Air yang termasuk air suci dan mensucikan adalah

Air merupakan komponen utama dalam kehidupan, sekitar 60 % dari tubuh manusia tersusun dari air, dua pertiga dari bentuk bumi juga berupa lautan yang terdiri oleh air. Di samping itu air juga memiliki fungsi sebagai pemelihara kehidupan di Muka Bumi. Manusia, hewan, dan tumbuhan sangat memerlukan air untuk keberlangsungan hidup mereka. Firman Allah SWT :

“Dan dia (Allah) telah menurunkan air (hujan) dari lamgit, kemudian dia mengeluarkan (menghasilkan) dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untuk kalian semua. Maka janganlah kalian mengadakan sekutu-sekutu baginya, padahal kalian mengetahui”. (Al Baqarah: 22)

Dalam Islam sendiri air berperan penting sebagai syarat diterimanya ibadah salat, yaitu sebagai alat atau sarana untuk bersuci baik dari hadas maupun najis. Dengannya seorang muslim dapat beribadah secara sah karena telah memenuhi syarat sahnya salat yaitu suci.

Air memiliki berbagai macam jenis dan variasi. Syaikh Abi Suja’ dalam kitabnya yang berjudul Matan al-Ghayyah at-Taqrib mengklasifikasikan air menjadi 4 macam, yaitu : 

1.    Air Mutlak

Air Mutlak adalah air yang suci secara zatnya serta dapat digunakan untuk bersuci. Menurut Abi Suja’ ada 7 macam air yang masuk dalam kategori air mutlak. Beliau mengatakan:

المياه التي يجوز التطهير بها سبع مياه: ماء السماء، وماء البحر، وماء النهر، وماء البئر، وماء العين, وماء الثلج، وماء البرد

“Air yang dapat digunakan untuk bersuci ada tujuh macam yaitu air hujan, air laut, air sungai, air sumur, air sumber, air salju, dan air es.“

2.    Air Musyammas

Air Musyammas adalah air yang telah dipanaskan dibawah terik panas matahari dengan mengunakan wadah logam kecuali emas dan perak seperti besi dan baja.

Air ini suci secara materinya dan dapat digunakan untuk menghilangkan hadas dan najis  namun dihukumi makruh dalam penggunaannya pada tubuh seperti untuk wudu dan mandi, sedangkan untuk mencuci pakaian air ini dihukumi mubah.

3.    Air Musta’mal dan Mutaghayyar

Air pada klasifikasi ini dihukumi suci secara materinya namun tidak dapat digunakan untuk bersuci.

-  Air Musta’mal: Air yang sudah digunakan untuk menghilangkan hadas atau najis, tatkala tidak berubah sifatnya dan tidak bertambah ukurannya setelah terpisah dari tempat yang dibasuh. 
Contoh : Air bekas mandi atau wudu

-  Air Mutaghayyar : Air yang telah berubah salah satu sifatnya (baik warna, bau, atau rasa) karena telah tercampur oleh sesuatu yang suci dengan perubahan yang mencegah kemutlakan nama air tersebut. 
Contoh :  Air sumur yang telah tercampur kopi, maka kemutlakan nama air (sumur) telah berubah sebab telah bercampur dengan sesuatu lain yang suci (kopi) sehingga namanya berubah dari “air sumur menjadi air kopi”.

4.    Air Mutanajjis

Air Mutanajjis bukanlah air yang dihukumi najis secara zatnya sebagaimana air kencing atau air liur anjing. Air Mutanajjis adalah air awalnya suci namun telah berubah hukumnya menjadi najis karena tercampur dengan sesuatu yang najis seperti darah, kotoran cicak dan lain sebagainya.
Adapun keadaan air tersebut bisa dihukumi mutanajis adalah :

-  Ketika air tersebut telah mencapai 2 qullah (kurang lebih 270 liter) kemudian terkena najis maka air itu akan dihukumi mutanajjis tatkala telah berubah salah satu dari sifatnya baik bau, warna ataupun rasa.

- Namun jika air itu kurang dari 2 qullah, maka akan tetap dihukumi mutanajjis ketika terkena sesuatu yang najis meskipun salah satu dari sifatnya tidak berubah.  
Wallaho A’lam Bi-Shawab.

Muhamad Afzainizam, Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Dirasat Islamiyah dan Ketua pmii Komisariat FDI UIN Ciputat

Muhammad Afzainizam

Editor: Ari Hardi

Kali ini kita awali penjelasan air suci hingga air najis, diawali dengan mukadimah dari Al-Qadhi Abu Syuja’ dalam Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib (nama lainnya: Ghayah Al-Ikhtishar, Mukhtashar Abu Syuja).

Mukadimah

بسم الله الرحمن الرحيم

مقدمة

الحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ النَّبِيِّ وَآلِهِ الطَّاهِرِيْنَ وَصَحَابَتِهِ أَجْمَعِيْنَ.

قَالَ القَاضِي أَبُو شُجَاعٍ أَحْمَدُ بْنِ الحُسَيْنِ بْنِ أحْمَدَ الأَصْفَهَانِي رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى: سَأَلَنِي بَعْضُ الأَصْدِقَاءِ حَفِظَهُمُ اللهُ تَعَالَى أَنْ أَعْمَلَ مُخْتَصَراً فِي الفِقْهِ عَلَى مَذْهَبِ الإِمَامِ الشَّافِعِي رَحْمَةُ اللهِ عَلَيْهِ وَرِضْوَانُهُ فِي غَايَةِ الاِخْتِصَارِ وَ نِهَايَةِ الإِيْجَازِ لِيَقْرُبَ عَلَى المُتَعَلِّمِ دَرْسُهُ وَيَسْهُلَ عَلَى المبْتَدِئِ حِفْظُهُ وَأَنْ أُكْثِرَ فِيْهِ مِنَ التَّقْسِيْمَاتِ وَحَصْرِ الخِصَالِ فَأَجَبْتُهُ إِلَى ذَلِكَ طَالِباً لِلثَّوَابِ رَاغِباً إِلَى اللهِ تَعَالَى فِي التَّوْفِيْقِ لِلصَّوَابِ إِنَّهُ عَلَى مَا يَشَاءُ قَدِيْرٌ وَبِعِبَادِهِ لَطِيْفٌ خَبِيْرٌ.

Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam. Semoga Allah melimpahkan shalawat kepada junjungan kita, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta keluarga dan para sahabatnya. Al-Qadhi Abu Syuja’ Ahmad bin Al-Husain bin Ahmad Al-Ashfahany berkata:

Beberapa orang teman—semoga Allah menjaga mereka—memintaku untuk membuat sebuah kitab ringkas tentang fikih madzhab Syafii—semoga rahmat Allah dan keridaan Allah Ta’ala terlimpahkan kepadanya—yang benar-benar ringkas dan pendek sehingga mempermudah bagi pelajar dalam mempelajari dan menghafalnya. Mereka juga memintaku untuk memperbanyak pembagian-pembagiannya dan membatasi permasalahannya. Karenanya aku menyambutnya seraya mengharapkan pahala dan taufik Allah Ta’ala menuju kebenaran. Sesungguhnya Allah mampu melakukan apa yang diinginkan-Nya, Maha Lemah Lembut kepada para hamba-Nya dan Maha Mengetahui.

Kitab Thaharah

كِتَابُ الطَّهَارَةِ

أَنْوَاعُ الِميَاهِ:

المِيَاهُ الَّتِي يَجُوْزُ بِهَا التَّطْهِيْرُ سَبْعُ مِيَاهٍ:

مَاءُ السَّمَاءِ ،وَمَاءُ البَحْرِ ،وَمَاءُ النَّهْرِ ،وَمَاءُ البِئْرِ ،وَمَاءُ العَيْنِ ، وَمَاءُ الثَّلْجِ ،وَمَاءُ البَرَدِ ؛ ثُمَّ الِميَاهُ عَلَى أَرْبَعَةِ أَقْسَامٍ :

طَاهِرٌ مُطَهِّرٌ غَيْرُ مَكْرُوْهٍ وَهُوَ الماءُ المطْلَقُ

طَاهِرٌ مُطَهِّرٌ مَكْرُوْهٌ وَهُوَ الماءُ المشَمَّسُ ،

وَطَاهِرٌ غَيْرُ مُطَهِّرٍ ؛ وَهُوَ الماءُ المسْتَعْمَلُ ، والمتَغَيِّرُ بِمَا خَالَطَهُ مِنَ الطَّاهِرَاتِ ،

وَمَاءٌ نَجِسٌ وَهُوَ الَّذِي حَلَّتْ فِيْهِ نَجَاسَةٌ وَهُوَ دُوْنَ القُلَّتَيْنِ أَوْ كَانَ قُلَّتَيْنِ فَتَغَيَّرَ

. وَالقُلَّتَانِ خَمْسُمِائَةِ رِطْلٍ بَغْدَادِيِّ تَقْرِيْباً فِي الأَصَحِّ.

Kitab Thaharah (Bersuci)

Air yang boleh digunakan untuk bersuci ada tujuh yaitu:

  1. Air hujan
  2. Air laut
  3. Air sungai
  4. Air sumur
  5. Mata air
  6. Air salju
  7. Air embun

Kemudian, air itu dibagi menjadi empat:

Pertama: Air thohir muthohhir ghoiru makruh, air yang suci dan menyucikan serta tidak makruh untuk bersuci. Air ini disebut juga air muthlaq.

Kedua: Air thohir muthohhir makruh, air yang suci, tetapi makruh untuk menyucikan, yaitu air musyammas.

Ketiga: Air thohir ghoiru muthohhir, air yang suci, tetapi tidak menyucikan, yaitu: (a) air musta’mal, dan (b) air yang berubah karena bercampur dengan sesuatu yang suci.

Keempat: Air najis, yaitu air yang kemasukan najis dan air tersebut kurang dari dua qullah atau air tersebut sudah mencapai dua qullah lantas berubah.

Air dua qullah adalah air berukuran 500 rithl Baghdad berdasarkan pendapat paling benar.

Penjelasan

Ath-thaharah secara bahasa berarti an-nazhofah, yaitu bersih, suci.

Secara syari, thaharah berarti:

رَفْعُ حَدَثٍ أَوْ إِزَالَةِ نَجَسٍ أَوْ مَا فِي مَعْنَاهُمَا أَوْ عَلَى صُوْرَتِهِمَا

“Mengangkat hadats atau menghilangkan najis atau yang semakna dengannya atau dengan bentuk keduanya.”

Yang semakna dengannya: istijmar (istinja dengan batu), tayamum.

Dengan bentuk keduanya: mengulangi wudhu, mandi sunnah.

Wasail thaharah:

  1. Air
  2. Debu
  3. Dhabigh, penyamak kulit
  4. Batu istinja’

Maqashid thaharah:

  1. Wudhu
  2. Mandi
  3. Tayamum
  4. Izalatun najasah (menghilangkan najis)

Air yang boleh digunakan untuk bersuci

Air yang boleh digunakan untuk bersuci terhimpun dalam kalimat:

مَا نَزَلَ مِنَ السَّمَاءِ أَوْنَبَعَ مِنَ الأَرْضِ عَلَى أَيِّ صِفَةٍ كَانَ مِنْ أَصْلِ الخِلْقَةِ

“Segala air yang turun dari langit atau keluar dari dalam bumi dengan bentuk apa pun dalam bentuk yang masih asli.” Inilah yang disebut air mutlak dalam bahasan selanjutnya.

Macam-macam air

Kita lihat macam-macam air yang dibagi dalam matan Taqrib.

Pertama adalah:

طَاهِرٌ مُطَهِّرٌ غَيْرُ مَكْرُوْهٍ وَهُوَ الماءُ المطْلَقُ

Air yang suci untuk dirinya sendiri dan menyucikan yang lain, air ini tidak makruh untuk digunakan. Itulah yang disebut dengan air mutlak. Air ini kita sebut dengan air, tanpa ada embel-embel tambahan. Air sumur masih tetap kita sebut dengan air, maka tidaklah masalah tambahan penyebutan air sumur.

Syaikh Dr. Labib Najib mengungkapkan air mutlak dengan kalimat:

مَا يُسَمَّى مَاءً بِلاَ قَيْدٍ لَازِمٍ عِنْدَ العَالِمِ بِحَالِهِ مِنْ أَهْلِ العُرْفِ وَاللِّسَانِ

Air tanpa qaid (tanpa embel-embel) menurut seorang alim dari ahli ‘urf dan lisan yang mengetahui keadaannya.

Kedua adalah:

طَاهِرٌ مُطَهِّرٌ مَكْرُوْهٌ وَهُوَ الماءُ المشَمَّسُ ،

Air yang suci untuk dirinya sendiri, tetapi makruh untuk menyucikan yang lain. Itulah air musyammas. Air ini makruh digunakan pada badan, bukan pada pakaian.

Air musyammas adalah air yang terpapar matahari, yakni air panas akibat pengaruh sinar matahari. Penggunaan air ini dimakruhkan secara syariat hanya di wilayah panas dalam wadah yang tertutup, kecuali bejana dari naqdain (emas dan perak) mengingat jernihnya inti dua logam mulia ini. Apabila air tersebut dingin, pemakaiannya hilang kemakruhannya.

  • Catatan:
    Imam Nawawi rahimahullah memilih pendapat tidak dimakruhkan (menggunakannya) secara mutlak.
  • Penggunaan air yang sangat panas dan sangat dingin tetap dimakruhkan.

Dalam Asna Al-Mathalib Mamzujan bi Raudh Ath-Thalib dalam Fikih Syafii disebutkan bahwa:

(ويكره) تنزيها (شديد حرارة و) شديد (برودة) لمنع كل منها الإسباغ. نعم إن فقد غيره وضاق الوقت وجب استعماله أو خاف منه ضرراً حرم، وهو واضح. انتهى

Dimakruhkan (makruh tanzih) menggunakan air yang sangat panas atau sangat dingin karena keduanya mengakibatkan berwudhu tidak bisa sempurna. Jika tidak ada air selain keduanya dan waktu sangat sempit, maka wajib menggunakannya. Akan tetapi, jika khawatir ada mudarat, haram digunakan. Ini jelas sekali.

Fatwa Islamweb

https://www.islamweb.net/ar/fatwa/70531/

Ketiga adalah :

وَطَاهِرٌ غَيْرُ مُطَهِّرٍ ؛ وَهُوَ الماءُ المسْتَعْمَلُ ، والمتَغَيِّرُ بِمَا خَالَطَهُ مِنَ الطَّاهِرَاتِ ،

Air thohir ghoiru muthohhir, air yang suci, tetapi tidak menyucikan, yaitu: (a) air musta’mal, dan (b) air yang berubah karena bercampur dengan sesuatu yang suci.

Air mustakmal

Penjelasan air mustakmal dari Al-Mukhtashar Al-Lathif (Al-Mukhtashar Ash-Shaghir li Al-Muqaddimah Al-Hadramiyyah).

وَلاَ تَصِحُّ الطَّهَارَةُ بِمَا تُطُهِّرَ بِهِ مِنْ حَدَثٍ وَنَجَسٍ.

Tidak sah bersuci menggunakan air yang sudah dipakai untuk bersuci dari hadats dan najis.

Catatan:

Air mustakmal adalah:

مَا اسْتُعْمِلَ فِي فَرْضِ طَهَارَةٍ وَكَانَ قَلِيْلاً

air yang digunakan untuk bersuci yang wajib dan airnya termasuk air qalil (kurang dari dua qullah).

Air mustakmal ada dua macam:

  1. Air yang digunakan untuk menyucikan hadats.
  2. Air yang digunakan untuk menghilangkan najis dan terpisah tanpa berubah setelah menyucikan tempat najis. Namun, jika berubah setelah membersihkan najis, maka air tersebut najis secara ijmak.

Lihat Tashil Al-Intifa’ bi Matn Abi Syuja’ wa Syai’ mimma Ta’allaqa bihi min Dalilin wa Ijma’ min Ath-Thaharah ila Al-Hajj, karya Syaikh ‘Abdullah bin Muhammad bin Husain Al-Qadiri, hlm. 18-19.

Syarat air mustakmal:

  1. Bekas bersuci yang wajib.
  2. Airnya termasuk qalil (kurang dari dua qullah).

Dalam Hasyiyah Al-Baijuri (1:183) disebutkan tambahan syarat air mustakmal:

3. Tidak terpisah dari anggota tubuh. Hal ini berbeda dengan sebelum terpisah, maka tidak termasuk mustakmal. Karena selama air masih berputar di anggota tubuh (belum terpisah), tidak disebut air mustakmal.

Baca juga: Air Mustakmal dan Air Dua Qullah Menurut Ulama Syafiiyah

Imam Nawawi mengatakan bahwa air mustakmal tidak lagi disebut air mutlak.

Air kecampuran benda suci

Penjelasan air yang kecampuran benda suci dari Al-Mukhtashar Al-Lathif (Al-Mukhtashar Ash-Shaghir li Al-Muqaddimah Al-Hadramiyyah) karya Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman Bafadhal.

فَإِذَا تَغَيَّر طَعْمُ الماءِ أَوْ لَوْنُهُ أَوْ رِيْحُهُ تَغَيُّراً فَاحِشاً بِمُخَالَطَةِ شَيْءٍ طَاهِرٍ يَسْتَغْنِي الماَءُ عَنْهُ كَالزَّعْفَرَان وَالأُشْنَانِ والجِصِّ والنُّورَةِ والكُحْلِ لَمْ تَجُزِ الطَّهَارَةُ بِهِ.

وَلاَ يَضُرُّ التَّغَيُّرُ بِالمُكْثِ وَالتُّرَابِ وَالطُّحْلُبِ وَمَا فِي مَقَرِّهِ وَمَمَرِّهِ.
وَلاَ يَضُرُّ التَّغَيُّرُ بِالمجَاوَرَةِ، كَالعُوْدِ والدُّهْنِ المُطَيَّبِ.

Bila air telah berubah rasanya, warnanya, atau baunya, dengan perubahan yang banyak karena tercampur dengan benda suci yang mana air tidak biasa bersinggungan dengannya, seperti minyak za’faran, potas, batu kapur, kapur, atau celak, maka air tersebut tidak boleh dipakai untuk bersuci (sudah berubah menjadi air THOHIR, suci untuk dirinya saja, tidak menyucikan lainnya)

Adapun jika air berubah karena didiamkan dalam waktu lama, bercampur lumpur, lumut, atau benda-benda yang biasa ada di tempat berdiamnya air dan tempat mengalirnya, maka air tersebut boleh digunakan bersuci (masih THOHUR, suci dan menyucikan).

Juga boleh digunakan bersuci (masih THOHUR, suci dan menyucikan) bila air berubah sifatnya karena bersinggungan dengan benda suci yang tidak larut dalam air, seperti kayu gaharu dan minyak wangi (yang tidak larut dalam air).

Air itu ada yang bercampur dengan:

  • Mukholith = larut dalam air, tidak bisa dipisah.
  • Mujaawir = tidak larut dalam air, bisa dipisah.

Bahasan air menjadi THOHIR (suci saja secara zatnya) diringkas dengan kalimat:

مَاءٌ خَالَطَهُ شَيْءٌ مِنَ الطَّاهِرَاتِ فَغَيَّرَ أَحَدَ أَوْصَافِهِ تَغَيُّرًا كَثِيْرًا

“Air yang bercampur dengan sesuatu yang suci lantas berubah salah satu sifatnya dengan perubahan yang banyak.”

Air yang tetap dalam keadaan THOHUR adalah:

  1. Air yang diam dalam waktu yang lama.
  2. Air yang berdiam di tempat berdiamnya atau tempat mengalirnya.
  3. Air yang bercampur dengan sesuatu yang sulit dihindari seperti daun dan lumut.
  4. Air yang berubah sedikit dengan mukholith, yang tidak mungkin dipisah.
  5. Air yang berubah dengan mujaawir, sesuatu yang mungkin dipisah seperti dengan kayu.
  6. Air yang berubah dengan tanah atau sesuatu yang asin.

(Tahqiq Ar-Raghbaat bi At-Taqsiimaat wa At-Tasyjiiroot li Tholabah Al-Fiqh Asy-Syafii, Syaikh Dr. Labib Najib, hlm. 9)

Keempat adalah:

وَمَاءٌ نَجِسٌ وَهُوَ الَّذِي حَلَّتْ فِيْهِ نَجَاسَةٌ وَهُوَ دُوْنَ القُلَّتَيْنِ أَوْ كَانَ قُلَّتَيْنِ فَتَغَيَّر

Air najis, yaitu air yang kemasukan najis dan air tersebut kurang dari dua qullah atau air tersebut sudah mencapai dua qullah lantas berubah.

Untuk memahami air dua qullah, kita lihat pembagian air dari Matan Safinah An-Naja.

المَاءُ قَلِيْلٌ وَكَثِيْرٌ.

فَالْقَلِيْلُ: مَا دُوْنَ الْقُلَّتَيْنِ.

وَالْكَثِيْرُ: قُلَّتَانِ فَأكْثَرُ.

وَالقَلِيْلُ: يَتَنَجَّسُ بِوُقُوْعِ النَّجَاسَةِ فِيْهِ، وَإِن لَمْ  يَتَغَيَّرْ.

وَالْمَاءُ الْكَثِيْرُ: لاَ يَتَنَجَّسُ إِلاَّ إذا تَغَيَّرَ طَعْمُهُ، أَوْ لَوْنُهُ، أوْ رِيْحُهُ.

Air sedikit dan banyak. Air sedikit itu jika kurang dari dua kulah dan air banyak jika lebih dari dua kulah. Air sedikit menjadi najis dengan jatuhnya benda najis ke dalamnya meskipun tidak berubah. Sementara air banyak tidak menjadi najis dengan jatuhnya benda najis ke dalamnya kecuali jika berubah rasanya, warnanya, atau aromanya.

Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,

إِذَا بَلَغَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يُنَجِّسْهُ شَىْءٌ

“Jika air telah mencapai dua qullah, tidak ada sesuatu pun yang menajiskannya.” (HR. Ibnu Majah, no. 424. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih).

Faedah:

  • Air itu ada dua macam, yaitu air qolil (sedikit) dan air katsir (banyak). Patokannya adalah air dua qullah.
  • Ukuran dua qullah itu air seukuran kurang lebih 500 rithl Baghdadiyyah, mendekati 200 Liter (1 m x 1 m x 20 cm).
  • Satu rithl Baghdad adalah 128 dirham ditambah 4/7 dirham sebagaimana pendapat dari Imam Nawawi.
  • Air sedikit adalah air yang kurang dari dua qullah.
  • Air banyak adalah air yang telah mencapai dua qullah atau lebih dari itu.

Hukum fikih

  • Air sedikit menjadi najis dengan sekadar mulaaqoh (bertemu) najis, walau air tersebut tidak berubah.
  • Air banyak menjadi najis hanyalah jika terjadi perubahan rasa, warna, atau bau karena kemasukan najis.

Air yang tidak dihukumi najis adalah:

  • Air kemasukan bangkai binatang yang darahnya tidak mengalir ketika dibunuh atau salah satu organnya terputus, seperti lalat yang tidak sengaja dimasukkan ke dalamnya, dan tidak mengubah (salah satu dari tiga sifatnya)nya.
  • Najis yang tidak terlihat oleh mata.

Referensi:

  • Fath Al-Qarib Al-Mujib. Al-‘Allamah Asy-Syaikh Muhammad bin Qasim Al-Ghazi. Penerbit Thaha Semarang.
  • Hasyiyah Al-Baijuri ‘ala Syarh Al-‘Allamah Ibnu Qasim Al-Ghazzi ‘ala Matn Abi Syuja’. Cetakan kedua, Tahun 1441 H. Ibrahim bin Muhammad bin Ahmad Al-Bajuri. Penerbit Dar Al-Minhaj.
  • Mukhtashar Abu Syuja’. Cetakan pertama, Tahun 1428 H. Al-Imam Al-‘Aalim Al-‘Aalamah Ahmad bin Al-Husain Al-Ashfahani Asy-Syafi’i (433-593 H). Penerbit Dar Al-Minhaj.
  • Tahqiq Ar-Raghbaat bi At-Taqsiimaat wa At-Tasyjiiroot li Tholabah Al-Fiqh Asy-Syafii. Syaikh Dr. Labib Najib ‘Abdullah Ghalib.
  • Tashil Al-Intifa’ bi Matn Abi Syuja’ wa Syai’ mimma Ta’allaqa bihi min Dalilin wa Ijma’ min Ath-Thaharah ila Al-Hajj. Syaikh ‘Abdullah bin Muhammad bin Husain Al-Qadiri. www.alukah.net.

Kamis sore, 19 Rabiul Akhir 1443 H, 25 November 2021

@ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul

Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com