Ahli yang berpendapat bahwa hubungan perdagangan Indonesia dengan India terjalin lebih dahulu

Bahasa Nusantara Purba (3)

12 Januari 2010 04:02 |
Diperbarui: 26 Juni 2015 18:30

Ahli yang berpendapat bahwa hubungan perdagangan Indonesia dengan India terjalin lebih dahulu

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Ahli yang berpendapat bahwa hubungan perdagangan Indonesia dengan India terjalin lebih dahulu
Ahli yang berpendapat bahwa hubungan perdagangan Indonesia dengan India terjalin lebih dahulu

Ketika orang membicarakan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan Nusantara, apakah itu politik, ideology, budaya, social ekonomi maupun pertahanan dan keamanan, maka tidak bisa melepaskan diri dari alur sejarah yang ada di bumi Nusantara ini. Menurut para ahli arkeologis, bahwa sejak jaman prasejarah penduduk Nusantara ini adalah pelayar yang sanggup mengarungi lautan lepas, hal ini sehubungan bahwa kepulauan Nusantara adalah tergolongan Negara perairan. Meski demikian lautan bukanlah sebagai penghalang untuk menjalin komunikasi dengan penduduk dipedalaman pulau, sehingga perjalanan air merupakan komoditas transportasi yang utama. Hampir seluruh sejarah kehidupan di bumi Nusantara ini berawal dari laut ke laut, oleh sebab itu kebudayaan dipesisir cenderung lebih maju daripada yang ada dipedalaman. Interaksi social dengan antar etnis, budaya, bahasa, agama banyak didominasi oleh penduduk pesisir.
Dalam penelitian prasejarah, benda-benda peninggalan yang mengandung ciri yang menunjukkan hubungan interinsulair antara kepulauan Nusantara dan Asia tenggara, adalah berupa artefak yang berbentuk Nekara dari perunggu, dan ini dipandang sebagai sasaran penting dalam penelitian purbakala yang dilakukan oleh para ahli arkeologi. Yang sangat terkenal dalam hal ini adalah Dr. F. Heger, dalam klasifikasinya bahwa nekara dibedakan dari tipe local dan tipe Asia Tenggara.

Meskipun ada anggapan bahwa nekara ini dibuat di Nusantara karena memang terbukti adanya peninggalan berupa cetakan cetakan pengecoran logam pada jaman prasejarah, tetapi mungkin juga bahwa Nekara itu memang dibuat dan dibawa dari daratan Asia Tenggara, seperti Nekara di Sangeang (Poesponegoro, et al., 1984 ; 3). Dalam hal Nusantara itu diketemukan oleh orang-orang dari daratan Asia Tenggara khususnya para pedagang dari India, beberapa ahli berpendapat bahwa Kepulauan Nusantara telah berkembang kehidupan masyarakatnya, sehingga memungkin orang-orang yang bermigrasi itu, akan memperoleh manfaat yang besar dalam menjalin hubungan tersebut, JC. Van Leur dan O.W. Wolters berpendapat bahwa hubungan antara India dan Indonesia lebih dahulu jika dibandingkan dengan hubungan Indonesia Cina.
Walau demikian, meski dikatakan bahwa hubungan India dengan Indonesia itu dianggap lebih awal, namun terdapat kesulitan untuk menentukan ketepatan waktunya. Hal ini mengingat bahwa sumber-sumber informasi yang dapat memberikan kejelasan secara tertulis yang berasal dari Nusantara, menurut penelitian para ahli ternyata tidak ada. Sedangkan tulisan yang umum digunakan di Nusantara ini justru berasal dari tulisan (aksara) India. Namun demikian sumber-sumber di India tidak pernah membuat catatan- catatan resmi mengenai suatu kejadian penting dalam suatu kurun waktu tertentu. Sumber yang dapat digunakan sebagai acuan dari India hanyalah sastra, yang tentu tidak bertujuan untuk memberikan fakta-fakta tentang keadaan awal terjadinya hubungan bilateral antara India dan Indonesia. Para peneliti menyebut adanya kitab Jataka, yang memuat kisah sang Budha dan didalamnya menyebut tentang suvarnnabhumi sebagai sebuah negeri yang untuk mencapainya, memerlukan perjalanan penuh bahaya.
Tetapi Suvarnabhumi tidak identik dengan Nusantara, karena S. Levi dalam Ptolemee le Nidessa et la Brhakatha, menjelaskan bahwa yang dimaksud adalah sebuah negeri di sebelah timur teluk Benggala. Kecuali itu ada kitab lain yaitu Ramayana, dalam kitab tersebut menyebut nama Yawadwipa, yang dihiasi oleh tujuh Kerajaan. Pulau ini adalah pulau emas perak. Juga menyebut nama Suwarnadwipa, yang kemudian dijadikan nama pulau Sumatera, salah satu sastra India yang oleh para ahli dianggap dapat dipercaya adalah kitab Mahaniddesa, Levi berpendapat bahwa keterangan geografis mengenai beberapa tempat di timur jauh yag terdapat didalamnya mencerminkan perbendharaan pengetahuan di India mengenai tempat-tempat itu pada abad III Masehi. Dalam usahanya untuk mengetahui awal hubungan India dengan daerah-daerah disebelah timurnya, para peneliti telah mengkaji sumber-sumber barat jaman kuna (Levi, 1925 ; 29).
Sebuah kitab yang dijadikan sumber adalah Periplous tès Erythras thalassès. Periplous adalah kitab pedoman untuk berlayar di lautan (Erythrasa) yaitu Samudera Hindia. Diperkirakan kitab itu ditulis pada awal tarikh Masehi (Wheatley, 1961: 129). Dari beberapa sumber yang berusaha untuk menemukan hubungan awal India dengan Nusantara baik sumber dari India maupun sumber Barat, belum dapat mengungkapkan sepenuhnya awal hubungan India-Nusantara. Tetapi dapat diambil kesimpulan di sekitar abad II Masehi, dan hubungan itu relative sudah intensif.
Ketika dimunculkan pertanyaan; apa alasan dagang orang India ke Nusantara ? oleh Coedès memberikan penjelasannya, bahwa pada awal tarikh Masehi India mengalami defisit yang luar biasa, mereka kehilangan sumber emas yang utama yang didatangkan dari Siberia melalui Baktria (Yunani). Tetapi ada berbagai gerakan yang memutuskan jalur perdagangan tersebut. Sebagai gantinya India mengimpor mata uang emas dalam jumlah besar dari Romawi. Usaha inipun kemudian dihentikan oleh kaisar Romawi Vespasianus (69-79 M) karena, mengalirnya mata uang emas yang dalam jumlah besar keluar negeri akan membahayakan ekonomi Negara. Kemungkinan dengan alasan inilah India melakukan terobosan kearah timur yang telah dikenal sejak dahoeloe sebagai penghasil emas dan perak. Jika benar teori Coedès maka hal itu akan menegaskan bahwa tentang alasan India ke Nusantara hanyalah semata-mata soal perdagangan saja, bukan alasan politik sebagaimana yang diajukan oleh para peneliti abad XX (Coedes, 1968 ; 20).
Perdagangan Asia Tenggara dengan India adalah perdagangan Internasional dalam pasaran internasional pula, sehingga misi perdagangan ke Nusantara pada saat itu tentu bukan sekedar perdagangan kecil-kecilan.
Van Leur menyebut perdagangan yang dilakukan oleh orang-orang India itu misalnya; logam mulia, jenis tenunan dan rempah-rempah, juga kayu gaharu dan cendana. Kehadiran orang India di Asia Tenggara cukup mempunyai pengaruh yang besar dalam dunia perdagangan di Nusantara. Sedangkan unsur-unsur budaya India yang dapat mempengaruhi dalam budaya Indonesia, peranan ini lebih dilakukan oleh para Brahmana. Yang kedatangannya atas undangan dari para penguasa Indonesia (Poesponegoro, et al., 1984; 24).
1.2.2. Berkembangnya pengaruh budaya India di Nusantara
Hubungan dagang antara India dan Indonesia itu telah berimbas pada masuknya pengaruh budaya India ke dalam budaya Nusantara. Tentang bagaimana sesungguhnya proses itu berlangsung, para ahli membagi dua hal pokok, yaitu ;
1) Bertolak dari anggapan bahwa bangsa Indonesia berlaku pasif dalam proses tersebut
2) memberikan peranan aktif kepada bangsa Indonesia.
Pendapat pertama menganggap telah terjadi kolonisasi oleh orang-orang India. Koloni koloni orang India ini menjadi pusat penyebaran budaya India. Pendapat lain mengatakan bahwa dalam kolonisasi tersebut terjadi pula penaklukan, sehingga muncullah gambaran bahwa orang-orang India sebagai golongan yang menguasai Nusantara. Gambaran itu menganggap bahwa proses masuknya budaya India dipegang oleh golongan Prajurit atau kasta Ksatria. Dalam hal ini Bosch menyebut sebagai hipotesa ksatria.
N.J. Krom berpendapat bahwa golongan ksatria tidak sebesar golongan pedagang yang datang ke Indonesia, dan kemudian menetap di Nusantara dan memegang peranan dalam penyebaran pengaruh budaya melalui hubungan mereka dengan penguasa-penguasa di kepulauan Nusantara. Kemungkinan pula terjadi perkawinan dengan wanita Nusantara (Poerbatjaraka, 1952 ;viii), perkawinan ini menjadi pengaruh penting dalam penyebaran budaya. Karena pedagang adalah termasuk kasta vaisya, maka Bosch menyebutnya sebagai hipotesa Vaisya.
Hipotesa Krom berkesimpulan bahwa peranan budaya Indonesia dalam proses pembentukan budaya Indonesia-Hindhu sangat penting. Hal itu tidak mungkin dapat terjadi jika bangsa Indonesia hidup dibawah tekanan seperti yang digambarkan dalam hipotesa ksatria. Kedua pendapat Bosch maupun Krom kemudian dibantah oleh Van Leur, bahwa; sebuah kolonisasi melibatkan sebuah kemenangan dalam penaklukan oleh golongan ksatria. Catatan kemenangan atas penaklukan di Nusantara tidak pernah ada dalam catatan resmi di India. Demikian pula di Indonesia tidak didapati prasasti atau tanda peringatan apapun. Kecuali hal itu, setiap kolonisasi selalu diikuti dengan pemindahan segala unsur masyarakat dari tanah asal seperti; sistem kasta, seni, kerajinan, bentuk rumah, istiadat dsbnya. Pada kenyataanya bahwa di Nusantara tak pernah ada budaya yang sama dengan di India. Kalaupun dianggap bahwa orang-orang India menetap di Nusantara tidak terjadi penyebaran secara perseorangan, mereka selalu menempati suatu kawasan tertentu, seperti halnya perkampuan Cina, perkampungan Arab, perkampungan India. Di beberapa tempat di Indonesia masih dijumpai adanya perkampungan Keling, yaitu suatu tempat dimana pada masa itu orang India bertempat tinggal.
Kedudukan mereka seperti layaknya rakyat biasa , mereka hanya melakukan kegiatan perdagangan saja. Pengaruh budaya yang dibawa oleh para pedagang ini oleh Van Leur dianggap tidak memiliki peranan yang dominan dalam mempengaruhi penguasa di Nusantara. Tetapi ia menambahkan bahwa peranan penyebaran budaya India dilakukan oleh tingkat Brahmana, dan mereka datang atas undangan para penguasa di Indonesia pada saat itu. Bukti arkeologis menunjukan bahwa pada abad V Masehi di Asia Tenggara maupun di semenanjung Melayu dari Indonesia bagian barat telah terdapat pusat-pusat kekuasaan Politik dengan taraf peng-India-an yang sama..