Aktivitas penambangan pasir besi di yogyakarta terdapat di kabupaten

Sumber : krjogja.com Rabu, 29 Desember 2010 18:46:00

KULONPROGO (KRjogja.com) – Bidang Pertambangan Umum Dinas Perindustrian Perdagangan dan Energi Sumber Daya Mineral, Kabupaten Kulonprogo menyatakan, dalam pasir besi yang rencananya akan ditambang oleh PT. Jogja Magasa Iron tidak mengandung uranium. Kawasan pantai selatan Kulonprogo tersebut diketahui hanya mengandung bijih besi, fanadium dan titanium.

“Pihak PT Jogja Magasa Iron (JMI) sudah melakukan ekslorasi dengan menggunakan teknologi standar internasional tapi tidak menemukan adanya kandungan urarium dalam pasir besi dan yang ada hanya bijih besi, fanadium dan titanium,” kata Kepala Bidang Pertambangan Umum DisperindagESDM, Mustafa Ali Mohamad di Wates, Rabu (29/12).

Terkait pembagian royalti, Ia mengatakan, dalam kontrak karya diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2003 tentang Tarif Atas Pendapatan Nasional Bukan Pajak yang menerangkan mineral biji besi akan dikenai royalti sebanyak tiga persen, fanadium sebanyak 4,5 persen dan titanium sebesar 3,5 persen. “Setiap mineral logam yang diusahakan ditambang, apabila dioperasian akan dikenai royalti,” katanya.

Ia juga mengatakan, royalti tersebut masuk ke kas negara setelah itu, sesuai dengan Undang-undang Nomo 33 Tahun 2004 tentang perimbangan antara pemerintah pusat dengan daerah, royalti tersebut akan dibagi-bagi.

“Pemerintah pusat akan menerima 20 persen, provinsi mendapat 16 persen, kabupaten Kulon Progo mendapat 32 persen dan sisanya 32 persen dibagikan kepada kabupaten lain dalam provinsi,” katanya.

Lebih lanjut, ia mengatakan, dengan keberadaan pick iron di Kulonprogo, sangat menguntungkan perkembangan industri dalam negeri sehingga harga barang sangat bersaing. Selain dengan adanya Undang-undang Nmor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara pada 2014 tidak dapat diekspor keluar negeri tanpa terlebih dahulu diolah menjadikan Kulon Progo menjadi tempat pengolahan pick iron pertama di Indonesia.

“Artinya, dari daerah seperti Kalimantan bijih besinya akan di olah di Kulon Progo, dan menjadi keuntungan tersendiri untuk pertumbuhan industri diberbagai sektor. Harapannya, pada 2013, semua sudah siap, sehingga pasir besi dari daerah lain dapat diolah di Kulon Progo,” katanya.

Sebelumnya, General Manager PT JMI Mochsen Al Hamid, mengatakan, dalam kontrak karya juga mengatur, hasil penambangan pasir besi yang berupa pig iron dan yang lainya harus untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dan tidak boleh diekspor keluar negeri. Ia menuturkan, hasil pembambangan dan pengolahan pasir besi yaitu pig iron, fanadium dan titanium.

Rencananya pig iron hasil produksi akan digunakan untuk menyuplai kebutuhan perusahaan Krakatau Steel karena selama ini mereka 100 persen mengimpor dari luar negeri. Sedangkan Fanadium (baja khusus) dapat dimanfaatkan untuk bahan pembuatan senjata seperti proyeksi peluru, pembuatan peluru dan alat perang lain.

“Produksi ini sebetulnya banyak manfaatnya, tinggal bagaimana kerjasama antara pihak yang satu dengan yang lain, bahkan harga juga dapat bersaing dengan pasar, bisa juga lebih murah karena diproduksi dalam negeri,” katanya. (Ant/Van)

Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Kulonprogo Propinsi DIY, dengan latar belakang adanya wacana pembangunan industri penambangan dan pengolahan pasir besi di Desa Karangwuni Kecamatan Wates Kabupaten Kulonprogo. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui tentang industri penambangan dan pengolahan pasir besi di wilayah Kabupaten Kulonprogo, kendala yang dihadapi, serta implikasi industri penambangan pasir besi dalam peningkatan ketahanan ekonomi di wilayah Kabupaten Kulonprogo. Jenis penelitian adalah deskriptif kualitatif, dengan jalan mendeskripsikan sejumlah variabel yang berkenaan dengan masalah tentang industri penambangan dan pengolahan pasir besi dalam peningkatan ketahanan ekonomi di wilayah Kabupaten Kulonprogo. Penetapan informan dengan mempertimbangkan bahwa orang tersebut mengetahui dengan baik dan cukup dalam tentang sesuatu yang diteliti. Subjek penelitian dalam penelitian ini adalah perangkat desa, aparat pemerintah, tokoh masyarakat, anggota masyarakat. Data yang dikumpulkan berasal dari naskah wawancara, catatan lapangan, foto, dokumen pribadi, dokumen resmi perusahaan dan dokumen pemerintah daerah. Teknik analisa data dalam penelitian ini menunjuk pada kegiatan mengorganisasikan data ke dalam susunan-susunan tertentu dalam rangka penginterpretasian data, ditabulasi, diolah dan disimpulkan. Hasil penelitian menunjukan bahwa Industri penambangan dan pengolahan pasir besi di wilayah Kabupaten Kulonprogo merupakan proyek penambangan dengan investasi dana yang besar, yaitu Rp 5,4 sampai dengan 6 triliun, dengan luas wiayah Kontrak Karya 2.987,79 hektare, dengan kebutuhan tenaga kerja sejumlah 2.100 orang. Terdapat beberapa kendala yang menghambat proses pembangunan industri penambangan dan pengolahan pasir besi, yaitu : terdapat tenaga kerja kurang professional, hubungan kerja dengan masyarakat kurang harmonis, masyarakat yang tidak setuju dengan adanya penambangan pasir besi, sumber daya manusia Kabupaten Kulonprogo, kepentingan politik sebagian orang, penghasilan menjadi petani dapat lebih besar daripada menjadi pekerja pabrik, dukungan pemerintah melalui undang-undang dan peraturan. Industri penambangan dan pengolahan pasir besi berimplikasi terhadap ketahanan ekonomi di wilayah Kabupaten Kulonprogo dengan cara menyerap tenaga kerja, memberi peluang usaha dan ganti untung terhadap tanah, hasil produksi pertanian dan infrastruktur di atasnya. Pemerintah daerah mendapatkan keuntungan melalui pajak, restribusi, royalti, dana pengembangan wilayah, dana pengembangan masyarakat sehingga pendapatan asli daerah meningkat. Peningkatan pendapatan daerah akan memperbaiki kondisi wilayah, yang akan meningkatkan sektor pertanian, perindustrian, modal, manajemen, daya saing, sarana dan prasarana, perdagangan, moneter dan devisa, sehingga ketahanan ekonomi di wilayah Kabupaten Kulonprogo akan meningkat. Kata kunci: industri penambangan, pengolahan pasir besi, ketahanan ekonomi wilayah.

This research was conducted in the Regency of Kulon Progo, Yogyakarta with a background discourse of the building of iron sand processing industry in Karangwuni, Wates, one of the districts in the regency . This study aims to know about the iron sand mining industry in Kulonprogo, the obstacles in the business and the role of the industry to increase economic resilience in Kulon Progo. ABSTRACT This research is a descriptive qualitative research which describes a number of variables related to the influence of iron sand mining industry to increase economic resilience in Kulon Progo. The data is collected by interviewing some informants. The informants are those who know very well and quite deeply about the object of observation. Research subjects in this study are the village as well as government officials , community leaders , and the people around the area.The data is collected from interview text, field note, photos, private documents, company’s official documents and local government’s documents. Analysis technique of the data in this research is organizing data in certain classification to be interpreted, tabulated, analyzed, concluded. The result of the research shows that the iron-sand mining industry in Kulon Progo has investment of 5.4 to 6 trillion rupiah with working contract area about 2,987.79 hectare which needs around 2,100 labours. The analysis shows several factors which obstruct the process of developing iron sand mining industry. Those are amateur workers, relationship with the society around the site, disapproving people, human resource in Kulonprogo, political interest of some people, less wages for workers compared to working in rice field, less encouragement from government authority with its laws. Keywords : mining industry, iron sand processing, district’s economic resilience The iron-sand mining and processing industry influences the local’s economic resilience in Kulon Progo Regency. It provides job vacancy for many workers/labours, provides business opportunity, reimburses land, its agricultural product, and its infrastructure. Local government gets income from tax, retribution, royalty, area development fund, society development fund to raise local government revenue. The raise of local income will improve the area’s condition which improve agriculture sector, industry sector, local capital, management, competitiveness, structure and infrastructure, commerce, foreign exchange and monetary to increase economic resilience in Kulon Progo Regency.

Kata Kunci : industri penambangan, pengolahan pasir besi, ketahanan ekonomi wilayah.

Pada 9 Juli, ribuan petani yang tergabung dalam Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP) berdemonstrasi di depan gedung DPRD Provinsi DIY. Dalam aksi tersebut, massa yang berasal dari Desa Banaran, Karang Sewu, Bugel, Pleret, Garongan dan Karangwuni menuntut dewan untuk mendesak pemerintah dalam mengeluarkan sertifikat lahan pertanian mereka.

Demonstrasi menuntut disertifikatinya lahan pertanian milik petani PPLP merupakan lanjutan dari konflik penambangan pasir besi di sepanjang pesisir Kabupaten Kulon Progo. Di satu pihak, Pemerintah Daerah Kabupaten Kulon Progo bersama Kasultanan Ngayogyakarta, Kadipaten Paku Alam dan PT Jogja Magasa Iron (JMI) berniat melakukan penambangan di lokasi tersebut. Sedangkan di pihak lain, ribuan petani yang hidup dan bercocok tanam di sepanjang pesisir menentang rencana tersebut. Pertentangan pendapat lalu mengerucut, salah satunya pada isu kepemilikan lahan. Paku Alam bersama Kasultanan Ngayogyakarta mengklaim kepemilikannya atas dasar kultural, sedangkan masyarakat UU PA.

Konflik penambangan pasir besi di sepanjang pesisir Kabupaten Kulon Progo sampai saat ini belum menunjukkan titik terang meski sudah berjalan cukup lama dan menimbulkan kerugian cukup besar. Sejak tahun 2008, sudah berkali-kali petani PPLP berdemonstrasi di berbagai tempat, beberapa diantaranya Kantor Pemerintah Daerah Kabupaten Kulon Progo, Polres Kabupaten Kulon Progo, hingga UGM. Sepanjang itu pula, petani PPLP menerima intimidasi dari berbagai pihak, baik institusi formal ataupun informal. Sedangkan di sisi lain, perusakan aset PT JMI di lokasi proyek percontohan dan tindak kekerasan terhadap akademisi salah satu institusi perguruan tinggi di Yogyakarta pernah dilakukan petani PPLP. Bahkan, konflik yang semula vertikal kini berangsur melebar menjadi horizontal. Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa semakin lama konflik tambang pasir besi Kulon Progo semakin banyak menimbulkan kerugian.

Isu di atas mendorong MAP Corner-MKP Club mendiskusikannya pada diskusi pekanan selasa sore. Dengan mengangkat judul “Mengurai Konflik Tambang Pasir Besi Kulon Progo”, MAP Corner-MKP Club mengundang Widodo dan A.N Luthfi sebagai pemantik. Disebabkan isu sudah lama bergulir dan dikenal oleh di kalangan aktivis, maka meski dalam masa libur kuliah, diskusi MAP Corner-MKP Club kali ini tetap dipadati peserta.

Muasal Penolakan PPLP

Widodo, petani cabe asal Desa Garongan yang kerap menjadi Korlap demonstrasi, menjelaskan muasal terjadinya konflik tambang pasir besi di pesisir Kabupaten Kulon Progo. Awalnya, pesisir merupakan wilayah gersang yang tidak bernilai ekonomi apapun. Menurutnya, “…dulu sudah digarap nenek moyang kami.. tapi masih bernilai ekonomi rendah… “. Awal tahun 1980an salah seorang pemuda mereka mulai mencoba bercocok tanam. Kegiatan mencoba bercocok tanam di atas lahan pasir berkembang pesat, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Dari segi kualitas, perkembangan teknik pengairan dan pemupukan membuat hasil panen cabe, melon dan semangka semakin baik dan banyak. Bersamaan dengan itu pula, jumlah masyarakat yang ikut bercocok tanam bertambah pula. Puncaknya, awal tahun 2003 terjadi pertanian masif di pesisir Kabupaten Kulon Progo. Lahan pasir di pesisir Kabupaten Kulon Progo berubah menjadi lahan pertanian yang subur.

Pada tahun 2005, masyarakat mendengar adanya rencana penambangan pasir besi di pesisir oleh Pemerintah Kabupaten Kulon Progo. Karena kejelasan informasi tersebut belum didapat, maka masyarakat tidak menanggapi serius isu tersebut. Isu penambangan kembali menguat pada tahun 2006. Bahkan, penambangan akan dilakukan segera oleh Pemerintah Kabupaten Kulon Progo tanpa adanya transparansi dan partisipasi masyarakat terdampak. Karena itu, rencana penambangan tersebut segera mendapat penolakan.

Ada beberapa hal yang membuat PPLP menilai kebijakan penambangan pasir besi bermasalah. Dari segi legalitas, pembuatan kebijakan penambangan pasir besi di pesisir selatan Kulon Progo sudah menyalahi prosedur baku. Pada awalnya, dokumen RT/RW tidak menyebutkan adanya areal penambangan di wilayah pesisir Kabupaten Kulon Progo. Tetapi setelah pada tahun 2006 Pemerintah Daerah Kabupaten Kulon Progo dan PT JMI menandatangani kontrak karya, klausul bahwa “wilayah selatan pesisir Kulon Progo adalah areal penambangan” baru dicantumkan di dalam dokumen RT/RW. Kebijakan penambangan pasir besi semakin bermasalah ketika pihak Pemerintah Kabuaten Kulon Progo baru akan membuat dokumen AMDAL. Ini semua telah membalik prosedur baku kebijakan perundang-undangan. Seharusnya, pemerintah membuat dokumen AMDAL terlebih dahulu. Dokumen ini kemudian menjadi landasan dibuatnya klausul “wilayah pesisir selatan Kabupaten Kulon Progo merupakan areal penambangan”. Jika ini sudah dilakukan, Pemerintah Daerah Kabupaten Kulon Progo baru mencari investor. Prosedur kebijakan yang bertentangan dengan kebakuan ini membuat produk kebijakan yang ada tidak legitimate.

“Dari segi legalitas, pembuatan kebijakan penambangan pasir besi di pesisir selatan Kulon Progo sudah menyalahi prosedur baku… Hal lain yang membuat PPLP menolak rencana penambangan pasir besi adalah aspek identitas. Petani pesisir yang tergabung di dalam PPLP menyadari bahwa dirinya ditakdirkan untuk menjadi seorang petani sehingga sangat menyintai pekerjaan bertani”.

Hal lain yang membuat PPLP menolak rencana penambangan pasir besi adalah aspek identitas. Petani pesisir yang tergabung di dalam PPLP menyadari bahwa dirinya ditakdirkan untuk menjadi seorang petani sehingga sangat menyintai pekerjaan bertani, “..dan kami tidak mau dibeli, kecintaan kami itu dengan kehidupan petani..”. Filosofi kehidupan sehari-hari yang dimiliki masyarakat PPLP cukup sederhana, “… bagaimana tanamanku bisa menghidupiku, dan aku bisa menghidupi tanamanku …”. Menjadikan wilayah pesisir sebagai areal penambangan sama artinya dengan menyiksa petani pesisir dengan memaksanya menjadi buruh.

Tidak diakomodasinya tuntutan yang ada membuat petani PPLP melakukan sejumlah perlawanan, satu diantaranya dengan menggugat kepemilikan lahan oleh Kadipaten Paku Alam. Petani mengklaim lahan pesisir sebagai tanah tidak bertuan. Berdasar pada UU PA, pihak yang sudah menggarap tanah tidak bertuan lebih dari 20 tahun akan memiliki hak khusus terhadap tanah garapannya tersebut, yaitu minimal hak garap dan maksimal hak milik. Atas dasar ini, lahan pasir yang sudah digarap lebih dari 20 tahun dapat diklaim sebagai milik petani. Kendati begitu, hingga saat ini argumen tersebut belum mampu memenangkan petani karena terganjal upaya sertifikasi tanah.

Konfigurasi Pasca RUUK DIY

A.N Luthfi, staf Pengajar Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) Yogyakarta, memberi pandangan dari sisi yang berbeda. Pasca diselesaikannya ‘sengketa’ pusat-DIY terkait Rancangan Undang-Undang Keistimewaan (RUUK) DIY, situasi pertarungan aras lokal mengalami perubahan. Untuk itu, strategi perjuangan menolak penambangan pasir besi hendaknya juga menyesuaikan.

Pasca pertemuan singkat dengan anggota DPR RI yang sedang berkunjung ke DIY, Luthfi menangkap ada relasi kuat antara RUUK DIY dan status kepemilikan tanah di pesisir oleh pihak Kadipaten Paku Alam. Dalam UUK DIY, Sultan dan Paku Alam otomatis menjabat Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DIY yang diangkat oleh Presiden setiap 5 tahun sekali. Hal ini diartikan ‘lebih’ oleh DPR RI dengan mengasumsikan semua aset di DIY secara otomatis pula berada dalam pengelolaan Kasultanan Ngayogyakarta dan Paku Alam, termasuk di dalamnya lahan di pesisir selatan Kulon Progo.

Bagi Luthfi, kondisi ini justru menguntungkan petani PPLP. Riset penerapan UU PA yang sejak lama dilakukannya bermuara pada sebuah kesimpulan: pengelolaan tanah di DIY diatur berdasarkan UU PA, bukan hukum perundangan Mataram. Ada sejumlah kliping surat kabar era HB IX yang memberitakan bahwa DIY pada masa itu tidak lagi mengacu pada perundang-undangan kerajaan Mataram dalam mengatur pengelolaan tanah. Artinya, klaim kepemilikan lahan pasir di pesisir selatan Kulon Progo oleh pihak Paku Alam dan Kasultanan Ngayogyakarta secara kultural saat ini terbantahkan.

“Riset penerapan UU PA yang sejak lama dilakukannya bermuara pada sebuah kesimpulan: pengelolaan tanah di DIY diatur berdasarkan UU PA, bukan hukum perundangan Mataram. Ada sejumlah kliping surat kabar era HB IX yang memberitakan bahwa DIY pada masa itu tidak lagi mengacu pada perundang-undangan kerajaan Mataram dalam mengatur pengelolaan tanah. Artinya, klaim kepemilikan lahan pasir di pesisir selatan Kulon Progo oleh pihak Paku Alam dan Kasultanan Ngayogyakarta secara kultural saat ini terbantahkan”.

Akan tetapi, arah isu pengelolaan aset tanah di DIY mengalami perubahan. Informasi terakhir yang didapat Luthfi justru menyatakan, tanah adalah aset yang pengelolaannya dikeluarkan dari UUK DIY dan akan diatur melalui peraturan tersendiri. Bagaimanapun bentuk peraturan tersebut, besar kemungkinan akan menguntungkan pihak Paku Alam dan Kasultanan Ngayogyakarta. Artinya, hambatan yang dihadapi dalam perjuangan menentang penambangan pasir besi di Kulon Progo semakin sulit.

Berhubung situasi ini, Lutfi mencoba membongkar dan menawarkan argumen baru bagi petani PPLP. Luthfi mengkritik argumen legalitas yang selama ini digunakan petani PPLP. Walau bagaimanapun, argumen kepemilikan sertifikat akan menyebabkan gesekan antara petani yang sudah memilik sertifikat dengan yang belum bersertifikat. Selain itu, Luthfi mendorong petani PPLP untuk menggunakan argumen terbalik. Jika selama ini petani dituntut untuk menunjukkan bukti kepemilikan lahan, maka sekarang petani yang menuntut Paku Alam dan Kasultanan Ngayogyakarta menunjukkan bukti tersebut. Luthfi memperkirakan, bukti kepemilikan Paku Alam dan Kasultanan bersifat kultural, yakni perjanjian Giyanti. Klaim kultural seperti itu sangat lemah di hadapan hukum formal. Terakhir, Luthfi mendorong petani PPLP untuk berani membuat kajian perbandingan antara pertanian dengan pertambangan. Berapa ribu jiwa yang bekerja sebagai petani, berapa ribu jiwa yang bekerja tidak langsung dari aktivitas pertanian, ke mana nilai ekonomi tersebut mengalir, berapa sumbangan yang diberikan untuk APBD, dan hal lainnya. Temuan tersebut kemudian dibandingkan dengan aktivitas pernambangan. Adanya data yang jelas dan valid akan mampu memperkuat perjuangan masyarakat petani PPLP.

Penguatan Perlawanan

Hadirnya beragam aktivis, baik dari gerakan mahasiswa maupun sosial, membuat sesi tanya jawab sedikit berbeda dibanding sebelumnya. Terdapat peserta yang berbagi pengalaman akan sebuah keanehan ketika mendampingi petani di wilayah Sumatera. Biasanya, para petani sangat tahan dengan kekerasan, namun lemah terhadap ekonomi. Ada banyak kasus dimana petani berhasil merebut lahannya meski diintimidasi. Namun setelah direbut, para petani tidak tahu akan berbuat apa terhadap lahan yang ada. Keterdesakan ekonomi lalu membuat surat kepemilikan lahan beralih pada bank. Bank kemudian menjual surat tanah tersebut pada pihak yang dulunya dikalahkan petani. Artinya, ketiadaan rencana pasca merebut lahan akan membuat kemenangan petani bersifat sementara.

Hal menarik terakhir adalah ketika Widodo menggugat akademisi, terutama mahasiswa, yang melakukan penelitian di pesisir. Menurut Widodo:

“… Aku kira, kalian yang meneliti di sini untuk apa..!? Pernah gak terpikir, setelah penelitian ini, yang dulu aku teliti itu nasibnya bagaimana ya..!? Pernah gak berkumpul, kemudian menyatakan: kami peneliti di Kulon Progo, menolak penambangan pasir besi..!? Coba, sekarang saya ingin mendengarnya.. Entah sudah berapa mahasiswa yang kami wisuda..”

Pertanyaan retoris Widodo mendinamisasi peserta diskusi. Atas jawaban yang diminta Widodo, peserta diskusi yang mayoritas akademisi coba menjelaskan arti penting mengangkat isu tambang di pesisir Kulon Progo menjadi sebuah kajian riset. Aktivitas penelitian memiliki corak gerakan yang berbeda dengan yang biasa dan diharapkan petani. Jika petani PPLP selama ini menggunakan aksi fisik, maka yang dilakukan akademisi adalah mencoba memahami kondisi intrinsik masyarakat untuk disebarkan ke berbagai pihak. Jika yang diharapkan oleh petani PPLP adalah tekanan langsung kepada pendukung penambangan, maka akademisi memiliki peran sebagai penyedia argumen guna menekan pihak yang dimaksud petani PPLP. Walau bagaimanapun, antara petani dan scholar activist memiliki satu kesamaan dan perbedaan. Keduanya sama-sama memiliki tujuan penyejahteraan rakyat, namun berbeda dalam hal jalan yang ditempuh.

Pada akhirnya, harus disadari bahwa perjuangan petani PPLP dalam membatalkan rencana penambangan pasir besi di pesisir Kabupaten Kulon Progo masih panjang dan semakin berat. Meski demikian, para aktivis gerakan maupun scholar activist memiliki energi besar yang bisa digunakan guna mendukung perjuangan tersebut.

Oleh: Yuli Isnadi