Abu bakar mendapat gelar as siddiq atas sikapnya dalam peristiwa

Selasa, 01 Maret 2022 - 10:31 WIB

Ilustrasi. Foto: Langit7.id/iStock.

Peristiwa Isra Mi’raj merupakan momen Abu Bakar radiallahu anhu mendapat gelar As-Shiddiq. Sahabat pemilik nama asli Abdullah bin Abu Quhafah itu meyakini Rasulullah mengalami Isra Mi’raj dengan ruh dan jasadnya.Dilansir Quran Kementerian Agama dalam menafsirkan Surat Al-Isra’ ayat pertama diterangkan bahwa fenomena Isra Mi’raj mengguncang kalangan Quraisy dan keimanan masyarakat muslim. Banyaknya orang muslim yang murtad kembali karena peristiwa Isra' menunjukkan bahwa peristiwa itu bukanlah hal yang biasa. Ummu Hani (Fakhitah binti Abi Thalib) sempat melarang Rasulullah menceritakan kepada siapa pun tentang pengalaman-pengalaman yang dialami ketika Isra'. Ummu Hani tidak tega melihat Rasulullah dicap sebagai pendusta.

Baca Juga:Sekjen MUI: Peringatan Isra Miraj Memperkuat Iman dan Takwa

Larangan Ummu Hani itu menjadi dasar pendapat para mufasir bahwa Isra' itu dilakukan Nabi dengan roh dan jasadnya. Peristiwa ini yang menyebabkan Abu Bakar diberi gelar as-shiddiq karena dia membenarkan Nabi, dengan cepat dan tanpa ragu, ber-Isra' dengan ruh dan jasadnya, sedangkan orang-orang lain berat menerimanya.Firman Allah yang menggunakan bi'abdihi menunjukkan bahwa Nabi Isra' dengan ruh dan jasad karena kata seorang hamba mengacu pada kesatuan jasad dan ruh. Perkataan Ibnu 'Abbas bahwa orang-orang Arab menggunakan kata ru'ya dalam arti penglihatan mata, maka kata ru'ya yang tersebut dalam firman Allah berikut ini mesti dipahami sebagai penglihatan dengan mata.

Baca Juga:Jokowi Ucapkan Selamat Memperingati Isra Miraj 1443 H

Maha suci Dia (Allah) yang memperjalankan hamba-Nya (Muhammad) di suatu malam, dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang Kami berkati sekelilingnya, agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda kebesaran Kami. Sesungguhnya Dia (Allah) Maha mendengar dan Maha melihat (QS al-Isra'/17: 1)

Informasi terpenting peristiwa yang dialami oleh Nabi Muhammad adalah perjalanan malam atau Isra’ Beliau, serta titik tolak Beliau melakukan Mi’raj, menuju Sidratil-Muntaha, menghadap Allah SWT, Tuhan Seru Semesta Alam. Ketika di Masjidil Aqsha menjadi imam shalat bagi seluruh Nabi dan Rasul Allah. Hal ini melambangkan kontinuitas agama Allah yang dibawa oleh para Rasul, dan agama itu berkembang sejak dari bentuk yang dibawa oleh Nabi Adam ‘alaihissalam menuju bentuknya yang terakhir dan sempurna, yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shalla-llahu 'alaihi wa sallam. Karena itu Nabi Muhammad SAW menjadi imam para Nabi dan Rasul, menegaskan bahwa Beliau penutup para Nabi dan Rasul, mewakili puncak perkembangan agama Allah, yaitu Islam.

Tentang bagaimana dapat terjadi bagi Nabi Muhammad melakukan Isra' dan Mi'raj, adalah termasuk ranah apa pun yang dikehendaki Allah (masyi'atullah) tentu akan terjadi. Sekarang dengan penglihatan potensi keilmuan modern, kaum beriman dapat dibantu teori kenisbian waktu, yaitu manusia mengalami ke masa lalu dan masa mendatang. Hal ini sudah dituangkan dalam tulisan-tulisan science fiction seperti konsep "lorong waktu" (time tunnel) maka mungkin saja Nabi Muhammad dalam Isra'-Mi'raj-nya, dengan kehendak Allah Beliau terbebas dari belenggu dimensi ruang-waktu sehingga Allah mengizinkan perjalanan dalam "lorong waktu". Akibatnya Beliau dapat melihat dan mengalami hal-hal di masa lalu dan masa mendatang sekaligus. Allah 'Azza wa Jalla sendiri pun tidak terikat ruang-waktu, bahkan ruang dan waktu tidak lain adalah ciptaan Allah semata.

Terlepas ada bantuan potensi keilmuan teori modern atau tidak, justru yang diutamakan perlu adalah kesadaran untuk percaya, atau iman. Orang pertama yang mempercayai Nabi Muhammad melakukan Isra' dan Mi'raj adalah Abu Bakar. Kesadaran beriman pada diri Abu Bakar telah mencapai maksimal, sebagaimana dapat diamati dalam sikapnya terhadap peristiwa Nabi tersebut. Setiap kali Nabi Muhammad SAW menyampaikan berita tentang Isra'-Mi'raj, Abu Bakar merespon dengan ucapan shadaqta (Anda benar --wahai Rasul). Oleh karena itu, tingginya penghayatan kesadaran iman (kepercayaan) Abu Bakar ini diabadikan dengan gelar Ash-Shiddiq  yang diberikan oleh Nabi Muhammad Rasul Allah. Itulah kesadaran iman Sahabat Nabi, Abdullah bin Abu Quhafah atau yang lebih dikenal dengan Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq pada peristiwa Isra'-Mi'raj Rasul Allah patut diteladani. Jika kita meneladani Sahabat Nabi tentu akan mendapat petunjuk (hidayah) dari Allah. Aamiin

Allahu A'lamu bish-shawab

Dr. H. Sa'dullah Assa'idi, M.Ag.

Rektor Unisnu Jepara

Artikel Zakiah(Tenaga Artikel) 14 Desember 2020 10:14:17 WIB

         Pasca wafatnya Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam, estafet kepemimpinan Islam diserahkan kepada Abu Bakar As-Shiddiq AS, meski melalui perdebatan yang cukup alot. Abu Bakar adalah sahabat terdekat Rasulullah SAW yang sangat setia hingga ia diberi gelar As-Shiddiq yang bermakna membenarkan.

Bagaimana kisahnya?

Awalnya, Abu Bakar bernama Abdullah bin Usman. Ada pula yang memanggilnya Atiq karena ketampanan wajahnya. Abu Bakar merupakan orang terdekat Rasulullah yang selalu mempercayai segala perkataan utusan Allah tersebut. Tanpa pikir panjang, Abu Bakar menyatakan diri masuk Islam setelah mendengar dakwah Nabi Muhammad Saw.

Puncaknya, ketika Rasulullah Saw menceritakan perjalanan luar biasa Isra Mi'raj pada para sahabat. Saat itu, Abu Bakar langsung memercayainya. Kisah Nabi tentang menceritakan perjalanannya ke Baitul Maqdis ke Sidratul Muntaha itu sontak mendapat cemo'ohan dari orang-orang di sekitarnya, salah satunya Abu Jahal.

Perjalanan secepat kilat itu memang sulit diterima akal, bahkan banyak sahabat Nabi saw yang hampir goyah keimanannya. Tidak masuk akalnya perjalanan Nabi saw tersebut karena pada saat itu kendaraan yang ada hanya berupa unta atau kuda. 

Maka secara nalar, tidak mungkin Nabi saw dapat menempuh perjalanan ribuan kilometer hanya dalam waktu satu malam.

Abu Jahal kala itu mempengaruhi kaum Quraisy untuk mengolok-olok pengakuan Nabi Muhammad saw. Hingga akhirnya datanglah Abu Bakar di tengah kerumunan orang-orang tersebut. Abu Jahal kemudian berkata kepada Abu Bakar, "Wahai Abu Bakar, bagaimana pendapatmu tentang cerita sahabatmu ini (Rasulullah) bahwa ia semalam telah pergi ke Baitul Maqdis sementara pagi ini ia telah berada di Makkah?”

Abu Bakar menjawab, "Benarkah itu? Jika benar yang dikatakan Rasulullah itu, maka sungguh ia memang benar dan tidak akan pernah berdusta.”

Sahabat Rasulullah itu pun menambahkan alasannya, "Aku membenarkan perkataan beliau dan aku membenarkannya meski lebih jauh daripada itu. Aku akan membenarkan berita apapun dari langit, baik di waktu pagi maupun sore yang datang darinya.”

Atas sikap Abu Bakar itulah Rasulullah Saw kemudian berkata, “Wahai sahabatku, engkau adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq.”

Dari kejadian itulah Abu Bakar kemudian menyandang gelar As-Shidiq yang berarti membenarkan karena ketika orang lain tidak percaya perkataan Rasulullah, dialah yang  paling awal mengakuinya.

Selain itu, Abu Bakar Ash-Shiddiq juga memiliki kecintaan, ketulusan, kesetian, dan kesungguhan terhadap apa yang 

disampaikan Rasulullah Saw. Sebuah sikap yang terkadang harus menggunakan mata hati untuk memahaminya.

Berkat keunggulan Abu Bakar Ash-Shiddiq itu pula ada salah seorang ulama yang mengatakan, "Abu Bakar tidak mengungguli manusia dengan banyaknya shalat dan puasa, akan tetapi dengan sesuatu yang tertanam dalam dadanya." (Riwayat Hakim dan Tirmidzi).

         Demikianlah, akhirnya Abu Bakar  Ash-Shiddiq diangkat menjadi Khalifah pertama setelah wafatnya Nabi Muhammad Shalallahu 'Alaihi Wassallam. Setelah Abu Bakar Ash-Shiddiq terpilih menjadi khalifah, ia naik ke atas mimbar dan menyampaikan pidato pengukuhan. "Kini sungguh aku benar-benar ditempatkan dalam otoritas ini, meski aku enggan untuk 

menerimanya. Demi Allah, sungguh aku akan merasa bahagia seandainya salah seorang di antara kalian ada yang bersedia menggantikan kedudukanku ini. Aku hanyalah makhluk yang mengenal salah dan alpa, bila kalian melihatku berada di jalan yang benar, maka taatilah aku! Namun bila kalian melihatku menyimpang dari kebenaran, maka luruskanlah aku!" .

"Ketahuilah wahai rakyatku! Bahwa ketakwaan adalah kebajikan yang paling kuat. Dan kejahatan yang paling keji adalah yang berlawanan dengan ketakwaan itu sendiri. Sungguh, orang yang paling kuat di antara kalian adalah orang yang paling lemah di hadapanku, karena aku akan menuntut apa yang sudah menjadi kewajibannya. Dan orang yang paling lemah di antara kalian adalah orang yang kuat di hadapanku, karena aku akan memberinya apa yang menjadi hak mereka. 

Kiranya, inilah yang dapat aku sampaikan kali ini. Semoga Allah memberikan rahmat-Nya padaku dan kalian semua.

Sumber : Sirah Sahabat Rasulullah SAW.

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA