Allah swt. menilai setiap perbuatan seseorang dari.......yang dilakukan

Gus Baha/Allah Menilai Orang yang Melakukan 1 Hal Ini Seperti Mendirikan Sholat 24 Jam Ungkap Gus Baha /Foto dok.: Tangkap layar YouTube/Rachart Channel/

PORTAL SULUT — Gus Baha mengungkapkan, Allah SWT menilai orang yang melakukan satu hal ini seperti mendirikan sholat selama 24 jam.

Bagi yang melakukan satu hal ini kata Gus Baha, juga mendapat balasan pahala luar biasa.

Gus Baha menyebut, orang yang melakukan hal ini seperti sedang mengerjakan sholat 24 jam.

Baca Juga: Kalimat Ini Bikin Kiamat Belum akan Terjadi Kata Mbah Moen, Kalimat Apa Itu?

Ada satu yang jika dilakukan seseorang kata Gus Baha, maka seperti sholat 24 jam.

Gus Baha mengatakan, Allah SWT menilai orang yang melakukan satu perbuatan baik ini seperti mendirikan sholat selama 24 jam.

Lalu kebaikan seperti apa yang dimaksud Gus Baha tersebut?

Melansir dari kanal YouTube Berkah Nyantri pada Senin 11 Juli 2022, Gus Baha menjelaskan tentang hal ini.

Bagi tiap mukmin, mendirikan sholat adalah kewajiban.

Pernahkah kita melihat tulisan di dinding sebuah kantor bahwa ruang ini dipasang CCTV? Tentu saja sering kita saksikan. CCTV memiliki fungsi utama sebagai alat melihat dan mengawasi. Mengawasi keamanan dari pihak-pihak yang akan melakukan kejahatan. Juga melihat kinerja karyawan di lapangan. Orang yang akan melakukan kejahatan akan berpikir lebih keras agar supaya perbuatannya tidak tertangkap oleh CCTV. Demikian pula karyawan yang akan melakukan kecurangan, tentu berpikir keras agar terhindar dari pengawasan CCTV. Sebaliknya, karyawan yang rajin dan memiliki kinerja baik akan diuntungkan oleh kehadiran CCTV karena melalui rekaman itu akan mudah terdeteksi siapa yang berkinerja baik dan kurang. Alat ini mampu melihat setiap orang yang tertangkap kamera secara kasat mata.

Pada bagian lain, terdapat organisasi yang melakukan monitoring karyawan melalui pergerakannya selama di lingkungan kantor. Sejak kedatangan, selama di kantor, hingga waktu meninggalkan kantor. Bahkan mengetahui apa yang diakses, dilihat, ditulis, dan semua aktivitas online-nya terdeteksi dengan detil dan rinci. Salah satu teknologi umum yang dilakukan adalah melalui pemanfaatan log Access Point (AP). AP adalah seperangkat alat yang digunakan untuk melayani kebutuhan internet. Jika setiap orang menggunakan jaringan internet dari AP yang terpasang di setiap area kantor, maka kemana saja dia berpindah, apa saja yang diakses, dibagi, ditulis, ditonton, dan dimainkan (game online), semua akan tercatat pada log aktivitas AP tersebut. Jika semua orang yang mengakses AP menyadari semua ini, tentu dia akan lebih berhati-hati dan menggunakan internet tersebut sebaik mungkin. Berdasarkan ilustrasi AP ini, dapat kita pahami bahwa ia dapat mengawasi setiap orang yang terkoneksi secara tidak kasat mata (tak terlihat).

Kedua contoh di atas dapat kita gunakan untuk merenungkan dua nama Allah di dalam 99 asmaul husna yaitu Al ‘Alim dan Al Khabir. Kedua nama ini sama-sama memiliki makna Maha Mengetahui. Allah mengetahui dengan detil meskipun sesuatu yang lembut (sangat kecil) dan mengetahui apa yang tersirat, sesuatu yang abstrak dan tak terlihat. Tidak ada sesuatu pun yang luput dari pengetahuan Allah SWT.

Al ‘Alim memiliki makna spesifik terhadap sesuatu yang bersifat kongkrit. Meskipun sangat kecil dan tersembunyi. Sebagaimana disebutkan dalam QS Al An’am:59

وَعِنْدَهٗ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لَا يَعْلَمُهَآ اِلَّا هُوَۗ وَيَعْلَمُ مَا فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِۗ وَمَا تَسْقُطُ مِنْ وَّرَقَةٍ اِلَّا يَعْلَمُهَا وَلَاحَبَّةٍ فِيْ ظُلُمٰتِ الْاَرْضِ وَلَا رَطْبٍ وَّلَا يَابِسٍ اِلَّا فِيْ كِتٰبٍ مُّبِيْنٍ

“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang gaib. Tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri. Dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)” (QS. Al An’am: 59)

Sedangkan Al Khabir lebih memiliki makna mengetahui terhadap sesuatu yang tersirat, abstrak, atau tidak tampak. Seperti yang disebutkan dalam QS Al ‘Adiyat: 10-11

وَحُصِّلَ مَا فِى الصُّدُوْرِۙ

اِنَّ رَبَّهُمْ بِهِمْ يَوْمَىِٕذٍ لَّخَبِيْرٌ

10. Dan dilahirkan apa yang ada di dalam dada,

11. Sesungguhnya Tuhan mereka pada hari itu Maha Mengetahui keadaan mereka.

Jika dikembalikan pada contoh organisasi yang memasang CCTV dan menggunakan AP untuk mengawasi siapa saja dan apa saja yang dilakukan oleh orang-orang yang berada pada area terpasang tersebut, ilustrasi tersebut dapat kita gunakan untuk bertafakur kepada Allah dengan keagungan yang tiada banding. Jikalau pun CCTV yang dipasang itu keluaran terbaru dan tercanggih, dilengkapi dengan object recognition dan artificial intelligence sehingga mampu mengetahui apapun yang tertangkap oleh kamera, bahkan apa saja yang terkandung di dalamnya seperti komposisi bahan penyusun obyek yang tertangkap kamera tersebut. Maka, bagaimana dengan Al ‘Alim nya Allah SWT. Kecepatan dan keluasan Ilmu Allah tentu tidak sebanding dengan kecanggihan (atau yang dianggap telah canggih) yang manusia buat. Karena Al ‘Alim nya Allah meliputi segala sesuatu dan segala masa.

Sedangkan teknologi AP bisa kita gunakan untuk bertafakur kepada Allah yang pengetahuannya maha detail, maha terperinci, dan maha mengetahui yang tersembunyi (abstrak). AP yang canggih, meskipun sudah dilengkapi machine learning, artificial intelligence, dan teknologi robotika sekalipun sehingga mampu mengetahui secara mendalam, mengenali motivasi/niat seseorang pada area yang terpasang AP, mampu memprediksi apa yang akan dilakukan setelahnya, bahkan dapat mengenali perasaan dan apa saja yang sedang dipikirkan oleh orang tersebut. Maka, tentu Al Khabir nya Allah SWT yang mengawasi hamba-Nya, jauh lebih hebat dari teknologi apapun yang dibuat oleh manusia.

Kedua asma Allah yang mulia ini harus dapat mengingatkan kita akan kebutuhan muraqabatullah (merasa diawasi oleh Allah SWT). Hal ini mengingatkan kita sebuah kisah ketika Jibril tiba-tiba datang menemui Rasulullah SAW yang sedang duduk di hadapan para sahabatnya. Jibril duduk bersila di hadapan Rasulullah sembari menempelkan kedua lututnya ke lutut Rasulullah SAW seraya bertanya empat hal: Apa itu Iman, Apa itu Islam, Apa itu Ihsan, dan Apakah Qadha dan Qodar itu? Ketika menjawab Ihsan, Rasulullah SAW mengatakan Al Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihatnya, dan jika engkau tidak melihat maka Allah pasti melihatmu.

Demikianlah muamalah kita kepada Allah ketika beribadah. Kita diperintahkan untuk menghadirkan perasaan melihat Allah atau perasaan Allah sedang melihat apapun yang kita kerjakan. Maka untuk membantu kita menghadirkan perasaan itu, dengan ilustrasi CCTV dan AP tersebut agaknya relevan dan bisa kita gunakan. Sehingga kita merasa Allah hadir di setiap ibadah kita, juga di setiap perbuatan kita, meskipun kedua contoh teknologi itu tidak bisa dibandingkan dengan hebatnya Al ‘Alim dan Al Khabir nya Allah SWT. Dengan merasa diawasi, maka naluri manusia untuk malu ketahuan keburukannya akan mendorongnya untuk meninggalkan keburukan itu, dan naluri manusia yang senang jika kebaikannya dilihat akan memberi semangat untuk menjalankan kebajikan lebih maksimal.

Wallahu A’lam. Semoga bermanfaat.

Di antara bacaan diambil dari:

//nidaulfithrah.com/nama-allah-al-aliim-dan-al-khobiir/

//rumaysho.com/18861-syarhus-sunnah-allah-itu-al-alim-al-khabiir-yang-maha-mengetahui.html

//muslim.or.id/20969-al-khabir-maha-mengetahui-perkara-yang-tersembunyi.html

Penulis: Kholid Haryono
Dosen Informatika UII

Jurusan Informatika UII menerima kiriman artikel untuk ditampilkan pada Pojok Informatika dan Pojok Dakwah. Ketentuan dan prosedur pengiriman dapat dilihat pada laman berikut.

BAB I

PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG

Agama adalah suatu sistem nilai yang diakui dan diyakini kebenarannya dan merupakan jalan menuju keselamatan hidup. Agama merupakan suatu hakikat eksternal, dapat dikatakan agama merupakan kumpulan hukum dan ketentuan ideal yang mendiskripsikan sifat-sifat dari kekuatan Ilahiah itu dan kumpulan kaidah-kaidah praktis yang menggariskan cara beribadah kepada-Nya.

Islam berasal dari kata aslama, yuslimu yang berarti menyerah, tunduk dan damai. Islam dalam arti terminologi berarti agama yang ajaran-ajarannya diberikan oleh Allah kepada manusia melalui para Rasul-Nya untuk keselamatan hidup manusia. Dalam al-Quran dikatakan bahwa agama Allah adalah Islam yang telah diturunkan melalui perantara para Rasul.

Agama merupakan ibadah dan konsekuensi ibadah manusia hanya kepada Allah. Islam dijelaskan dalam Al Qur’an sebagai agama. Kata ini merupakan bentuk masdhar dari dana-yadinu, yang memiliki beberapa arti yaitu: taat atau patuh, wara’, agama, mazhab, keadaan, cara, atau kebiasaan, raja’, paksaan dan pembalasan atau perhitungan.

Apabila makna-makna di atas dikaitkan dengan arti yang dikandung oleh Islam, maka hubungan yang erat terdapat pada makna kepatuhan atau ketaatan. Dengan demikian, seorang muslim (pemeluk agama Islam) adalah orang yang telah menyatakan tunduk dan patuh kepada perintah Allah. Dalam makalah ini akan dibahas beberapa hal yang berkaitan dengan ibadah yang didasari oleh hadits dan ayat al-Qur’an.

B.     RUMUSAN MASALAH

1)      Bagaimana Allah menilai hati manusia ?

2)      Apa yang menjadi faktor penentu dalam beribadah kepada Allah ?

3)      Apa saja ciri perbuatan ibadah yang disukai oleh Allah ?

C.    TUJUAN

 Untuk mengetahui bagaimana cara Allah menilai hati manusia dalam bentuk lahiriyah.

 Mengetahui faktor penentu dalam beribadah.

 Mengetahui ciri-ciri ibadah yang disukai Allah. 


BAB  II

PEMBAHASAN

A.    Cara Allah Menilai Hati Manusia

"Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang lelaki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti."(al-Hujuraat: 13)

Allah memandang dan membedakan antara hamba-Nya hanya pada ketaqwaan. Bukan pada rupa, pangkat, harta, bangsa dan keturunan. Ketaqwaan, suatu yang bersifat batiniah. Ukuran sebenarnya ketaqwaan seseorang hanya Allah Yang Maha Mengetahui. Bahkan diri sendiri tidak dapat menjamin dan mendakwa dirinya adalah mukmin yang benar-benar bertaqwa.

Sangat tersembunyi, teliti dan halus. Dan saya kira sesuatu yang sangat halus dan teliti penilaiannya adalah sesuatu yang sangat mahal. menilai ketaqwaan adalah nilaian yang sangat mahal. Dan ia adalah nilaian yang paling mahal karena hanya Allah saja yang selayaknya menjadi Penilai.

Namun, kebanyakan manusia cenderung menilai diri sendiri dan orang lain dari sudut lahiriah. Sesuatu yang nampak pada mata kasar. Kekayaan, kecantikan, keturunan dan pangkat adalah antara parameter yang digunanakan oleh manusia ketika membuat penilaian. Maka manusia sekarang saling mengejar apa-apa yang menjadi penilaian manusia.

Sedangkan Allah menilai manusia itu melalui ketaqwaan dan keimanannya kepada Allah SWT. contohnya Seorang muslim yang senantiasa merasa`diawasi oleh allah ia akan merasa malu untuk menyalahi aturan allah karena allah tidak melihat bentuk lahir manusia tetapi melihat bentuk hatinya(ketakwaanya).


Dari abdullah bin mas’ud, ia berkata:Rasulullah SAW bersabda:

Artinya: malulah kalian kepada Allah dengan sebenar benarnya rasa malu. Barangsiapa benar benar malu kepada allah hendaklah menjaga kepala dan apa yang dia serap, menjaga perut dan apa yang memenuhinya hendaklah mengigat kematian dan kebinasaan. Barangsiapa menghendaki kehiduan akhirat hendaknya meninggalka perhiasan kehidupan dunia. Barangsiapa mampu melakukan itu semua, berarti ia malu kepada allah dengan sbenar benarnya rasa malu.

            Al baidhowi rohimahullah berkata: malu kepada allah dengan sebenar benarnya bukanlah seperti yang kalian kira, melainkan hendaklah ia menjaga seluruh anggota tubuhnya dari perbuatan dan perkataan yang tidak diridhoi Allah.


B.  Niat Merupakan Faktor Penentu dalam Beribadah

Hadits: Semua Amal Tergantung Niatnya

عَنْ أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ أَبِيْ حَفْصٍ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ الله يَقُوْل (( إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَ إِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى. فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَ رَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَ رَسُوْلِهِ، وَ مَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ))

 [رواه إماما المحدثين أبو عبد الله محمد بن إسماعيل بن إبراهيم بن المغيرة بن بردزبة البخاري و ابو الحسين مسلم بن الحجاج بن مسلم القشيري النيسابوري في صحيحيهما اللذين هما أصح الكتب المصنفة]

Dari Amīr al-Mu’minīn, Abū Hafsh ‘Umar bin al-Khaththāb , dia menjelaskan bahwa dia mendengar Rasulullah SAW  bersabda:

“Sesungguhnya setiap amal perbuatan tergantung pada niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) sesuai dengan niatnya. Barangsiapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya karena urusan dunia yang ingin digapainya atau karena seorang wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya sesuai dengan apa yang diniatkannya tersebut”(HR. al-Bukhāriy dan Muslim)

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ

إِنَّمَا adalah adatul-Hashr (untuk membatasi), yakni menetapkan sesuatu yang disebut setelahnya dan menafikan sesuatu yang tidak disebut. Dengan demikian, hadits ini menunjukkan bahwa tidak ada amal perbuatan yang sah atau sempurna hukumnya kecuali berdasarkan niat.

بِالنِّيَّاتِ : Huruf ba’ menunjukkan arti mushahabah (menyertai) dan ada juga yang mengartikan sababiyah (menunjukkan sebab). Niyyaat adalah bentuk jama’ dari kataniyat. Secara etimologi bermakna ‘kehendak’ dan secara terminologi bermakna ‘kehendak yang dibarengi dengan perbuatan nyata’.

Para ahli fikih berselisih pendapat untuk menentukan apakah niat itu termasuk rukun atau syarat? Dalam hal ini pendapat yang paling kuat adalah, bahwa niat di awal pekerjaan adalah rukun, sedangkan menyertakannya dalam pekerjaan adalah syarat.

وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

امْرِئٍ : Manusia, baik laki-laki maupun perempuan

Jika kalimat pertama di atas menunjukkan apa saja yang termasuk amal, maka kalimat kedua ini menunjukkan akibat atau hasil dari amal itu. Kalimat pertama menjelaskan bahwa perbuatan itu harus disertai niat, kalimat kedua ini menegaskan bahwa seseorang tidak mendapatkan dari perbuatannya kecuali apa yang ia niatkan.


فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ


Dalam hadits ini tidak terdapat kalimat فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ sebagaimana hadits-hadits lain yang lebih populer dan lebh banyak dihafal umat Islam. Ini dimungkinan karena riwayat Humaidi sampai kepada Imam Bukhari seperti lafadz hadits di atas. Imam Al-Karmani berkata: “Hadits ini terkadang diriwayatkan secara lengkap dan terkadang tidak, hal itu disebabkan perawi yang meriwayatkannya juga berbeda. Memang setiap perawi telah meriwayatkan hadits sesuai dengan apa yang dia dengar tanpa ada yang dihilangkan, sedang Bukhari menulis riwayat hadits ini sesuai dengan judul yang dibicarakan.”

Memang prinsip Imam Bukhari dalam menulis hadits adalah tidak menulis satu hadits yang berbeda periwayatannya dalam satu tempat. Apabila ada hadits yang mempunyai sanad lebih dari satu, maka ia menulisnya pada tempat yang berbeda pula, dan tidak pernah beliau menulis hadits dengan menghilangkan sebagiannya, sedang pada tempat yang lain beliau menulis secara lengkap. Juga tidak dijumpai satu hadits pun dengan sanad dan matan yang sama dan lengkap ditulis pada beberapa tempat, kecuali sebagian kecil saja, yakni kurang lebih dua puluh tempat.

هِجْرَتُهُ : Hijrah secara etimologi bermakna ‘meninggalkan’ dan secara terminologi bermakna ‘meninggalkan negeri kafir ke negeri Islam untuk menghindari hal-hal yang buruk.’ Adapun yang dimaksud dengan hijrah dalam hadits ini adalah perpindahan dari kota Makkah dan kota-kota lain ke kota Madinah, sebelum fathu Makkah.

هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا

Untuk mendapatkan keuntungan duniawi Kata dunya berasal dari Ad-dunuw yang berarti dekat. Dinamakan demikian karena dunia lebih dahulu dari pada akhirat atau karena dunia sangat dekat dengan kehancuran/kebinasaan.

إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا

Untuk mendapatkan wanita yang akan dinikahi. Disebutkannya kata wanita secara khusus setelah kata umum (dunia) adalah untuk menekankan bahwa bahaya dan fitnah yang ditimbulkan oleh wanita sangat besar. Ini juga berkaitan dengan sababul wurud hadits ini. Imam At-Thabrani meriwayatkan dalam Al-Mu’jam Al-Kabir dengan sanad yang bisa dipercaya, bahwa Ibnu Mas’ud berkata: “Diantara kami ada seorang laki-laki yang melamar seorang wanita bernama Ummu Qais. Namun, wanita itu menolak sehingga ia berhijrah ke Madinah. Maka laki-laki tersebut ikut hijrah dan menikahinya. Karena itu kami memberinya julukan Muhajir Ummu Qais.”

فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ

Maka hijrahnya sesuai dengan apa yang ia tuju. Seseorang yang melakukan amal ibadah tetapi niatnya bukan karena Allah, tetapi ingin mendapatkan dunia atau wanita maka ia tidak mendapatkan pahala dari Allah. Inilah yang termasuk syirik asghar. Namun dalam konteks hijrah pada hadits ini, jika diniatkan menjauhi kekufuran dan menikahi wanita, hijrahnya kurang sempurna dibandingkan dengan orang yang berhijrah dengan niat yang tulus. Meskipun, niat menikahi wanita –baik hijrah atau tidak- akan mendapatkan pahala jika pernikahannya untuk mendekatkan diri kepada Allah, karena pernikahan adalah anjuran agama Islam.

Hal ini seperti peristiwa masuk Islamnya Thalhah, sebagaimana diriwayatkan oleh Nasa’i dan Anas, ia berkata, “Abu Thalhah telah menikahi Ummu Sulaim dengan mahar masuk Islam, karena Ummu Sulaim telah masuk Islam lebih dahulu dari pada Abu Thalhah. Maka ketika melamarnya, Ummu Sulaim berkata, “Aku sudah masuk Islam, seandainya kamu masuk Islam, maka saya bersedia dinikahi.” Lalu Abu Thalhah masuk Islam dan menikahi Ummu Sulaim.

Imam Ghazali menggaris bawahi apabila keinginan untuk memperoleh dunia lebih besar dari keinginannya untuk mendekatkan diri kepada Allah, maka orang itu tidak mendapatkan pahala, begitu pula apabila terjadi keseimbangan antara keduanya, ia tetap tidak mendapatkan pahala. Akan tetapi apabila seseorang berniat untuk ibadah dan mencampurnya dengan keinginan selain ibadah yang dapat mengurangi keikhlasan, maka Abu Ja’far bin Jarir Ath-Thabari telah menukil perkataan ulama salaf, bahwa yang harus menjadi tolak ukur adalah niat awal, apabila ia memulai dengan niat untuk mendekatkan diri kepada Allah, maka perubahan niat tidak menggugurkan pahalanya. 

C.    Perbuatan Ibadah yang Disukai Allah

Allah SWT menyukai manusia yang selalu berusaha untuk taqarrub ke pada-Nya, dengan menggunakan semua kenikmatan yang diberikan, baik nikmat dhohir maupun nikmat bathin. Semua perbuatan yang dilakukannya semata-mata ditujukan untuk meraih ridha Allah.

Dalam suatu kesempatan seorang shahabat Nabi SAW yang bernama Ibnu Mas’ud ra bertanya kepada Nabi SAW:

Ya Nabi SAW, amalan apa yang paling disukai Allah SWT ? Nabi SAW menjawab,"sholat tepat pada waktunya". Ibnu Mas'ud bertanya lagi, " kemudian apa lagi ?".Rasulillah SAW menjawab "berbakti kepada orang tua". Ibnu mas'ud bertanya lagi,sjalan Allah". Hadist diriwayatkan oleh mutafaqalaih

Suatu ketika, ’Abdullah bin Mas’ud hadir di Masjid Nabawi, Madinah, menemui Rasulullah Saw. Biasanya selepas shalat, Rasulullah selalu berupaya meluangkan waktu berbincang bincang dengan para sahabat. Beliau memberikan pengarahan dan menjawab setiap pertanyaan yang diajukan kepada beliau. ’Abdullah bin Mas’ud tercatat sebagae seorang sahabat Nabi Muhammad Saw. yang pertama tama membaca Al Quran secara keras, setelah Nabi Saw di hadapan khalayak kaum musyrik Makkah.

Bernama lengkap Abu ‘Abdirrahman ’Abdullah bin Mas’ud bin Ghafil bin Qabib bin Syamkh bin Fa’r bin Makhzum bin Sahilah bin Kahil bin Al Qarits bin Tamim bin Sa’d bin Hudzail bin Mas’ud, pemeluk keenam Islam ini telah ditinggalkan ayahnya yang miskin ketika masih kecil dan lahir dalam lingkungan Bani Zuhrah.

Karena itu, dia lantas pergi ke Makkah untuk menyambung hidup sebagai penggembala domba milik ’Uqbah bin Abu Mu’aith. Lantas, ketika mendengar seruan yang disampaikan Nabi Muhammad Saw., dia segera mengikuti jejak langkah beliau. Ketika Rasulullah Saw. usai melaksanakan shalat dan berkumpul dangan sejumlah sahabat, ’Abdullah bin Mas’ud pun bertanya kepada beliau, “Wahai Rasul, perbuatan apa yang paling disukai Allah?” Sejenak Rasulullah Saw. menatap wajah sahabat yang bertubuh pendek dan berbetis kecil itu. Kemudian, beliau menjawab,

"shalat tepat pada waktunya "

 “Berikutnya apa, wahai Rasul?” tanya sahabat yang ikut berperang dalam semua perang yang dihadiri oleh Rasulullah Saw, itu.

“Berbakti kepada kedua orangtua”

“Selanjutnya apa, wahai Rasul?” tanya sahabat yang pernah berhijrah ka Qabasyah bersama angkatan pertama kaum Muslim yang berhijrah ke negeri itu.

“Berjuang di jalan Allah,” jawab beliau.

Selepas menerima jawaban terakhir tersebut, ’Abdullah bin Mas’ud berhenti bertanya meskipun dia tahu, seandainya terus bertanya, tentu Rasulullah Saw. juga akan terus menjawab.

Amalan Yang Paling Disukai

Imam Bukhari rahimahullah meriwayatkan di dalam Shahihnya :

حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ عَنْ مَالِكٍ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا قَالَتْ كَانَ أَحَبُّ الْعَمَلِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الَّذِي يَدُومُ عَلَيْهِ صَاحِبُهُ

Qutaibah menuturkan kepada kami dari Hisyam bin Urwah dari ayahnya dari Aisyah -radhiyallahu’anha-, dia berkata, “Amal yang paling disukai oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah yang dikerjakan secara terus menerus oleh pelakunya.” (HR. Bukhari dalam Kitab ar-Riqaq)

Imam Bukhari rahimahullah meriwayatkan di dalam Shahihnya :

حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ عَرْعَرَةَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ سَعْدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّهَا قَالَتْ سُئِلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الْأَعْمَالِ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ قَالَ أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ وَقَالَ اكْلَفُوا مِنْ الْأَعْمَالِ مَا تُطِيقُونَ

Muhammad bin Ar’arah menuturkan kepadaku. Dia berkata; Syu’bah menuturkan kepada kami dari Sa’d bin Ibrahim dari Abu Salamah dari Aisyah radhiyallahu’anha, dia berkata,“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya, ‘Amal apakah yang paling dicintai Allah?’. Maka beliau menjawab,”Yaitu yang paling kontinyu, meskipun hanya sedikit.”Beliau juga bersabda, “Bebanilah diri kalian dengan amal-amal yang mampu untuk kalian kerjakan.” (HR. Bukhari dalam Kitab ar-Riqaq)

Kedua hadits di atas menunjukkan kepada kita bahwa :

  1. Penetapan sifat mahabbah bagi Allah
  2. Amalan satu dengan yang lainnya memiliki perbedaan keutamaan di sisi Allah
  3. Apa yang dicintai oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam -dalam pandangan      syari’at- maka hal itu menunjukkan bahwa Allah ta’ala juga mencintai perkara tersebut
  4. Manusia memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam mengerjakan amalan
  5. Dalam memilih amalan -sunnah- maka hendaknya seorang memperhatikan kemampuannya agar bisa kontinyu dalam mengerjakannya, lebih baik sedikit tapi kontinyu daripada banyak namun terhenti.
  6. Hadits ini menganjurkan agar seorang hamba istiqomah dalam beramal dan mengikhlaskan amalnya karena Allah dan sesuai dengan tuntunan Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam
  7. Amal salih merupakan sebab datangnya kecintaan Allah
  8. Seorang mukmin hendaknya mencitai apa yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya,  sebagaimana dia juga harus membenci segala perkara yang dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya
  9. Hadits ini menunjukkan keutamaan sabar di dalam ketaatan
  10. Hadits ini juga menunjukkan bahwa amal termasuk bagian dari iman
  11. Allah tidak membebankan sesuatu kepada hamba-Nya melainkan sesuai dengan batas kemampuannya.

BAB  III

PENUTUP

Demikian makalah tentang beribadah kepada Allah yang telah kami buat, semoga dapat bermanfaat bagi kita semua.

A.    Kesimpulan

Agama merupakan ibadah dan konsekuensi ibadah manusia hanya kepada Allah. Proses beribadah kepada allah memerlukan ketakwaan pada setiap individu manusia sendiri. Ibadah yang disukai oleh Allah ialah; shalat tepat pada waktunya, berbakti pada orang tua, berjuang di jalan Allah dan lain sebagainya.

B.     Saran

Bagi para pembaca diharapkan dapat memanfaatkan makalah yang telah kami buat ini dengan sebaik mungkin.

Page 2

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA