Yang mengkat dan berhentikan menteri yaitu disebut juga hak

1.

Pegawai Negeri Sipil Pusat adalah Pegawai Negeri Sipil yang gajinya dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan bekerja pada Departemen, Kejaksaan Agung, Kesekretariatan Lembaga Kepresidenan, Kantor Menteri Negara Koordinator, Kantor Menteri Negara, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Lembaga Pemerintah Non Departemen, Kesekretariatan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara, Badan Narkotika Nasional, Kesekretariatan Lembaga Lain yang dipimpin oleh Pejabat Struktural eselon I dan bukan merupakan bagian dari Departemen/ Lembaga Pemerintah Non Departemen, Instansi Vertikal di Daerah Propinsi/Kabupaten/Kota, Kepaniteraan Pengadilan, atau dipekerjakan untuk menyelenggarakan tugas negara lainnya.

Tentang DPR

Terkait dengan fungsi legislasi, DPR memiliki tugas dan wewenang:

  • Menyusun Program Legislasi Nasional (Prolegnas)
  • Menyusun dan membahas Rancangan Undang-Undang (RUU)
  • Menerima RUU yang diajukan oleh DPD (terkait otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah; pengelolaan SDA dan SDE lainnya; serta perimbangan keuangan pusat dan daerah)
  • Membahas RUU yang diusulkan oleh Presiden ataupun DPD
  • Menetapkan UU bersama dengan Presiden
  • Menyetujui atau tidak menyetujui peraturan pemerintah pengganti UU (yang diajukan Presiden) untuk ditetapkan menjadi UU

Terkait dengan fungsi anggaran, DPR memiliki tugas dan wewenang:

  • Memberikan persetujuan atas RUU tentang APBN (yang diajukan Presiden)
  • Memperhatikan pertimbangan DPD atas RUU tentang APBN dan RUU terkait pajak, pendidikan dan agama
  • Menindaklanjuti hasil pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang disampaikan oleh BPK
  • Memberikan persetujuan terhadap pemindahtanganan aset negara maupun terhadap perjanjian yang berdampak luas bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara

Terkait dengan fungsi pengawasan, DPR memiliki tugas dan wewenang:

  • Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan UU, APBN dan kebijakan pemerintah
  • Membahas dan menindaklanjuti hasil pengawasan yang disampaikan oleh DPD (terkait pelaksanaan UU mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, pengelolaan SDA dan SDE lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan dan agama)

Tugas dan wewenang DPR lainnya, antara lain:

  • Menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi rakyat
  • Memberikan persetujuan kepada Presiden untuk: (1) menyatakan perang ataupun membuat perdamaian dengan Negara lain; (2) mengangkat dan memberhentikan anggota Komisi Yudisial.
  • Memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam hal: (1) pemberian amnesti dan abolisi; (2) mengangkat duta besar dan menerima penempatan duta besar lain
  • Memilih Anggota BPK dengan memperhatikan pertimbangan DPD
  • Memberikan persetujuan kepada Komisi Yudisial terkait calon hakim agung yang akan ditetapkan menjadi hakim agung oleh Presiden
  • Memilih 3 (tiga) orang hakim konstitusi untuk selanjutnya diajukan ke Presiden

Tentang DPR

Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, khususnya terkait pelaksanaan fungsi pengawasan, DPR dibekali 3 (tiga) hak, yakni:

1. Hak Interpelasi: hak DPR untuk meminta keterangan kepada Pemerintah mengenai kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

2. Hak Angket: hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang/kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

3. Hak Menyatakan Pendapat: hak DPR untuk menyatakan pendapat atas:

  1. kebijakan pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di tanah air atau di dunia internasional;
  2. tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket; atau
  3. dugaan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum baik berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, maupun perbuatan tercela, dan/atau Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

SEJAK beberapa hari yang lalu media mainstream maupun media online diramaikan dengan beredarnya informasi tentang kemungkinan Presiden Jokowi akan mengadakan reshuffle kabinet (perombakan kabinet).

Sebagaimana biasanya berkaitan dengan pengangkatan atau pemberhentian menteri selalu dikaitkan dengan salah satu istilah hukum yang cukup memasyarakat di Indonesia yaitu istilah Hak Prerogatif (yang dimiliki oleh Presiden).

Masyarakat umum memahami hak prerogatif sebagai hak-hak istimewa yang dimiliki oleh Presiden menurut UUD 1945 yang tidak dapat disanggah ataupun diganggu gugat oleh siapapun. Di mana salah satu hak prerogatif yang paling populer adalah hak Presiden untuk mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri negara. 

Menurut pemahaman yang umum, maka berdasarkan hak tersebut Presiden dapat mengangkat siapapun untuk jabatan menteri apapun serta sekaligus pula dapat memberhentikan menteri setiap waktu, kesemuanya semata-mata berdasarkan pertimbangan subyektif Presiden yang tidak dapat diganggu gugat karena merupakan hak prerogatifnya.

Di masa pemerintahan Presiden Gus Dur yang baru berusia 2 tahun telah berulang kali dilakukan pengangkatan dan pemberhentian para menteri yang jumlahnya tidak sedikit. Bahkan ada menteri yang baru menjabat selama 1 bulan telah kehilangan jabatannya kembali, baik karena digantikan oleh orang lain atau karena kantornya dibubarkan. Tetapi tidak ada satu pun komentar yang diberikan sehubungan dengan masalah ini karena semuanya menerima sebagai hak prerogatif Presiden Gus Dus.  

Tulisan singkat ini ingin mencoba menjawab pertanyaan "apakah pengangkatan/pemberhentian menteri (Menteri Negara) merupakan hak prerogatif Presiden menurut UUD 1945?"

Latar Belakang Hak Prerogatif

Hak prerogatif merupakan salah satu istilah yang dikenal di lapangan hukum tata negara, adalah hak-hak istimewa yang tidak dapat diganggu gugat yang dimiliki oleh seorang Kepala Negara, baik Raja maupun Presiden. Pada awalnya hak prerogatif ini hanya mencakup pemberian grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi, tetapi kemudian berkembang sehingga meliputi hak mengangkat duta dan konsul, menerima duta negara sahabat, menetapkan formatur kabinet (dalam sistem parlementer), menyatakan perang dan damai atas persetujuan Parlemen dan sebagainya.

Sesuai dengan sejarahnya, maka tujuan pemberian hak prerogatif kepada Kepala Negara adalah semata-mata sebagai sarana mengatasi kemungkinan kegagalan hukum di dalam menjalankan fungsinya menciptakan keadilan (dan ketertiban) di tengah-tengah masyarakat.

Sebagai  lembaga sosial yang dibentuk oleh masyarakat, hukum tidak terlepas dari kelemahan-kelemahan dan memiliki keterbatasan, seperti misalnya yang terpenting adalah terbukanya kemungkinan terjadinya keadaan yang tidak adil dari suatu proses pelaksanaan hukum yang justru bertujuan menciptakan keadilan. Dan lebih celaka lagi, hukum ternyata tidak mempunyai kemampuan untuk mengatasi atau memperbaiki ketidakadilan yang tercipta dari proses pelaksanaan hukum itu sendiri. Inilah yang seringkali dikemukakan sebagai "keterbatasan hukum" atau "the limit of law". Contohnya, seorang tersangka setelah melewati pemeriksaan di tingkat pertama (Pengadilan Negeri), tingkat banding (Pengadilan Tinggi) dan tingkat kasasi serta Peninjauan Kembali (Mahkamah Agung) dinyatakan bersalah atas perbuatan yang dituduhkan kepadanya dan dijatuhi hukum mati (putusan hukum final). Tetapi beberapa saat sebelum hukuman mati dilaksanakan terungkap bukti baru yang tidak terbantahkan bahwa si Terpidana Mati tidak bersalah.  

Keadaan seperti ini bukan saja mungkin terjadi, tetapi justru seringkali terjadi, seperti halnya di Indonesia dalam kasus Sengkon-Karta. Hal mana karena keseluruhan proses pelaksanaan dan penegakan hukum dijalankan oleh manusia yang tidak luput dari kelemahan-kelemahan. 

Menghadapi keadaan seperti ini Mahkamah Agung sebagai lembaga hukum yang tertinggi ternyata tidak mampu berbuat apapun karena Mahkamah Agung tidak dapat merubah keputusan hukuman mati yang sudah bersifat final, mengingat akibatnya akan menciptakan ketidakpastian hukum yang bermuara pada ketidaktertiban di dalam kehidupan masyarakat (terbentur pada asas 'nebis in idem' yaitu seseorang tidak diperbolehkan disidang ulang oleh pengadilan untuk perkara yang sama). Sebaliknya, meneruskan pelaksanaan hukuman mati akan menciptakan ketidakadilan, yang dapat mengakibatkan menurunnya kepercayaan warga masyarakat terhadap hukum yang berlaku dan pada gilirannya juga akan membuahkan ketidaktertiban di masyarakat, ibaratnya 'dimakan Bapak mati, tidak dimakan Ibu yang mati'.  

Keadaan simalakama tersebut di atas hanya mungkin diatasi melalui intervensi Kepala Negara kedalam wilayah kekuasaan kehakiman (yudikatif), di mana dengan berbekal hak prerogativenya Kepala Negara memberikan grasi (pengampunan) kepada si Terpidana Mati, seperti dalam contoh di atas, sehingga keadilan tidak terusik dan kewibawaan hukum tetap terjaga.

Dari uraian singkat di atas dapat dikenali ciri utama hak prerogatif termaksud, yaitu pertama hak prerogative merupakan hak istimewa yang dimiliki oleh Kepala Negara, dan kedua pelaksanaan hak ini tidak dapat diganggu gugat serta tidak dapat dibatasi oleh pihak manapun juga.

Hak Prerogatif dan Pengangkatan Menteri Menurut UUD 1945

UUD 1945 juga mengenal adanya hak prerogatif Presiden sebagaimana diatur dalam Pasal-pasal 11, 12, 13, 14 dan 15 UUD 1945, di mana menurut Penjelasannya dikatakan kekuasaan-kekuasaan Presiden dalam pasal-pasal ialah konsekuensi dari kedudukan Presiden sebagai Kepala Negara. Sedangkan hak Presiden untuk mengangkat (dan memberhentikan) menteri-menteri yang diatur dalam Pasal 17 UUD 1945 adalah merupakan konsekuensi dari kedudukan Presiden selaku Kepala Pemerintahan.

Sekalipun menurut ketentuan UUD 1945 menteri-menteri adalah pembantu Presiden yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden, namun hal ini tidak berarti Presiden dapat seenaknya saja menggunakan haknya di dalam melakukan pengangkatan menteri-menteri. Seperti misalnya mengangkat seorang yang belum dewasa menjadi menteri atau misalnya lagi mengangkat seorang yang bukan ahli di bidang pekerjaan menteri tertentu.   Di dalam Penjelasan UUD 1945 (pada Amandemen UUD 1945 sudah dihapus) dikatakan bahwa menteri-menteri adalah para pemimpin yang sesungguhnya dan Presiden wajib memperhatikan sungguh-sungguh nasehat atau pendapat menteri-menteri karena mereka ahli di bidangnya masing-masing. Hal ini mengandung arti bahwa di dalam melakukan haknya mengangkat menteri, Presiden dibatasi oleh pedoman yang ditentukan oleh UUD 1945 yaitu menteri yang diangkat itu haruslah seorang yang sudah dikenal kualitasnya sebagai pemimpin dan juga orang tersebut adalah ahli menurut bidangnya yang merupakan bagian dari ruang lingkup pekerjaan jabatan kementeriannya. Meskipun pedoman ini sudah dihapus karena Penjelasan UUD 1945 sudah (di Amademen), tetapi di dalam ilmu perundang-undangan pedoman tersebut tetap harus diperhatikan sebagai bagian dari sejarah (Memorie van toelichting)

Hal mana berarti Pengangkatan menteri-menteri bukanlah Hak Presiden yang bisa dilaksanakan sebebasnya oleh Presiden (Bukan Hak Prerogatif) yang tidak bisa diganggu gugat, tetapi merupakan hak Presiden yang harus dilaksanakan sejalan dengan pedoman yang ditentukan oleh UUD sendiri (pernah)..

Praktek kenegaraan di Amerika Serikat yang bersistem pemerintahan presidensil seperti juga halnya di Indonesia, seorang presiden yang baru terpilih dalam pemilihan presiden ingin membentuk/-mengangkat Menteri-menterinya ( di AS disebut sebagai Secretary of State), maka nama-nama calon menteri-menteri tersebut dikonsultasikan (sounding) terlebih dahulu kepada Kongres (Senate). Pernah terjadi bahwa ketika Presiden mengajukan seseorang calon untuk diangkat sebagai Jaksa Agung, Kongres mendapatkan informasi bahwa calon Jaksa Agung tersebut pernah mempekerjaan seorang imigran gelap sebagai pembantu rumah tangganya sehingga kongres menyarankan kepada Presiden agar calon yang bersangkutan tidak diangkat sebagai Jaksa Agung, karena dinilai cacat secara moral. Dan Presiden memperhatikan saran Senate tersebut.

Akhirnya bagaimana jika seseorang yang ahli telah diangkat oleh Presiden untuk menduduki jabatan menteri yang sesuai dengan keahliannya itu tetapi kemudian ternyata tidak sungguh-sungguh disukai oleh DPR ?  

Jawabannya, seorang Presiden yang bijaksana akan memperhatikan sikap DPR terhadap menteri yang bersangkutan karena menjaga hubungan yang baik dengan DPR adalah lebih utama daripada mempertahankan menteri yang bersangkutan, karena DPR adalah lembaga negara yang berwenang mengawasi Pemerintah (Presiden). Serta lebih dominan didalam menetapkan APBN, Sehingga menteri yang sungguh-sungguh tidak disukai oleh DPR sebaiknya diganti dengan lainnya.

Akhirnya dapat disimpulkan bahwa mengangkat dan memberhentikan Menteri bukan Hak Prerogatif Presiden berdasarkan UUD 1945.

15 April 2021

Muchyar Yara
(Mantan Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UI)

Editor: Wahyu Sabda Kuncahyo

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA