada di bawah komando Sultan Iskandar Muda, Aceh memiliki kekuatan militer yang kuat. Wilayah kekuasaannya sangat luas. Selain itu, kesejahteraan rakyatnya terbilang makmur.

Menurut buku Aceh Sepanjang Abad (1981) tulisan Mohammad Said, di masa itu Kesultanan Aceh Darussalam mencoba merangkul negeri-negeri dan pelabuhan sekitar Selat Malaka agar jangan sampai tergoda dengan bujukan bangsa-bangsa asing.

Dari sisi perdagangan, harga hasil bumi tidak dipatok rendah untuk menyokong perekonomian kerajaan. Di samping itu, dibangun pula bandar dagang utama didirikan dan dilakukan pengawasan untuk pergerakan orang-orang asing. Luasnya wilayah kekuasaan di era Sultan Iskandar Muda meliputi negeri sekitar Semenanjung Malaya, termasuk Johor, Malaka, Pahang, Kedah, Perak, sampai Patani (Thailand bagian selatan). Sebagian besar Sumatera juga telah dikuasai. Itu semua tidak lepas dari penaklukkan yang dilakukan Kesultanan Aceh Darussalam. Angkatan perangnya, terutama angkatan laut, telah dilengkapi kapal-kapal canggih di masanya. Kapal-kapal perang ini memiliki meriam yang siap dimuntahkan ketika bertemu musuh. Angkatan darat memiliki puluhan ribu prajurit, pasukan kuda, dan pasukan gajah. Kekuatan Kesultanan Aceh Darussalam kala itu sangat diperhitungkan. Portugis sudah menyerah lebih lebih dahulu. Belanda yang datang kemudian, akhirnya memilih wilayah lain seperti Jawa dan Maluku.Inggris pun demikian yang semakin sulit masuk ke Aceh. Padahal, sebelumnya Kerajaan Inggris telah menjalin relasi baik dengan Kesultanan Aceh di masa sebelumnya.

Keruntuhan & Peninggalan Kesultanan Aceh Darussalam

Sepeninggal Sultan Iskandar Muda yang wafat pada 27 Desember 1636, seperti dikutip dari laman Pemprov Aceh, Kesultanan Aceh melemah di tangan penerus-penerusnya. Kesultanan Aceh perlahan merosot wibawanya dan mulai terpengaruh oleh bangsa lain. Bangsa Barat mulai menguasai Aceh dengan penandatanganan Traktat London dan Traktat Sumatera. Pada 26 Maret 1873, Belanda menyatakan perang dengan Kesultanan Aceh dan terjadilah Perang Sabi selama 30 tahun. Banyak jiwa yang menjadi korban.Akhirnya Sultan Aceh terahir, Sultan Muhammad Daud Syah, mengakui kedaulatan Belanda di Aceh. Sejak saat itu, wilayah Aceh masuk secara administratif ke dalam Hindia Timur Belanda (Nederlansch Oost-Indie) yang kemudian menjelma sebagai Hindia Belanda, cikal-bakal Indonesia Sisa-sisa peninggalan Kesultanan Aceh Darussalam masih ada yang bertahan hingga sekarang. Beberapa di antaranya adalah Masjid Raya Baiturrahman di Banda Aceh, Taman Sari Gunongan, Benteng Indra Patra, dan meriam Kesultanan Aceh. Di samping itu ada pula Masjid Tua Indrapuri, makam Sultan Iskandar Muda, uang emas Kerajaan Aceh, stempel cap Sikureung, kerkhof, pedang Aman Nyerang, dan berbagai naskah karya sastra.


Islam di Aceh merupakan agama yang dianut oleh mayoritas penduduk Aceh. Banyak ahli sejarah baik dalam maupun luar negeri yang berpendapat bahwa agama Islam pertama sekali masuk ke Indonesia melalui Aceh.

Keterangan Marco Polo yang singgah di Perlak pada tahun 1292 menyatakan bahwa negeri itu sudah menganut agama Islam. Begitu juga Samudera-Pasai, berdasarkan makam yang diketemukan di bekas kerajaan tersebut dan berita sumber-sumber yang ada seperti yang sudah kita uraikan bahwa kerajaan ini sudah menjadi kerajaan Islam sekitar 1270.[1]

Tentang sejarah perkembangan Islam di daerah Aceh pada zaman-zaman permulaan itu petunjuk yang ada selain yang telah kita sebutkan pada bagian-bagian yang lalu ada pada naskah-naskah yang berasal dari dalam negeri sendiri seperti Kitab Sejarah Melayu, Hikayat Raja-Raja Pasai. Menurut kedua kitab tersebut, seorang mubaligh yang bernama Syekh Ismail telah datang dari Mekkah sengaja menuju Samudera untuk mengislamkan penduduk di sana. Sesudah menyebarkan agama Islam seperlunya, Svekh Ismail pun pulang kembali ke Mekkah. Perlu juga disebutkan di sini bahwa dalam kedua kitab ini disebutkan pula negeri-negeri lain di Aceh yang turut diislamkan, antara lain: Perlak, Lamuri, Barus dan lain-lain.[2]

Berdasarkan keterangan kedua sumber itu dapatlah diperkirakan bahwa sebagian tempat-tempat di Aceh, terutama tempat-tempat di tepi pantai telah memeluk agama Islam. Islam yang masuk ke Aceh khususnya dan Indonesia umumnya pada mulanya mengikuti jalan-jalan dan kota-kota dagang di pantai, kemudian barulah menyebar ke pedalaman. Para pedagang dan mubaligh telah memegang peranan penting dalam penyebaran agama Islam.[3]

Secara historis sosiologis, masuk dan berkembangnya Islam ke suatu daerah sangat kompleks. Terdapat banyak permasalahan yang terkait dengannya, misalnya dari mana asalnya, siapa yang membawa, apa latar belakangnya dan bagaimana dinamikanya, baik dari segi ajaran Islam maupun pemeluknya. Ada beberapa pendapat yang menyatakan kapan masuknya Islam ke Aceh. Hamka berpendapat Islam masuk ke Aceh sejak abad pertama Hijriah (ke-7 atau 8 M) namun ia menjadi sebuah agama populis pada abad ke-9 seperti pendapat Ali Hasjmy. Sedangkan para orientalis seperti Snouck Hourgronje berpendapat Islam masuk pada abad ke-13 M yang ditandai dengan berdirinya Kesultanan Samudra Pasai.[4]

Apa dasar agama yang dianut oleh kerajaan Aceh Darussalam setelah resmi berdiri

Masjid Raya Baiturrahman

 

Sebuah Dayah di Aceh

Zainuddin sebagaimana dinyatakan dalam Aceh Serambi Mekkah, bahwa sebagian besar catatan sejarah tentang Aceh sebelum tahun 400 M tidak diketahui secara jelas. Bahkan, catatan J. Kreemer sebagaimana dikutip oleh Aboebakar Atjeh menyebutkan bahwa sebelum tahun 1500 sejarah Aceh masih belum diketahui orang.

Snouck Hurgronje menunjukkan sedikit gambaran yang mengindikasikan adanya pengaruh Hindu di Aceh, dengan memperhatikan cara berpakaian para wanita Aceh yang dikatakannya bersanggul miring mirip dengan cara para wanita Hindu. Menurutnya pula,langsung atau tidak langsung, Hinduisme pada suatu waktu mengalir ke dalam peradaban dan bahasa Aceh walaupun hal ini sangat sulit diteliti dalam riwayat dan adat.[5]

Julius Jacob seorang ahli kesehatan yang pernah bertugas di Aceh tahun 1878 menyatakan bahwa pengaruh Hindu atas penduduk setidak-tidaknya dapat ditemukan dengan kenyataan tentang pemakaian nama-nama tempat dalam bahasa Hindu istilahnya terdapat dalam bahasa Aceh.[6]

Dalam ranah kesusastraan, sastra Aceh juga memiliki keterpengaruhan Hindu,seperti adanya Hikayat Sri Rama dalam bahasa Melayu, dikenal sebagai saduran dari Kakawin Ramayana karya Walmiki. Baik versi Aceh maupun Melayu dari Hikayat Sri Rama maupun Rahwana telah menimbulkan dugaan bahwa hikayat itu mencerminkan sejarah Aceh dan Raja Rahwana yang dimaksud di dalamnya adalah Raja yang pernah bertahta di Indrapuri (Aceh Besar). Nama-nama gampong tua dari bahasa Sangsekerta seperti Indrapuri atau Indrapurwa juga telah dikaitkan oleh sementara penduduk sebagai suatu nama kota-kota kerajaan Hindu yang pernah tumbuh di Aceh, meski demikian hal itu samasekali tidak dapat dijadikan pegangan untuk mengatakan bahwa telah berdiri kerajaan Hindu di Aceh, karena masih memerlukan pembuktian-pembuktian yang dapat dipercaya mengenai hal ini.[7]

Pada masa itu, budaya yang hidup dalam masyarakat Aceh diserap dari nilai-nilai agama Hindu. Menurut Van Langen, pada dasarnya orang Aceh berasal dari bangsa Hindu. Migrasi Hindu bertapak di Pantai Utara Aceh dan dari sini menuju ke pedalaman. Dari Gigieng dan Pidie, mungkin juga dari daerah Pase, migrasi Hindu menuju ke daerah Mukim XXII di Aceh Besar. Meskipun pendapat ini dibantah oleh C. Snouck Hurgronje. Akan tetapi, jika diperhatikan dari intensitas pergaulan, terutama dalam bidang perdagangan antara Aceh dan India pada masa itu, maka dapat dikatakan bahwa agama Hindu merupakan anutan sebagian masyarakat Aceh sebelum kedatangan Islam. Selain Hindu, diperkirakan agama Budha juga menjadi anutan bagi sebagian masyarakat Aceh yang lain, yang diduga dibawa oleh orang-orang Cina.[8]

Meskipun Islam adalah agama mayoritas di provinsi ini, hanya 6% masjid dari 3.883 masjid di Aceh yang benar-benar rutin melaksanakan salat lima waktu karena status syariat Islam yang tidak menjamin ibadah Islam. Sisanya hanya melaksanakan salat berjemaah Magrib dan Isya serta pelaksanaan salat jemaah Jumat. Keadaan ini kira-kira seperti masjid-masjid di beberapa negara bekas Uni Soviet, seperti Azerbaijan, Tajikistan atau Kirgistan.

Kondisi ini membuat prihatin DMI Aceh. Sebagai organisasi keagamaan, kondisi sebagai sebuah tantangan. Pengurus Wilayah DMI Aceh bertekad meningkatkan angka partisipasi masjid untuk menyelenggarakan salat berjemaah lima waktu dengan membentuk DMI di kabupaten dan kota[9]

Berikut merupakan sebaran umat Islam per kota/kabupaten di Provinsi Aceh.

Kota/kabupaten Muslim[10] %
Simeulue 80.424 99.69%
Aceh Singkil 90.508 88.29%
Aceh Selatan 200.686 99.23%
Aceh Tenggara 145.265 81.15%
Aceh Timur 360.144 99.91%
Aceh Tengah 174.659 99.51%
Aceh Barat 170.701 99.35%
Aceh Besar 345.535 98.33%
Pidie 377.453 99.56%
Bireuen 387.379 99.51%
Aceh Utara 529.199 99.90%
Aceh Barat Daya 125.708 99.74%
Gayo Lues 79.331 99.71%
Aceh Tamiang 249.354 98.98%
Nagan Raya 138.869 99.43%
Aceh Jaya 75.501 98.33%
Bener Meriah 121.722 99.55%
Pidie Jaya 132.062 99.33%
Kota Banda Aceh 216.941 97.09%
Kota Sabang 29.889 97.51%
Kota Langsa 146.377 98.28%
Kota Lhokseumawe 169.631 99.10%
Kota Subulussalam 65.906 97.72%
TOTAL 4.413.244 98.19%
  1. ^ News, Tagar (2017-12-23). "Sejarah Awal Masuknya Islam di Aceh". TAGAR. Diakses tanggal 2019-11-08. 
  2. ^ "ULAMA-ULAMA PENYIAR ISLAM AWAL DI ACEH (Abad 16-17M)". Direktorat Jendral Kebudayaan. 2013-09-30. Diakses tanggal 2019-11-08. 
  3. ^ "Menelusuri Gampong Pande, tempat pertama masuk Islam di Nusantara". merdeka.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2019-11-08. 
  4. ^ "Kerajaan Islam Aceh". RomaDecade. 2019-01-12. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-09-22. Diakses tanggal 2019-11-08. 
  5. ^ Kaya, Indonesia. "Sepenggal Sejarah Peralihan Hindu-Islam di Aceh - Situs Budaya Indonesia". IndonesiaKaya (dalam bahasa Indonesia). Diakses tanggal 2019-11-08. Pemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui (link)
  6. ^ "Dari Hinduisme Hingga Islamisasi di Aceh". Nofalliata's Blog, Kajian Ilmiah. 2012-02-18. Diakses tanggal 2019-11-08. 
  7. ^ Redaksi. "Masjid Indrapuri, Catatan Sejarah Islam di Aceh | Waspada Aceh". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-11-08. Diakses tanggal 2019-11-08. 
  8. ^ Proses Islamisasi Di Aceh
  9. ^ "Hanya 6 persen masjid di Aceh rutin gelar salat 5 waktu berjemaah". merdeka.com (dalam bahasa Inggris). 2015-01-19. Diakses tanggal 2021-08-13. 
  10. ^ [1]
  1. Azyumardi Azra, Jaringan Ulama: Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara XVI: dan XVIII, Mizan,Bandung, 1994, h. 24.
  2. Ali Hasjmy, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, Al-Ma’arif, Bandung, 1981, h. 358.
  3. Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia. Grafiti Pres, Jakarta. 2005. h. 8-9
  4. M. Hasbi Amiruddin (Ed.), Aceh Serambi Mekkah, Pemerintah Provinsi Aceh,Banda Aceh 2008, h. 2. Lihat juga H.M. Zainuddin, Tarich Atjeh dan Nusantara, Pustaka Iskandar Muda, 1961,Medan, h. 40.
  5. M. Hasbi Amiruddin (Ed.), Aceh Serambi ..., h. 4. Lihat juga Tuanku Abdul Jalil, “Kerajaan Islam Perlak Poros Aceh-Demak-Ternate” dalam A. Hasjmy (peny), Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, Al-Ma’rif, Bandung, 1993.
  6. Aboebakar Atjeh, “Tentang Nama Aceh” dalam Ismail Suny (Ed.), Bunga Rampai Tentang Aceh, BharataKarya Aksara, Jakarta, 1980, h. 20.
  7. M. Hasbi Amiruddin (Ed.), Aceh Serambi..., h. 4. Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 8, No. 1, 2010: 91 - 118
  • Hukum jinayat di Aceh
  • Dayah di Aceh
  • Baitul Asyi
  • Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 11 Tahun 2002
  • (Indonesia) Islam Di Aceh Diarsipkan 2010-12-29 di Wayback Machine.
  • (Indonesia) Kronologi Islam Di Aceh
  • (Indonesia) Sejarah Kerajaan Aceh

Diperoleh dari "https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Islam_di_Aceh&oldid=20743699"